Friday, August 29, 2008

Tidak Ada Yang Gagal

Sebenarnya tidak ada kegagalan. Yang ada hanyalah akibat.

Koran Internet

Thursday, August 28, 2008

Sensasi Ngeblog

Ngeblog itu menarik. Menulis di blog bisa memunculkan sensasi yang sebelumnya tidak pernah merasakannya. Misalnya, tegang. Lalu sangat kasihan dan kesetiakawanan. Rasa seperti itu terjadi setelah belakangan ini aktif menceritakan pengalaman bekerja sebagai jurnalis di blog ini.

Sebenarnya aku sedang bereksperimen dengan mengelola blog ini. Yaitu, bagaimana menulis bebas. Seperti sudah kuceritakan pada awal-awal. Pengertian bebas di sini ialah menulis, menulis dan menulis. Mengeluarkan semua bahan yang ada di kepala. Tanpa memikirkan soal struktur bahasa. Tanpa memikirkan soal teknik menulis.

Karena, apabila latihan menulis terlalu ketat menerapkan teknik dan struktur, umumnya orang akan gagal. Kata-kata tidak meluncur keluar. Bahan tulisan akan berhenti di kepala. Takut memuntahkannya karena merasa harus baik dan lain sebagainya. Kalau sudah begitu, selesailah dia. Seluruh waktunya sia-sia hanya untuk menilai dan berimajinasi tentang kata-kata yang baik.

Padahal, daripada dia setengah mati mengedit sambil menulis dan pada akhirnya tulisannya tidak keluar-keluar, lebih baik menulislah dengan bebas. Penulis berperan sebagai editor ialah pada saat selesai mengeluarkan seluruh bahan tulisan.

Tidak usah berpanjang-panjang bercerita tentang konsep blog ini.

Karena belajar menjadi wartawan di media, aku sedikit memahami tentang problematika jurnalisme. Dan ini menjadi cerita menarik untuk ditulis. Ternyata penerapan jurnalistik di sebagian media tidak sesuai dengan ilmu jurnalitik yang kupelajari di kampus. Bahkan, sepertinya sengaja menabrak kode etik. Demi mengejar jumlah pembaca, page views, traffic. Ujungnya iklan.

Nah, media yang sangat praktis untuk menulis cerita-cerita semacam itu ialah blog, dibanding buku diary. Blog kupilih karena bisa mengamankan teks dalam waktu yang lama. Dan tidak rusak.

Ternyata postingan-postingan itu ada tanggapan. Yang paling seru ialah postingan Jurnalisme Online Penis. Respon pertama blogku disampaikan sejumlah mahasiswa temanku di Jogja dan Solo. Mereka mengaku tertarik dan ingin belajar.

Lama-lama, ada beberapa wartawan juga yang bereaksi terhadap sejumlah ceritaku. Dan mengatakan diriku arogan. Mungkin, karena tersinggung. Padahal memang betul. Hehehe.

Ada yang frustasi. Lalu mengungkapkannya dengan kalimat permusuhan. Mungkin karena merasa dijelekkan. Lucunya, ada yang menuding-nuding negatif pada tempat kerjaku sekarang. Pasti yang bersangkutan sangat bingung untuk meluapkan emosinya. Aneh. Menurutku, reaksinya tidak sesuai dengan konteks.

Yang aneh lagi, ada yang sampai berkata konyol dengan kata-kata jorok. Sangat jorok. Karena itu, aku memutuskan untuk men-filter sebagian tanggapan karena memang tidak layak.

Reaksi yang berlebihan itu mereka sampaikan melalui berbagai cara. Ada yang langsung berkomentar melalui teks komentar di blog. Ada yang melalui email. Ada yang berbicara langsung kepadaku. Ada yang unik lagi, yaitu menulis kalimat sindiran dan ditaruh di judul di Yahoo Messanger, bahkan sampai berkomentar di blog temanku. 

Singkat cerita, tidak semuanya yang menanggapi cerita yang kuposting di blog ini buruk. So, tanggapan yang galak maupun yang mendukung, itu semua menimbulkan nuansa tersendiri. Itu yang kusebut sensasi. Hehehhe..

Hayoo, tetaplah berkreasi.

Sukses dan Gagal

Tidak ada orang yang benar-benar tahu bahwa dia telah sukses sebelum dia mengalami dan ternyata gagal.

Dr. Robert Schuller.

Wednesday, August 27, 2008

Menjadi Wartawan Online

Pada dasarnya, penerapan kaidah-kaidah jurnalistik di semua jenis media sama. Baik, media tradisional maupun new media, seperti situs berita, tetap mengacu pada kode etik jurnalistik dan bahasa Indonesia jurnalistik. Tetapi, memang ada yang secara ketat melakukanya. Di lain kesempatan ada juga yang sering menabraknya demi tujuan tertentu.

Yang menarik bekerja untuk media online ialah tingkat kesibukannya lebih tinggi, dibanding surat kabar, radio serta televisi. Kalau media cetak, bisa memiliki waktu lebih luang untuk melaporkan bahan berita ke redaksi. Sementara online, harus cepat. Kalau bisa, malah berita muncul beberapa saat setelah peristiwa terjadi.

Media online juga mengembangkan teknik memberitakan dengan mendahului peristiwa. Contohnya, siaran pers atau pidato kepala Negara. Biasanya, media sudah lebih dulu memperoleh bahan, sebelum pidato dilaksanakan. Mereka langsung membuat laporan saat itu juga. Kalau media ini cerdik, ia akan menunggu waktu menerbitkannya berbarengan dengan pidato.

Untuk mengenali wartawan itu bekerja untuk media online sebenarnya paling gampang. Mereka tersibuk diantara wartawan lainnya. Sebentar-sebentar berjalan menjauh, sebentar-sebentar berbicara melalui telepon, sebentar-sebentar bertanya informasi kepada rekannya. Itu sudah bisa ditebak. Kadang-kadang, mereka paling panik.

Mengapa ia begitu? Sebab, redaksi menuntutnya untuk secepat mungkin melaporkan bahan berita sehingga bisa segera menyajikan kepada pembaca. Wartawan yang cerdas, idealnya langsung memahami persoalan yang ingin dilaporkan sehingga bisa langsung menyusun struktur berita. Tetapi, yang masih belajar, biasanya akan melaporkan data mentah.

Tuntutannya bukan hanya melaporkan bahan berita, melainkan fisik juga mesti lebih sehat dan kuat. Tiba-tiba redaksi menugaskan mereka untuk meliput berita peristiwa kebakaran, misalnya. Ia tidak boleh terlalu lama. Mesti segera mencapai tempat kejadian perkara dalam waktu singkat. Tujuannya, agar yang bersangkutan bisa membuat reportase pada saat api masih menyala dan reaksi korban saat itu.

Contoh lain, tiba-tiba kepala Negara menggelar siaran pers di kediaman pribadi. Kebetulan rumahnya berada di luar kota. Maka ia harus datang, meskipun cuaca hujan di sore hari. Kalau tidak hadir, tentunya akan ketinggalan berita penting. Kalaupun akhirnya ia mendapat informasi dari wartawan lain, pasti tidak akan lengkap sesuai dengan kebutuhan media tempat bekerja.

Ada satu cerita. Ini dialami seorang teman. Saat itu ada informasi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan jumpa pers di kediaman Cikeas, Kabupaten Bogor. Kepala Negara akan memberikan pernyataan terkait perkembangan kesehatan mantan Presiden Soeharto. Dengan mengendarai sepeda motor, teman ini menembus hujan. Dari Kemayoran, Jakarta Pusat ke Cikeas ia tempuh sekitar 2 jam. Tiba di pintu gerbang rumah Presiden, ternyata tidak ada konferensi pers.

Menghadapi tuntutan kecepatan membuat laporan juga merupakan beban tersendiri. Ini sering membuat panik. Di satu sisi wartawan ingin mengedepankan kejujuran dan akurasi. Di lain kesempatan, dikejar-kejar redaksi yang kadang tidak memberinya ruang mengendapkan informasi lebih dulu sebelum melaporkannya.

Itu salah satu ujian fisik dan mental yang dialami wartawan yang bekerja di media online.

Persiapan Melakukan Wawancara

Ada beberapa kasus yang dirasakan jurnalis saat meliput berita. Ketika bertemu dengan narasumber, ada yang tidak mengetahui darimana ia harus memulai wawancara. Padahal, dalam hati, wartawan ini ingin mendapatkan suatu laporan yang besar. Mungkin ia malu sehingga bingung dan merasa bersalah. Boleh jadi, ia sesungguhnya tidak memiliki bahan pertanyaan.

Dalam kondisi yang demikian, ia hanya dapat mengandalkan rekan-rekan lain yang kebetulan berada di sana. Berharap ada yang memiliki pertanyaan. Dengan begitu, sumber berita memberikan pernyataan. Kalau sudah begitu, ia tinggal menyodorkan alat rekaman suara. Sudah dan dapat berita. Begitu seterusnya. Tiap kali ada wartawan melakukan wawancara, ikut mengerubuti.

Ada wartawan yang meliput di gedung Dewan Perwakilan Rakyat. Malas membaca koran atau membuka situs berita untuk mengetahui informasi. Tapi, setiap kali ada wawancara bersama, ia sangat bersemangat. Karena tingga menyodorkan rekaman suara di depan narasumber. Tidak pernah bertanya. Setelah itu membuat transkrip. Sebelum menyusun bahan menjadi berita, ia selalu merasa panik. Sebab tidak bisa membuat angle (sudut pandang) dan merangkainya. Soalnya, tidak tahu isu.

Biasanya kasus semacam itu terjadi karena yang bersangkutan tidak menguasai atau mengetahui perkembangan terakhir informasi. Padahal, setiap saat, informasi selalu mengalami perkembangan. Akan lain ceritanya kalau ia sudah memiliki perencanaan sebelum berangkat liputan. Dan pasti paling banyak pertanyaan saat bertemu narasumber.

Perencanaan? Maksudnya, sebelum berangkat dari rumah, ada baiknya membaca surat kabar, mendengarkan berita radio atau menonton televisi. Itu salah satu cara untuk mengetahui perkembangan terakhir berita media. Teknik itu sangat sederhana. Dengan demikian, secara otomatis, informasi-informasi itu akan mengisi kepala lalu menjadi referensi dan sekaligus merencanakan liputan.

Sesungguhnya, dalam merencanakan liputan, tidak ada aturan baku. Tapi, keinginan untuk menjadi wartawan yang lebih baik saja yang membentuknya. Banyak sekali cara mempersiapkan liputan. Misalnya lagi, sebelum berangkat tidur malam hari, bisa membuat perencanaan sederhana untuk hari esok. Atau dengan mengingat-ingat hasil liputan sebelumnya, ia bisa merancang rencana besok.

Ada sebagian wartawan yang mempunyai kebiasaan membuat perencanaan secara mendadak. Mereka membeli koran di jalan raya saat berangkat tugas. Setelah tiba di pos liputan, ia berusaha keras membacanya. Cara ini boleh jadi kurang maksimal. Karena pasti terburu-buru dan tidak detail meneliti isu yang menarik. Padahal, setiap artikel, setiap tulisan berita, pasti ada isu menarik yang dapat diangkat kembali.

Umumnya, redaksi pun membuat rencana liputan untuk dikerjakan wartawan-wartawannya. Ini penting. Salah satu tujuannya agar media yang bersangkutan tetap konsisten mengangkat tema masalah. Selain itu supaya tidak sepotong-potong. Kasus menarik, pasti akan dikejar terus. Tetapi, ada juga redaksi yang tidak membuat perencanaan yang baik. Ini terlihat dari isu yang mereka angkat. Tidak ada suatu perkara yang mereka ikuti hingga tuntas.

Untuk perencanaan redaksi. Ini membutuhkan kerjasama dengan reporter. Reporter yang serius, ia akan bersemangat mengerjakannya. Sebab, di kepalanya sudah ada kerangka masalah. Tinggal menemukan narasumber dan wawancara.

Tetapi, ada juga yang tidak dapat bekerjasama. Banyak gagasan dan rencana redaksi yang hebat-hebat, tapi di tengah jalan gagal. Salah satu penyebabnya, reporter tidak mengerjakannya dengan baik. Tapi, mungkin juga narasumber yang telah ditargetkan tadi tidak dapat diminta penjelasan terkait topik berita yang sedang diangkat.

Kasus di atas tadi, khusus untuk menggambarkan persiapan liputan di lapangan. Ada juga liputan tanpa mesti terjun ke lapangan. Misalnya, wawancara melalui telepon. Menerima kiriman siaran pers dan lain sebagainya. Secara umum, persiapan yang dilakukan wartawan sama saja. Tapi, ada kekhususan dalam wawancara pertelepon.

Misalnya, dalam wawancara yang dilakukan melalui hubungan telepon, ada sebagian narasumber yang hanya memiliki waktu yang sedikit. Tidak leluasa. Misalnya, kebetulan narasumber sedang berada di mobil dan sedang terburu-buru, disela-sela acara. Menjelang tidur atau sedang tidak enak badan. Karena itu, wartawan disarankan untuk membuat pertanyaan yang tajam. Pengertian tajam ini ialah langsung pokok persoalan.

Salah satu persiapan sederhana yang biasanya ditempuh ialah menyusun daftar pertanyaan lebih dulu. Dengan demikian, lebih fokus dan terarah. Banyak kasus yang membuktikan, narasumber akan menaruh perhatian serius terhadap pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut perkembangan terakhir sebuah kasus. Pertanyaan yang baik, sumber berita akan memberikan penjelasan yang menarik.

Persiapan pertanyaan juga perlu saat reporter melakukan wawancara secara khusus. Misalnya, di kantor narasumber atau di tempat yang telah ditentukan sesuai perjanjian. Ia membawa kertas yang berisi daftar pertanyaan. Apabila menonton acara diskusi di stasiun televise, pembawa acara juga selalu membawa teks yang berisi daftar itu. Tujuannya agar terarah. Tapi, ada juga wartawan yang tanpa teks saat wawancara. Sebenarnya, ini tergantung kebutuhan.

Monday, August 25, 2008

Ingin Masuk ke Redaksi Media

Semasa kuliah dulu, rasanya mustahil berhasil menjadi wartawan. Mengapa demikian? Pertama, persepsi bekerja di sebuah media massa itu sangat sulit. Hanya orang-orang dengan keahlian tertentu yang mampu melakukannya. Kedua, ada anggapan bahwa yang bisa menjadi jurnalis itu hanya mahasiswa-mahasiswa jebolan universitas negeri.

Ketiga, kadang-kadang tidak percaya diri kalau membayangkan, profesi wartawan itu hanya untuk mahasiswa jurusan jurnalistik. Hal semacam itu, membuat mereka merasa tidak percaya diri. Mestinya, bisa berkembang, tapi karena salah persepsi, maka mundur kembali. Hilang kesempatannya.

Sesungguhnya banyak cara yang bisa ditempuh mahasiswa untuk bisa masuk ke redaksi media. Ada yang mengikuti proses seleksi formal. Misalnya, menemukan lowongan. Lalu, ia mendaftar. Baru mengikuti tahapan selanjutnya. Wawancara, tes psikologi, tes kesehatan, tes kemampuan bahasa Inggris dan lain-lain.

Ada juga yang masuk melalui proses magang kuliah. Mahasiswa magang mempunyai peluang masuk karena selama proses pendidikan, redaksi sebenarnya sedang membuat catatan. Sedang menilainya. Kalau yang bersangkutan rajin, ulet dan semangat, besar kemungkinan, ia akan diterima bila suatu hari melamar kerja. Sebab, namanya sudah dikenal di redaksi itu.

Ada seorang teman yang pernah magang. Dia sangat rajin. Bahkan, semangatnya mengalahkan wartawan tetap di redaksi itu. Ia sering mendapatkan berita-berita khusus yang media massa lain tidak mendapatkannya. Bagi redaksi yang baik, kelebihan semacam akan menjadi perhatian khusus. Lama-lama, para redaktur memperhatikan teman ini. Menjelang berakhir massa magang, redaksi menawarinya untuk bergabung.

Penulis termasuk yang bisa bergabung di salah satu redaksi surat kabar melalui tahap itu. Karena itu, ada baiknya kalau mempunyai kesempatan magang di media, anggap saja sudah diterima. Saat itulah peluang itu datang. Buktikan dengan semangat dan bisa bekerjasama.

Ada kuncinya juga untuk menjadi anak magang yang berhasil. Hal ini penulis peroleh saat magang di salah satu koran sore. Seorang redaktur berkali-kali menekankan bahwa berlakulah sebagai wartawan. Bukan mahasiswa magang. Penerapannya begini, kalau berkenalan dengan narasumber, mengakulah sebagai wartawan, bukan anak mahasiswa magang. Ini penting. Sebab, boleh jadi, narasumber malas menerima karena hanya mahasiswa yang sedang belajar.

Tapi, banyak juga yang menjadi wartawan karena kedekatan dengan redaktur. Atau mendapat rekomendasi dari wartawan. Tetapi, bukan berarti ia tidak memiliki sumber daya yang baik. Cara masuknya saja yang aneh.

Akhirnya bisa bergabung di redaksi media. Tapi perlu menjadi perhatian, khususnya mahasiswa. Ada diantara mahasiswa magang terpaksa tidak melanjutkan kuliah atau molor mengerjakan skripsi. Penyebabnya, ia merasa sudah menikmati pekerjaan setelah tenaganya digunakan terus oleh media tempat magang.

Ia bisa minta menjadi koresponden di daerah. Mendapat honor per berita yang dimuat media itu. Yang ini, sebaiknya tidak ditiru. Yang rugi ia sendiri karena mengulur-ulur waktu untuk mendapatkan gelar Strata Satu-nya. Nanti, kalau sudah di DO oleh pihak kampus, ia baru menyesal.

Ini juga menjadi catatan penting. Sebelum memutuskan untuk bergabung ke media, ada baiknya, mempelajari lebih dulu redaksi yang bersangkutan. Ada kantor media massa yang memiliki reputasi baik, ada juga yang buruk. Dalam hal ini, kualitas jurnalistiknya. Misalnya, sering menabrak etika jurnalistik, demi sensasi.

Ada juga media massa yang berafiliasi ke penguasa. Tapi, bukan berarti tidak mempunyai kredibilitas jurnalistik. Lalu, ada juga koran dan tabloid yang terbitnya tidak secara berkala. Muncul tenggelam.

Sunday, August 24, 2008

Selalu Ada Peluang

Di Megaria (Metropole), Jakarta Pusat, 2007
DI tempat jajanan makanan. Lokasinya di area Plaza Menteng. Malam minggu, kawasan ini dipenuhi remaja. Ada yang sekedar nongkrong, ada yang makan. Suasananya lebih familiar. Kios-kios berjejer sepanjang tepi jalan. Untuk makan, penjaja makanan menyediakan bangku-bangku yang disusun berjajar di trotoar, tepatnya samping gedung Lippo Bank.

Aku dan Yosephine Restu Retnaning, di antaranya yang menikmati malam di sana. Yosephine seorang guru bahasa dan sastra untuk SMP dan SMA di Jakarta Pusat. Aku pesan sate padang. Yosephine pesan nasi goreng gila. Aku tidak tahu alasannya nasi itu dinamakan gila. Pikirku, penjualnya saja yang gila. Kami minum fresh tea dingin. Sambil menunggu pesanan, iseng-iseng merokok. Harga rokok di tempat ini lebih mahal Rp2.000 dibanding warung rokok di dekat kosku, Kemayoran.

+++

Saat itu, kami ngobrol banyak hal. Mulai dari film step up the road yang baru ditonton di bioskop 21 Megaria sampai soal pekerjaan. Materi film itu sangat OK, tentang kehidupan anak-anak remaja yang memiliki dunianya sendiri. Yosephine senang sekali dengan film ini. Mempunyai kebebasan. Bagiku, ceritanya baik buat memotivasi diri sendiri.

Tapi, yang paling menarik, ya, ngobrol soal pekerjaan. Yosephine bercerita tentang keinginannya untuk memanfaatkan waktu, di luar jam mengajar. Misalnya, membantu teman sesama guru yang sedang melakukan riset untuk membuat buku. Di samping wawasan yang didapat, kegiatan itu bisa juga menghasilkan uang.

Aku cerita bahwa aktivitas riset merupakan pekerjaan yang positif. Soalnya, sekarang ini banyak sekali lembaga penelitian atau survey di Indonesia. Pengusaha-pengusaha asing yang ingin berinvestasi di Indonesia ingin mengetahui peta wilayah. Misalnya, potensi daerah, kondisi politik daerah maupun nasional dan lainnya. Nah, mereka ini pasti memanfaatkan lembaga-lembaga itu untuk mencari jawaban.


Bukan hanya pengusaha asing saja yang membutuhkan tenaga lembaga penelitian, melainkan partai politik dan calon pemimpin juga butuh peta semacam itu. Misalnya mereka ingin mengetahui daerah A, mereka pasti memerlukan bantuan.

Tapi, ada yang mesti diperhatikan kalau ingin menggeluti bidang riset dan survei. Menurutku, umumnya mereka hanya mendapatkan uang bila ada order. Apabila tidak ada proyek, ya, mungkin tidak mempunyai masukan.

Yosephine mengatakan pekerjaan semacam itu, sebaiknya bukan menjadi pekerjaan utama. Melainkan, sampingan saja. Aku setuju.

Orang yang memiliki keterampilan atau keahlian dibidang tertentu juga mempunyai peluang mendapatkan proyek sampingan. Misalnya, pandai berbahasa Inggris, Mandarin, Jepang. Mereka bisa mendatangkan uang di luar gaji pokok dengan memanfaatkan kelebihan itu. Mengajar secara pribadi, contohnya.

Yosephine mempunyai teman-teman yang memberikan les bahasa Inggris di luar jam mengajar di sekolah. Honornya lumayan. Bahkan, gaji pokok sebagai guru tidak diapa-apakan karena biaya hidup sudah tercukupi dengan member les. Ada juga, teman yang bisa pergi ke luar negeri dari uang hasil mengumpulkan honor.

Yosephine mengajar bahasa Indonesia dan Sastra. Dia merasa, bidangnya ini kurang laku. Tidak banyak orang yang ingin les bahasa Indonesia, disbanding bahasa Inggris. Tapi, kubilang, tidak 100 persen pendapat itu benar. Aku mempunyai teman, namanya Sigit. Ia dulu temanku saat sama-sama menjadi volunteer di lembaga sosial Mitra Inigo yang dipimpin Romo Hendra Sutedja Sj, pengajar Filsafat China di STF Driyarkara.

Tiap kali pulang kerja, Sigit mengajar bahasa Indonesia secara pribadi. Yang membutuhkan pengajaran, biasanya orang asing yang ingin menetap di Indonesia. Temanku ini selalu mempunyai proyek. Waktu itu, aku heran, bagaimana ia selalu bisa mendapat murid baru.

Ini menarik. Ternyata, les bahasa, apapun bahasanya, memiliki dunia sendiri-sendiri. Pasti selalu ada orang yang membutuhkan pengajar. Seperti juga temannya Yosephine tadi, yang memberikan les bahasa Inggris atau si Sigit. Ini mengingatkanku pada film Step Up The Street tadi. Menari dance jalanan, ternyata ada dunianya sendiri. Dunia menari, bukan hanya balet, salsa dan dansa yang ada di sekolah-sekolah formal.

Ngomong-ngomong soal bekerja media massa. Aku memperhatikan komposisi pekerjaan di redaksi media online, vivanews.com. Ada teman yang membidangi riset, dunia anak, penerjemah bahasa. Orang-orang yang bekerja di bidang itu, tidak semuanya berlatar belakang wartawan. Ada yang dosen atau yang menyukai bahasa dan keahlian lainnya.

Yosephine gelisah. Ia seorang guru. Tapi sebenarnya tidak menikmati pekerjaan ini. Ia ingin bekerja di media massa sesuai dengan studi yang dipelajari selama bertahun-tahun di bangku kuliah. Usianya sudah 30 tahun. Ia merasa telat. Mustahil ada redaksi yang bersedia menerimanya.

Belajar dari pengalaman teman-temanku dan teman-temannya tadi, sebenarnya tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Latar belakang sebagai guru, sudah jelas akan menjadi nilai lebih kalau nanti melamar di media massa. Ia bisa masuk ke bidang anak, pendidikan, riset dan penerjemah bahasa. Apalagi, Yosephine ini jago berbahasa Inggris.

Pengalaman mengajar di sekolah merupakan kelebihan yang tidak banyak dipunyai para wartawan. Bukan hanya soal bahasa dan sastra, melainkan akses ke lembaga-lembaga sekolah, pasti akan menjadi bahan perhitungan pengelola media untuk menerimanya sebagai anggota tim redaksi. Kupikir, sekarang ini ia tinggal menunggu giliran saja. Giliran bekerja di media.

+++

Pesanan sudah datang. Asap mengepul dari daging sate yang tipis. Gurih. Aku perhatikan nasi gila pesanan Yosephine. Oh, nasinya tidak digoreng. Yang digoreng hanya bumbu-bumbunya. Lahap sekali ia makan. 


Tempat makanan ini memang khas. Semua gerobak berwarna sama. Penjualnya banyak yang cerewet. Kalau pengunjung sudah selesai makan, mereka hanya mau mengucapkan terima kasih kepada cewek-cewek sambil bermanis-manis.

Banyak Cara Belajar

Ada pekerjaan menarik di redaksi vivanews.com. Yaitu, menyediakan bahan untuk layanan berita bagi pelanggan salah satu operator telepon. Di kantor berita lain, kegiatan semacam ini digarap petugas khusus. Selain wartawan. Tapi di tempat kami, sementara ini semuanya dilakukan reporter sampai pemimpin redaksi.

Kami menghimpun berbagai laporan. Laporan yang kami peroleh, lebih dulu melewati tahap penyeleksian. Filterisasi dilakukan untuk memutuskan bahan mana yang layak untuk disajikan kepada pelanggan. Prosesnya sama seperti penyajian berita media massa. Redaktur baru mempublikasikan setelah rapat dewan redaksi.

Ternyata tidak ringan pekerjaan ini. Padahal, secara kuantitas, beritanya tidak banyak. Hanya dua laporan dalam satu kali pengiriman. Proses memburu bahan laporan itu menjadi seru. Sebab, proses redaksi belum berjalan norma. Sebagian besar reporter masih mendapat training di redaksi. Artinya hanya beberapa wartawan yang berada di lapangan. Pasti beda halnya kalau, kegiatan redaksi sudah normal, bahan berita sudah pasti melimpah. Dengan demikian lebih banyak pilihan.

Sekarang, semuanya dikerjakan secara gotong royong dan dinamis sekali. Kalau malam, para redaktur sibuk untuk saling menelepon. Tujuannya supaya memperoleh bahan buat distribusi pagi. Begitu juga menjelang siang. Kami ramai-ramai mengumpulkan bahan. Menelepon sana-sini. Lalu, memilah-milah. Semua dilakukan demi melayani para pelanggan.

Seperti yang terjadi kemarin. Redaktur berkali-kali menagih laporan karena rapat redaksi segera dimulai. Sebagian reporter dikerahkan untuk menelpon narasumber. Sedangkan teman-teman yang masih di lapangan, diwanti-wanti segera menyetor bahan berita. Alhasil, laporan-laporan terkumpul semuanya.

Selama ini, menjelang lounching kantor berita kami, biasanya jam kerja redaksi hanya Senin-Jumat. Jadi, dua hari libur. Dua hari untuk berpikir dan membuat usulan. Tapi, setelah mendapat pekerjaan baru itu,kami hanya libur satu kali, Sabtu atau Minggu. Tujuannya supaya bisa tetap mengumpulkan bahan berita untuk pengguna telepon.

Hitung-hitung, kegiatan itu merupakan bagian dari pemanasan sebelum kami benar-benar “perang” nanti. Biar badan dan pikiran bergerak. Dengan begitu, khususnya aku, menjadi tahu proses menyediakan layanan berita untuk pelanggan telepon.

Setelah redaksi berjalan normal, nanti, pekerjaan ini diambil alih petugas khusus.

Friday, August 22, 2008

Lemah

Orang lemah tidak pernah bisa memaafkan karena memberi maaf hanya dapat dilakukan oleh orang yang kuat.

Mahatma Gandhi (1869-1948), pemimpin spiritual India

Positif Thinking

Sekarang ini, redaksi kami sedang sibuk mempersiapkan penampilan situs berita. Selain itu, menempa sumber daya manusia. Rencananya, pada awal Oktober 2008 ini, website vivanews.com, sebelumnya dikenal dengan nama kanalone.com, sudah dapat menyajikan berita-berita faktual kepada pembaca di manapun berada.

Reporter-reporter mendapat pendidikan jurnalistik, khususnya cara bekerja untuk media massa jenis online. Selama tiga hari berturut, baik wartawan pemula maupun yang sebelumnya pernah bekerja di media, mendapat bimbingan dari mentor-mentor jurnalisme terbaik. Ada pengajar dari luar, ada juga teman-teman wartawan kawakan yang memberikan training.

Dari pagi sampai sore, para wartawan seperti dikandangkan. Hanya boleh keluar untuk makan atau membuang hajat. Selebihnya, mereka mesti mengikuti semua tahapan pelatihan jurnalistik. Hal ini penting untuk teman-teman. Sebab, dengan mendapat suntikan ilmu dan semangat, kelak bisa tumbuh berkembang dan lahir jurnalis-jurnalis militan.

Bukan hanya teknik meliput berita saja yang ditanamkan, melainkan mendapatkan keterampilan dasar fotografi dan kamera. Memang beruntung wartawan-wartawan ini. Kelak, mereka tidak sebatas menguasai keterampilan menulis dan wawancara. Mereka juga akan menjadi kameramen. Multi skill. Seorang wartawan harus bisa mengoperasikan semua alat.

Soal multi skill. Apabila selama ini foto berita hanya didominasi oleh wartawan foto. Atau menyorot narasumber dengan kamera hanya dilakukan oleh kameramen televisi. Nah, nanti, wartawan online ini sudah mengambil peran khusus itu. Luar biasa. Perkembangan media sekarang ini memang sangat pesat, khususnya di Indonesia tercinta.

Beberapa hari lalu, para pengampu kanal atau redaktur dan asisten redaktur juga mendapatkan suntikan semacam itu. Memperoleh penggambaran soal konsep media online yang baik dan bagaimana menyajikan laporan dengan memikat tanpa mengorbankan etika jurnalistik.

Lamanya tiga hari proses sekolah jurnalisme online. Menyenangkan sekali. Banyak ilmu baru yang diperoleh. Ternyata dunia media massa sedang bergerak dari barat ke timur. Mulai dari penerbitan secara cetak. Elektronik seperti radio dan televisi. Dewasa ini, jenis media itu disebut tradisional. Nah, muncul generasi baru atau new media, diantaranya online ini.

Ada semacam penyegaran kepala saat mendengarkan saat mendengarkan ceramah mentor tentang bahasa Indonesia jurnalistik. Tiap hari, sebenarnya kami bergulat dengan tata bahasa. Tetapi, karena sudah bertahun-tahun mendapatkan uraian soal itu, pembahasan dari “guru” bahasa ini menjadi air yang menghilangkan dahaga.

Soal kode etik jurnalistik. Pendidikan dasar ini kami dapatkan juga. Yang terakhir ialah ilmu yang baru sama sekali, setidaknya buat penulis. Teknik-teknik dasar kameramen. Kami mendapatkan gambaran secara umum. Membingungkan karena banyak istilah yang baru. Menarik karena mendapatkan ilmu penting, tapi gratis.

Soal lain lagi. media online memiliki banyak kelebihan yang tidak dimiliki oleh media tradisional. Misalnya, faktor kecepatan menyampaikan berita. Kemudian, soal ruang yang tidak terbatas. Maksudnya, tulisan sepanjang apapun, media online mampu memuatnya. Berbeda dengan jenis cetak. Cetak dibatasi oleh halaman kertas. Begitu juga dengan teve atau radio yang dikapling-kapling iklan.

Makanya, ketersediaan space itu harus dimanfaatkan secara betul-betul. Media online jauh lebih beragam informasinya. Mereka mampu mengambil alih peran media tradisional. Misalnya, tayangan gambar hidup bisa ditampilkan. Laporan model audio seperti radio, juga sudah bisa. Jadi, pembaca sebenarnya mendapat kemanjaan informasi. Ibarat, satu kayuh, tiga pulau terlewati.

Itulah media online. Semuanya tinggal keberanian dan kreatifitas pengelolanya. Mengelola media macam ini mesti orang-orang yang memiliki visi jauh ke depan. Harus yang mengetahui apa kebutuhan masyarakat terhadap informasi. Familiar dengan berkembangan ilmu dan teknologi. Dan tentunya tahu bagaimana menyuguhkannya dengan baik dan sederhana.

Tentu saja media itu harus kredibel. Itu kunci sukses mengelola media online. Pengertian sukses, bukan hanya soal berhasil menaikkan pageviews, melainkan mampu meraih kepercayaan publik terhadap karya jurnalistik. Ini baru balance. Kasihan betul kalau pencapaian keberhasilan mengelola media tidak seimbang antara kedua hal itu atau sengaja menubruk etika.

Ada satu yang kurang. Kerjasama tim. Wartawan dan redaktur harus mampu bekerjasama. Sama-sama percaya. Mengapa demikian,soalnya banyak kasus yang membuktikan bahwa kegagalan komunikasi antara kedua pihak ini, ternyata berimbas pada karya jurnalistik. Kerja asal-asalan atau asal membuat laporan. Asal Bapak Senang. Hasilnya ialah laporan-laporan yang buruk.

Manis betul melihat teman-teman reporter yang menunjukkan semangat saat mengikuti proses sekolah jurnalistik. Sebagian orang tahu, mendengarkan mentor berorasi selama berjam-jam, adalan pekerjaan yang melelahkan. Tapi, wajah mereka tetap antusias.

Selama proses pendidikan jurnalistik online ini, kami membangun komitmen. Yaitu, ingin mengembangkan situs berita ini menjadi lebih baik dan bermutu.

Thursday, August 21, 2008

Bertemu Romo Monald

ROMO Monald pr. Beliau seorang pastur yang bertugas di Kota Bekasi. Sudah cukup lama juga kami tidak bertemu muka. Terakhir kali ketemu, kalau tidak salah, saat hari perayaan Paskah di Pondok Ungu, Bekasi Barat, Kota Bekasi. Sudah sekitar dua tahun lalu.

Malam itu, aku ketemu beliau kembali saat sama-sama menghadiri acara mitoni atau perayaan tujuh bulan usia kandungan salah satu sahabat di Pondok Ungu. Di rumah Pak Ernest dan Bu Ernest. Beliau orang tua Mbak Prita Ernest. Mbak Prita ini istri dari Mas Wowok, kakaknya Yosephine. Yosephine Restu Retnaning, pacarku. Di tempat itu, romo memimpin misa.

Tuesday, August 19, 2008

Running

Dari sudut pandang penyajian berita, demikian mentor jurnalistik Hasudungan Sirait, media online yang berkembang di Indonesia sekarang, masih kurang bermutu. Salah satu pemicunya ialah penerapan konsep memberitakan dengan mengejar kecepatan. Karena itu, redaksi yang bersangkutan sering melupakan faktor keutuhan dan kelengkapan berita yang disajikan.

“Jangan atas nama kecepatan, kemudian mengorbankan kelengkapan, kedalaman dan lain-lain,” kata Hasudungan saat berdiskusi tentang perkembangan media massa di redaksi vivanews.com pada pertengahan Agustus 2008.

Para pengelola media online memiliki argumentasi sendiri terhadap kritik semacam itu. Dalam menyajikan berita, prinsip kelengkapan sebenarnya sudah terpenuhi. Hanya saja bentuknya lain. Unsur itu tidak disajikan dalam satu badan berita, melainkan secara intensif melaporkan perkembangan demi perkembangan.

Teknik ini sebenarnya mengandung bahaya, utamanya media online yang tergesa-gesa menerbitkan laporannya. Mereka berpotensi melakukan penyesatan informasi kepada pembaca. Misalnya, menulis berita peristiwa hanya berdasarkan informasi dari radio dan konfirmasi singkat, setelah dilakukan pengecekan di lapangan, faktanya tidak sesuai dengan informasi awal tadi.

Di samping itu, ada kasus yang dialami sebagian pembaca. Setelah membaca satu tema berita yang disajikan dengan terlalu banyak judul laporan, mereka pusing karena tidak paham. Sebab, teknik pemberitaan semacam itu sering tidak nyambung antara satu laporan dengan lainnya.

Ada juga teknik melaporkan dengan cara kredit berita. Caranya, sekarang melakukan wawancara kepada narasumber A. Bahan yang didapat kemudian sengaja dipecah-pecah menjadi beberapa seri. Padahal, sebenarnya kalau hasil wawancara itu ditulis menjadi satu badan berita, hasilnya akan jauh lebih lengkap, utuh dan tidak membingungkan pembaca. Strategi potong-potong itu dilakukan agar kuota terpenuhi.

Hasudungan mengatakan, sebagian media online juga kerap kali berspekulasi. Misalnya meliput aksi demonstrasi di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat. Baru terjadi orasi disertai dengan dorong-dorongan dengan aparat keamanan, ada wartawan yang melaporkannya telah terjadi bentrok fisik atau pukul-pukulan.

“Tapi, kalau disuruh ralat, alasannya tidak punya waktu. Ah, nanti, pembaca juga akan lupa. Dan mereka (wartawan) berharap terjadinya pukul-pukulan,” katanya.

Menurut Hasudungan, memang media online Indonesia secara intensif melakukan running berita. Tetapi, ia melilhat belum ada penerapan penulisan yang dilakukan secara komprehensif. Misalnya, tetap mempertahankan teknik itu, tetapi tetap ada tulisan yang utuh. Fungsi laporan ini untuk mengikat data-data sepotong-potong itu menjadi tulisan yang kuat, lengkap dan tidak membingungkap pembaca.

Dari Koran ke Multimedia

Media yang berkembang di dunia berawal dari versi cetak. Koran. Dari Koran kemudian muncul majalah atau tabloid. Perubahan ini terjadi karena pembaca memerlukan informasi yng sifatnya soft dan menghibur, tetapi lebih lengkap dan mendalam.
Setelah media cetak, baru generasi media elektronik. Ditandai dengan lahirnya radio. Tuntutan akan kelengkapan informasi terus terjadi. Lalu, lahir televisi.

Berbagai media itu disebut sebagai media tradisional. Dewasa ini, hadir pendatang baru bernama new media. Salah satunya, online media. Pendatang ini mempunyai potensi menjadi pemain utama. Sebab, paradigm media telah bergeser dari setelah terjadi perkembangan pesat di dunia teknologi informasi, dimana media massa lebih dapat berhubungan secara interaktif dengan pembaca. Kelebihan ini yang tidak dipunyai generasi sebelumnya.

Sekarang ini, memang media cetak masih menjadi mainstream, namun, media online merupakan kekuatan besar yang terus membayangi.

Sunday, August 17, 2008

Pilihan Sudut Pandang Media Online

Siang itu, temperatur suhu ruangan redaksi vivanews.com di Jalan Sudirman membikin badan menggigil. Peserta sekolah jurnalisme online tampak tetap antusias mengikuti setiap diskusi.

Salah satu diskusi menarik dalam satu sesi sekolah jurnalisme ialah penerapan gaya pemberitaan yang cenderung mengumbar sensasi. Ada istilah baru yang cukup populer untuk menyebut genre ini, yaitu jurnalisme penis.

Pengertian jurnalisme penis bukan sebatas alat vital. Melainkan lebih kepada pilihan pengelola media dalam menyajikan pemberitaan. Misalnya, mereka sengaja menabrak kode etik jurnalistik demi mengejar peringkat pembaca. Kemudian, pemberitaan tidak lagi peduli dengan ruang pribadi narasumber dan lain-lain.

Intinya ialah aturan-aturan yang mestinya tidak perlu dilanggar, tetap dilanggar demi meningkatkan grafik pembaca.

Pemimpin Redaksi Vivanews.com, Karaniya Dharmasaputra mengatakan tantangan media online ke depan ialah tetap memberitakan sebuah kasus secara faktual. Namun, berusaha keras menghindari pesan-pesan kepada publik yang bersifat spekulatif. Bahwa media memang memiliki otoritas untuk mendalami dan menyampaikan sebuah perkara kepada orang lain. Tetapi, media juga memiliki batas untuk bergerak. Batasannya ialah ruang private.

Misalnya dalam memberitakan kasus Mayangsari. Idealnya, media tidak perlu menjerumuskan diri untuk mendalami sampai detail pribadi yang bersangkutan. Bahkan, urusan ranjang keluarga Mayang malahan menjadi fokus.

Kasus yang dihadapi keluarga Mayangsari memang menarik untuk diketahui publik. Sebab, ada sisi yang dapat diambil dari pelajaran kasus itu. Tetapi, kadang muncul pertanyaan, apakah soal ranjang yang diuprek-uprek media itu memiliki manfaat buat publik. Bukankah itu sudah terlalu pribadi.

Soal ruang private ini menjadi perbincangan yang cukup seru. Ada wartawan bagian selebriti yang menegaskan bahwa tidak ada ruang private dalam melihat kasus semacam itu. Semua hal yang terkait Mayangsari memiliki unsur layak berita. Dan layak untuk diketahui publik.

Kemudian,ada penjelasan begini. Ada cara sederhana dalam melihat kasus-kasus semacam itu. Untuk menyiasati agar tidak terjebak ialah memilih memotret fenomena sosial di baliknya. Tujuannya supaya masyarakat dapat belajar dari pengalaman mereka. Intinya, kalau bukan untuk kepentingan publik, sebaiknya tidak perlu terlalu dikejar.

Salah seorang wartawan bertanya,Yang juga menjadi perlu perhatian “Orang pasti ingin tahu soal tokoh publik. Tapi tetap ada ruang private. Dalam mengejar berita, tolong private ini dihormati. Menguprek-uprek soal ranjang dan lain-lain untuk membuktikan Mayang bercerai, itu bukan kita (Vivanews). Tapi, soal terjadinya perceraian itu menarik dan tetap diberitakan,” kata Karaniya.

Ada contoh bagus yang disampaikan lagi. Saat Abdurrahman Wahid masih menjabat sebagai kepala negara, tersebar foto dugaan perselingkuhan dengan Ariyanti. Ada media yang dengan ulet menceritakan detail foto itu. Mulai dari deskripsi sampai yang spekulasi. Kasus ini digeber habis dari segala sisi.

Dalam pemberitaan ada yang sampai menggambarkan foto itu dengan tulisan. Abdurrahman hanya mengenakan celana pendek. Sedangkan Ariyani tidak memakai BH. Sangat detail. Orang awam akan bertanya-tanya, apa yang dapat diambil dari penceritaan yang sedemikian rupa itu.

Saat itu, majalah Tempo bukan tidak memiliki foto spekulatif itu. Tetapi, redaksi memutuskan untuk tidak menerbitkannya. Alasannya, gambar ini sudah menyangkut persoalan sangat private. Meskipun demikian, Tempo tetap menurunkan berita tentang kasus itu. Hanya saja tidak sampai mengumbar semua pernak-pernik pribadi yang bersangkutan.

Berbicara soal sudut pandang memang sangat menarik. Kakakku, Elang Papua, pernah mengatakan begini. Angle itu ibarat orang yang sedang berada di sebuah ruang gelap. Dia membawa senter dan mengarahkan terangnya ke sebuah titik. Di sana dia melihat bahwa ruangan itu hanya ada lemari dan bangku. Orang berikutnya melakukan hal yang sama. Setelah keluar, ia bercerita bahwa di kamar hanya ada jam dinding dan cermin.

Makanya dalam dunia jurnalistik ada kode etik. Etika ini bekerja untuk membatasi ruang gerak wartawan tentang bagaimana idealnya melakukan liputan dan mengemas berita.

Friday, August 15, 2008

Ngobrol Tentang Media Online

Persisnya di samping gedung Sampoerna Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Selatan, kantor redaksi vivanews.com (kanalone.com) berada. Siang itu, di salah satu ruang lantai 31 gedung Standard Chartered, tengah berlangsung sekolah wartawan online. Semua penanggung jawab bidang liputan hadir, termasuk asisten redaktur. Pemimpin Redaksi Karaniya Dharmasaputra yang memimpin studi menarik ini.

Karaniya mengatakan, sebenarnya tatap muka ini bukan untuk melatih jurnalistik. Sebab, teman-teman yang berkumpul ini rata-rata sudah cukup lama berkecimpung di bidang kewartawanan. Artinya sudah tidak perlu mendapat pendidikan secara khusus tentang jurnalisme. Hanya saja, mereka berasal dari berbagai macam “partai” yang tentunya di kepalanya membawa ideologi yang berbeda-beda.

Ada teman-teman yang berasal dari koran harian pagi, koran harian sore, majalah, tabloid, radio dan televisi serta media online. Keragaman ini merupakan salah satu kelebihan yang dimiliki vivanews.com. Lebihnya ialah apabila visi dan misi teman-teman ini berhasil bersinergi menjadi satu kesatuan, maka hasilnya sungguh luar biasa baik bagi perkembangan media online ini.

Sekarang, sumber daya manusia yang tersedia sudah lebih dari cukup. Lantas, pertanyaan mendasar sekarang ialah media ini akan dibagaimanakan dan sebenarnya siapa jatidiri kita. Berangkat dari tantangan itu, masing-masing wartawan mesti bisa bersinergi dan mengeksplorasi keahliannya. Tapi, tetap harus berjalan sesuai kode etik jurnalitik. Dengan demikian, ke depan media ini pasti akan maju.

Viva News
Sesekali, jalannya pertemuan ini sangat serius. Tapi, di lain kesempatan bisa juga tertawa. Ngomong-ngomong soal nama media. Sekarang ini kanalone.com sudah berubah nama menjadi vivanews.com. Ada sebagian teman yang mengatakan, kok, memberi nama mirip dengan merk kosmetik terkenal pada era 1980-an.

Lalu, ada yang menambahi begini, jangan-jangan pengelola media ini sedang mendapat tugas untuk mengangkat merk Viva itu kembali. Maklum, masyarakat sekarang sudah banyak beralih dari Viva ke kosmetik bermerk terkenal lainnya.
Kata Karaniya, ya tidak apa-apa. Dulu saat awal-awal Tempo berdiri juga sempat dikenal sebagai merk pabrik obat, Tempo Scan Pasific.

Nurlis Meuko menimpali sambil terkekeh-kekeh, malah saat itu, nama media Tempo juga pernah dikatakan sebagai korannya tukang obat atau koran obat. Tapi, wajar saja kalau belum familiar. Lama-lama nama vivanews yang satu group dengan ANTV dan TVONE ini pasti akan diterima dan tidak asing lagi bagi orang.

Alasan sebenarnya ialah terletak pada nuansa nama itu.

Pergerakan Media
Di Amerika Serikat, masyarakat di sana sudah sangat menikmati ketersediaan fasilitas internet. Mulai dari memesan Pizza, membeli buku dan kegiatan-kegiatan rutin lainnya, mereka melakukannya dengan komunikasi via internet. Negeri Paman Sam ini memiliki jumlah pengguna internet yang sangat tinggi.

Begitu juga mengenai kebutuhan media massa. Masyarakat yang menetap di negara barat, umumnya lebih banyak memanfaatkan media online untuk memenuhi kebutuhan informasi. Media tradisional, seperti koran dan majalah, bukan lagi primer.

Bahkan, media New York Time cetak kabarnya akan ditutup. Mereka akan memfokuskan pengelolaan di New York Time online. Sebab, tingkat pelanggan versi online jauh lebih banyak dibandingkan cetak.

Perkembangan new media ini sudah bergeser ke Asia Tenggara. Dan khusus di Indonesia pun sudah memulainya. Melihat pergerakan perkembangan kebutuhan akan jaringan berita di dunia maya dewasa ini, kata Karaniya, media internet akan berada di posisi terdepan di masa yang akan datang.

Memang sudah terjadi pergeseran paradigma kebutuhan media, tetapi tingkat kebutuhan pembaca terhadap berita-berita dari media jenis ini masih jauh apa dari yang telah dicapai oleh negara-negara maju.

Ruang inilah yang sedang dikembangkan oleh pengelola new media Indonesia. Yakni, mengenai bagaimana membangun media yang tetap mengedepankan kredibilitas di tengah arus jurnalisme yang sedang mengalami perubahan. Ada satu catatan yang sangat penting yang disampaikan Karaniya dalam mengelola media online ini.

“Jangan justru menerapkan jurnalistik yang lebih rendah dari media tradisional. Mestinya, revolusi media ini bergerak untuk melebihi generasi media sebelumnya, bukan justru makin rendah,” kata dia.

Perubahan Peran Jurnalis
Dulu, wartawan yang berkerja di sebuah media dapat menulis bidang apapun. Misalnya, mulai dari seni, makanan, musik sampai politik. Wartawan mendapat tugas menggarap semua berita yang ada. Tetapi, sekarang ini mestinya konsep generalis seperti itu sudah berubah. “Saya kira tidak bisa lagi untuk sekarang ini, karena dunia makin komplek. Ilmu pengetahuan terus berkembang,” kata Karaniya.

Pengelola media di Indonesia sudah saatnya secara serius mencari bakat terpendam yang dimiliki wartawannya. Kemudian memfokuskan wartawan yang bersangkutan untuk menangani bidang yang menjadi keahliannya. Misalnya ahli di bidang bursa, maka akan dikhususkan menangani kasus-kasus bursa.

Sekali lagi, kata Karaniya, wartawan yang menulis itu mestinya merupakan orang yang ahli dibidangnya masing-masing. Model macam ini biasanya disebut jurnalis spesialisasi. Wartawan diberikan kesempatan untuk mengeksplore dirinya. “Sebaiknya kita memiliki keahlian. Kita mengeksplore diri kita,” ujar Karaniya.

Ia berharap ke depan, tidak ada jurnalis yang ditertawakan pembaca kritis karena karya tulisnya tidak matang. “Kadang banyak karya jurnalistik diketawakan orang karena jurnalis itu tidak tahu tentang banyak hal,” tutur Karaniya.

Singkat cerita, pertemuan siang itu berhasil menambah wawasan. Tetapi, sebenarnya yang dibicarakan bukan hanya seputar paradigma jurnalisme online saja, melainkan prinsip-prinsip media online juga. Tapi, soal ini akan diceritakan berikutnya dalam blog ini.

Thursday, August 14, 2008

Keluarkan Ide

Lebih baik memiliki sejumlah ide meskipun sebagiannya salah, daripada harus selalu benar namun tidak memiliki ide apa pun.

Edward de Bono, Penulis Inggris

Wednesday, August 13, 2008

Wartawan Online Dirampok Kesempatannya

Sebagian besar wartawan online tidak menulis sendiri saat melaporkan berita kepada redaksi, melainkan tinggal menyalin mentah-mentah apa kata narasumber yang ia dengar saat terjadi wawancara. Berbeda dengan pada umumnya bekerja di media cetak, reporter memiliki kewajiban untuk membuat karya tulis sehingga mereka terlatih untuk menjadi wartawan yang mampu menulis.

Mengapa bisa berbeda begitu? Sebab, sebagian pengelola situs berita di Indonesia tidak mengharuskan awaknya melaporkan berita secara tertulis. Mereka sangat membutuhkan kecepatan dalam menerbitkan berita di internet. Makin cepat, mereka merasa bisa memenuhi keinginan user atau pembaca. Kadang-kadang, apabila laporannya cepat dan mendahului media kompetitor, ada rasa bangga juga.

Ngomgong-ngomong soal enulis, sesungguhnya wartawan yang bekerja di portal berita telah mengalami kerugian besar, utamanya soal peningkatan kemampuan menyusun berita atau menulis laporan. Padahal, kesempatan melatih disiplin diri menulis berita, sebenarnya terjadi pada saat mereka membuat sebuah laporan.

Makin keseringan menyusun bahan berita menjadi laporan utuh, maka kemampuannya pasti bertambah terus. Tapi, dengan adanya aturan pengelola media online yang hanya memprioritaskan kecepatan itu, telah mengurangi porsi latihan bagi wartawan yang bekerja di tempat itu.

Seperti apa proses redaksi online melakukan perampokan terhadap kesempatan wartawan berlatih menyulis berita? Wartawan mendapat tugas meliput di sebuah lembaga. Misalnya Dewan Perwakilan Rakyat. Di sana, banyak anggota dewan yang layak menjadi narasumber. Redaksi portal berita sering tidak sabaran untuk menerima laporan dari lapangan, apalagi anggota dewan itu berrbicara kasus yang sedang panas.

Untuk mempersingkat waktu, biasanya redaktur langsung meminta bahan mentah atau asli kutipan-kutipan narasumber. Jadi, wartawan tidak perlu bersusah payah menulis, sebab semua bahan sudah diambil redaktur dan diramu sendiri olehnya. Pemotongan rentang waktu dengan strategi seperti ini memang mempersingkat proses.

Bahkan, sebagian wartawan media online ada yang diminta untuk mempersingkat waktu. Misalnya saat berlangsung konferensi pers tentang hasil perkembangan kesehatan mantan Presiden Soeharto di Rumah Sakit Pusat Pertamina, mereka tinggal meletakkan telepon genggam di depan alat pengeras suara. Nanti, suara pembicara dapat secara langsung didengar redaktur di kantor, sekaligus menranskripnya. Setelah itu, redaktur sendiri yang akan menyusun laporan.

Rugi sekali menjadi wartawan yang model demikian, utamanya mereka yang masih tahap belajar. Kesempatan latihan menulis telah dikurangi secara sistematis demi mengejar kecepatan. Untuk mengejar kehilangan kesempatan itu, ia mesti ekstra keras menempa diri sendiri.

Satu hari, aku pernah berbincang-bincang dengan teman. Ia juga gelisah dengan perkembangan media seperti itu. Tapi, teman ini mengatakan dirinya tidak bisa berbuat banyak, kecuali mengikuti saja kemauan redaksi. Dituntut cepat. Dan cukup dengan laporan data apa adanya tanpa ada kesempatan menyusunnya. Hampir semuanya seperti terburu-buru.

Kompetisi kecepatan media online di Indonesia gampang sekali diikuti. Misalnya bisa dengan membandingkan Kompascom, Detikcom dan Okezonecom. Hampir semua berita yang dipublikasi hampir-hhampir sama, baik gaya dan sudut pandangnya. Hal ini terjadi karena masing-masing tidak menginginkan kebobolan berita. Apabila yang satu ada berita tentang A, maka yang lain akan mengejar itu juga.

Lalu, aku bilang ke temanku tadi yang nampaknya berusaha tetap semangat agar dirinya tetap bisa latihan menulis seperti bekerja di media cetak. Bahwa tidak semua laporan mesti dilaporkan secepatnya. Pasto ada yang bisa dibuat tulisan feature atau ulasan atau stok. Nah, bahan berita yang tidak harus cepat disampaikan itu mesti untuk latihan. Ia mesti menulis sendiri bahan itu dan setelah tersusun, baru memberi tahu kantor.

Ada juga cara lain. Tapi mesti agak nakal sedikit. Misalnya, apabila kantor menelepon berkali-kali agar segera melaporkan data secara mentah-mentah supaya bisa segera dipublikasi, maka ia jangan menerima telepon itu dulu sampai berhasil menyusun berita. Setelah itu, ia menelepon balik redaksi dan melaporkan berita jadi itu. Paling-paling redaktur akan ngambek-ngambek.

Kasihan juga dengan beberapa teman dari sejumlah media online. Mereka mengaku masing sangat sulit menyusun berita yang sederhana sekalipun, padahal rata-rata teman itu sudah bekerja di media selama delapan bulan. Salah satu faktor yang menghambatnya ialah cara kerja seperti tadi. Dia sudah menjadi korban perampokan kesempatan berlatih menulis.

Tuesday, August 12, 2008

Media Online Rentan Kesalahan

Menyusun laporan untuk media online yang mempunyai konsep terlalu terburu-buru mempublikasikan berita sebenarnya rentan dengan tingkat kesalahan. Mulai dari salah mengeja, tanda baca, bahkan salah menulis nama narasumber. Bukan hanya itu saja, kesalahan dalam menyampaikan laporan juga sering sekali terjadi.

Mengapa rentan dengan kesalahan? Umumnya wartawan media online di Indonesia menyampaikan bahan laporan ke redaksi masing-masing dengan melalui saluran telepon. Dari tempat kejadian peliputan, mereka melaporkan bahan pemberitaan itu masih dalam bentuk data mentah atau benar-benar kutipan langsung dari narasumber.

Laporan mentah itu diterima oleh asisten redaktur yang bertugas menyusun bahan-bahan itu menjadi berita. Selama proses ini berlangsung, resiko kesalahan itu terjadi. Kadang-kadang, jaringan telepon yang suka ngambek membikin suara reporter terdengar lemah sehingga salah dengar. Bisa juga karena penerima telepon merasa sudah mengetahui secara persis maksud dari data itu sehingga tidak mendiskusikannya terlebih dulu dengan reporter.

Karena ingin mengejar kecepatan dalam memposting laporan, maka orang redaksi hanya memiliki waktu yang sangat terbatas untuk cross check data. Ketika berita sudah disajikan di website, saat itulah kesalahan-kesalahan itu disadari. Untungnya, sistem media online memungkinkan untuk secepat mungkin menarik kembali berita itu dan meralatnya.

Ada teman yang pernah bercerita begini, suatu hari, ada anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang mencak-mencak karena pernyataannya berbeda jauh dengan yang ditampilkan di situs berita. Entah kebetulan atau bagaimana, saat ia ingin menunjukkan kesalahan penulisan kepada wartawan melalui komunikatornya, ternyata beritanya sudah mengalami pembetulan dari redaksinya. Wartawan tertawa-tawa karena anggota dewan itu tidak bisa menunjukkan plintiran berita itu seperti yang ia katakan sebelumnya.

Usut punya usut, itulah kecanggihan media online. Pengelolanya dapat segera meralat apabila terjadi kesalahan. Memang canggih. Tapi, dikemudian hari, narasumber ini mulai antipati dengan wartawan-wartawan dari media itu.

Ada juga narasumber yang baru menemukan kesalahan setelah sekian lamanya. Setelah itu, ia menuntut. Yang berat lagi ialah sumber berita yang baru menemukan plintiran ketika membaca berita hasil wawancara yang terakhir. Karena penasaran, ia mengumpulkan semua berita hasil wawancara dengan dirinya, ternyata hampir semuanya salah dan ia marah kepada media itu.

Tuntutan kecepatan terkadang juga menjebak wartawan. Biasanya adalah berita-berita peristiwa. Misalnya saja informasi mengenai kebakaran di sebuah pertokoan. Redaksi memaksa diri untuk menurunkan laporan itu, meskipun sesungguhnya data yang dimiliki sangat minim dan tidak akurat. Hal ini diputuskan karena konsep mengejar kecepatan itu. Dan sebenarnya, ini sangat beresiko.

Itulah salah satu resiko sekaligus salah satu tantangan yang mesti dihadapi para pengelola media onliner. Ada wartawan yang mengatakan begini, media online memang memang memiliki ciri khas memberitakan lebih cepat dibandingkan media tradisional. Tapi, hal itu bukan alasan membenarkan apabila terjadi kesalahan berita. Sebab, apabila sering salah, kredibilitas menjadi taruhannya.

Media tradisional seperti koran, memiliki waktu lebih panjang untuk melakukan riset data, konfirmasi dengan narasumber, Sebab, penyajian berita media jenis ini baru keesokan harinya. Sementara media online umumnya harus saat itu juga.

Ada cara yang sering dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya kesalahan. Misalnya begini, setelah data mentah itu disusun oleh penulis, akan mengalami tahap koreksi. Verifikasi berita dilakukan untuk kedua kalinya oleh editor atau redaktur.

Cara yang biasanya ditempuh oleh korektor ialah dengan mengoptimalkan situs google, buku atau ingatan. Misalnya ia masih meragukan penulisan nama, jabatan, alamat dan lain-lain, biasanya mereka akan mengecek lagi lewat sarana itu. Setelah itu, diharapkan sudah tidak terdapat kesalahan lagi dalam berita yang diolah berdasarkan laporan mentah itu.

Walaupun proses redaksi sudah melewati tahapan itu, kadang-kadang berita yang diterbitkan masih ditemukan kesalahan. Kesalahannya justru terletak pada substansi pernyataan narasumber. Seperti narasumber anggota dewan tadi, merasa tidak ngomong A, tapi dalam tulisan wartawan munculnya F.

Ada satu ilmu menulis untuk media online yang diperoleh dari redakturku, Wenseslaus M. Kadang-kadang kasus yang hendak ditulis itu sangat mbulet atau rumit. Cara sederhana agar penulis tidak ikut-ikutan dibikin pusing dan mabuk ialah dengan memetakan pikiran dan perkaranya secara sederhana dulu. Supaya tidak panjang lebar, tulis perkembangan terbarunya, lalu review, setelah itu kembali lagi ke kasus utama.

Monday, August 11, 2008

Hidup Tanpa Apapun

Suatu kehidupan yang penuh kesalahan tak hanya lebih berharga namun juga lebih berguna dibandingkan hidup tanpa melakukan apapun.

George Bernard Shaw

Sunday, August 10, 2008

Keadilan

Kendati kapal akan karam, tegakkan hukum dan keadilan!

Baharuddin Lopa (1935-2001), mantan Jaksa Agung RI

Friday, August 8, 2008

Kebaikan dan Kesalahan

Ada dua hal yang harus Anda lupakan: Kebaikan yang Anda lakukan kepada orang lain dan kesalahan orang lain kepada Anda.

Sai Baba

Tuesday, August 5, 2008

Konsepnya Tak Hanya Kejar Kecepatan

Dalam rapat evaluasi kerja untuk desk politik, aku dan teman-temanku melaporkan hasil liputan hari itu. Dari istana kepresidenan, aku mendapat laporan tentang pernyataan Paskah S dan MS Kaban kemudian sikap presiden terhadap kasus dua menterinya yang diduga ikut menerima dana BI itu. Satu tema berita, tapi ada tiga narasumber.

Salah satu redakturku menanyakan kepada redaktur yang lain. Soal apakah laporanku itu dijadikan dalam satu tubuh berita dengan mengikuti gaya media cetak atau menjadi beberapa bagian laporan berdasarkan siapa dan mengatakan apa atau sama dengan media online lain.

Sejak awal berdiri, media kanalone memiliki konsep pengemasan berita yang tidak sama dengan media online lain. Ketika media-media saling berlomba-lomba adu cepat dan banyak, kanalone tidak ikut-ikutan. Tapi, redaktur yang bertanya itu sepertinya masih bingung dengan patokannya.

Aku mempunyai keuntungan sendiri karena pernah bekerja di media online dan cetak. Kupikir karena ini media online, tetap saja harus membuat laporan pendek seperti yang dikembangkan situs yang lain sehingga beritanya running. Tapi, baik juga dibikin laporan utuh sehingga pembaca mendapat informasi yang lengkap.

Redaktur yang lain mengatakan, laporanku itu bisa dipisah-pisah. Meskipun kerangka berpikir kanalone tidak bersaing kecepatan, bahan berita kasus ini lebih baik dijadikan beberapa bagian walaupun satu tema. Sebab, nanti akan ada tim tersendiri yang melakukan penulisan panjang dan utuh untuk mengkaitkan data-data yang kupunyai tadi.

Pada kesempatan itu juga dilontarkan masalah berita yang menyangkut berita yang mengandung tudingan terhadap seseorang. Apakah sebelum ada konfirmasi dengan yang bersangkutan kanalone dapat memuatnya. Pertemuan itu menyepakati, berita dapat dimuat setelah ada tanggapan. Untuk mendapatkan konfirmasi ini, redaktur memiliki tugas menelpon tokoh terkait.

Pada sisi lain, ada pendapat dari peserta rapat bahwa bagaimanapun juga media ini mesti cepat memuat berita. Misalnya data yang belum lengkap tadi sangat seksi dan penting untuk segera diketahui publik, tapi perlu konfirmasi. Nah, untuk kasus semacam ini, apabila yang memberikan pernyataan adalah pejabat publik seperti KPK atau menteri, maka harus dimuat.

Tapi, pada prinsipnya, media ini tidak akan berkompetisi dengan media online lain dalam hal kecepatan. Melainkan akan mengejar kelengkapan. Yang berarti membayarnya dengan terlambat memposting berita.

Rapat ini sangat menarik. Banyak hal baru yang kuperoleh sejak belajar menjadi wartawan online di Jakarta. Diantara yang akan menjadi kekuatan media ini ialah riset. Misalnya ada berita tentang pernyataan presiden soal korupsi. Ada tim khusus yang bertugas untuk mendalaminya dengan data-data terkait dengan statement presiden.

Yang akan dikembangkan lagi ialah gabungan antara menulis lengkap dan panjang dengan laporan singkat gaya online. Data-data dari laporan wartawan yang masih sepotong-sepotong memang tetap dimuat seperti halnya situs berita yang sudah ada. Tapi, nanti akan ada penulis yang mengaitkan data itu menjadi tulisan yang utuh.

Monday, August 4, 2008

Skill Wartawan Mesti Berubah

Wartawan Indonesia dewasa ini sudah dituntut untuk melakukan perubahan. Tidak hanya memiliki kemampuan membuat laporan tertulis saja ke redaksi, melainkan mampu mengoperasikan kamera video dan membacakan berita. Singkat cerita, insan pers harus memiliki kemampuan di bidang yang lainnya. multi skill.

Pada saat briefing awal Agustus 2008 lalu di redaksi media online, Kanalonecom, Wakil Pemimpin Redaksi M Teguh mengatakan bahwa kerangka berpikir wartawan-wartawan yang berasal dari media cetak yang tergabung dalam situs berita ini harus berubah. Kebiasaan bekerja di cetak dengan online sangat berbeda.

Wartawan-wartawan yang masuk ke media portal grup Bakrie ini mendapatkan training jurnalistik kamera di stasiun ANTV. Dengan demikian mereka dapat sekaligus liputan dengan kamera dan liputan secara tertulis. Hasil liputan audio visual itu nanti akan
dipublikasikan di salah satu kanal.

Kehadiran kanalone di sidang pembaca ingin memberikan pencerahan melalui berita yang disajikan. Pengelolaan situs berita ini disepakati untuk tidak mengekor style jurnalistik media-media online di indonesia yang sudah ada lebih dulu. Disebut ingin memberikan pencerahan karena akan tetap menggunakan gaya elegan dalam pemberitaan.

Menurut Teguh, tidak ada gunanya membangun kanalone ini dengan mengikuti jejak media online Indonesia lainnya. Karena memang sudah kalah dari segi start-nya.

Sebagian wartawan yang direkrut ke dalam redaksi kanalone ini terdiri dari orang-orang yang sudah memiliki pengalaman di media massa terkemuka. Tidak sedikit diantaranya yang sudah pernah bekerja di media online. Gabungan orang-orang itu dianggap sebagai tim yang telah memiliki prestasi.

Perubahan yang dituntut dari wartawan bukan hanya dari skill, melainkan prinsip bekerja yang pokoknya hanya pada satu media. Banyak wartawan yang tidak berkenan hatinya apabila dimintai bantuan oleh media lainnya yang masih satu group. Kasus semacam ini kerap terjadi di media group.

Penulis pernah mengalaminya saat masih bekerja di okezonecom. Situs ini merupakan group Mediacom. Setiap kali rapat redaksi, selalu ditekankan bahwa kami bekerja di group. Kami bersinergi dengan Sindo, Trijaya, GlobalTV, TPI, RCTI dan lainnya. Kenyataannya baru sekitar 2 persen saja dari jumlah wartawan yang bersedia memberikan laporan ke okezonecom.

Banyak sekali alasan mengapa hal itu terjadi. Biasanya wartawan sendiri yang keberatan, honornya yang dianggap terlalu kecil. Kemudian masalah prinsip ekslusif dari wartawan itu sendiri. Tentunya, kalau data yang diperolehnya dipublikasikan di online saat itu juga, dia tidak akan memiliki berita ekslusif lagi. padahal media cetak baru akan menerbitkan keesokan harinya. Nah, ini akan menjadi problem bagi
media yang menerapkan sinergi redaksi.

Kembali ke masalah pergeseran pola berpikir yang harus dilakukan wartawan. Menurut Pemimpin Redaksi Kanalone Karaniya D, paradigma bekerja di media sekarang sudah maju. Melaporkan berita, bukan hanya dengan teks. Tapi dipadu dengan skill audio visual. Nah, menyatukan berbagai skill itu menjadi satu kesatuan merupakan tantang yang dihadapi para pengelola media online dan awak redaksi.

Saturday, August 2, 2008

Jurnalisme "Online" Penis

Tawaran traffic terhadap pengemasan berita dengan gaya penulisan semi porno yang sangat menggiurkan. Penulis tidak bermaksud memukul rata semua pemberitaan selalu menerapkan teknik porno. Tapi ada sebagian media online terkemuka yang mengemas berita-berita tertentu cenderung didasari semangat menonjolkan unsur porno, dibanding manfaat bagi kepentingan publik. Dapat dikatakan bahwa media-media itu sudah terlarut untuk menerapkan jurnalisme gaya itu.

Disebut semi porno. Karena gaya tulisannya sudah vulgar betul. Misalnya ada salah satu media begitu antusias mengulas soal bagaimana memperpanjang bagian vital kaum Adam. Penis. Deskripsi tulisan pada bagian intim begitu vulgar. Bahkan, seringkali media online juga menyertakan gambar-gambar adegan pelukan dengan foto setengah telanjang sebagai pendukung tulisan. Strategi ini memang berhasil memancing syahwat orang lalu akan mengklik berita itu.

Ketika masih kuliah jurnalistik dulu, mahasiswa sering menyelenggarakan sesi pembahasan soal unsur berita foto atau tulisan yang menyerempet-nyerempet cabul dan porno. Singkat cerita teman-teman diskusi membuat kesimpulan bahwa berita yang tidak memiliki manfaat buat publik, tidak perlu dipublikasikan. Dan media yang tetap mengedepankan kredibilitas tentu tidak tergiur dengan berita-berita semi macam itu.

Sebagai contoh kasus dugaan suap yang diterima anggota DPR. Ada media online yang gencar menerapkan jurnalistik semi porno dalam melihat kasus itu, yakni membahas sampai urusan rumah tangga dan ranjang hingga sedetail-detailnya. Yang terjadi ialah arah berita sudah tidak pada substansi penyelesaian korupsi itu sendiri.

Pemimpin Redaksi Kanalone.com, Karaniya Dharmasaputra, menyebut media yang menempuh strategi penjualan berita-berita semacam itu sebagai jurnalisme penis. Menurutnya, soal ketentuan dalam mengemas berita yang layak dipublikasi, memang masih menjadi perdebatan. Namun, patokan sejauh ini diterima oleh umum ialah bahan berita itu mestinya bermanfaat bagi masyarakat.

Pada saat orasi di depan awak redaksi yang baru masuk awal Agustus 2008 lalu di lantai 31 gedung Standard Chartered, Karaniya mengatakan, kehadiran Kanalonecom ini bukan untuk mengamini gaya jurnalistik online yang telah lahir lebih dahulu di Indonesia. Melainkan untuk melawan gaya semacam itu. Ingin membuktikan bahwa perkembangan bisnis media online tidak harus dengan menerapkan jurnalisme penis.

Kredibilitas harus tetap dibangun. Hal ini tujuannya untuk mengembangkan media. Soal itu terkait dengan citra. Dengan demikian, masyarakat akan menerimanya sebagai media yang layak menjadi acuan, dipercaya, berguna dan memberikan pencerahan.

Lalu, apabila bicara soal daya tarik investor, tentunya mereka akan sangat berminat menanamkan modal atau memasang iklan di media online yang memiliki pencapaian reputasi yang baik. Bukan hanya itu saja, para pengambil kebijakan pasti akan membaca dan menjadikannya referensi untuk perubahan atau justru sebaliknya.

Apabila ingin serius untuk memajukan jurnalistik tanpa jurnalisme penis, tentu bayaran yang mesti dikeluarkan akan sangat mahal. Ketika semua pengelola media online tahu bahwa jurnalisme penis merupakan salah satu kunci pendongkrak atau cara meningkatkan pageviews media bersangkutan.

Kemudian, bila pemain baru media online tidak ikut-ikut menerapkannya, boleh jadi akan kehilangan kesempatan. Kue jumlah pembaca akan sedikit. Padahal jumlah pembaca yang dimiliki media berpengaruh terhadap keputusan untuk memasang iklan di sana. Tapi, cita-cita Karaniya memang luar biasa. Dia mengatakan tidak akan mengekor gaya
seperti itu.

Dulu salah satu pemimpin redaksi media online yang juga pemimpin redaksi koran di grup media besar pernah menyatakan kebanggaannya dengan gaya judul tulisan gaya "jurnalisme penis." Gaya tulisan semacam ini menurut dia mampu memancing calon pembaca untuk mengklik berita. Dengan demikian strategi memancing orang mengklik berita macam ini mesti dipertahankan.

Ada juga pendapat yang menyatakan demikian. Tanda bukti bahwa jualan berita atau pageviews laku keras ialah ketika judulnya diklik user. Makin sering diklik, itu pertanda positif. Persoalan kualitas berita itu nomor terakhir. Yang penting traffic naik. Traffic tinggi merupakan modal untuk menarik pengiklan ke media yang bersangkutan.

Apabila melihat survei yang diselenggarakan Alexa di portal tersebut, biasanya memang berita dengan judul-judul nyrempet-nyrempet ke "jurnalisme penis" selalu menduduki peringkat pageviews tertinggi. Artinya, sebagian besar pembaca menyukai gaya pemberitaan semacam itu. Tentu saja sebagian besar pengelola media online tidak menyia-nyiakan potensi user seperti itu.

Bukan hanya soal jurnalisme penis yang menentukan reputasi. Penulis masih ingat betul, sebagian besar wartawan yang ditemui di lapangan, selalu bertanya-tanya soal akurasi dan kejujuran pengemasan berita di media Okezone dan Detik, bahkan Kompas dan beberapa situs berita lainnya.

Sebaliknya, para wartawan tadi langsung mempercayai atau tidak bereaksi negatif setelah membaca karya-karya jurnalistik yang dipublikasi redaksi media semacam Tempointeraktif, Antara, TMC, Infotol dan lain-lainnya.

Setelah ngobrol sana-sini, ternyata faktor yang memicu pembaca tidak lekas percaya dengan situs berita tertentu ialah kecenderungan menulis berita dengan mencampur adukkan antara fakta dan opini, bahkan sering memaksakan informasi yang tidak jelas narasumber dan sepotong-potong. Tidak akurat dan banyak kesalahan.

Baiklah kalau begito. Mari melihat perjalanan situs Kanalone ke depan. Sejak awal media yang diawaki wartawan-wartawan pindahan dari Okezone, Inilah, Detik, Tempo, Suara Pembaruan, Investor Daily dan banyak lagi telah melakukan kampanye menjunjung tinggi kredibilitas jurnalistik. Dengan melawan logika jurnalisme penis, apakah media ini akan berkembang dan berhasil menjawab kemunduran ilmu jurnalistik? (baca juga: Sensasi Ngeblog)