Thursday, July 30, 2009

Petualangan Miss Curcol

“Pengen nonton film UP,” kata Miss Curcol di status Yahoo Messengernya siang hari itu. Kuperhatikan status yang sepertinya menegaskan penasaran betul untuk menyaksikan film di bioskop 21 itu terpampang seharian.

Dalam hati kecilku bilang, betul Miss Curcol, kamu sebaiknya segera menonton film animasi itu di layar lebar. Sebab kalau tidak, pasti akan penuh penyesalan. Ini memang film untuk segala umur, tetapi aku yakin Miss Curcol akan betul-betul menikmati isinya.

Kemudian keesokan harinya, aku mengirim pesan kepada Miss Curcol lewat YM. “Kamu sudah menonton UP,” kataku. Aku ingin bertukar pengalaman tentang film itu dengan dia. Soalnya, aku paling suka mendengar refleksi orang lain atas film-film yang baru mereka tonton.

Tujuanku agar referensi pengetahuan tentang makna yang disampaikan cerita film akan menjadi kaya raya oleh pengalaman-pengalaman yang orang lain bagikan padaku.

“Belum, baru malam ini mau nonton,” jawab Miss Curcol. Aiiih, kupikir tadinya beliau sudah menonton. Rupanya belum. Mungkin dia tidak punya teman yang diajak melihat film sehingga ketunda. Sebenarnya pada waktu dia pasang status itu, aku mau menawarkan diri untuk ikut. Tapi karena malu, terpaksa kuurungkan niat menemaninya ke bioskop.

Kubilang ke Miss Curcol bahwa aku sudah menonton di bioskop Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, pada malam sebelumnya. Setelah kukatakan itu rasa penasarannya untuk melihat film seperti menjadi-jadi. “Bagus ya,” kata dia.

“Aku yakin kamu akan menangis sambil menonton film ini,” kataku.

Kuceritakan sedikit soal UP. Ini bukan sembarang cerita. Film UP ini, antara lain, ingin menjelaskan kepada orang dewasa bahwa mereka haruslah memahami betul dunia anak-anaknya. Semasa kecil menuju pertumbuhan dewasa, anak-anak itu punya mimpi-mimpi, cita-cita, yang diolah melalui sudut pandang anak kecil.

Anak-anak adalah identik dengan kepolosan, keluguan, rasa tidak berdosa, dan juga keras kepala. Dan dunia mereka senantiasa penuh semangat hidup dan berwarna sehingga mengalahkan logika orang dewasa. Nah, di situlah sering bentrok dengan orang tua.

Sepanjang film ini, kataku kepada Miss Curcol, penuh dengan warna kelucuan, kesetikawanan, konsistensi, perdebatan, dan konflik ketika manusia harus membuat sebuah keputusan di antara dua pilihan yang sama-sama menyentuh kemanusiaannya.
Aku tidak mau cerita detail-detail kepada Miss Curcol. Soalnya kalau diceritakan, aku khawatir kejutan-kejutan dan emosi dalam film ini tidak lagi dirasakan Miss Curcol nanti ketika menonton film sepulang dari tempat kerja.

Tapi aku bisa menangkap dia sangat ingin segera pulang dan pergi ke bioskop. Lalu membuktikan apakah betul pengaruh dongeng anak yang difilmkan itu bisa membuat orang berurai air mata karena haru dan diliputi kesedihan. “Kata teman-temanku, ini film itu bagus,” katanya.

Aku membiarkan Miss Curcol diliputi penasaran silih berganti. Karena di situlah letak asyiknya menonton film. Bayangkan, kalau semuanya sudah terjawab sebelum di bioskop, tentunya tidak lagi asyik menonton film, kecuali yang betul-betul maniak film.

Malam hari itu, Miss Curcol pulang cepat. Biasanya dia pulang antara pukul 20.00-21.00. Tapi hari itu, dia pulang jam 18.30, setelah acara makan-makan syukuran di kantor redaksiku. Dia berangkat untuk ke gedung film sama teman sekerjanya.

Silahkan menonton Miss Curcol. Kuharap kamu bisa mendapat pencerahan dari dongeng itu. Semangat semasa kamu masih anak-kanak terangkat kembali. Pencerahan dan kemunculan semangat itu sangat penting. Itulah yang jadi alasanku selama ini menyukai acara nonton film.

Tapi kurasa soal ini tidak banyak orang yang peduli. Umumnya, teman-temanku lainnya yang juga suka datang ke bioskop, kalau menonton film hanya memperhatikan sisi hiburannya saja, tetapi tidak berusaha mencari apa makna dibalik pengangkatan ide cerita itu.

Tapi tidak apa-apa, masing-masing manusia punya keinginan sendiri sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Toh, tidak akan dihukum kalau menonton film dengan filosofi hanya untuk mencari hiburan di luar jam kerja.

Beberapa jam setelah Miss Curcol keluar dari redaksi, aku juga pulang ke kos di Kemayoran. Malam ini rasanya capek betul. Seharian kerja keras. Soalnya, salah satu temanku di desk politik lagi lagi cuti untuk menikah di kampung halamannya, Padang, Sumatera Barat.

Setelah makan malam di rumah makan langgananku, sekitar pukul 21.30, aku mengirim pesan singkat kepada Miss Curcol yang aslinya orang Solo, tetapi menetap di Depok. “Hey, Menarikkan filmnya. Si Russell pinter to,” kataku. Russell itu anak kecil gendut yang ikut main di UP.

Tidak lama kemudian Miss Curcol membalas pesanku. “Mm, pinter-pinter bodoh sih. Tapi bagus banget filmnya.”

“Mengharukan sekaligus mencerahkan pikiran. Apa kamu nangis pada waktu menonton?” tanyaku kemudian.

“Tidak sampai menangis sih. Tetapi aku sempet sedih juga,” jawab Miss Curcol. Seperti perkiraanku, dia pasti terlarut dengan dongeng itu.

Waktu kami berbalas pesan lewat telepon genggam, Miss Curcol sedang dalam perjalanan pulang. Aku sendiri sedang menunggu diurut sama Pak Mukti. Tukang urut orang Betawi yang tinggal di satu blok dari kosanku Jalan Angkasa.

Ringkasan film berjudul UP yang ditonton Miss Curcol itu begini. Dimulai dari deskripsi tentang dua orang anak yang sama-sama sangat mengagumi figur petualang sohor pada jamannya, Charlez Muntz. Laki laki ini adalah petualang yang berhasil menemukan tempat yang selama ini sangat asing bagi manusia.

Tempat itu diberi nama Air Terjun Surga, sebuah negeri yang hilang, terletak di Amerika Selatan. Orang Amerika pada waktu itu seperti memitoskan tempat itu. Kupikir, orang Barat ternyata tidak rasional juga, katanya selama ini selalu mengagung-agungkan rasionalitas.

Anak yang lelaki bernama Carl Fredericksen, dan anak perempuan itu bernama Ellie. Imajinasi anak-anak ini untuk menjadi Charlez sangat kuat. Untuk mendekati kenyataan, mereka mengenakan berbagai atribut yang dikenakan Charlez, seperti kacamata pilot, dan helm. Kemudian mereka berlaku seakan-akan telah menjadi Charlez.

Ini ciri khas pola pendidikan anak-anak Barat. Mereka mempelajari figurnya dengan berusaha menciptakan suasana, sikap seolah-solah telah menjadi orang yang dikaguminya. Aku adalah Charlez Muntz, aku bisa melakukan apa yang dialakukan, kira-kira begitu.

Ellie anak perempuan yang energik bergigi ompong. Dia selalu mengenakan medali kebanggaan yang sebenarnya bekas tutup botol bertuliskan Grape Soda di dadanya. Ellie kecil bilang kepada Carl bahwa dia ingin sekali memindahkan rumah klub bermainnya suatu hari nanti ke puncak tebing di dekat celah Air Terjun Surga.

Sementara Carl adalah anak yang pendiam, tetapi punya kesetiakawanan dan semangat hidup yang sangat tinggi. Dia setuju untuk suatu hari nanti membantu teman perempuan kecilnya itu memindahkan rumah klub bermain ke atas Air Terjun Surga.

Mimpi yang sama kemudian menyatukan mereka dalam hidup perkawinan. Mereka hidup bahagia sampai tua, meski tidak dikaruniai anak yang sangat diidam-idamkan dalam keluarga kecil pengagum petualang sohor itu. Usia tua kemudian merenggut nyawa Ellie yang sangat dicintai Carl.

Sepeninggal Ellie, Carl hidup sangat kesepian. Teman hidupnya kini hanyalah foto kenangan Ellie dan berbagai benda-benda kesayangan semasa Ellie masih hidup. Ada satu benda yang tak ternilai harganya milik Ellie. Yaitu buku harian, “My Book Adventure.”

Buku ini sudah ditunjukkan Ellie kepada Carl sewaktu keduanya masih kanak-kanak. Buku inilah yang selalu selalu menjaga semangat Ellie untuk mengejar cita-cita berpetualang. Dan diary itulah awal mula petualangan mengejar Air Terjun Surga dimulai.

Setelah kalah dalam adu tahan dengan pengembangan perumahan tempat kelahiran Carl, petualangan sesungguhnya Carl yang disulut buku diari Ellie itu pun dimulai. Rumah club yang dulu ditinggali Elli dapat diterbangkan Carl dengan jutaan balon karbit.

Russell, anak keluarga kaya yang kemudian mencari eksistensi diri dengan selalu menyebut dirinya sebagai petualang hutan, ternyata ikut bersama Carl. Russell ini sangat keras kepala demi melengkapi medali sebagai petualang yunior.

Satu medali terakhir agar dia bisa disebut sebagai senior hanya dapat diperoleh jika membuktikan diri telah berbakti kepada orang tua. Cerita Russel ini dipenuhi kelucuan, sekaligus untuk menegaskan bahwa anak-anak punya sudut pandang sendiri untuk mewujudkan impiannya.

Dan biasanya, impian anak-anak jarang dipahami oleh orang tua. Para orang dewasa umumnya menerjemahan cita-cita anaknya sebagai kenakalan dan harus dihentikan. Padahal, harusnya semua itu ditangkap sebagai proses untuk menjadi manusia.
Petualangan selanjutya ialah ketika rumah Carl mendarat di sebuah tempat yang teryata sudah berada sangat dekat dengan Air Terjun Surga yang dikejar itu. Di bagian cerita inilah, emosi manusia mulai diaduk-aduk.

Betapa manusia harus menyayangi binatang. Karena hewan yang sesungguhnya juga manusia dalam wujud beda itu juga ingin hidup dengan kebebasan di alamnya. Seperti kebebasan yang diidam-idamkan manusia itu sendiri.

Betapa manusia ini juga harus menyintai tumbuhan, sungai dan udara. Semua itu terjelaskan di bagian cerita ketika rumah Carl mendarat di sana. Ada burung langka yang diburu Charlez Muntz demi memulihkan reputasinya sebagai petualang karena telah melakukan penipuan besar.

Burung raksasa yang kemudian sangat akrab dengan Russel yang juga menyintai binatang itu dinamai Russell, Kevin. Ada Hug, nama salah satu anjing yang sudah tidak punya kebebasan lagi karena hak keanjingannya diambil oleh Charlez.

Rasa kesedihan, kepahlawanan, ketamakan, kesetiakawanan, diaduk-aduk pada bagian ketika Carl dan Russell dibantu Kevin dan Hug berjalan kaki di hutan dan tebing menuju puncak Air Terjun Surga, sebuah negeri yang hilang itu.

Suatu ketika Carl dihadapkan pada satu pilihan sulit ketika diserang Charlez yang sangat menginginkan Kevin. Carl diuji untuk membuat keputusan, apakah menyelamatkan Kevin yang berhasil dijerat anjing-anjing piaraan Charlez atau memadamkan rumah peninggalan Ellie yang dibakar Charlez.

Akhirnya Carl memutuskan memadamkan api yang berarti melepaskan Kevin ditangkap Charlez. Kasus ini kemudian meretakkan hubungan antara Russell yang sangat menyayangi Kevin dengan Carl. Bagaimana tidak, dia lebih memilih rumah daripada burung raksasa itu. Tetapi sebenarnya memang itu sangat sulit bagi Carl.

Carl berhasil mencapai titik Air Terjun Surga seperti yang dicita-citakan mendiang istri tercintanya sewaktu masih kanak-kanak. Tetapi Russell sangat marah. Sampai kemudian dia pergi sendiri bagai pahlawan demi mengejar Kevin yang telah ditawan kawanan anjing anak buah Charlez.

Sementara Carl yang sedang dimabuk bahagia karena kesuksesannya itu duduk di kursi empuk berdampingan dengan kursi kosong yang dulunya adalah kursi istri tercintanya. Dibukanyalah “My Book Adventure.” Dia bernostalgia. Imajinasi dari buku inilah yang memulai. Semangat pemilik buku ini, Ellie, lah yang memicu semua ini.

Tetapi Carl kaget. Dipikirnya selama ini Ellie benar-benar berhenti berpetualang hanya karena tidak bisa betul-betul memindahkan rumah klubnya ke atas Air Terjun Surga. Dan selama itu, pikir, Carl, Ellie hidup susah karena cita-cita kecilnya kandas.

Tetapi sesungguhnnya tidak begitu. Ellie telah melakukan petualangan sejati dengan memutuskan menikah dengan Carl. Petualangan ketika masa bahagia, putus asa ketika dinyatakan dokter tidak akan bisa memiliki anak yang sangat dinantikan, menjalani masa-masa tua seumur hidup di rumah klub.

Itu disadari Carl setelah melihat diary milik Ellie itu ternyata telah penuh dengan personifikasi semangat Ellie selama hidupnya. Carl menyadari betul bahwa dia tidak menyadari semua itu. Lalu semua nostalgia bersama Ellie menyeretnya pada sebuah kesadaran bahda dia egois membiarkan Kevin ditangkap Charlez.

Disadarinya setelah itu, Russell terbang menggunakan balon-balon mengejar pesawat milik Charlez. Carl panik. Dan dia memutuskan untuk mengikuti Russell menyelamatkan Kevin, tapi persoalannya, balon-balonnya telah banyak berkurang sehingga tak mampu lagi mengangkat rumahnya.

Pada cerita inilah muncul penjelasan tentang bagaimana manusia yang sangat menyayangi masa lalunya, sangat menjaga masa lalunya, nostalgianya bersama istri, dan semua itu harus dilepaskan ketika menyadari bahwa ada hal rasional yang harus didahulukan.

Carl membuang semua perabot, semua benda-benda kenang-kenangan bersama Ellie agar rumahnya bisa terbang lagi. Dan berhasil. Dia berhasil mencapai pesawat terbang milik Charlez yang telah menawan si burung cantik, Kevin.

Singkat cerita, Carl, Russell, dibantu Hug, sukses dalam misi penyelamatan Kevin. Charlez yang selama ini sangat tamak karena demi reputasinya, dia mengorbankan banyak pihak, pada akhirnya kalah. Yang jahat kalah.

Di akhir cerita, Kevin berhasil pulang menemui bayi-bayinya, Hug mendapatkan tuan baru, Russell mendapatkan medali karena telah mampu membuktikan berguna bagi orang tua, dan Carl berhasil mewujudkan cita-citanya menemukan dunia yang hilang.

Carl menemukan pengalaman-pengalaman baru, pengolahan emosi, menemukan dunia pikiran baru, sudut pandang baru, sehingga dia memahami betul posisinya sebagai orang tua, sebagai manusia, sebagai petualang.

Itulah cerita singkat tentang film yang ditonton Miss Curcol malam itu. Film petualangan yang menjelaskan tentang dunia anak sampai orang dewasa. Yang pada intinya menerangkan bahwa manusia itu tidak ada alasan untuk tidak semangat menghadapi hidup, betapapun sulit dan rumitnya. Yang rasional pastilah tercapai. Tetap semua itu bakal tercapai jika kita mau bergerak. “Petualangan itu ada di luar sana.”

Pesona Jalan Miss Curcol

“Jadi aku seperti mbah-mbah, ya,” kata Miss Curcol. “Ya enggak dong,” kataku untuk tujuan melepaskan kesimpulan-kesimpulan dalam pikirannya.

Seandainya aku tidak bilang begitu, bisa saja dia akan tersinggung karena aku telah secara sepihak menilainya. Apalagi menyamakan gadis yang selalu tampil trendy itu dengan mbah-mbah di kampungku yang berpenampilan sebagai orang kampung.

Pembicaraan kami melalui yahoo messanger, siang itu, hanya singkat itu tadi. Aku malu untuk inisiatif bincang-bincang lebih jauh soal isi cerita di blogku. Apalagi isinya hanya kerangka karangan yang mungkin tak terlalu berarti buat kepentingan hidup Miss Curcol.

Padahal sebenarnya aku berharap-harap Miss Curcol yang memulai menanggapi cerita di blogku. Soalnya dengan begitu, aku punya bahan baru lagi untuk cerita selanjutnya. Rencana cerita tentang tingkah laku Miss Curcol di kantorku, tentu akan mengalir sehingga lebih basah.

Kutunggu-tunggu sampai agak lama di komputerku, tidak ada tanda-tanda dia akan memulai diskusi. Satu jam pun lewat. Dua jam pun lewat. Aku merasa bersalah.

“Jangan-jangan dia tidak suka kuceritakan di blogku, ya ampun, dia makin tidak menyukaiku,” kataku.

Tapi, tidak apa-apa. Pastinya semua rasa tak enak yang kupikirkan ini hanya bersumber dari harapan yang tidak terkabulkan. Harapan agar Miss Curcol mau chatting denganku tidak terwujud.

Rasa putus asa yang melanda hatiku itu membuatku tidak berdaya sehingga perasaan tidak enak muncul silih berganti.

Tapi, aku berusaha menyadari apa saja yang kukatakan pada diriku. Dan aku berusaha kritis dengan semua itu.

“Pastilah, dia sibuk. Sibuk menyusun laporan perusahaan atau sibuk menghitung angka-angka.” Setelah mengatakan ini, aku menjadi tenang.

Mengapa aku jadi kepikiran seperti itu, karena aku jadi ingat nasihat yang pernah kuterima bahwa manusia pada dasarnya tidak menyukai bila dirinya disama-samakan dengan orang lain. Apalagi dengan orang yang tidak disukainya. Maka, makin tidak berkenanlah dia.

Sebaliknya, manusia itu dasarnya lebih suka disanjung. Apalagi menyanjung dengan dasar kejujuran dan rasional.

Miss Curcol ini telah kuceritakan ada kemiripan dengan tren mbah-mbahku di kampung. Soalnya, Miss Curcol kalau lagi pakai sandal jepit dan jalan di ruangan kantor, pastilah akan mengeluarkan bunyi sandal beradu tumit. Ceplek… ceplek… ceplek….

Nah, itu sama persis dengan mbah-mbahku di kampung Wonogiri sana. Kalau beliah-beliau lagi jalan di depan rumahku, aku sering mendengar suara ceplek…ceplek…

“Tapi begini Miss Curcol perlu tahu, suara itu tidak identik dengan ndeso. Sebab, bagiku, itulah keanggunan mbah-mbah kami di desa kalau lagi jalan,” kataku dalam hati.

Bunyi sandal itu mengeluarkan pesona. Di Ibukota Jakarta ini, itu suara yang langka. Suaranya khas. Irama yang hanya muncul dari sandal jepit. Dan mungkin hanya mbah-mbah di kampung yang menciptakannya. Mendengarnya saja seperti bernostalgia.

Dan aku melihatmu menggantikan keanggunan mbah-mbah di kampungku itu. Makanya, aku cerita di blog.

Miss Curcol seperti mendengarkan argumentasiku. Sore itu, seperti biasanya, dia mondar-mandir di ruangan kantor. Dari meja kerjanya ke meja fotokopi. Mengolah angka di komputer lalu isinya dicetak di mesin foto kopi.

Ceplek…ceplek… ceplek… masih bersuara sandalnya. Dia tidak tersinggung karena ceritaku soal Miss Ceplek. Jalannya tidak berubah. Dia masih jalan dengan iringan suara sendal seperti biasanya.

“Alhamdulillah, dia tetap menjadi dirinya. Tidak terpengaruh dengan tulisanku,” kataku dalam hati.

Miss Curcol. Apakah kamu menyadari bahwa suara itu sama sekali tidak mengurangi kesahajaanmu. Sebaliknya menambah keanggunanmu. Terus pertahankan dan tetaplah menjadi dirimu.

Sore hari itu kubilang agak menegangkan karena pikiranku diselimuti macam-macam tebakan tentang sikap Miss Curcol.

Malam mulai tiba. Biasanya aku menyadari datangnya gelap dengan melihat satu persatu pegawai-pegawai di bagian pembukuan, keuangan, dan sekretariat redaksi, pulang.

Miss Curcol juga pulang. Tidak lama kemudian, aku juga menyusul pulang membawa komputer gendong. Bagi para perantau, pulang itu tanda kesejahteraan. Maksudku, berarti dia punya tempat tinggal.

Kalau dalam hidupnya tidak punya perbendarahaan kata pulang, berarti dia belum sejahtera. Bagaimana ukuran dia telah sejahtera, kalau uangnya saja tidak cukup buat beli tempat tinggal atau menyewa tempat tidur sendiri.

Malam hari itu sebelum tidur, aku ingat dia dan mengirim pesan singkat untuk sekali lagi memastikan keadaan. “Miss Curcol, aku tadi deg-degan. Jangan tersinggung dengan blogku ya.”

Tidak lama kemudian Miss Curcol yang baik hati itu menjawab. “Ha..ha.. ha. Tidak apa-apa. Santai saja.”

Aku akan menutup hidung seandainya dia tertawa seperti itu di depan mukaku. Takut kalau-kalau bau dan airnya menyembur ke luar.

“Apa kamu sudah sampai rumah,” aku SMS lagi. Dan dia jawab. “Sudah.”

“Baiklah, selamat istirahat dan sampai jumpa lagi besok,” kataku sebelum berangkat ke alam di luar kesadaran manusia. Tidur.

******

“Miss Curcol, apakah sekarang sudah sampai di rumah,” kataku malam-malam berikutnya lewat SMS.

Untuk mengirim SMS seperti itu, biasanya aku harus berusaha berpikir rasional. Apakah aku akan mengganggunya. Apakah tepat kulakukan pada jam-jam segini. Kalau sudah yakin aman, barulah kukirimkan pesan ke nomor telepon genggam miliknya.

Aku tahu mengirimkan SMS pasti mengganggu orang. Dia harus membuka SMS, membaca. Iya kalau dia lagi santai, bagaimana seandainya kalau dia lagi di atas kereta, atau membonceng sepeda motor. Pasti membutuhkan konsentrasi sendiri untuk menerima SMS.

Dikirimi SMS berarti juga dia merasa berkewajiban untuk membalas. Berarti dia mesti keluar pulsa dan lain sebagainya. Intinya dia pasti terusik dengan semua itu.

“Belum. Masih di jalan. Tadi ketemu sama teman,” jawabnya.

“O yo wes, hati hati di jalan ya. Jangan bunyikan sandalmu di jalan, bisa-bisa tren sandal suaranya ditiru orang. Sampai ketemu besok,” kataku.

“Ha.. ha.. ha. Aku pakai sepatu, kali…Pakai sandal jepit kalau di kantor doank. Ok. Thank you,” jawabnya.

Monday, July 27, 2009

Miss Curcol

Awal-awal tahun 2009, aku mulai berkesan pada mbak-mbak itu. Tidak banyak bicara tapi dia banyak bekerja. Itu sebabnya, aku membuat kesimpulan cepat pada waktu itu, mbak-mbak ini orangnya pastilah serius.

Pikirku, cara hidup orang ini pasti menarik. Sebab, beda dengan teman-teman lainnya yang ramai.

Tapi bukan berarti orang ramai, tidak bisa serius. Bisa juga. Tapi, bagiku lebih berkesan pada orang yang tak banyak bicara, tapi pergerakan kerjanya lincah.

Sampai kantor di lantai 31 rutin sekitar jam 9. Duduk, buka komputer, lalu buka kertas kerja. Tidak lama kemudian berdiri menuju meja temannya. Diskusi. Ngitung-ngitung angka. Tidak lama kemudian, balik lagi ke meja komputer. Lalu, menuju mesin foto kopi.

Aku sudah bisa menebak, pastilah dia akan menuju ke mesin fotokopi setelah itu. Rasa-rasanya, teman dekatnya hanya mesin foto kopi. Sepertinya, teman curhatnya hanya mesin pencetak itu. Mengungkapkan pikiran di computer, lalu isinya dicetak di mesin foto kopi.

Aku tidak pernah berani menyapa atau berkenalan. Rasanya malu. Padahal, dalam hati, ini orang menarik. Menarik dari segi kedisiplinan bekerja. Dan pekerjaannya mudah kubaca. Computer, diskusi, mesin foto kopi. Mondar-mandir. Dan di bidang itulah nyawa perusahaan ini berdenyut.

Pada suatu hari, aku berpikir untuk menjuluki orang ini sebagai mesin gosokan pakaian. Soalnya cara kerjanya mirip-mirip. Ke sana kemari. Bolak-balik. Curhat di komputer, lalu isi hati dan pikirannya dikopi di mesin.

Aku belum tahu nama mbak-mbak ini pada waktu itu. Mau tanya langsung ke orangnya, tapi rasanya malu. Dan aku selalu berpikir, jangan pernah memaksa diri kalau masih malu. Tunggu dan pasti akan tahu. Itu kunamai strategi tiarap.

*****

Pegawai-pegawai yang bekerja di redaksiku ini asalnya dari berbagai daerah. Bila orang-orang bicara aku bisa langsung menebak dia berasal dari suku mana. Ada Flores, Batak, Jawa, Minang, China, dan Betawi.

Karena itulah, aku senang bekerja di tempat seperti ini.

Dari perbedaan-perbedaan itu, kelak bisa dibikin. Misalnya kuberi judul kantorku adalah miniatur Indonesia. Atau bisa juga kantorku contoh kerukunan antarbudaya. Atau bisa juga yang lebih serius lagi, misalnya masih ada dunia yang damai yaitu di kantorku. Hehehhe.

Dari rupa-rupa latar belakang tradisi itu, kemudian akuu jadi ingin tahu. Dari mana asal mbak-mbak yang bekerja seperti setrika itu. Aku tidak pernah ngobrol sama dia. Itu sebabnya, aku tidak bisa menebak.

Tetapi, jika kuperhatikan dari struktur wajahnya, sih, aku mengatakan mbak-mbak ini tentunya orang Batak. Struktur wajah yang sangat kuat terhadap kerasnya kehidupan.

Memang, struktur wajah bukanlah pedoman untuk membuat sebuah jawaban yang akurat. Tapi, yang jadi dasar tebakanku itu ialah karena hampir semua temanku asal Batak, mirip-mirip bentuk wajah mbak-mbak berambut sebahu itu.

Lebih-lebih lagi teman kerja yang terdekat mbak-mbak ini pada waktu itu orang Batak. Boling. Pak Boling, namanya. Boling itu kalau tertawa, suaranya keras. Pokoknya tipikal Bataknya, pasti langsung terbaca oleh orang yang baru sekali mengenalnya atau bertemu dengan Boling.

Dan lagi, dia duduknya berdampingan dengan Boling dan akrab sekali. Pastinya dia dua orang ini satu budaya, mungkin satu marga. Itu jadi bahan perdebatan dalam diriku.

Tidak lama kemudian aku tahu dari orang-orang mbak-mbak itu. Namanya Mety Rahmadyanti. Orang kantorku panggil dia Mety. Nama yang menurutku bagus. Tidak ndeso. Hehe.

Setelah membaca nama belakangnya, ini pastilah bukan orang Batak. Tebakanku tadi termentahkan. Tidak mungkin orang batak namanya Rahmadyanti. Kalaupun ada, itu pasti keturunan Jawa. Kalau Mety ini pastinya orang Jawa, sama seperti diriku.

Sudah cukup. Keingintahuanku tentang dia sudah cukup. Dan aku tidak bermaksud memperdebatkan Jawa atau non Jawa. Aku sudah tahu namanya. Dan sudah tahu asalnya Jawa. Aku kembali pada kesukaanku, memperhatikan orang-orang bekerja.

Tapi di antara orang yang bekerja di kantorku, aku cenderung tertarik mengamati cara kerja Mety ini. Cara kerja Miss Strika. Kerjanya seperti gosokan pakaian. Ke sana kemari. Sibuk sekali, tapi dia tidak banyak bicara.

Kupikir, hebat betul. Seharian, sedikit bicara, tapi banyak aktivitasnya. Jangan-jangan cara berkomunikasi orang ini memang dengan bekerja.

Mungkin dia mau menjelaskan bahwa eksistensinya adalah bekerja itu. Dengan bekerja maka dia merasa ada di antara orang-orang lainnya. Dia merasa diakui sebagai manusia ketika sedang bekerja itu. Luar biasa.

Jangan-jangan dia ini juga suka filsafat. Dan dia menamai filsafatnya sebagai filsafat bekerja. Hehehe.

*****

Tahun 2009 adalah tahun politik. Karena di tahun inilah ada pelaksanaan pemilihan presiden. Mereka yang akan maju jadi presiden berkampanye setengah mati agar konstituen dan masyarakat lainnya tertarik memilih mereka.

Mereka kampanye dengan rupa-rupa cara. Menurutku, inti dari semua itu ialah mereka mau memaksa orang untuk mengikuti jalan pikiran yang mereka bawa, seolah-olah hanya rencana mereka, cita-cita mereka, keinginan mereka, adalah kebenaran. Kebenaran yang harus diikuti masyarakat.

Dari tiga pasangan calon presiden, hanya Jusuf Kalla yang kelihatan lucu. Dia pakai motto lebih cepat lebih baik. Polos sekaligus mengritik SBY.

Tulisan ini bukan untuk bicara politik. Deskripsiku yang berbelit-belit soal Pilpres itu sebenarnya hanya mau mengantar pada adanya kemiripan dengan cara kerja mbak-mbak orang Jawa menarik ini.

Dia ini kalau jalan cepat sekali. Hehehe. Cepat seperti bajaj yang baru diservis. Bajaj yang selalu lewat depan kosku. Ngebut dan sepertinya tidak punya rem. Makanya, kubilang, mbak strika pakaian ini lincah sekali.

Mungkin dia ini sebenarnya pengagum Jusuf Kalla. Lebih cepat lebih baik. Sampai-sampai kalau temannya mau panggil dia, selalu telat, karena saking cepatnya bila berjalan.

Iya, kupikir, karena terlalu serius, makanya secepat itu. Yaitu lebih cepat lebih baik. buat apa lambat-lambat, kalau bisa cepat. Karena hasilnya akan lebih baik.
Cepat seperti konsep media online. Hehehe.

Semua itu menimbulkan keasyikan bagi orang yang suka memperhatikan tingkah laku orang lain. Kegemaranku sejak kecil adalah memantau orang bekerja.

Aku paling senang memperhatikan mbok-mbok di kampungku cari rumput. Senang memperhatikan pakde-pakde mencangkul.

Karena dengan begitu, pikirku, aku bisa belajar. Bisa memotivasiku. Pokoknya ada sensasi tertentu yang kudapatkan jika menonton orang yang sedang melakukan suatu pekerjaan. Sensasinya, antara lain timbulnya semangat untuk bisa seperti mereka. Atau melebihi mereka.

Begitu juga dengan memperhatikan si mbak gosokan, tadi. Hehehe.. lebih cepat lebih baik... mbak.

*****

Mety lucu kalau sedang berjalan. Dia paling suka pakai sandal jepit kalau sedang di kantor. Jika sedang berjalan, pasti ada bunyi di sandalnya.

Bunyi yang ditimbulkan dari perjalanan Mety itu Seperti membawa nostalgia. Ketika masih di Wonogiri. Mbah-mbah dan para tetanggaku, kalau lagi jalan di depan rumahku, pasti kedengeran sandalnya. Ceplek… ceplek… ceplekk….. hehheh. Apalagi kalau jalannya malam-malam.

Menurutku, di situlah letak keanggunan mbah-mbahku di kampungku. Sambil menggendong rumput, sandalnya ceplek… ceplekk… ceplek…

Aku sudah lama betul tidak mendengar bunyi semacam itu. Maka dari itu, ketika si Mety lewat, dengan bunyi sandal yang selalu mengiringinya, rasanya teringat mbah-mbah di kampungku itu.

Tradisi asli yang telah lama ditinggalkan. Ketika hadir lagi di Kota Besar, itu menjadi pesona dan keanggunan di Kota Besar. ;-)

Kalau aku lagi serius mengerjakan laporan berita di komputer. Aku tidak perlu menengok ke belakang atau ke samping untuk memastikan siapakah orang yang sedang berjalan di sekitarku. Dari suara ceplek… ceplek… itu, aku bisa menyimpulkan, itulah dia.

Itulah sebabnya, aku mengganti namanya dari Miss Strika menjadi Miss Ceplek. Itu panggilan dalam hatiku kalau mendengar dia lewat.

Miss Ceplek lewat. Harus hati-hati. Takut kalau-kalau nanti nabrak karena ketika berjalan sangat cepat. Kadang-kadang bagaikan orang yang sedang berlari-lari.

******

Belakangan aku tahu. Dia orang Solo. Waaah, tetangga. Hehehe. Kedekatan kebudayaan membuatku merasa nyaman.

Nyaman dalam konteks ini adalah menjelaskan bahwa tradisi kami sama. Orang-orang tuanya pastilah suka nonton wayang, ketoprak, tari. Nonton tivinya tahun 1980an dulu pasti TVRI Yogyakarta.

Orang-orang yang agak mudanya pasti kenal Sheila One 7, misalnya. Kalau maulidan, orang Solo dan orang Wonogiri, pastilah kumpul di Sriwedari atau sekitar Keraton. Kira-kira begitu. Mata air kami juga satu, Bengawan Solo. Pastilah kenal sama Gesang yang bikin lagu Bengawan Solo.

Tapi, yang kuceritakan soal budaya itu, pastinya tidak dialami secara total oleh Mety. Soalnya, kata dia lewat chatting, dari kecil sampai besar hidup di Depok. Hidup dari nol, mengenal hurup, sampai kenal tentang pekerjaan, dilakoni di Depok dan Jakarta.

Tidak apa-apa, paling tidak agak familiar dengan bahasa Jawa. Walau hanya fasih bilang, “Dalem pak. Dalem bu.”

Aku cerita tentang ke Solo-an ini, maksudku ingin juga mengait-ngaitkan dengan bunyi-bunyi sandal Mety tadi. Ibu-ibu di Solo yang banyak kukenal ketika aku masih tinggal di Jalan Slamet Riyadi dulu, kalau jalan juga bunyi seperti itu.

Sama seperti mbah-mbah yang tiap hari lewat di kampungku Wonogiri sana. Inilah yang kumaksud juga ada kesamaan tradisi. Tradisi sandal bunyi.

Oke. Rasanya, mau menjelaskan sandal bunyi saja ceritanya mesti memutar-mutar dulu. Baiklah, soal sandal bunyi kita sudahi dulu.

******

Lama-lama aku mengatakan mbak-mbak itu merupakan anak gaul juga. Gaul. Anak gaul dari sudut pandang ndesoku ialah punya banyak teman, punya semacam komunitas, entah itu komunitas makan bareng, komunitas nonton film, komunitas ngerumpi dan lain-lain.

Aku bisa tahu kegaulan itu dari foto-foto di facebooknya. Facebook, teknologi kecerdasan manusia yang baru kukenal 2009 ini. Juga friendsternya, friendster yang kuketahui setelah browsing di internet.

Soal itu, rasanya bertolak belakang denganku. Aku merasa kuper. Anak kuper dalam pemahamanku ialah hanya memilih fokus bidang tertentu, misalnya sekolah, menulis, membaca dan lainnya. Tapi kemudian, tidak terlalu menganggap penting sosialisasi seperti anak gaul Mety tadi itu. Dunia gaul.

Soal gaul itu, kemudian membawaku pada satu cerita tentang Miss Ceplek ini. waktu itu, malam-malam ketika aku sedang piket. Tengah malam, kulihat YM-nya masih online. Berhari-hari selama aku piket malam, aku selalu menemukannya seperti itu.

Dan dia tidak pernah mau menyapaku, kalau tidak kusapa lebih dulu. Hehehe. Dia bercerita, kalau malam online begitu, biasanya lagi sama komunitasnya. Menggosip, katanya. Lagi, lagi, dan lagi. Selalu ada tema gossip baru yang bisa dibicarakan, makanya bisa sampai tengah malam lewat.

Tapi sebenarnya bukan hanya gosip saja. Dia bilang, seringnya ada temennya yang curcol. Iya, curcol. Kata yang aneh. Ini jenis bahasa yang jarang dipakai di jurnalistik. Maka itu, waktu itu kucari di kamus bahasa indonesiaku, tapi kok tidak ketemu-ketemu.

Besoknya, kami ketemu lagi di YM tengah malam. Kusapa, dia tidak jawab-jawab. Tapi setelah jawab, dia bilang masih curcol. Lalu kutanya. Dan dia jawab, curcol itu ialah curhat colongan. Kalau curhat sih aku sudah familiar. Itu mencurahkan hati. Menceritakan hati, biasanya yang sedih-sedih.

Tapi kalau ditambahi colongan, curhat colongan, ini rasanya aneh. Definisi Mety tentang curcol ialah menceritakan sesuatu masalah secara tiba-tiba dan biasanya dilakukan di saat sedang membahas masalah lain. Edan tenan. Curcol.

Tapi, bagus juga. Aku jadi punya perbendaharaan kata baru. Dan dalam hatiku, kuganti lagi nama orang Jawa yang menetap di Depok ini dari Miss Ceplek menjadi Miss Curcol.

******

Baiklah Miss Curcol. Ceritanya kita sudahi dulu. Cerita ini hanyalah outline, pembangkit imaji, untuk dibikin cerita serius tentang ‘Miss Curcol.’ peace.

Saturday, July 18, 2009

Kutaklukan Jakarta

Jangan pernah dikalahkan Jakarta. Tapi, taklukkanlah Jakarta dan segala macam konsumerisme yang ditawarkannya.

Aku berkata kepada diriku bahwa peradaban itu adanya di Ibukota Jakarta. Rampok, dan rampok ilmu pengetahuan dari pusat peradaban itu, tapi jangan menjadi budaknya. Lalu pulanglah ke kampung dengan langkah tegap.

Itulah nasihatku kepada diriku sendiri ketika meninggalkan kampung halaman untuk memutuskan kuliah di Ibukota waktu itu. Nasihat itu kuolah sebaik-baiknya.

Aku menerapkan filsafat itu pada bidang kesukaanku. Menonton film. Menurutku, pertunjukan film merupakan media pembelajaran yang baik untuk membuka cakrawala berpikir, di luar jadwal kuliah. Bagiku, film merupakan refleksi atas kehidupan manusia di berbagai belahan dunia.

Yang kuyakini pada waktu masih kuliah dulu, dengan menonton film maka diriku akan terangkut ke dimensi di luar diriku. Bisa melihat bagaimana orang lain bertahan hidup, bisa mengetahui bagaimana pandangan orang lain, bisa mengetahui cara hidup orang-orang hebat.

Atau yang paling sederhana ialah aku bisa melihat kebudayaan di berbagai belahan dunia, gadis-gadis bule cantik nakal tapi pintar, dan semua-semuanya yang menarik-menarik, hanya lewat visual film. Betapa luar biasanya bukan.

Hanya saja waktu itu, aku tergolong mahasiswa pendatang yang tidak tidak bisa begitu saja mengeluarkan uang di luar kebutuhan membeli buku. Dalam konteks ini, rasanya Jakarta ini hanya dikondisikan untuk orang-orang yang punya banyak uang.

Sedangkan untuk mahasiswa semacam diriku, sepertinya harus berpikir dua kali untuk bisa mengikuti gaya hidup Jakarta. Kurang ajar tenan, pikirku waktu itu.

Sebagai orang yang tengah terjepit, tapi punya ambisi besar, aku tidak panik dan berkecil hati. Aku yakin ada cara untuk bisa puas nonton film. Cuma mungkin aku harus mempelajari peta kehidupan Ibukota terlebih dahulu untuk mengetahui jalan keluarnya.

Bukankah di Jakarta ini banyak sekali pusat-pusat kebudayaan negara asing. Tentu saja di sana banyak program pengenalan kebudayaan mereka kepada Indonesia.

Pertama kali yang kulihat di bulan-bulan pertama kuliah di Jakarta adalah Pusat Kebudayaan Perancis, Salemba. Tempatnya di pusat Jakarta. Pastinya di sana sering ada acara. Aha.. Perkiraanku betul. Di tempat itu, pas aku datang, sedang diputar film-film tentang kebudayaan.

Seneng betul waktu itu. Yang membuat seneng lagi ialah aku diberi jadwal pertunjukan oleh pengurus pusat kebudayaan negeri tempat hidup filsuf sohor dengan eksistensialis-nya, Jean Paul Sartre, itu.

Pekan depan dan pekan depan dan seterusnya, tiap kali tidak ada kuliha, aku pasti datang ke sana.

Dari sana aku sering berkeliling ke pusat-pusat kebudayaan. Akhirnya, satu persoalanku selesai. Akhirnya aku sudah punya jalan keluar untuk menonton film yang mutunya tak kalah bagus dengan film-film yang diputar di gedung-gedung bioskop itu.

****

Taman Ismail Marzuki. Aku mengenalnya lewat majalah langganan guru SMEA-ku di Wonogiri. Sekarang, aku sudah di depannya, begitu pikirku ketika pertama kali masuk kompleks TIM. Belum tentu pak guruku itu sudah pernah datang ke sini.

Aku sangat senang waktu itu. Ternyata aku menemukan lagi studio film gratisan, lewat informasi petugas keamanan di sana. Adanya di studio 1 bioskop 21.

Program filmnya diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta. Namanya Program Kineforum. Sebulan penuh, di tiap bulan, selalu diputar film-film bermutu.

Aku merasa seperti ditawari untuk jalan-jalan ke luar negeri lewat film-film yang diputar. Sebagai mahasiswa kampung yang menyukai film, bagaimana tidak senang dengan itu semua. Tak perlu pusing-pusing beli tiket. Itu yang paling utama.

Betul-betul menawarkan jalan pengetahuan lintas benua. Karena yang diputar umumnya film-film asing. Film-film pendek festival internasional dan biasanya yang pernah meraih penghargaan.

Tapi, sebenarnya bukan film asing saja yang diputar. Film-film nasional independen dan peraih penghargaan juga banyak yang masuk program Kineforum.

Prinsip Program Dewan Kesenian Jakarta sepertinya memang ingin menjelaskan bahwa di Jakarta ini tidak melulu semuanya harus komersil. Film-film berkualitas juga dapat dinikmati tanpa selalu harus berbiaya mahal.

Mungkin juga motivasinya untuk memberikan keseimbangan antara kapitalisme dengan kerakyatan. Sangat menarik dan mengesankan.

*****

Tentu saja kuceritakan semua pengalamanku itu kepada teman-teman kuliah yang senasib dan sehobi denganku. Lalu, terbentuklah club. Semacam club penonton atau pemburu film. Setelah punya kelompok, ternyata cita-citaku untuk menaklukkan Jakarta makin berkembang. Makin maju dan cenderung liar.

Pada perkembangannya, bukan lagi mencari tontonan film murah semata. Tapi bagaimana caranya agar penyerapan ilmu pengetahuan melalui konsumsi film tetap terpenuhi, tapi juga badan juga bisa gemuk dan sehat.

Caranya begini. Di pusat-pusat kebudayaan, biasanya ada pameran atau diskusi-diskusi kebudayaan. Nah, pastinya ada makan siang di sana. Kami pasti ikut terlibat. Maksudnya, terlibat untuk menghabiskan makanan yang disediakan panitia.

Yang paling sering itu di TIM. Di TIM pada jamanku kuliah dulu, sering sekali ada pameran. Makin sering ada pameran, kami makin senang datang.

Tiap kali selesai nonton film Dewan Kesenian Jakarta, kami akan mengunjungi pameran yang ada makan siangnya.

Pernah suatu kali, saking nakalnya, kami pernah berani malu masuk ke acara pesta di TIM. Kami bertingkah seperti tamu undangan untuk bisa bebas makan siang. Wah wis, ora mutu tenan…

Rasanya, kelakuan kami waktu itu sama sekali tidak didasari kepelitan, tapi merupakan strategi halal demi menyiasati keterbatasan finansial di tengah industrialisasi.

Pokoknya, jangan pernah dikalahkan Jakarta. Tapi, tundukkan Jakarta dan segala macam konsumerisme yang ditawarkannya. ;-)

Imajinasi dari Kampungku

Waktu kecil, kalau cuaca sedang cerah, aku dan teman-teman sering menggelar tikar di halaman rumah di desa. Kemudian kami berjejer dengan posisi terlentang. Yang kami lakukan pada saat-saat seperti itu ialah berlomba-lomba untuk menghitung bintang yang seolah-olah berada di depan mata kami.

Tentu saja semua bintang yang bertebaran bagaikan berada di depan mata, karena di desa tempatku lahir tidak ada polusi cahaya dan polisi udara seperti di Jakarta. Dengan begitu kami bisa sangat jelas menyaksikan bintang di luar angkasa sana. Tiap kali berhitung, kami selalu menyaksikan ada bintang yang berkerlap-kerlip, ada yang warnanya kemerahan, ada juga sekali-sekali yang melesat.

Bintang sangat familiar dengan kehidupan kami. Orang tua sering menceritakan pengalaman mereka kepada kami tentang betapa bermanfaatnya keberadaan bintang. Misalnya bintang selalu dijadikan alat penunjuk arah mata angin.

Selain menghitung, kami juga punya kebiasaan menghafal rasi bintang. Macam-macam rasi atau konstelasi bintang kami hafal betul.

Yang paling mengesankan sampai sekarang ialah rasi bintang layang-layang. Bentuknya mudah sekali diiingat. Seperti gubuk penceng. Kalau di Planetarium Jakarta bintang ini familiar disebut sebagai Rasi Bintang Salib Selatan.

Iya, para buyutku di kampung menggunakan bintang itu sebagai penunjuk arah. Ketika mereka pergi berjalan kaki di malam hari melewati hutan dan gunung, mereka pasti akan melihat bintang itu, untuk memastikan bahwa arah Selatan di sebelah sana.

Masa-masa kecil itu memang pengalaman sangat indah. Kami dibiarkan berimajinasi. Kami selalu membayangkan bagaimana kalau kelak setelah dewasa kami bisa pergi ke salah satu bintang di sana. Seperti tiga astronot Amerika yang berhasil menapak bulan.

Orang yang berkesempatan pergi ke bintang di sana, pastilah akan bijaksana hidupnya. Karena mereka pernah dalam hidupnya menjadi orang yang dalam posisi tertentu melihat betapa luas alam semesta.

Melihat betapa bumi di kejauhan sana. Melihat sangat banyak bintang yang tinggal di Galaksi Bima Sakti ini.

*****

Guruku SD ku bercerita, bumi ini tidak diam seperti patung. Bumi akan berotasi dan mengelilingi anggota tata surya, matahari. Bumi tempat tinggal manusia selalu berputar dengan kecepatan 1.500 kilometer per jam.

Karena kecepatan perputaran bumi stagnan atau tidak berhenti-berhenti, maka manusia tidak akan terlempar ke mana-mana, bahkan tidak merasakan sama sekali kalau sedang diajak ngebut oleh bumi.

Manusia hanya dapat mengidentifikasi adanya pergerakan bumi ini melalui pergantian waktu. Dari pagi ke siang, sore ke malam, lalu ke pagi dan kembali ke siang lagi.

Ada juga cerita ilmiah guruku yang bikin degdegan. Matahari itu bukan benda padat, melainkan terdiri dari kumpulan gas hydrogen. Bagian terluar matahari panasnya mencapai 3 ribu derajat celcius. Sedangkan di pusat matahari, panasnya mencapai 15 juta derajat celcius.

Posisi bumi dengan matahari ini sangat pas. Jaraknya sekitar 150 juta kilometer. Tidak terlalu panas, tidak pula terlalu dingin. Manusia sangat membutuhkan energi matahari, begitu juga tumbuh-tumbuhan dan segala yang hidup di permukaan bumi ini.

Tapi, gas yang dikandung matahari itu suatu hari nanti akan habis. Kalau sampai habis, maka kehidupan di bumi ini akan selesai. Habisnya energi hydrogen matahari itu kira-kira 5 miliar tahun lagi.

Itulah cerita-cerita tentang alam semesta yang sangat mengesankan bagi kami pada waktu itu.

Setelah tua seperti sekarang. Rasanya ingin mengulang masa seperti itu lagi. Masa di mana masih dapat berimajinasi dengan bebas. Walau sekarang ini juga masih bisa berimajinasi, tapi suasananya tentu tidak seperti waktu itu.

Maka, untuk kembali membangkitkan dan menciptakan imajinasi-imajinasi seperti itu, aku rutin datang ke Planetarium yang terletak di kompleks Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat. Menonton simulasi luar angkasa sambil mengingat-ingat pelajaran ketika masih jadi anak kecil.

Planetarium bagiku adalah untuk mendapatkan penjelasan tentang bagaimana manusia harus menyadari posisinya. Tentang bagaimana merefleksikan kehidupannya, mengagumi bumi, dan memeliharanya agar tetap aman dan damai. Ya, tentu saja.

Karena sampai sekarang ini, kecerdasan manusia yang dijelaskan melalui teknologi wahana luar angkasa, belumlah mampu menemukan benda yang memiliki ciri-ciri seperti bumi. Ada atmosir, ada air, ada tanah, ada kehidupan.

Bicara-bicara soal refleksi, aku ingat nasihat guruku yang sederhana. Mulailah menjaga lingkungan alam sekitar dengan baik. Sebab, bumi bisa kehilangan eksistensinya karena menipisnya atmosfir. Kelihangan atmosfir berarti kehilangan pelindung yang berfungsi membakar meteorid yang setiap waktu bisa menumbuk.

Bumi bisa senasib dengan Venus. Benda langit yang tidak punya atmosfir. Suhu udara menjadi panas karena efek rumah kaca.

****

Di Planetarium orang akan di bawa mengenal lebih jauh tentang tata surya.
Masing-masing anggota tata surya dibahas, misalnya tentang komet, asteroid, materi antarplanet dan benda-benda lain yang sering disebut sebagai penjelajah kecil di tata surya.

Kemudian tentang pembentukan tata surya. Di sana menjelaskan tentang tentang berbagai teori percobaan yang dilakukan untuk menyingkap tabir pembentukan tata surya.

Singkat cerita, kita juga akan dibawa untuk melihat fakta bahwa bumi ini hanya satu titik bintang di Galaksi Bima Sakti. Bumi hanyalah satu dari 400 milyar bintang yang berada dalam galaksi itu.

Di alam semesta yang tidak ada satupun manusia yang mengetahui batas pinggirnya, ada jutaan galaksi. Dan masing-masing galaksi memiliki antara 400 dan 800 milyar bintang.

Naik Taksi Kota Sungai ke Barito

Hari kedua di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Cuacanya cerah sekali. Hari itu memang kami rencanakan untuk pergi ke Pasar Terapung Muara Kuin di atas sungai Barito di muara sungai Kuin, Banjarmasin.

Aku mau mereportase perjalanan ke pasar tradisional yang sohor di Indonesia itu. Temanku, Wisnu, fotografer harian Kompas, juga ingin memotret aktivitas pedagang di sana. Romauli, wartawati Sinar Harapan, juga ingin sekali menulisnya.

Pukul 4.30 WITA atau sekitar pukul 3.30 WIB, kami meninggalkan tempat penginapan di Hotel Batung Batulis di Jalan Ahmad Yani. Kami takut telat sampai di sana.
Kata orang Banjar, pasar itu akan tutup jam 9.00. Pada jam-jam segitu, sudah tidak akan menemui kegiatan pedagang.

Kami jalan kaki ke dermaga kecil. Orang sana menyebut lokasi itu Pelabuhan Provinsi. Letaknya sekitar dua puluh meter dari penginapan. Jadi, kami tinggal jalan kaki ke sana. Sampai di pelabuhan, perahu yang sebelumnya sudah kami sewa sudah siap.

Aku lebih familiar menyebut tumpangan kami itu sebagai perahu. Kalau di Muaragembong, Kabupaten Bekasi, tempat pertama kali aku naik perahu semacam ini, itu dinamai Perahu Kelotok. Perahu yang digerakkan oleh mesin diesel. Berbahan bakar solar.

Perahu yang akan kami tumpangi ini dibuat dengan bahan dasar kayu. Ukuran badannya sekitar 6x2 meter. Bagi orang Banjar, benda ini namanya bukan perahu, melainkan
Taksi Kota.

Aku agak lama bisa menerima penyebutan perahu pelotok menjadi Taksi Kota. Mungkin karena, dalam konsep berpikirku, yang namanya taksi itu ya kendaraan roda empat, ber AC, yang bergerak di jalan raya beraspal.

Aku tidak mau berdebat dengan istilah. Tapi pengalaman ini menegaskan bahwa agar jangan sering-sering menerima konsep-konsep tentang sesuatu pengalaman. Karena akan menjadi susah menerima suatu ketika menemukan perbedaan.

Tapi, yang terpenting terletak pada prinsip kerjanya. Perahu dan taksi prinsip kerjanya sama. Yaitu berfungsi untuk transportasi. Karena di Jakarta kondisi sungainya tidak mendukung, maka masyarakat tidak menggunakan perahu untuk bepergian jauh. Ibukota lebih banyak jalan darat, maka taksinya jalan di darat.

Sedangkan kalau di Banjarmasin, umumnya lalu lintas warga di sana memanfaatkan jasa perahu untuk bepergian. Karena memang di daerah ini sangat banyak daerah aliran sungai yang menghubungkan satu tempat ke tempat lainnya.

Pemilik Taksi Kota sudah siap. Namanya Pak Ismit Inunu. Dia berusia 60 tahun. Pak Ismit berdiri di bibir Taksi Kota. Dia menjaga posisi perahu dengan bangunan dermaga agar ketika kami melangkah ke perahu, perahunya tidak bergerak menjauh. Kami melompat ke atap Taksi Kota sebelum masuk ke dalam perahu.

Lalu, kami harus merunduk sedalam-dalamnya agar bisa masuk Taksi Kota. Kalau tidak begitu, kepala bisa terbentur atap perahu. Di dalam Taksi Kota tidak ada tempat duduk semacam bangku. Melainkan, hanya gelosoran di ruangan kosong yang dihampari karpet.

Kami duduk bersila sambil mencari tempat yang tidak basah karena embun. Aku duduk di dekat Pak Ismit yang mulai mengoperasikan Taksi Kota. Taksi ini suaranya mirip mesin bajaj yang jarang dibawa ke bengkel dibersihkan mesinnya. Berisik bukan main. Beberapa waktu kemudian, taksi ini mulai menembus kegelapan Sungai Martapura.

*********

Aku memandang langit. Sangat cerah. Bulan bersinar penuh. Bintang-bintang sangat terang. Rasi bintang Salib Selatan atau rasi layang-layang (Gubuk Penceng) terlihat sangat jelas. Bintang inilah yang digunakan orang tradisional sebagai penunjuk arah Selatan.

Pemandangan langit seperti yang tentu tidak mungkin dilihat dari Ibukota Jakarta. Kalau di Jakarta, polusi cahaya dan udara telah membatasi mata manusia untuk menyaksikan betapa indahnya luar angkasa.

Kami menyusuri Sungai Martapura. Setelah agak lama berjalan di atas sungai besar itu, Pak Ismit membelokkan perahu. Kami memasuki Sungai Kuin. Sungai ini menghubungkan ke Sungai Barito yang menjadi tujuan kami.

Bangunan-bangunan beton seperti yang kami lewati di sepanjang Sungai Martapura, kini sudah tidak tampak. Sekarang, kami melewati perkampungan tradisional. Aku menyebutnya tradisional karena rumah-rumah penduduk di sini letaknya menjorok ke sungai. Tiang-tiang penyangga rumah tertanam ke dasar sungai.

Sebagian besar rumah menghadap ke sungai. Itulah yang paling kukagumi. Betapa mereka menghargai dan menghormati eksistensi sungai. Seolah-olah sungai sebagai taman rumah. Dan tentu saja, mereka akan menjaga keindahan sungai itu agar elok.

Aku bilang, orang Banjar ini sangat menyintai sungai. Seperti orang kampungku, menyintai sawah. Sebagian penduduk yang tinggal rumah-rumah tepi sungai, pagi itu pada duduk di papan kayu depan rumah. Awalnya, kupikir mereka sedang buang air besar. Tapi ternyata tidak.

Mereka sedang menggosok gigi. Mereka pakai gayung untuk mengambil air kali dan digunakan untuk berkumur-kumur. Ada juga yang cuci muka, ada juga yang mandi. Betapa pemandangan itu sangat indah.

Lalu aku membuat kesimpulan. Sungai di Banjar, sungai yang sangat dihargai manusia yang menetap di sekitarnya. Betapa bahagianya sungai ini. Atau betapa senangnya manusia di sini dilayani semua kebutuhan dasarnya oleh sungai dengan baik seperti itu.

Kata Pak Ismit, orang Banjar memang umumnya menggantungkan hidup kepada sungai. Kepada alam. Itu sebabnya, mereka menganggap sungai sebagai bagian dari keseharian. Dalam pengertian, mereka ikut melestarikan sungai.

Seperti Pak Ismit sendiri. Sungai adalah tempat usaha. Tiga puluh tahun lamanya dia menjadi nahkoda Taksi Kota. Berkeliling Kalimantan. Dia berhasil menghidupi enam orang anaknya. Itu semua karena jasa sungai.

Begitu juga dengan penduduk lainnya, mereka menggunakan sungai untuk tempat berdagang makanan, mencari ikan, dan lain sebagainya. Orang Banjarmasin banyak yang bisa naik haji juga karena jasa sungai.

Maka itu, wajib hukumnya bagi penduduk tradisional ini untuk menjaga sungai sebaik-baiknya.

Di beberapa titik kuperhatikan ada pos keamanan. Kata Pak Ismit, pos itu tempat penjagaan. Namanya LSA, Lalu Lintas Air. Mereka bertugas untuk menjaga keamanan sekaligus kontrol kebersihan sungai. Oh, luar biasa, pikirku. Benar-benar membanggakan.

*****

Pak Ismit selalu menyalakan senter dan menyorotkan cahayanya ke arah depan, tiap Taksi Kelotok yang kami tumpangi hendak berpapasan dengan Taksi Kota lainnya.
Menurutku, sorot senter itu merupakan komunikasi bagi satu nahkoda dengan nakoda lainnya. Sebagai penjelasan bahwa ada perahu di depan dan harap hati-hati. Atau juga bisa dimaknai, sukses buat anda, hati hati di jalan, dan jaga keselamatan penumpang.
Lampu adalah bahasa lain dari klakson. Taksi Jakarta, umumnya menggunakan klakson untuk memberi peringatan, walau memang kadang pakai lampu mobil juga kalau malam.

Perahu-perahu yang berpapasan dengan kami sebagian mengangkut sayur mayur. Mungkin mereka baru saja belanja di pasar apung Barito. Sayur-sayur yang banyak itu tentunya bukan untuk kebutuhan sendiri, melainkan untuk dijual kembali ke kampung-kampung.

Betul juga perkiraanku. Di beberapa lokasi, kuperhatikan ada perahu berjalan pelan di pinggir sungai. Mereka menawarkan sayur, kelapa, dan buah-buahan, kepada penduduk yang tinggal di rumah-rumah panggung. “Sayur, sayur, sayuuur….” katanya.

Mereka jualan menyusuri sungai. Dan akan berhenti di tepat di bawah pintu rumah, jika ada penduduk yang ingin belanja. Transaksi yang sangat mengesankan. Inilah kehidupan di sungai. Sungai telah memberikan banyak manfaat, sungai telah memberikan banyak pelayanan kepada manusia.

****

Ketika gelombang sinar matahari mulai menggantikan terangnya bulan dan bintang, perahu Pak Ismit tiba di Sungai Barito.

Sungai Barito berukuran lebih besar dari Sungai Kuin. Karena sungai ini merupakan muaranya Sungai Kuin. Sungai terkenal ini lebarnya kira-kira setengah kilometer dan kedalamannya kata orang mencapai lebih dari 20 meter.

Aktivitas di sungai ini kelihatan lebih berat. Di ujung sana ada kapal tongkang yang mengangkut batu bara. Tidak jauh dari Taksi Kotaku, sedang terparkir tongkang pengangkut kayu. Di sebelahnya berdiri dengan seramnya, kapal tua pengangkut jeligen-jeligen besar, entah apa isinya.

Sungai ini rupanya punya kewajiban jauh lebih berat. Mereka harus memberikan pelayanan ekstra kepada manusia. Aku berharap kerja keras air sungai di sini juga dihargai. Paling tidak manusia-manusia pengendali kapal-kapal besar itu tidak merusak lingkungan dan membuang limbah asal-asalan. Dengan begitu ekosistem sungai tetap terjaga.

Taksi Kota Pak Ismit berjalan dengan segagah-gagahnya. Makin banyak perahu-perahu pengangkut yang berpapasan dengan kami. Di sebelah kami, ada Taksi Kota lainna yang ngebut dan menyalip Taksi Kotaku. Perahu Kelotok itu rupanya membawa turis. Mungkin mereka ingin ke pasar apung juga.

Di sebelah tengah sungai ada perahu beratap berhenti. Lama-lama diperhatikan, ada sesuatu yang unik terjadi di sana. Oh, rupanya itu rumah makan. Rumah makan terapung. Namanya Warung Tatamba Lapar. Menunya sop, soto Banjar, rawon, gabus, dan lain sebagainya.

Rupanya di dalam perahu itu ada banyak orang sedang makan. Perahunya sebesar Taksi Kota ini. Tapi didesain sebagai rumah makan, ada bangku-bangku pendek sebagai tempat meletakkan mangkok-mangkok wadah makanannya.

Makan soto dan minum teh panas di atas air di tengah Sungai Barito. Mereka bergoyang-goyang ketika ada perahu melintasi air dekat warung makan. Fantastik.

****

“Buah-buah, kelapa, kelapa,” kata salah satu pedagang. Yang di ujung sana juga bilang, “sayur, sayur, sayur.”

Kami sudah sampai di pasar apung Barito. Puluhan perahu kecil berderet di atas sungai dari pinggir sampai tengah sungai. Ibu-ibu dan bapak-bapak mengenakan caping besar.

Mereka duduk di antara sayur-sayuran yang tertata rapi di perahu. Begitu juga dengan dagangan buah-buahan. Semuanya ditata rapi sehingga terlihat cantik di atas sungai. Umumnya yang dijual di sana adalah hasil bumi.

Ibu-ibu menyapa perahu-perahu yang baru datang. Mereka menawarkan dagangannya. Untuk oleh-oleh bagi para pelancong. Atau untuk didagangkan kembali bagi pedagang eceran.
Kami beli jeruk dan sawo. Jeruknya berkulit hijau. Kalau dimakan ada yang kecut, ada juga yangmanis. Tidak mengapa. Bukan rasa yang sedang kami cari, melainkan fantasi ketika sedang bertransaksi di atas sungai yang eksotis ini.

Ada banyak cara ibu dan bapak pedagang itu menjual dagangan. Ada yang hanya berhenti dan menunggu orang mendekati mereka. Ada juga sambil mendayung perahu untuk berkeliling sekitar pasar untuk menjajakan dagangan.

Pak Ismit mesti hati-hati di sini. Karena perahunya bisa secara tidak sengaja disodok perahu pedagang yang keliling itu. Kalau perahu pedagang mau lewat, biasanya mereka berteriak kepada Pak Ismit agar diberikan ruang untuk maju. Pak Ismit dengan sabar menuruti perintah-perintah semacam itu.

Kalau belanja dengan perahu yang keliling itu enak, kami tinggal duduk di perahu dan mereka menyodorkannya ke kami. Tapi kalau yang kita mau membeli sesuatu, sementara perahu kami tidak bisa mendekati perahu pedagang, maka, harus berteriak-teriak.
Biasanya juga, kami harus menggunakan semacam kayu untuk memilih-milih barang karena jaraknya yang agak jauh dengan perahu milik pedagang.

Wisnu, fotografer Kompas, sibuk menemukan sudut pandang untuk memotret. Romauli sibuk membuat pengamatan. Aku sendiri sibuk memperhatikan bule-bule di atas perahu yang sepertinya ramai sekali di tengah-tengah para pedagang.

Bule-bule itu belanja makanan dan memakannya di tempat. Mereka minta tolong sopir Taksi Kotanya untuk memotret diri mereka. Bule ini ingin menjelaskan betapa mereka ingin memeluk dan mencium sepuas-puasnya Pasar Barito ini.

Pak Ismit bilang, pasar ini memang menjadi tujuan wisata. Pasar ini termasuk salah satu pasar tertua di Pulau Kalimantan.(bersambung)

Friday, July 17, 2009

Memaknai Kebebasan dari Mbah Surip

Beberapa hari ini, nada tunggu telepon genggam fungsionaris Partai Gerindra, Haryanto Taslam, berubah. Lagunya tidak lagi bertema kampanye calon presiden Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto, melainkan, ‘tak gendong, ke mana-mana, tak gendong…”

Itu adalah lagunya Mbah Surip. Seniman yang kehadirannya seperti keajaiban di blantika musik Indonesia. Pelan-pelan tapi pasti, melejit.

Haryanto menyukai karya Mbah Surip. Itu sebabnya, Haryanto memutuskan langsung mengganti nada tunggu teleponnya.

Mbah Surip. Namanya mulai sohor belakangan ini. Selama ini dia bergabung dengan beberapa komunitas pecinta seni. Antara lain, komunitas seniman Teguh Karya, Aquila, Bulungan, sampai komunitas seniman di Taman Ismail Marzuki.

Dengan gaya slebor dan tawa khasnya, Mbah Surip kemudian menapak dunia rekaman. Lalu dia merekam albumnya di cakram rekaman. Antara lain Ijo Royo-royo (1997), Indonesia I (1998), Reformasi (1998), Tak Gendong (2003) dan Barang Baru (2004).

Sosok Mbah Surip ini begitu digemari oleh fans-nya. Dia dianggap tokoh yang mewakili orang dengan jiwa bebas. Berpikiran bebas. Dan semangat hidup dan berkarya dengan bebas pula.

Itulah yang menginspirasi Haryanto Taslam. Kebebasan semacam itulah yang harusnya menjadi tujuan.

Gaya fisik Mbah Surip tidak perlu diperdebatkan secara serius. Tapi bagaimana dia mampu mengekspresikan apa yang jadi keinginannya itulah yang menarik dan perlu jadi bahan diskusi.

Mbah Surip ingin menjelaskan bahwa menjalani dan menuntaskan hidup ini kuncinya ialah semangat dan bebas itu. Bebas dalam pengertian tetap sadar bahwa orang lain juga memiliki kebebasan hidup di dunia ini.

Si embah itu juga telah menjelaskan bahwa orang yang tidak boleh begitu saja dikendalikan oleh konsep-konsep yang dianut pada umumnya masyarakat. Karena jika hal ituyang terjadi, maka orang akan terkungkung dan tidak lepas. Kebebasan Mbah Surip dimunculkan lewat karya dan gaya hidupnya.

Gaya Mbah Surip memang berbeda dengan orang yang menjalani bidang profesional lainnya. Tetapi, dalam konteks ini, yang terpenting ialah masing-masing professional itu memiliki kebebasan pikiran sehingga memiliki semangat yang maksimal.

Sekarang ini banyak orang yang tidak mampu berpikir merdeka. Sebab, mereka hidup dalam lingkaran tekanan-tekanan atau batasan-batasan yang diciptakan sistem tertentu.

“Where are you going? Ok I'm where are you going? Ok my darling.”

Sunday, July 5, 2009

Sujiwo Tejo Buka-bukaan

Siapa orang Indonesia yang tak kenal Sujiwo Tejo. Sujiwo dikenal sebagai seorang dalang dengan gaya eksentrik, musisi etnik, pelakon, dan penulis. Dia juga tipe orang yang ngeyelan (suka berdebat).

Ada satu sisi lagi dari dia. Pria kelahiran Jember 1962 ini adalah pengikut golongan putih alias golput jika tiba waktu Pemilihan Umum. Puluhan tahun pikiran Sujiwo Tejo diselubungi sikap pesimistis dengan hasil Pemilu. Tejo pun menjauh dari segala macam pernik Pemilu.

Itu dulu. Tahun ini ada perubahan radikal dalam alam pikir yang berambut gondrong itu. Tejo mendapat pencerahan yang menuntunnya agar tidak Golput lagi pada Pemilihan Presiden 8 Juli 2009.

Yang membuat Sujiwo Tejo sadar ialah wejangan orang tuanya. “Kata orang tuaku, hidup jangan hanya untuk diri sendiri,” kata Tejo yang baru-baru ini mencukur pendek rambutnya demi bermain di film Calo Presiden.

Sekarang dia sudah optimistis. Menurutnya orang harus punya pilihan politik. Tapi pilihan itu harus jujur, bukan atas kehendak dan kepentingan orang lain. “Pertimbanganku agar pemilihan ini bisa lebih baik. Aku ingin Indonesia ini lebih baik,” kata mantan wartawan Harian Kompas itu.

Lalu siapa yang akan dipilih Sujiwo Tejo pada 8 Juli nanti? “JK (Jusuf Kalla) – Wiranto.”

Bagi Tejo, duet JK-Wiranto telah mendobrak mitos bahwa yang pantas memimpin Indonesia hanyalah orang Jawa. Tapi kehadiran JK yang merupakan representasi etnis Bugis dan Wiranto mewakili Jawa telah mementahkannya.

Tejo mengatakan suksesnya Kerajaan Sriwijaya di masa lalu menguasai Nusantara bukan hanya karena etnis Jawa. Tapi dibantu oleh etnis-etnis lainnya.

Itu sebabnya Tejo tidak setuju dengan mitos bahwa hanya Jawa yang unggul. Dia mengatakan justru sebaliknya, kekuatan Nusantara ada pada keanekaragamannya.

Secara pribadi Tejo menyukai pembawaan JK yang orisinil. “Ceplas-ceplos,” katanya. Ceplas-ceplos yang dimaksud Tejo ialah cara JK bicara di depan publik selalu cair, tidak dibuat-buat, dan penjelasannya rasional.

“Bayangkan, betapa capeknya kalau berteman sama orang yang penuh aturan dan kaku,” katanya.

Itulah sebabnya Tejo yakin JK-Wiranto serius untuk membangun Indonesia lima tahun ke depan. Salah satu bentuk kecintaannya pada duet itu, Tejo dan Ipank Wahid merancang iklan kampanye politik. Skenarionya dibikin Tejo, sedangkan visualnya oleh Ipank.

Ide pembuatan iklan muncul pada 8 Juni 2009. Setelah konsepnya disetujui tim JK-Wiranto, mulailah iklan itu digarap 27 Juni 2009.

“Setelah iklan muncul, lumayanlah hasilnya. Ada orang yang kemudian mempertimbangkan ulang untuk tidak pilih calon presiden, selain kepada JK,” kata drop out Institut Teknologi Bandung itu.

Tapi, ada juga orang mengritik. Misalnya mengapa dalam iklan itu Tejo harus bilang bahwa demi ibunya, Sulastri, maka tidak golput. “Kata mereka, demi itu harus demi Allah, bukan yang lain. Tapi, bagiku, ibuku itu sangat dekat denganku,” katanya.

Dia menggambarkan kecintaannya pada ibu. Waktu kecil, setiap kali hendak pergi, Tejo selalu sujud di depan pintu dengan menghadap ke arah utara dan selatan. Lalu, ibunya diminta untuk melangkahi badannya.

(Penulis: wes yo ceritanya. Ini dulu. Bahan ceritanya masih ada sih, nanti disambung lagi.... ;-)salam VIVAnews)

Sepeda Motorku Negeriku

Aku punya sepeda motor. Bisa dibilang usianya agak tua. Walau begitu, mesin motorku ini tidak pernah ngadat. Itu sebabnya, tidak pernah kuganti. Lancar diajak kemana pun keliling Jakarta. Rileks dan praktis dibandingkan jenis kendaraan lainnya untuk menemani selama di Ibukota.

Tapi, tiap kali teman-teman melihat motorku, pastilah berkomentar. Ada yang bilang kotor. Ada yang bilang geli. Ada yang bilang jorok. Ada yang bilang kasihan. Ada yang tanya, apa motor ini baru jatuh dari got. Sebagian lagi tanya, apa motor ini baru baru diajak balapan di sawah.

Sampai-sampai pak kos dan ibu kosku tiap dua hari sekali mengingatkanku supaya mampir di tukang cuci Golden Truly. Pernah ada juga yang iseng, di knalpot sepeda motorku ditulisi ‘motor jorok, cuci dong.’

Terus, tiap kali aku berhenti di lampu merah di pagi hari, pengendara kendaraan di sekitarku, pasti melihat ke arah motorku. Mungkin mereka berpikir, ini motor betul-betul kacau, sekacau pengendaranya.

Intinya mereka bilang bahwa aku ini pemilik motor yang tidak bertanggung jawab. Hanya memaknai motor sebagai seonggok mesin belaka, tapi tidak mau melihat dari sisi sosial dan loyalitas yang dihasilkan mesin kepada manusia yang telah menciptakannya.

Mereka mengatakan kepadaku bahwa aku hanya memikirkan urusan sendiri, tanpa mempertimbangkan bagaimana kesiapan segala sesuatu yang mendukung proses untuk menyelesaikan urusan-urusan nafkah.

Apapun yang mereka amati atas motorku kemudian digunakan untuk menilaiku, itu masuk akal. Tidak ada argumentasi untuk mementahkan kekotoran tadi.

Sebenarnya memang sudah agak lama teman mesinku yang paling setia ini tidak dicuci. Terakhir kucuci di Kota Bekasi pada akhir 2008.

Ketika kucuci itu, Jakarta masih musim penghujan. Dan sekarang ini rupanya sudah musim kemarau dan sebentar lagi mau musim hujan lagi.

Pelek roda yang dulu mengkilap, sekarang coklat karena tanah. Besi-besi kerangka motor juga berdebu tebal. Body motornya juga coklat. Blok mesin penuh oli. Kaca lampu depan berwarna coklat. Lampu mati, lampu kiri kanan mati.

Pokoknya, kalau melihat motor itu dari sudut pandang manapun, pasti kesimpulannya ialah menyedihkan.

Baiklah. Menyedihkan. Menyusahkan. Jorok. Kacau. Ketidakpedulian dan lain sebagainya. Kuterima dengan kesadaran.

Tapi, sesungguhnya aku punya penjelasan sendiri soal semua itu.

Sengaja aku tidak pernah mencucinya karena ingin melihat seperti apa kalau motor sangat kotor. Apa yang akan terjadi kalau mesin motor kubiarkan tak terurus. Tak pernah kuikuti sistem pemeliharaan mesin sebagaimana diatur oleh perusahaan yang menciptakan motor itu.

Sepeda motor jorok tiap hari lewat jalan utama ibukota, Jalan Sudirman dan Jalan Thamrin. Tiap hari lewat Istana Merdeka. Lewat gedung-gedung pencakar langit yang melambangkan modernitas dan optimisme Jakarta di mata dunia.

Aku juga ingin melihat seperti apa reaksi orang-orang Jakarta ini ketika melihatku dan sepeda motorku. Aku ingin menikmati sebagai orang yang akan dianggap jorok di jalanan. Sejorok polusi udara dan polusi cahaya yang sesungguhnya tiap menit juga dihasilkan oleh penghuni Ibukota.

Aku ingin membayangkan motorku adalah negeriku Indonesia. Dan aku berimajinasi sebagai orang yang sedang memimpin negeri itu. Besi, aluminium, plastik dan karet yang tersusun menjadi sebuah alat berjalan yang disebut sepeda motor yang kupakai itu kugambarkan sebagai masyarakat. Sebagai elemen-elemen yang membentuk sistem pemerintahan.

Semua itu tidak kuurus. Kubiarkan berjalan sendiri-sendiri. Aku sebagai pemimpin, tapi berlaku tidak mau bertanggung jawab atas tanah air udara yang menyediakan penghidupan bagi rakyat yang dipimpin.

Singkat cerita, bayangkan, jika pemimpin negeri ini betul-betul sepertiku. Sengaja tidak berperan sebagai penanggung jawab karena hanya berpikir untuk diri sendiri. Tidak berperan menjadi pemimpin yang semestinya dan menjalankan pemerintahan sekehendak penafsirannya.

Lalu, apa yang kelak terjadi. Ya motorku itu realitasnya. Kondisi di mana hanya kekacau balauan.

Jadi, kuharap, siapapun pemimpin Indonesia yang kelak dihasilkan dalam pemilihan presiden 2009, dapat mengelola negeri tidak seperti menangani sepeda motorku ;-)