Wednesday, July 23, 2008

Mengubah Dunia

Setiap orang berpikir bagaimana mengubah dunia, tetapi tidak ada yang berpikir bagaimana mengubah diri mereka sendiri.

Leo Tolstoy Sastrawan Rusia, 1828-1910

Thursday, July 17, 2008

Guru

Guru terbaik adalah kesalahan terakhir yang Anda lakukan.

Ralph Nader Kandidat Presiden AS pada 1992, 1996, 2000, 2004, dan 2008

Wartawan Jarang Membaca

Ibarat rumput yang tumbuh subur di pekarangan dan tidak menyadari adanya pohon-pohon besar yang juga tumbuh di sekitarnya dan siap untuk mendesak tanah yang ditumbuhi rumput. Inilah sebagian besar wartawan Indonesia. Sudah cukup puas dengan bisa meliput kegiatan presiden dan doorstop para anggota dewan.

############

Membaca buku sangat penting untuk menunjang profesi jurnalis. Bukan hanya itu saja, untuk meningkatkan sumber daya manusia. Tanpa meningkatkan diri dengan cara membaca, mustahil ilmu dan pengetahuan dapat tercapai dengan baik. Membaca ialah gudangnya ilmu.

Pada umumnya, wartawan sudah kendur minat untuk membaca bahan-bahan bacaan ilmiah atau analisa para pakar. wartawan cenderung membatasi diri dengan bacaan tertentu yang sumbernya dari koran atau media online. Misalnya dia tugas di DPR, biasanya hanya mau membaca berita terkait dengan isu-isu anggota dewan.

Atau wartawan kriminal, dia tidak tertarik membaca berita internasional atau politik, misalnya. apalagi membaca tulisannya Budi Hardiman tentang Filsafat Fragmentaris. kecuali mengikuti dengan intens berita-berita tentang kasus kriminal di daerah liputannya.

Ini merupakan kemunduran luar biasa. profesi wartawan mestinya makin banyak meluangkan waktu untuk membaca buku atau jurnal ilmiah. Tujuannya selain berhubungan dengan kedalaman wawasan, juga menambah perbendaharaan kata. tanpa cara ini, pasti wartawan akan kering kerontang.

2003 lalu, Muhammad Akbar seorang wartawan Republika mengkritik dirinya sendiri. Sejak menjadi wartawan, jarang membaca lagi. Padahal semasa kuliah, ibaratnya ingin makan manusia kalau tidak ada bahan bacaan. Dia tidak banyak membaca karena sudah terjebak pada sistem yang diciptakan pemilik modal. Waktu adalah untuk meliput berita, selesai itu istirahat dan tidur buat kerja besok hari.

Awal-awalnya aku percaya bahwa memang wartawan tidak memiliki waktu untuk membaca karena tiap pulang, badan sudah lelah. bangun selalu kesiangan. tapi, kemudian aku membuat kesimpulan bahwa wartawan memang malas tidak disiplin. misalnya bangun pagi dan membaca atau sebelum tidur membuka buku dulu. kalau libur, sebenarnya masih bisa membaca.

Ibarat rumput yang subur di pekarangan dan tidak menyadari adanya pohon-pohon besar yang juga tumbuh di sekitarnya dan siap untuk mendesak tanah yang ditumbuhi rumput. Inilah sebagian besar wartawan Indonesia. Sudah cukup puas dengan bisa meliput kegiatan presiden dan doorstop para anggota dewan.

Awal 2008 lalu, saat mengikuti kuliah filsafat ilmu pengetahuan oleh Karlina Supeli dijelaskan betapa terkecohnya orang apabila hanya membiarkan dirinya mendapatkan informasi dari media massa belaka, koran misalnya. Informasi yang diberikan media massa hanya bersifat spontanitas. Berdasarkan yang sedang hangat pada saat itu, lalu meninggalkan kasus itu setelah ada kasus baru lagi. Dan seperti itu seterusnya. Ini satu hal.

Kemudian, belum lagi berbicara mengenai kepentingan pemilik modal media, mungkin bisnis, pemerintah atau tentara. Karena itu, Karlina mengatakan bahwa mendapatkan informasi melalui tulisan ilmiah atau membaca buku-buku sangat penting untuk mendapatkan informasi secara mendalam dan tentunya utuh.

Penulis menambahi, tulisan media bisa jadi sudah mengalami penyusutan substansi beberapa kali, baik oleh reporter dan redaktur serta pembaca sendiri. Jadi, yang disajikan hanya sepotong sampah yang bisa jadi berguna atau tidak berguna untuk dibaca.

Ada pendapat menarik dari romo Hendra Sutedja, pengajar filsafat China, media seringnya menyajikan tulisan deskripsi atau permukaan saja. Tidak ada yang mengupas secara tuntas sebuah masalah. Ini terjadi karena media tidak melihat realita realita. hanya melihat satu realita.

Apabila demikian kenyataannya, akan dapat manfaat apa para pembaca media. Inilah pentingnya membaca sumber informasi melalui banyak bacaan, selain media massa. wartawan, tentunya orang yang paling bertanggung jawab untuk itu. maka dari itu, tidak bisa lagi membatasi diri pada bacaan seputar berita yang diliputnya saja.

Wednesday, July 16, 2008

Buta Huruf

Buta huruf tentang masa depan bukan bagi mereka yang tidak bisa membaca atau menulis. Tapi mereka yang tidak bisa belajar, meninggalkan belajar, dan mengulangnya.

Alvin Toffler, penulis dan futurolog Amerika

Monday, July 14, 2008

Motivasi

Dalam memotivasi orang, libatkanlah pikiran dan hati mereka. Untuk melibatkan perasaan orang lain, gunakanlah ide-ide produktif dan kegembiraan.

Rupert Murdoch, pengusaha Australia

Head to Head

Selasa malam, 8 april 2008, berita-berita di situs kami tidak ada yang luar biasa. Luar biasa dalam pengertian berita besar dan seksi. Begitu juga dengan media kompetitor kami, Detik. Tidak ada berita terbaru yang bombastis. Tenang dan aku bisa mengerjakan pengeditan laporan wartawan daerah untuk stok penerbitan besok dini hari.

Setelah selesai mengedit, aku pantau kembali media kompetitor. Siapa tahu ada berita terkini. Aku yakin, Detik juga memantau media kami setiap saat karena sama-sama tidak menginginkan kebobolan. Dan jalannya media online memang seperti itu, saling mengintip satu sama lainnya.

Pendaki RI Tewas di Alaska. Judul berita Detikcom ini membikin jantungan saat itu. Aku dan Sutarmi, teman piket redaksi malam sama-sama kaget sekaligus penasaran dengan berita itu. Tidak lama kemudian, muncul berita lanjutan. Kalau yang pertama narasumbernya ibu pendaki itu, berikutnya adalah bapaknya.

Mulailah ketegangan itu menyelimuti kepala kami. Mamik bilang Okezone kebobolan berkali-kali. Dan aku juga mengakuinya. Aku membayangkan, berita ini akan menjadi berita yang sangat besar besok pagi, bahkan hingga beberapa hari ke depan. Pendaki mahasiswa Mercu Buana bernama Pungkas Tri Baruno tewas di gunung Alaska Amerika.

Panik, bingung, heran, dan marah sekaligus. Panik karena Detik sudah menurunkan berita itu beberapa kali, sementara aku belum satupun. Bingung karena tidak punya gambaran narasumber yang bisa dikontak pada tengah malam itu. Bingung karena besok bisa menjadi bahan olok-olokan di kantor apabila tidak ada beritanya sama sekali. Sekaligus heran, darimana Detik mendapat info dan bagaimana bisa punya kontak dengan keluarga korban.

Belasan menit aku tidak dapat memutuskan. Mamik juga tertekan. Siapa narasumber yang mendekati sasaran yang dapat dimintai keterangan. Aku tidak mempunyai gambaran karena sangat tegang. Ketegangan sudah membuat logika tidak aktif. Duh, sekalinya piket, dapat kasus yang sangat besar. Mi, kira-kira siapa yang bisa dihubungi, yang mendekatilah.

Tidak diperoleh jawaban yang memuaskan. Kami memutar otak dengan sangat keras. Kutelpon redaktur pelaksana Fajri. Ternyata Fajri juga tidak mempunyai orang yang dekat dengan narasumber. Tapi dia menyarankan untuk bertanya dengan Wanandri.

Cukup memakan waktu lama untuk mendapatkan nomor telepon Wanandri. Aku browsing sana-sini di google misalnya, tapi hanya mendapatkan nomor kantor pusat lembaga itu yang tidak dapat dihubungi. Mungkin karena sudah larut malam sehingga pengurusnya tidak ada di sana.

Sutarmi kusuruh menelepon juru bicara Deplu. Dia sempat ragu. Tengah malam begini menelpon pejabat pemerintah. Pengamat politik dari LIPI saja ada yang marah apabila dihubungi malam begini. Bagaimana mungkin PNS mau menerima telpon. Tapi, keraguan itu tidak menjadi nyata. Kenyataannya dia mau memberikan keterangan, meskipun sangat terbas. Deplu membenarkan kejadian itu.

Akhirnya kami bisa menulis satu laporan. Ternyata kami tidak bisa cukup puas dengan laporan itu. Situs tetangga rupanya terus menerus me running kejadian itu. Wartawan yang menggarap banyak, makanya beritanya banyak. Mungkin karena malam pesta pergantian layout Detik, makanya malam itu banyak yang begadang malam.

Detik bikin laporan banyak, meskipun narasumbernya itu-itu saja. Meskipun begitu, cukup membuat kami harus bekerja ekstra keras. Tidak. Aku dan Mamik tidak akan menyerah. Kami juga harus menggarap berita ini dengan baik.

Aku browsing dan mencari terus alamat dan kegiatan yang berkaitan dengan ekspedisi. Sangat tidak menyangka, aku menemukan publikasi pramuka.com terbitan lama yang membahas soal tim ini. Ini sangat luar biasa pada malam panik itu. Awal bacaan di teks yang kutemukan di tengah-tengah rasa putus asa itu, hanya membahas soal abstraksi kegiatan ekspedisi yang diselenggarakan kwarnas gerakan pramuka untuk memperingati kepanduan dunia.

Temuan itu sudah cukup membantu. Paling tidak nama tim ekspedisi yang berangkat ke Alaska lengkap. Jauh lebih lengkap daripada detikcom. Karena tegang sekali, waktu itu aku tidak sadar bahwa teks itu jauh lebih lengkap dan rinci dari yang kuperkirakan.

Di bagian bawah teks, sangat mengejutkan. ternyata ada nama anggota yang berjumlah tujuh orang yang tergabung dalam tim ekspedisi itu. Diantaranya remaja yang tewas dalam perjalanan di gunung salju kutub utara. sangat-sangat di luar dugaan. Data diri masing- masing anggota tim lengkap tertulis di sana. dari bahan-bahan yang kuperoleh dari riset data, laporanku jauh lebih lengkap dan akurat dibandingkan situs Detikcom.

Yang sangat menggembirakan dari pengalaman riset data ialah, nomor telepon keluarga korban juga tercantum. Bahkan seluruh anggota tim juga ada. Lengkap semua. Aku bisa langsung membuat laporan jauh lebih lengkap dan maju dibanding yang dikerjakan kompetitor yang hanya membikin laporan-laporan standar kesusahan keluarga.

Mamik bekerja secara sistematis dengan terus melakukan kontak dengan pihak keluarga. Dia bisa melakukan wawancara dengan ibu dan kakak korban dini hari itu. Saat itu, kami sudah memperhitungkan bahwa kami pasti tidak mengganggu jam tidur mereka karena keluarga ini juga sedang mengumpulkan informasi seperti yang kami lakukan.

Kami tidak lagi tertinggal dengan Detikcom. Bahkan, kami sedang mengajari mereka bagaimana memaksimalkan teknologi internet untuk riset data. Bagaimana mengoperasikan ide di saat situasi panik seperti itu. Laporan kami jauh lebih lengkap. Di satu sisi memang harus diakui pula bahwa informasi peristiwa ini mula-mula dari Detik. Tapi tidak mengapa, karena memang seperti ini bekerja di media online atau media lainnya, yaitu informasi awal bisa datang dari manapun.

Aku perhatikan betul perkembangan data yang dipunyai Detikcom. Lama-lama mereka bisa juga menemukan data-data tentang tim ekspedisi seperti yang kami tulis. Mulai cerdas wartawan Detik yang piket malam itu. Mungkin juga idenya muncul setelah melihat okezonecom. Head to head betul betul malam itu. Aku dan mamik bersaing dengan beberapa wartawan Detik yang jumlahnya lebih banyak. Karena, malam itu, Detik sedang pesta peresmian wajah baru sehingga kebetulan banyak orang.

Belakangan, aku juga dapat memperhatikan, mereka mulai mengolah data-data tertulis yang didapat dari pramukacom itu menjadi bahan berita. Penulisnya mulai cerdas. Tidak mau kalah denganku. Puncak persaingan menyajikan laporan-laporan dini hari itu rasanya masih lama sekali. Ada saja sudut pandang baru, ada saja yang diolah menjadi laporan. Kami juga tidak stagnan. Kami berusaha lebih bagus dan variatif.

Pukul 04.00 WIB, mungkin puncaknya. Detikcom dan kami sama-sama tidak lagi posting berita baru. Mungkin kehabisan data, dan kami kehabisan tenaga.

Pagi harinya, kami tidak mau ketinggalan lagi. aku menyadari betul, berkompetisi dalam membuat laporan berita peristiwa semacam ini, bukan pada seringnya membuat berita-berita sedih atau diada-adakan. Melainkan, keuletan dan jago mencari sudut pandang. setelah jam 5, aku menelepon keluarga korban dan aku berhasil membuat feature yang agak panjang.

Apabila narasumbernya hanya dari orang tua korban, sama saja dengan detikcom. monoton dan tidak ada kemajuan. aku memutar otak. Harus mendapatkan narasumber dari pihak panitia penyelenggara ekspedisi. Tapi, bagaimana caranya. ide itu muncul seketika di saat badanku sangat capek karena malam itu tidak tidur sama sekali. Aku tanya ke ibunya, siapa orang yang selama ini memberi informasi tentang perkembangan korban di Alaska.

Aku berhasil mendapat nomor telepon pihak kwarnas. Langsung dengan sekretaris panitianya. Luar biasa. Aku bisa wawancara banyak dan lebih detail melaporkan identitas tim yang diberangkatkan dan juga perkembangan terakhir proses evakuasi di puncak gunung salju tertinggi di kutub utara itu.

Aku bisa mendapatkan apa yang diperoleh detikcom, saat itu. Malah lebih banyak narasumber kami. tapi wartawan detikcom tidak mendapatkan yang kami dapatkan. narsis memang. Tapi dalam jurnalistik, tidak mengenal narsis. yang ada adalah kebanggaan bisa menembus narasumber-narasumber inti.

Apa yang kami lakukan malam itu tidak sia-sia. laporan kasus ini mendapat peringkat tertinggi yang dibaca orang pada hari itu. Dari kasus ini, aku belajar bahwa tidak ada yang benar-benar buntu dalam jurnalistik. semua hal yang digarap, pasti ada alternatifnya. Jangan menganut paham antialternatif. Jangan pernah putus asa karena semuanya ada jalan keluarnya.

Thursday, July 10, 2008

Berhenti Berpikir

Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan.

Publilius Syrus (100 SM), penulis zaman Romawi

Saturday, July 5, 2008

Menengok Revolusi Media di Cina

Ia dikenal sebagai Oprah-nya Cina. Chen Luyu, demikian namanya, sangat populer sebagai pembawa acara bincang-bincang di televisi di Cina. (sumber tulisan: BBC-Indonesia)

Tamu acara Chen Luyu sangat beragam. Dari selebritis hingga orang awam kebanyakan.

Di acara yang ia pandu, mereka menceritakan kehidupan mereka.

Acara berjudul A Date with Chen Luyu (Kencan dengan Chen Luyu) menjadi salah satu bagian penting pergeseran penting industri media di Cina.

Sejak komunis berkuasa di Cina pada 1949, televisi, radio, dan koran praktis menjadi corong pemerintah.

Reformasi ekonomi di berbagai sektor dan kehadiran internet mungkin secara perlahan akan melonggarkan cengkeraman pemerintah terhadap media.

Masa kanak-kanak Chen Luyu dihabiskan di Shanghai pada 1970-an. Dia masih ingat betul hanya ada satu pesawat televisi di kampungnya.

"Semua anak akan duduk di bangku kecil dan menonton televisi yang ditaruh di atas papan yang disangga tiang kayu," kenangnya.

Di televisi itu hanya ada satu atau dua saluran dengan jam tayang hanya beberapa jam perhari.

Namun perubahan kemudian berlangsung. Cina membuka diri, ekonomi tumbuh secara sangat mengesankan dan muncul masyarakat kelas menengah.

Kelas baru ini tidak tertarik dengan gaya propaganda lama pemerintah. Perhatian mereka adalah dunia fesyen, selebritis, dan gemerlap dunia luar.

Reformasi ekonomi berdampak sangat luas terhadap industri media. Stasiun televisi baru bermunculan. Begitu juga dengan koran dan majalah yang jumlahnya ratusan.

Media ini meliput dari kejadian sehari-hari, sepakbola, hingga fesyen.

Analis media Rowan Simons yang berkantor di Beijing mengatakan sepertinya semuanya berubah di tahun-tahun belakangan.

"Rata-rata masyarakat perkotaan bisa menerima lebih dari 50 saluran televisi yang menyiarkan berita, olahraga, hingga film-film. Bahkan sekarang juga muncul saluran khusus seperti belanja dan perjalanan," ujar Simons.

Media di Cina sekarang juga menikmati kebebasan baru untuk melaporkan hal-hal yang sebelumnya tabu seperti HIV/Aids dan kasus korupsi pejabat.

Beberapa koran dikenal karena memuat investigasi kasus-kasus besar.

Acara bincang-bincang di radio juga makin populer. Di acara ini pendengar bisa menelpon ke studio dan menyampaikan pendapat mereka.

Sensor negara

Namun sensor negara belum hilang sama sekali. Pemerintah akan mengeluarkan denda atau hukuman yang berat bila media berani menyinggung hal-hal sensitif seperti demokrasi atau Tibet.

Menurut kelompok-kelompok HAM, jumlah wartawan di Cina yang dipenjarakan pemerintah adalah yang terbesar di dunia.

Acara dari berbagai media elektronik internasional juga sering terganjal sensor.

Perusahaan penerbitan juga semuanya milik pemerintah sehingga mereka bisa dengan mudah menentukan apa yang bisa dimuat oleh koran-koran.

Internet

Namun kehadiran internet mungkin sedikit demi sedikit mengurangi kemampuan pemerintah dalam menyensor media.

Di Cina terdapat lebih dari 100 juta pengguna internet. Jumlah pengguna internet ini hanya bisa dikalahkan oleh Amerika Serikat.

Angka ini diramalkan akan meningkat pesat di tahun-tahun mendatang.

Tidak mengherankan bila kafe internet dengan mudah ditemukan di berbagai kota di Cina.

Para pengguna, terutama kalangan muda memanfaatkan internet ini untuk berselancar di alam maya atau bermain game online.

Namun pemerintah juga aktif bertindak dengan menyensor muatan-muatan yang mereka nilai porno atau terlalu politis.

Jadi kalau anda misalnya mengetik kata "Dalai Lama" atau "hak asasi manusia" di mesin pencari, baik dalam bahasa Cina maupun Inggris, akan keluar beberapa situs web, namun situs-situs itu tidak bisa dibuka.

Situs BBC, baik yang berbahasa Inggris maupun yang berbahasa Cina juga tidak bisa diakses.

Namun beberapa situs berita internasional lain bisa dibuka dengan mudah.

Ini menandakan pemerintah Cina tidak bisa mengontrol seluruh muatan internet.

Beberapa analis yakin pemerintah Cina mulai menelan kekalahan dalam pertarungan mengontrol isi internet.

Analis media Simons mengatakan penetrasi televisi di Cina mencapai 96 persen, pengguna internet 100 juta orang, dan 350 juta warga menggunakan telepon genggam.

Revolusi informasi di Cina telah dimulai dan tidak ada hal yang bisa menahan lajunya.

Wartawan Menulis Realita

Jumat 3 Juli 2008, Aku dan Romo Hendra Sutedja, seorang dosen mata kuliah filsafat China di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara mengendarai mobil menuju Pondok Indah Mall untuk mencari makan. Sepanjang perjalanan dari kantor romo Jesuit ini, dia mencoba menunjukkan bagaimana proses memahami sebuah realita dengan cara yang sangat sederhana.

Menulis tentang korban penggusuran, misalnya. Secara umum, dalam melihat realitas itu, wartawan hanya mampu dan tertarik membuat reportase tentang orang-orang yang pindah dari satu tempat ke lokasi lain. Lalu, keluhan-keluhan dan tuntutan-tuntutan korban kebijakan itu. Dengan demikian, tulisan yang dibuat oleh jurnalis ini hanya berakhir dengan menyalahkan pihak sana dan sini.

Wartawan tidak melihat secara lebih jauh lagi tentang kasus penggusuran itu. Misalnya, menangkap faktor apa saja yang berada di sekitar kebijakan penggusuran yang ditempuh pemerintah.

Penggusuran merupakan sebuah kenyataan yang pasti tidak berdiri sendiri. Di sekitarnya terdapat banyak sekali realita. Pejabat pemerintah, pemilik modal, aparat, program dan kebijakan pemerintah dan lainnya. Tugas wartawan ialah menghadirkan informasi kepada publik secara menyeluruh dengan cara menggalinya jauh lebih dalam.

Sampai di lobi mall, kami berhenti sebentar di dekat pot bunga yang ditaruh di lorong utama pusat perbelanjaan itu. Bunga yang menjadi hiasan gedung sehingga setiap hari pengunjung mall dapat melihat. Bunga itu merupakan sebuah realita. Tumbuhan bunga yang ditanam manusia dan diletakkan sebagai hiasan. Bunga itu menjadi menarik, tapi dia tidak berdiri sendiri.

Di sekitar bunga itu terdapat pot warna merah tanah, ada tanah sebagai media tanam, ada daun hijau yang menjuntai, ada batang pohon dan unsur-unsur lain. Dan realita-realita itu membentuk realita yang dapat dilihat oleh mata pengunjung mall. Semua itu menjadi satu kesatuan yang utuh. Bunga. Bunga itu tidak sendiri.

Di dekat pajangan koleksi kaos warna hitam, kami berhenti lagi. Kaos itu ialah sebuah realita. Dapat dilihat. Bentuknya ya seperti itu. Romo menunjukkan bahwa benda itu sebenarnya tidak berdiri sendiri. Kaos terdiri dari warna hitam, gambar orang, jahitan, benang yang disulam sedemikian rupa oleh penjahit dan lain-lain. Akhirnya menjadi sebuah kaos yang ada di rak pajangan itu.

Kembai pada tulisan berita. Apabila wartawan hanya melihat korban penggusuran sebagai kenyataan orang-orang yang dipindah, maka dia tidak akan mampu membuat karya yang terbaik dan mencerahkan. Apalagi, menawarkan solusi. Sebab, pikirannya tida kmelihat apa saja dibalik realita itu.

Menulis dengan melihat bagaimana realita terbangun. Utuh dan memberikan sebuah gambaran yang jelas dan lengkap. Berarti seorang wartawan bukan sekedar pekerja yang setia pada profesi. Lalu menyajikan berita sesuai yan gkelihatan dimata sehingga hasilnya kering, sepotong-potong dan tidak jelas serta cuma sederet kata deksripsi.

Deskripsi tentang peristiwa penggusuran dalam membuat tulisan pemberitaan itu bagus. Tapi apabila seluruh bangunan tulisan hanya penuh dengan sususan kata-kata untuk menggambarkan kejadian itu, juga ada tidak bagusnya. Tulisan yang bermanfaat banyak ialah yang mampu menggali fakta dan menyatukan fakta-fakta itu menjadi sebuah satu kesatuan yang menawarkan sesuatu kepada publik atau pengambil kebijakan.

Wednesday, July 2, 2008

Revolusi Koran ke Media Online

Kompetisi ide pengelola media cetak memanfaatkan ranah internet di Indonesia mulai bangkit kembali. Kontan memasang besar-besar iklan text line "senyaman memegang kertas semudah membalik halaman." Mereka mendedikasikan diri sebagai surat kabar digital pertama di Indonesia. www.kontan.co.id. Koran Tempo juga demikian. Apakah karena terbitnya media-media online telah mengambil alih bisnis mereka.

Perkembangan media pemberitaan online sangat maju di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dalam dua tahun terakhir. Ditandai invasi sejumlah pemodal dengan melakukan investasi dana untuk mengelola pasar media pemberitaan secara digital atau online.

Sekalipun penulis tidak melakukan riset secara khusus soal perkembangan media, pergeseran pemodal dalam melihat peluang bisnis dapat dilihat secara nyata. Studi pengamata di Ibukota Jakarta misalnya, Grup KKG bergerak cepat dengan melakukan inovasi media tradisional. Setelah sukses di cetak, kelompok ini masuk ke media online.

Kompas.com yang sebelumnya merupakan bisnis “sampingan” atau ditempatkan sebagai antisipasi terhadap perkembangan new media yang sewaktu-waktu dapat meledak, ternyata sekarang dapat dikatakan sukses. Beberapa waktu lalu mereka membuat Kompas Reborn.

Sebelumnya, kelompok Mediacom yang melahirkan Koran Seputar Indonesia, pada 2007 lalu mulai merambah media porta, Okezone.com. Pemilik modal grup ini dapat membaca bahwa gaya hidup masyarakat Barat akan mempengaruhi Asia Tenggara, dimana orang-orang ingin mendapatkan informasi secara cepat melalui media online. Prediksi itu tidak meleset.

Okezone.com sebenarnya lebih dulu membuat inovasi pada awal 2008 atau setelah setahun kemunculannya. Beberapa bulan setelah itu, baru ada Kompas Reborn. Muncul dengan penampilan lebih praktis dan memudahkan pembaca berselancar di kanal-kanal pemberitaan.

Sebenarnya, pada saat yang bersamaan di Indonesia sudah berkembang berbagai media online. Misalnya Detik.com sudah ada sejak bertahun-tahun, Hukumonline.com, Indonesiaontime, CNNChanel yang sekarang Inilah.com dan banyak lagi. Kompetisi itu nyata-nyata terjadi. Tempointeraktif.com juga dapat dibilang bukan pemain baru dalam bisnis ini.

Hemat penulis, pergerakan itu merupakan upaya pemilik modal untuk merespon perkembangan peradaban. Dimana masyarakat memiliki sifat dasar ingin mendapatkan pelayanan praktis dalam berbagai hal. Bisa juga kepraktisan itu sendiri didesain para pemodal agar masyarakat masuk dalam lingkaran kapitalisme.

Cerita ini tidak akan mengulas sampai pada tingkatan filosofis mengenai perkembangan itu. Melainkan, melihat dari sisi fakta bahwa pergeseran bentuk media massa ini merupakan sebuah mainan bisnis para kapitalis yang beroperasi di bisnis media informasi.

Media online merambah telah membikin para pengusaha media yang sebelumnya berpikiran bahwa media cetak sudah ideal dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Televise dan radio, dianggap tidak akan mampu melampaui pencapaian media cetak dari sisi kedalaman dan kebebasan mengulas sesuatu problem.

Sekalipun televise dan radio memiliki kelebihan sendiri. Tapi tetap tidak memiliki apa yang telah dicapai cetak. Pada perkembangannya ketiga jenis media ini dianggap sebagai media tradisional karena muncul yang namanya new media. Generasi ini datang ke Indonesia seperti ingin menggerus roti media tradisional.

Dengan argumentasi peningkatan pelayanan dan kepuasan terhadap pembaca, pemodal media cetak maupun televisi bergerak. Kompas mulai Kamis 3 Juli 2008 mengeluarkan pemberitaan dalam versi koran digital. Selain Kompas.com, sekarnag ada koran internet Kompas.

Surat kabar Kontan juga demikian, pada awal Juli ini sudah mengenalkan edisi digital. Demikian dengan Koran Tempo. E Paper Tempo. E Paper Kontan. E Paper Kompas. Pembaca dimudahikan lagi dengan konsep koran yang terbit di internet ini. Orang tidak perlu membolak-balik kertas Koran di meja, melainkan tinggal mengklik dan serasa membaca Koran dalam bentuk yang sesungguhnya.

Rasanya, tahun ini semua media cetak nasional maupun lokal, utamanya di Jakarta akan melihat hal ini sebagai bentuk kedekatann dengan pembaca setianya. Revolusi koran agar tidak tergerus media online. Apabila media cetak tidak mengerjakan yang demikian, akan ditinggalkan pembaca, paling tidak harmonisasi yang sudah terjalin akan berkurang.

Bertengkar

Jangan bertengkar perihal yang sepele, karena walaupun menang kita tidak mendapat keuntungan.

Intisari Kewiraswastaan