Sunday, May 30, 2010

Gocing (8)

KARENA setiap hari harus menulis minimal tiga berita, dalam waktu sepekan, aku mulai bisa lancar menyusun data-data hasil wawancara menjadi baris- baris kalimat. Motivasi teman-temankulah yang membikin aku tetap bersemangat sampai akhirnya redakturku jarang protes karena tulisanku kacau balau.

Saat sudah memasuki pekan ke empat. Sudah banyak wartawan yang liputan di daerah Gunung Jaya yang kukenal. Sehabis mengirimkan berita ke redaksi dari warnet langganan, aku iseng-iseng main ke ruang wartawan di kantor polisi. Ternyata di sana ada beberapa wartawan yang usianya sudah tua.

Salah satunya bernama Bonarman. Dia sering hadir mengikuti acara-acara konferensi pers yang dilakukan polisi. Waktu aku masuk dan dia melihat kedatanganku, sikapnya seperti sedang punya masalah besar denganku.

Dia bicara nyerocos yang intinya tidak menyukai teman-temanku yang biasa mengetik satu warnet denganku. Dari cerocosan Bonarman bisa disimpulkan kalau saat ini sedang terjadi konflik besar antar wartawan. Kelompoknya Bonarman tidak suka dengan teman-temanku karena belum lama ini mereka pernah menulis tentang wartawan yang menerima kucuran uang dari pengusaha.

Wartawan yang terima uang dari pengusaha itu tidak lain adalah kelompoknya Bonarman ini. Aku tahu itu karena Bonarman mengakui sendiri.

“Menerima uang itu urusan masing-masing wartawan. Yang penting tidak mempengaruhi berita. Kenapa juga hal ini mesti ditulis sama mereka,” kata Bonarman.

Dan karena aku dekat dengan Damin, Pak Rosyid, dan Prilia, maka Bonarman pidato tentang ketidaksukaannya dengan teman-temanku itu. Dan secara tersirat, Bonarman juga menolak kehadiranku di lingkungan kantor polisi yang sepertinya ingin dikuasainya.

“Aku tidak tahu soal itu. Aku masih baru di sini dan ingin banyak belajar dengan teman-teman semua,” kataku berharap agar Bonarman diam.

Dalam hatiku, wartawan macam Bonarman inilah yang dimaksud oleh Pak Koting sebagai wartawan amplop. Wartawan yang merusak citra dunia pers. Mereka merasa benar sendiri.

Aku cuma diam saja. Bonarman bicara macam-macam. Sampai akhirnya dia diam sendiri setelah mobil polisi keluar. Belakangan aku tahu, mobil itu sedang menuju ke tempat kejadian perkara kriminal. Karena Bonarman dan teman-temannya langsung lari menuju sepeda motor dan selanjutnya mengejar mobil polisi, akupun ikut dengan motorku sendiri.

Aku berada di baris paling belakang rombongan Bonarman. Malam ini aku mulai belajar lebih banyak. Watak wartawan itu beda-beda, ada yang tidak suka diganggu kalau terima duit dari narasumber, tapi ada juga yang idealis dan berani menulis perilaku nakal wartawan di lapangan.

Dalam perjalanan mengikuti mobil polisi, aku juga bersyukur, rupanya begini cara kerja wartawan kriminal. Naluri berita harus sensitif. Kalau melihat mobil polisi jalan dari kantor polisi, aku harus curiga. Pasti ada kejadian penting.

Benar saja. Ada perampokan di salah satu kampung. Begitu tiba, polisi tadi segera menemui korban dan setelah bincang-bincang sebentar mereka melakukan olah tempat kejadian perkara begitu.

Sepanjang liputan di tempat itu, Bonarman dan teman-temannya tidak ada yang mau bersahabat denganku. Mereka sepertinya tidak menginginkanku berada di tempat ini. Tapi, aku cuek saja. Tanpa mereka, aku sudah bisa, karena aku sudah banyak belajar liputan bersama teman-temanku lainnya.

Aku wawancara korban sendirian. Aku wawancara warga. Aku juga wawancara komandan polisi sendirian. Tapi sebelum minta keterangan komandan itu, aku perkenalkan diri.

Komandan itu agaknya senang juga dengan gayaku. Logatku yang kental Jawa, membikin dia tertawa. Bolehlau komandan tertawa, tapi kompensasinya, aku wawancara dia panjang sekali mengenai kronologis kasus perampokan di rumah pengusaha garmen ini.

Begitu selesai, rombongan Bonarman datang. Mereka cuma dapat kesempatan sebentar untuk wawancara komandan polisi. Sebab, waktu itu, komandan ingin segera pergi dari lokasi. Kudengar, komandan minta Bonarman dan teman-temannya bertanya saja kepadaku karena semua keterangan sudah diberikan padaku.

Ada yang lucu lagi. Pada waktu komandan akan naik mobil, Bonarman masih menempelnya. Lalu, kulihat, dari dalam mobil, komandan memberikan beberapa lembar uang kepada Bonarman. Setelah itu, Bonarman pergi bargabung ke teman-temannya.

Waktu itu, aku tidak segera pergi meninggalkan tempat kejadian perkara, walau polisi telah selesai melakukan pemeriksaan. Soalnya, aku ingat pesan komandan yang berlogat Batak tadi agar Bonarman dan kawan-kawan minta data kepadaku. “Bang Bonarman jadi minta data tidak ini,” kataku.

Bonarman bilang, “lain kali kalau wawancara bareng dong, biar polisi tidak dua kali memberi keterangan.”

“Abang kemana aja tadi, jadinya aku duluan yang minta keterangan. Lagi pula, teman-teman lainnya juga tidak mau waktu kuajak wawancara bareng,” jawabku. Bonarman tidak jawab lagi.

Karena keterangan polisi sangat penting untuk melengkapi berita dan data, akhirnya Bonarman seperti anak manis di depanku. Kubacakan semua data yang diberikan komandan tadi kepadanya. Dan dia mencatatnya. Sekali-sekali dia minta aku mengulang.

Akhirnya selesai. Sebelum kami semua pergi. Bonarman bilang kepadaku, tadi ada titipan dari komandan. Maksudnya, ada uang yang diberikan komandan lewat Bonarman. Dia memberiku Rp 50 ribu. “Buat abang aja. Aku tidak mau,” kataku. Dia masih mencoba memberikan uang lagi, tapi akhirnya dia kantongi sendiri.

Sepanjang perjalanan pulang, aku senang. Aku sudah punya satu berita kriminal bagus. Aku juga menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri, Bonarman mempermalukan dirinya dengan minta uang. Itu membuatku merasa lebih percaya diri jadi wartawan.

Saturday, May 29, 2010

Gocing (7)

“Nek, kuliahku sudah selesai dan aku tidak bisa pulang karena kupikir, lebih baik aku langsung cari kerja dulu,” tulisku di surat yang kukirim ke nenek di akhir musim hujan.

Aku ceritakan ke nenek. Aku berhasil menyelesaikan kuliah dengan baik. Nilaiku semuanya A. Dan aku termasuk, salah satu mahasiswa yang berprestasi di kampus. Tidak sia-sia perjuanganku dan semangat yang selalu dikobarkan nenek dan teman-temanku di Wonogiri selama ini. Setidaknya, untuk sementara ini aku bisa bangga.

“Aku sudah mengirimkan surat ke kantor koran yang bagus, nek. Kuharap secepatnya dapat panggilan,” tulisku di surat yang kukirim ke nenek di lain hari. “Salam hormat.”

Dalam keadaan tidak punya kegiatan seperti sekarang, aku kangen juga mendapat kiriman makanan dari nenek. Dulu, waktu masih SMA, aku sering dititipi lauk pauk lewat bantuan si Peci. Sekarang, aku sudah di Jakarta. Tidak mungkin nenekku mengirimi lauk lagi seperti waktu itu. Hidup di ibukota benar-benar harus mandiri.

Korespondensiku dengan teman-teman di Wonogiri masih tetap terjaga setiap sebulan sekali. Terutama adik perempuanku yang kini sudah masuk SMP. Dia lebih berbahagia dibandingkan aku. Dia lebih dekat dengan ibu dan bapak tiriku.

Mencuri kelapa, mengolesi balsam pada anus sapi tetangga, merusak pagar tetangga atau dimaki-maki orang dewasa yang meteran listriknya kumatikan. Aku tertawa sendiri tiap ingat itu. Atau mengerjai si Botak gendut di asrama masjid. Aku sungguh kasihan padanya.

Supaya tidak terlarut dalam rasa bosan, kalau lagi sendirian di kos, aku selalu berlatih membuat cerpen. Temanya tentang masa kecilku.

Di minggu pertama bulan Januari ini, tiba-tiba telponku berdering. Ternyata aku dapat panggilan kerja dari salah satu media nasional. Aku girang bukan main. Sore hari ini juga aku diminta datang ke sekretariat redaksi untuk bertemu koordinator liputan.

Sampai di redaksi, aku langsung bertemu dengan koordinator liputan. Aku langsung dapat surat penugasan sebagai pengganti ID Card untuk sementara waktu. Aku ditugasi untuk meliput Kota dan Kabupaten Gunung Jaya. Tempatnya masih berdekatan dengan Jakarta.

Dari redaksi aku pulang lagi ke kos. Malam ini juga aku bersiap-siap pindahan. Barang-barang ini tidak mungkin kubawa sekaligus besok. Harus bertahap. Setelah selesai mengepak aset pribadi, aku sama tidak bisa tidur. Aku senang dan bangga betul. Cita-citaku untuk masuk ke media akhirnya tercapai.

Pagi buta aku meluncur ke Gunung Jaya. Daerah yang sama sekali masih asing buatku. Pertama-tama yang harus kulakukan ialah mencari kos. Tidak terlalu sulit untuk mendapatkannya. Ada kos bagus dan agak luas di dekat masjid pusat Kota Gunung Jaya. Selesai bayar kos, aku bisa langsung menyimpan barang di kamar.

Hari ini waktunya mempraktekkan ilmu jurnalistik yang sudah kupelajari. Aku ingat kata koordinator mediaku, aku harus kenal teman wartawan yang sudah lebih dulu meliput di kota ini. Tempatnya kalau tidak di sekitar kantor polisi ya di sekitar kantor pemerintah.

Teman pertamaku namanya Damin. Dia wartawan dari media nasional yang kantor pusatnya di Jakarta. Orang senasib di daerah, tidak perlu waktu lama untuk saling akrab.

“Gocing, sehabis liputan, ikut aku saja. Aku punya warnet langganan di daerah ini,” kata Damin ketika kami meliput berita di salah satu kelurahan di Gunung Jaya.

“Baik, aku ikut. Tadinya aku juga berpikir-pikir soal warnet. Semoga tempatnya nyaman Min,” sahutku.
Liputan pertamaku adalah tentang kasus perampokan. Selesai wawancara aku dan Damin meluncur ke warnet. Tidak sampai seperempat jam, kami sampai di warnet langganan Damin. Tempatnya agak kecil. Ruangannya ber-AC.

Aku pakai salah satu komputer di pojok. Damin pakai komputer di sebelahku. Kubuka catatanku. Pada waktu yang bersamaan, kudengar, keyboard temanku sudah berbunyi. Tandanya dia sudah memulai menyusun data menjadi berita.

“Min, aku masih bingung. Rasanya aku belum tahu apa yang menarik yang harus kutulis jadi berita. Menulis berita, berbeda dengan menulis fiksi. Karena tulisan berita terikat pada kaidah jurnalistik.
“Kamu tulis saja Cing. Jangan berpikir macam-macam yang penting, kamu pindahkan datamu dari buku catatan ke komputer.”

Rasanya aku makin panik mendengar Damin makin cepat mengetik. Sepertinya suara keyboardnya tidak putus-putus. Lancar betul logika si Damin kurus ini. Baiklah, aku harus memulai. Sambil melirik jam yang menunjukkan waktu yang hampir deadline pengiriman berita, satu kata, dua kata, tiga kata, empat kata dan seterusnya.

Setengah jam lebih aku menyelesaikan satu tulisan berita. Ternyata si Damin sudah dua laporan yang tuntas. Melihatku panik, di amalah nyerocos. Dia menasihatiku supaya aku tidak usah berpikir tentang kaidah, yang penting tulis dulu sampai tuntas. Baru setelah itu dibaca lagi tulisannya sambil dibetul-betulkan kalau ada yang kurang tepat.

Berat sekali sore ini. Aku hampir menangis sambil menulis berita. Rasanya, aku tidak akan bisa menulis sampai selesai. Yang bikin aku merasa putus asa ialah di dalam hatiku, terus menuntut agar tulisanku langsung sempurna. Padahal, semua harus lewat proses.

Akhirnya aku berhasil menyelesaikan semua tulisan berita, walau redakturku di Jakarta mengatakan lewat telpon kalau aku telat mengirimkan berita. Aku bilang kepadanya, aku masih susah menyusun berita.

Damin sepertinya teman yang bisa diandalkan. Dia menghiburku di saat susah dan putus asa seperti ini. Dia cerita kalau semua wartawan yang baru terjun ke lapangan akan mengalami situasi sulit menyusun berita seperti yang kualami sekarang.

“Makasih ya Min. Tapi aku tidak habis pikir, jago benar kamu nulis berita ya,” kataku. Damin tertawa. Lalu, kami pergi ke warung makan. Makanlah kami di sana sambil ngobrol sana-sini.

Tidak lama setelah kami makan, beberapa orang datang. Mereka ternyata juga wartawan yang tadi mengetik di warnet. Ternyata warnet ini tidak hanya tempatnya Damin mengetik, wartawan lain pun juga bekerja di sana.

Damin mengenalkanku dengan beberapa wartawan yang baru tiba. Yang perempuan namanya Prilia, dia wartawan koran sore. Sedangkan yang satu lagi bapak-bapak. Namanya Rosyid. Pak Rosyid asalnya dari koran lokal.

Aku senang mengobrol dengan teman-teman baru ini. Mereka sepertinya bisa merasakan kesusahanku menulis berita tadi di warnet. Teman-teman saling menceritakan pengalaman masing-masing. Seperti kata Damin tadi, merekapun pada awalnya susah bukan main untuk menyusun berita.

Bahkan, Prilia bilang sampai nangis karena tidak bisa nulis. Berjam-jam di warnet, dia bengong di depan komputer karena tidak tahu harus memulai darimana. Waktu itu yang ada di kepalanya sama denganku, nafsu besar ingin menulis sempurna, tapi justru malah tidak percaya diri.

“Aku malah dibilang redakturku, laporan yang kukirim mirip proposal skripsi,” kata Pak Rosyid.
Aku agak tenang. Aku merasa tidak terlalu susah. Aku yakin, pasti aku bisa. Makin sering nulis berita, mestinya makin membentuk kepintaran penulisnya.

Hari pertama yang susah, tapi sekaligus senang karena punya teman-teman baik.

Thursday, May 27, 2010

Gocing (6)

AKU kuliah di salah satu kampus terbaik di Ibukota Jakarta. Studi yang kuambil adalah jurnalistik. Dalam hati, akhirnya aku bisa masuk juga. Bidang studi yang selama ini terngiang-ngiang di kepalaku. Studi ini terinspirasi dari para mahasiswa Yogya yang KKN di kampungku.

Para mahasiswa itu, dengan percaya diri berdialog dengan kepala desa dan dengan tokoh desa untuk membicarakan masalah-masalah pembangunan. Dulu, aku iri betul dengan mereka. Karena hasil dialog mahasiswa KKN biasanya selalu ditulis menjadi karangan panjang dan kemudian dipajang di papan pengumuman kantor desa.

Di kampus, aku mendapat ilmu menulis berita, menulis feature, teknik investigasi, teknik fotografi, etika jurnalistik, sampai manajemen media massa. Mata kuliah yang kusukai adalah etika jurnalistik. Karena ternyata belakangan aku tahu kalau semua wartawan harus tahu betul soal etika. Itu sebabnya, ilmu ini menjadi semacam dasar bagi para jurnalis sebelum terjun ke lapangan.

Karena aku suka, aku cepat menangkapnya. Semua materi dari dosen kubaca. Dan bukan cuma lewat perkuliahan, aku juga banyak baca buku-buku tentang ilmu jurnalistik. Soalnya, kalau cuma lewat dosen, tidak cukup banyak yang dapat kuserap, jadi harus mencari wawasan lewat disiplin baca buku.

Nah, ini merupakan pengalaman hidup baru. Di masa-masa penyesuaianku di Jakarta, pengalaman macam ini, tentu saja kuceritakan kepada keluargaku lewat surat.

Aku bilang sangat bangga, dimana pada akhirnya mulai tahu tentang dunia jurnalistik. Pengetahuan yang mungkin sekarang ini sangat sedikit diperhatikan anak-anak sebayaku di kampung. Teman-temanku seperti si Peci, si Mangun, si Cepuk, sudah pasti kukirimi juga surat dan kuceritakan pada mereka dunia seputar wartawan.

“Aku senang kamu bisa serius belajar,” kata si Peci suatu kali ketika membalas suratku. “Kuharap, jadilah dirimu sendiri, di sana. Ingat, jauh-jauh dari kampung, kamu harus punya prestasi di Jakarta.”

Senangnya. Nasihat-nasihat sederhana seperti itu selalu disampaikan teman-temanku di Wonogiri lewat surat yang hampir datang tiap bulan. Kami memang tidak pernah lupa untuk berkorespondensi satu sama lainnya.

Di lain hari, dalam perkuliahan etika jurnalistik. Salah satu tema yang cukup hangat dibahas dalam kelas ialah tentang wartawan dan suap dari narasumber atau yang dikenal amplop. Di ruang kuliah, dosen bilang kalau amlop dilarang dalam kode etik jurnalistik, harusnya semua wartawan dan redaksi media harus benar-benar konsisten pada kode etik yang sudah mereka sepakati bersama.

Amplop, katanya, akan berhubungan dengan karya jurnalistik. Uang sogokan bisa mempengaruhi sikap wartawan dalam menulis. Atau sikap media terhadap suatu kasus.

“Tapi, kenyataannya untuk menegakkan anti amplop itu memang susah. Banyak problem yang berkembang di lapangan,” kata dosen tua yang kupanggil Pak Koting.

Pak Koting ini dulunya wartawan senior di media besar. Jadi dia bisa menjelaskan lebih banyak tentang liku-liku amplop, wartawan, dan media. Dia tahu betul detail soal ini. Makanya, dia tahu jenis rupa-rupa sogokan kepada orang-orang media seiring dengan perkembangan jaman.

Ada yang berbentuk uang, souvenir, tiket perjalanan, sepeda motor, rumah, sampai jabatan dan masih banyak lagi. Pak Koting merangkumkan untuk mahasiswa tentang tujuan dari amplop. Yaitu hadiah yang sepertinya gratis, tapi sebenarnya ingin mempengaruhi otak wartawan. Bahkan juga kebijakan media.

Bagi Pak Koting, apapun alasan wartawan atau media menerima pemberian dari narasumber, itu tetaplah haram hukumnya. Dia tidak bisa menerima alasan menerima hadiah narasumber, misalnya bilang karena kesejahteraan kurang, bilang karena tidak akan terpengaruh dan tetap akan netral.

Menurut dosenku yang flamboyan itu, tidak juga menerima sumbangan dari narasumber karena ada alasan bahwa kantor redaksinya punya kebijakan membebaskan wartawan menerima hadiah. Bagi Pak Koting, dilarang ya tetap dilarang. Semua sudah terikat pada kode etik.

“Lebih baik cari mata pencaharian lain yang membolehkan menerima uang dari orang lain. Jangan jadi wartawan kalau mau cari untung lewat cara menerima amplop,” kata Pak Koting.

Pak Koting selalu menekankan bahwa wartawan harus bersih, kecuali memang dapat pemasukan dari honor tulisan atau gaji dari kantor. Atau hasil jerih payah lewat mengajar atau menulis buku.

Aku agak paham dengan dengan penjelasan Pak Koting. Selesai kuliah hari ini, aku tanya ke dia, bagaimana solusinya agar wartawan tidak cari tambahan lewat amplop.

“Pengusaha media itu harus menjamin bisa menggaji layak karyawannya,” kata dia. “Kalau tidak mampu, jangan bikin media. Karena kalau kesejahteraan kurang, tentu akan tergoda juga untuk menerima sogokan.”

“Tapi yang sering saya dengar itu, komunitas pers yang bikin kode etik sendiri juga memberi toleransi jumlah uang dari narasumber yang bisa diterima,” kataku. “Atau mereka membuat aturan apa saja pemberian dari narasumber yang boleh diterima wartawan atau media.”

“Bagaimana kalau yang terjadi seperti itu, wartawan boleh terima uang, asalkan masih di batas yang ditoleransi itu,” aku tambahkan. “Kan komunitas ini yang bikin aturan.”

Pak Koting bilang. Dilarang tetap dilarang. Kalau ada toleransi-toleransi, berarti komunitas pers itu harus diragukan idealismenya. Dari kuliah-kuliah di kampus, Pak Koting terasa benar idealismenya. Pendapatnya malah lebih radikal lagi. “Daripada kode etik masih saja diakal-akali, lebih baik aturan anti amplop dihapus saja. Masa ada toleransi, ini apaan.”

Kudengar, orang tua ini dulunya keluar dari media tempat dia bekerja setelah membongkar permainan proyek yang dilakukan pemimpin redaksinya. Atasannya selalu dapat kucuran dana atau kue iklan besar dengan kompensasi semua karya tulis media mengangkat yang baik-baik tentang partai itu.

Bahkan, dia sering lihat bosnya ketemu dengan calon ketua partai secara diam-diam di sebuah kafe. Esok harinya, si bos perintahkan semua anak buah untuk memberi porsi lebih besar pada kandidat ketua partai yang telah melaksanakan deal-deal tertentu dengannya.

Pak Koting juga sering mendengar obrolan bosnya di toilet redaksi. Si bos suka ngobrol dengan bahasa-bahasa menjilat seorang pengusaha yang dikenal sebagai pengemplang pajak. Pak Koting tahu itu pengusaha karena beberapa kali si bos menyebut nama pengusaha itu. Si bos sering kali memuji-muji setinggi langit si pengusaha kakap hitam itu.

Itulah sebabnya, Pak Koting sangat kecewa dengan redaksi tempatnya bekerja. Wartawan dituntut untuk idealis, wartawan diprotes kalau nulis berita dengan sikap beroposisi dengan partai tertentu. Tapi ternyata bos di redaksi juga mafia kasus dengan kedok ajaran idealisme di kantor.

Pak Koting memang jago bicara. Dia piawai mengobarkan semangat para mahasiswa jurnalistik. Sehingga tiap kali ada mata kuliahnya, kelas sudah pasti penuh. Semua mahasiswa masuk. Bahkan, mahasiswa grup lain, terkadang juga ikut nimbrung untuk dengar perkuliahan dosen ini.

Pada pertemuan kesekian kalinya di pertengahan semester, Pak Koting juga cerita soal jenis media di Indonesia. Ada koran kuning. Tapi ada juga koran yang masuk golongan bukan kuning. Media kuning biasanya untuk kelas bawah. Sedangkan media bukan koran kuning segmentasinya kalangan atas.

Koran kuning, lebih berani mengangkat berita yang bersifat menuduh, tanpa ada data kuat dan konfirmasi dengan yang bersangkutan. Mereka suka membesar-besarkan isu. Tujuannya tidak lain demi mendapatkan keuntungan materi. Uang bisa cair ke redaksi dari pihak yang dihajar lewat berita. Misalnya sogokan atau iklan.

Pengelola koran kuning juga paling suka mengangkat berita-berita bombastis. Soal politik sampai soal selangkangan. Mereka senang mempublikasikan hal-hal yang berbau seks. Karena masalah ini pasti disukai sebagian besar orang. Otomatis, tiras koran makin meningkat.

Kalau koran bukan koran kuning, biasanya agak cermat menerapkan kode etik. Koran yang masuk golongan ini sadar dengan citra. Segmentasi mereka umumnya diarahkan untuk orang-orang yang lebih mapan secara ekonomi. Jadi gengsi juga diperhatikan betul.

Tetapi, dari buku-buku yang kubaca, media non kuning sebenarnya juga sering tidak peduli kode etik. Mereka juga suka menabrak etika, tapi tentu saja pengelola media ini punya seribu argumentasi untuk membenarkannya. Bahkan, media ini kerap kali suka ikut berafilisasi ke politik tertentu atau pengusaha bermasalah.

Di lain semester, aku minta waktu untuk diskusi dengan Pak Koting. Aku ingin tahu soal dapur redaksi media. Media suka membenarkan bila mereka melanggar kode etik. Misalnya mereka tidak memenuhi syarat netralitas pemberitaan. Misalnya, ikut jadi partisan atau berafiliasi dengan partai tertentu atau pengusaha tertentu.

Media macam ini, selalu mengangkat-angkat partai atau mengawal bisnis yang pengusaha bermasalah yang didukung media. Bahkan, juga ikut membentengi bila yang partai atau pengusaha yang didukung itu punya masalah hukum. Dengan teknik-teknik jurnalistik, media ini sangat lihai memainkan pemberitaan. Tapi sebenarnya sedang melakukan pembelaan pada pihak yang sebenarnya salah.

Kalau hal-hal yang positif dan menguntungkan partai atau pengusaha, mereka kerap menjadikannya sebagai bahan untuk berita utama. Seringkali, media partisan selalu menulis dari sudut pandang yang terasa menjilat partai atau pebisnis yang didukungnya.

Media memang pintar, mereka mengakali kemasan berita biar seolah-olah netral, kuat dengan bahasa-bahasa bagus. Tapi kalau dicermati, sebenarnya pemberitaannya berbau uang kotor. Tentu saja, kemasan pemberitaannya dimodifikasi sedemikian rupa sehingga seolah-olah telah memenuhi semua standar jurnalistik.

Menjawab pertanyaanku itu, Pak Koting hanya bilang, “Soalnya, di Indonesia ini, yang paling berkuasa ada beberapa sektor, kalau bukan partai politik ya pengusaha.”

“Jadi, mereka yang selalu ikut mengendalikan arah media. Mereka bisa beli saham, mereka bisa gelontorkan iklan ke media itu sehingga itu bisa mempengaruhi arah media juga.”

Perkuliahan jurnalistik menjadi sangat menggairahkan karena Pak Koting orangnya lurus. Dia selalu tertarik untuk mengutarakan apapun tentang kecurangan-kecurangan yang dilakukan media atau kenakalan-kenakalan para wartawan di redaksi maupun di lapangan.

Dia juga bilang terkadang para jurnalis itu juga sangat munafik. Teriak-teriak anti amplop, tetapi sebenarnya mereka suka menerima berbagai rupa-rupa bantuan dari narasumber. Yang selalu mereka katakan ialah, asalkan bantuan itu tidak mempengaruhi berita, ya tidak apa-apa. “Itu sama saja kalian bohong,” pikirku.

Kalau mereka bersalah dalam memberitakan, mereka tidak terima digugat. Mereka selalu minta mediasi dan diselesaikan dengan damai. Terkadang, mereka tidak mau mengakui kesalahannya. Padahal, apa yang mereka beritakan itu sudah mencemarkan nama baik narasumber.

Kalau begitu caranya, egois juga para pekerja media. Walau memang tidak semua media seperti itu. Aku sering tidak habis pikir dengan mereka. Apa yang kurasakan ini selalu kucatat. Dan catatannya sebagian kuceritakan kepada teman-teman sekolahku dulu di Wonogiri.

Yang paling sering membalas suratku si Mangun dan si Peci. Kalau si Mangun, dia jadi guru sekolah dasar di kampung. Dulu kupikir dia mau mengabdikan diri sebagai mantra desa, meneruskan bapaknya yang sudah pensiun setahun lalu. Sedangkan si Peci, jadi guru ngaji.

Nenekku juga sangat senang menerima suratku. Lewat surat-suratnya, nenek bercerita kalau ibuku dan bapak tiriku juga bangga. Bagaimana tidak bangga, anaknya bisa mengikuti kuliah dengan baik. Dan makin jago menulis pengalaman hidup di Jakarta lewat surat.

Kubilang pada mereka lewat suratku yang berikutnya. Kalau baca koran yang biasa ditempel di kantor desa, jangan terlalu percaya seratus persen. Soalnya, terkadang, media digunakan oleh penguasa untuk menyuntikkan pengaruh. Seolah-olah semua kebijakan pemerintah itu sudah benar.

Padahal, kalau dicermati, kebijakan pemerintah banyak yang hanya mementingkan orang-orang kaya dan merugikan orang-orang kecil. Rata-rata berita koran lokal di provinsiku, selalu mengambil sudut pandang pemerintah saja kalau menulis tentang kebijakan baru.

Apalagi kalau menjelang pemilihan kepala daerah. Hampir semua koran menulis tentang kehebatan-kehebatan calon. Tidak banyak yang mengupas secara lengkap siapa calon itu dan apa alasannya dia harus dipilih rakyat.

Karena media mengambil untung dari pemberitaan macam ini, mereka tidak terlalu peduli apakah berita ini dibutuhkan orang atau tidak. Yang penting nama calon itu dimunculkan di media. Dengan begitu, media mendapat kue iklan dari mereka yang ditulis besar-besar.

Gocing (5)

Aku berkirim surat pada nenek, ibuku, dan adiku. Kukabarkan tentang perkembanganku di kota. Mulai dari pengalamanku di asrama sampai teman-teman yang menyenangkan di kos baru. Di tempat baru, benar-benar aku bisa mengatur jadwal belajar, jadwal pertemuan dengan teman, sampai jadwal mencari penghiburan.

Di tempat baru ini, aku bisa melakukan hal-hal yang tidak bisa kulakukan di asrama. Sebelum berangkat sekolah, misalnya, biasa olah raga di komplek perumahan. Ketemu orang-orang yang juga melakukan kegiatan sepertiku di jalan, itu sangat menyenangkan.

Aku punya teman namanya Mangun. Mangun juga anak kos yang suka olah raga pagi. Aku juga kenal Cepuk. Mangun dan Cepuk adalah anak desa. Di tempat asalnya, mereka dihormati teman sebaya. Dua orang ini sama-sama anak mantri desa. Jabatan yang cukup disegani di kampung.

Ternyata kedua anak ini, satu sekolah denganku. Bedanya, kedua teman ini masuk di siang hari, sedangkan aku masuk sore.

Sebulan kemudian, aku terima surat balasan dari nenekku yang ditulis oleh si Peci, temanku yang kuceritakan selalu membantuku itu. Nenek memang yang paling sering merespons surat-suratku.

Nenek sungguh senang aku bisa menikmati kota dan punya teman-teman baru. Nenekku selalu bilang, jangan nakal lagi. Nenek memang membikinku selalu gemas. Tapi bagaimanapun juga, cuma dia yang tahu betul tentangku.

Banyak kegiatan menarik di luar sekolah yang dapat dikerjakan di kos. Bukan cuma saling mengunjungi teman atau belajar bersama. Tapi juga jalan-jalan ke tempat-tempat bersejarah.

Pada suatu hari, Mangun mengagetkanku. Dia mengajakku naik sepeda onthelnya untuk keliling pusat kota. Aku, Mangun, dan Cepuk jalan-jalan sore ketika hari libur. Karena aku tidak punya sepeda, jadi, membonceng sepeda kepunyaan Mangun.

Kebersamaan semacam ini biasanya kami pakai untuk sharing soal pelajaran sekolah, entah yang membosankan sampai yang menyenangkan. Tetapi, sore sore ini, kami jalan ke taman kota. Lokasinya di persimpangan jalan dekat asrama atau penjara anak yang pernah kutinggal dulu. “Pohon beringin ini besar sekali. Tapi jarang orang main memperhatikannya.”

“Pohon ini seperti memiliki perutnya gendut. Seperti si Botak gendut yang suka menyemir sisa rambutnya itu.”

Mangun dan Cepuk tertawa terbahak-bahak. Mereka sudah tahu siapa si Botak. Soalnya, sudah kuceritakan segalanya tentang si Botak penanggung jawab asrama menyebalkan itu. “Kamu kualat nanti. Ini pohon keramat, pohon yang disakralkan orang sini,” kata Cepuk.

“Iya, ini pohon yang harus dihormati. Ini dipelihara di pusat kota ini supaya orang-orang bisa berziarah dan berdoa di sini, bukan untuk diejek-ejek,” sahut Mangun sambil memperhatikan patung.

“Aku tidak peduli. Bagiku, pohon berakar ini kalau dipikir-pikir lucu, mirip si penguasa asrama dulu,” ujarku. “Entah kenapa, tiap kali lewat sini, dan melihat lekukan besar di pohon, ingatanku tertuju pada si Botak buncit si raja asrama.”

“Ayolah, jangan terlalu fanatik. Menghormati pohon ini bukan berarti harus memberhalakannya.
“Kalau kalian terus berpikir soal menyakralkan pohon, aku malah jadi ingat lagi orang-orang di kampungku yang suka datang ke kaki bukit untuk menyerahkan sesajen ayam goreng dan telur.”

Ingat sajen, lalu aku cerita tentang masa kecilku yang suka mencuri ayam panggang dan telur di singgetan yang menurut orang tua, sajian itu untuk sesuatu yang dianggap bisa ikut memutuskan tentang jalannya rezeki.

Tiba-tiba meledak tawa Mangun. “Aku juga pernah melakukan itu.” Lalu dia menjabat tanganku sebagai tanda kesamaan sifat nakal.

“Ah, itu sama artinya kalian bodoh. Tidak menghormati kepercayaan leluhur,” Cepuk ikut berpendapat. “Itu tidak boleh dilakukan, orang tidak boleh mengganggu sesajen.”

Dibanding Mangun, Cepuk lebih fanatik pada kepercayaan pada pohon yang biasa ditaati orang kampungku. Itu bisa dilihat dari posisinya yang selalu menjadi pengkritik pendapat kami sepanjang malam di taman kota yang sudah tua itu.

Cepuk selalu bicara keras berargumen untuk menunjukkan bahwa dialah yang paling benar dalam hal memberi sesajen.

Cerita-cerita seperti itu selalu jadi bahan untuk disampaikan ke nenekku di kampung. Aku selalu menulis dengan teliti. Dan tiap kali nenek membalas suratku, dia seperti sedang sedih. Tapi, aku bisa merasakan, dia bangga punya cucu macam aku ini.

Kegundahan hati nenekku selalu terungkap lewat surat-suratnya untukku yang ditulis si Peci. Terkadang aku jadi bingung. Nenek suka mengirim sesaji ke pohon tua, tapi dia selalu minta aku taat shalat di masjid. Tapi, biasanya aku tidak mau berdebat soal itu. Susah mengalahkan nenek.

Kalau pendapat nenek kuceritakan kepada Cepuk. Dia pasti ikut mendukung nenek dan menyalahkanku. Tapi, aku tidak peduli. Itu tidak penting. Aku juga tidak bisa mengubah apa yang jadi kepercayaan orang.

Di lain hari dan seterusnya, kalau tidak main di taman pusat kota. Kami bertiga jalan-jalan di dekat gereja terbesar di kota ini. Letaknya berseberangan dengan asrama mengerikan itu. Di sana, kami menonton kemegahan bangunan gereja tua Katolik. Kami sering main ke sini.

Di lain waktu, kami juga suka menonton pameran kepolisian di Gelanggang Olah Raga. Main ke bendungan besar di kaki gunung. Terkadang di kumpul-kumpul di kosku saja sambil membantu ibu kosku berdagang. Soalnya, terkadang kami diminta bantuan untuk belanja tetek bengek barang-barang rumah tangga di pasar.

Kehidupan di kos dan sekolah di kota membuatku cepat tumbuh dewasa. Tetapi terus terang, tidak banyak kebijaksanaan yang kuserap dari guru-guru di sekolah, kecuali ilmu yang terkait dengan keterampilan. Bagiku mereka sama otoriternya dengan orang-orang dewasa di kampungku dalam memperlakukanku.

Justru, pertemananku dengan sahabat-sahabat yang punya sifat baik seperti Mangun dan sifat fanatik seperti Cepuk atau rajin seperti Gendut-lah yang membentuk kepribadianku menjadi semakin matang. Pengetahuan-pengetahuan yang kami peroleh dari ngobrol, membaca, dan menonton berbagai pertunjukkan publik, lebih banyak masuk ke kepalaku, ketimbang monolog dari guru di sekolah.

Salah satu guruku yang galak namanya Bewok. Itu sebutanku padanya. Soalnya, dia memang brewok. Aku pernah bermusuhan dengannya. Gara-garanya, aku sering tidak masuk kelas kalau dia mengajar. Suatu hari aku dipanggilnya untuk menghadap di ruang guru.

Dia tidak bertanya mengapa aku tidak masuk. Tidak bertanya apa aku bisa menguasai pelajarannya atau tidak. Tapi dia mengatakan aku sebagai anak tolol dari kampung. Tidak tahu terima kasih pada orang tua yang jauh-jauh menyekolahkan aku. Pernyataan seperti itu sama juga yang pernah dikatakannya pada teman sekelasku lainnya kalau tidak masuk sekolah.

Aku malas ikut pelajaran dia karena dia sering genit sama murid perempuan. Tapi dasar tidak tahu malu. Dengan murid laki-laki, dia kerap kali pakai kata-kata kasar dan sewenang-wenang bila terhadap mereka yang yang tidak belum mampu menguasai ilmu mengetik di mesin tik seperti yang diajarkannya.

Aku tidak protes pada waktu aku dinasehati dengan kasar. Karena aku tidak mau dipukul, seperti ketika dia menghantam temanku hanya karena beberapa kali bolos mata pelajarannya. Si Bewok ini seperti darah tinggi. Mengajar anak sangat kaku. Tidak bisa membangun suasana belajar yang asyik. Kalau dia mengajar, semua anak tegang.

Nah, di lain hari, aku akhirnya tahu kelemahan guru mata pelajaran mengetik ini. Dia seorang wali kelas. Berarti, untuk dapat nilai baik dari sekolah, dia harus mampu menguasai murid. Misalnya soal jumlah kehadiran murid di kelas. Kalau dia tidak mampu, maka dia gagalan. Kalau dia gagal, kepala sekolah bisa menegurnya.

Kukerjai dia. Aku makin sering tidak masuk tiap kali ada kelasnya. Pikirku, masa bodoh. Yang penting, aku sudah tahu ilmu mengetik, karena aku sudah belajar mengetik setiap hari menggunakan mesin kepunyaan ibu kosku. Aku jauh lebih jago dari teman-temanku yang umumnya hanya belajar mengetik di sekolah. Lagi pula, semester lalu, nilaiku tertinggi di mata pelajaran mengetik. Itu yang bikin aku percaya diri untuk tidak masuk.

Agaknya, dia makin meradang. Di saat upacara bendera awal pekan, dia pernah melotot seperti sedang menahan amarah kepadaku. Mungkin sebelumnya, dia kena tegur kepala sekolah karena tidak mampu membuatku disiplin masuk kelas.

Sikap keras kepalaku dipahami teman-teman lain. Bewok memang guru paling galak. Dia jadi simbol perlawanan bersama. Dan nasibku yang selalu dimarahi dia, membikin teman-teman lain bersimpati denganku.

Pertengahan catur wulan, aku pernah berhasil mengajak teman-teman membandel. 90 persen temanku tidak masuk kelas. Waktu itu, si Bewok mau memberikan pelajaran ekstrakurikuler karena kemampuan rata-rata teman-temanku dalam ilmu mengetik masih kurang.

Mangun, temanku yang semester ini pindah ke kelas sore, ikut tidak masuk. Dia menjadi salah satu provokator yang ikut aksi pemboikotan. Aku bangga juga dengan dia. Makin kritis. Walau, sebenarnya kebandelan ini bisa membuat para orang tua kami marah kalau sampai mereka dengar.

Sampai suatu hari di catur wulan ganjil, ada berita menggembirakan. Bewok mengundurkan diri dari sekolah karena berdasarkan hasil evaluasi pendidikan, dia gagal membuat murid maju. Kami semua bersenang-senang. Apalagi, guru pengganti Bewok masih mbak-mbak.

Pelajaran sekolah tetap sama membosankannya. Tetapi kebersamaan dengan teman-teman mengalahkan kebosanan itu. Sampai akhirnya ujian akhir tiba. Hasilnya, aku lulus sekolah dengan predikat cukup baik. Seandainya aku tidak sering bolos sekolah dan membangkang sama guru, kemungkinan besar, aku tergolong anak-anak dengan hasil predikat terbaik. Mangun masuk golongan pas-pasan. Dan Cepuk masuk golongan cukup baik.

Memang tidak terasa lama waktu tiga tahun ini untuk menuntut pendidikan di pusat kota yang jauh dari kampung. Banyak pergaulan dengan teman-teman yang asyik, banyak aktivitas di luar gedung sekolah yang kuikuti, itu semua membikin masa sekolah ini sangat menyenangkan.

Kami harus memilih jalan hidup masing-masing. Aku memilih melanjutkan kuliah di Ibukota Jakarta. Sedangkan kedua temanku, Mangun dan Cepuk, pulang kampung. Mereka tidak bicara soal rencana, tetapi aku menduga mereka lebih tertarik jadi mantri seperti orang tuanya.

Aku pulang. Si Peci memang luar biasa baik. Tiga tahun lalu, dia yang mengantarku ke kota, kini dia yang menemaniku pulang ke kampungku lagi. Tentu saja perjalanan di bis tidak sesusah dulu. Tidak sefrustasi dulu. Kini aku bangga karena punya ijazah SMA. Ijazah yang masih jarang dipunyai anak-anak kampungku.

Pendapat orang-orang dewasa di kampungku sudah pasti berubah seperti yang kuduga. Bagaimanapun, dalam hati kecil mereka, pasti ada pengakuan bahwa wawasanku pasti lebih luas. Betapa tidak, pak lurah saja tidak lulus SMA di kota. Orang-orang yang dulu kekerjai, kini jadi baik. Mataku sampai berkaca-kaca ketika ada penyambutan kecil-kecilan di rumah.

Masa bernostalgia di kampung tidak kunikmati lama-lama. Aku harus ke Jakarta. Aku akan kuliah di sana. Itu impianku. Tidak sampai sebulan aku di kampung. Karena memang ini masanya penerimaan mahasiswa baru. Sebelum ke Jakarta, selain pamitan ke bapak tiriku yang jarang senyum, ibuku, adikku, nenekku, anak-anak kampung sahabatku, juga si Peci yang pernah mengantarku ke asrama, juga si Gendut, Mangun, dan Cepuk. Kalau si Gendut, rupanya dia juga mau melanjutkan sekolah ke Jakarta.

Tuesday, May 25, 2010

Gocing 4 (r)

AKU berhasil lulus SD. Lalu aku melanjutkan sekolah ke SMP. Tak perlu kuceritakan masa-masa kenakalanku di SMP. Tidak ada yang berubah. Aku masih suka membikin onar kampung. Singkat cerita, walau nakal, aku tergolong anak paling menonjol di sekolah.

Buktinya, di akhir pertengahan tahun 2004, aku berhasil menyelesaikan studi SMP. Nilaiku sangat bagus. Semuanya berada di atas rata-rata. Aku menyabet juara pertama.

Di keluargaku, neneklah orang yang pertama kali tahu itu. Soalnya, beliau yang mengambil rapor di sekolah.

Dia bangga sekali pada waktu menerima rapor. Setelah acara pengumuman yang diselenggarakan sekolah selesai, kami pulang. Di tengah jalan, nenek bilang ingin menraktri makanan enak. Tempatnya, di salah satu tempat makan yang berada di pusat pemerintahan kecamatan. Aku makan sepuas-puasnya di sana.

“Ini untuk mensyukuri pencapaianmu,” nenek berkata. “Jangan lupa, jadilah anak yang bergunak nanti.”

“Terima kasih nek,” sahutku tanpa menoleh ke arah nenek.

Nenek makan dengan sangat-sangat menikmati makanan. Jarang kulihat dia makan seperti itu. Aku tahu, dia sangat menyayangiku. Pencapaianku di bidang pendidikan ini seolah telah membayar kekecewaan beliau atas kenakalanku di kampung.

“Ayo langsung pulang. Besok kita undang teman-temanmu untuk syukuran di rumah,” ujar nenek setelah menyerahkan beberapa lembar uang untuk membayar makanan.

Ibu dan bapak tiri baru tahu raporku tiga minggu kemudian. Soalnya, mereka memang biasa pulang ke kampung hanya sebulan sekali. Raporku membuat mereka tersenyum.

“Kamu harus sekolah lagi di SMA,” kata ibu ketika menyiapkan sarapan untuk adikku yang baru akan berangkat sekolah.

Aku mengangguk. Dan aku sangat senang dengan dukungan ibu. Jarang-jarang aku mendengar dia berkata dan bersikap seperti itu. Sebab yang kulihat selama ini, dia sungguh keras.

***

Aku berangkat ke Wonogiri. Wilayah ini merupakan pusat pemerintahan daerahku. Aku diantar seorang teman. Naik sepeda motor ke kota kecamatan, lalu naik bus besar menuju ke Wonogiri. Aku akan tinggal di kompleks masjid paling besar dan paling mewah di kotaku. Di sana nanti, aku tinggal di bangunan asrama.

Perpindahanku dari kampung ke kota untuk bersekolah di tingkat atas membuat orang-orang kampungku senang. Biang kerok telah pergi, mungkin begitu pikir mereka. Anak-anak aman. Tidak ada lagi yang meracuni anak-anak mereka untuk melawan dominasi para orang dewasa.

Siang itu, aku bawa tas besar. Rasanya menderita sekali. Tas yang satunya lagi dibawakan oleh temanku, Peci. Peci ini usianya lebih tua sedikit dariku.

“Di asrama nanti, kamu akan tinggal bersama anak-anak sekolah lainnya,” kata si Peci.

Aku sebut dia Peci karena anak ini suka sekali pakai pecinya yang kecokelatan, padahal peci itu awalnya hitam. Pada waktu kami sama-sama duduk di bangku SD, dia memang paling sering kukerjai. Tapi dia tidak pernah memusuhiku.

Pamannya adalah seorang guru agama di Wonogiri. Itu sebabnya Peci sering pergi ke kota untuk mengunjungi pamannya. Lewat pamannya, dia punya banyak kenalan ustad. Salah satu ustadnya yang memimpin masjid tempat aku akan tinggal selama SMA.

“Ci, aku agak sedih. Aku tidak kenal siapa-siapa di sana. Tidak punya teman baik lagi,” kataku.

“Tidak apa-apa, di sana nanti kamu akan punya teman-teman baru. Mereka pasti sama menyenangkannya dengan teman-temanmu di kampung,” hibur Peci.

“Kamu kan harus maju. Lebih maju dari teman-teman di kampung yang tidak mau lanjut sekolah lagi.”

“Percayalah, kamu pasti senang.”

Si Peci sok tahu ini lama-lama membuat hatiku tenang. Dasar sok tahu. Apa dia tahu yang betul-betul kupikirkan. Lihatlah keluargaku, tetanggaku senang betul aku tidak di kampung lagi. Entah mereka mendukungku sekolah atau tidak, tapi sikap mereka yang sama sekali tidak merasakan kehilangan, itu yang bikin aku susah.

Setidaknya aku lebih maju dari mereka. Para orang tua yang keras hati, tidak cukup pandai memahami kemauan anak, tapi selalu ingin menang. Baiklah, aku akan maju. Aku akan berkembang. Akan kukepakkan sayapku. Nanti, nanti, nanti akan kubalikkan pikiran kalian yang salah kalau terus menerus membatasi kreatifitas anak demi yang namanya ketaatan, kesopanan, dan banyak aturan-aturan yang intinya kalian ingin dihormati saja.

Bis yang kutumpangi berjalan cepat. Akhirnya bus berhenti di tengah kota. Dua jam lalu, aku menapak tanah kampung. Sekarang, aku di kota besar. Mungkin sebenarnya ini hanyalah kota kecil. Tapi karena aku baru pertama kali datang, ini jadi kota besar, kota metropolitan, di beberapa tempat kulihat gedung bertingkat. Hebat. Seperti yang sering ditayangkan di televisi.

Peci membantu membawakan tas ketika semua barang diturunkan dari bus. Seandainya tidak ada Peci, setengah mati aku membawanya. Ukuran tas lebih besar dari badanku. Isinya, sebagian besar makanan bawaan dari nenek.

Kami berjalan menyusuri trotoar. Orang-orang yang berpapasan dengan kami cuek-cuek. Tidak menengok ke arahku. Beda dengan orang di kampungku, tiap kali berpapasan denganku, seperti menguapkan energi kemarahan.

Sampailah kami di gedung yang berhalaman sangat-sangat besar. Gedung itu rupanya masjidnya. Berlantai empat. Di sisi kanan halaman, berdiri menara tinggi. Di puncak menara, ada enam toak. Toak itulah juga ada di masjid kampungku. Tapi, di kampung tidak sampai enam biji.

Di kampung, aku sering rebutan untuk meneriakkan adzan. Aku yang sering menang, karena aku pasti akan berkelahi kalau aku sampai tidak dikasih kesempatan. Biasanya setelah adzan kumandangkan, aku langsung pulang. Aku jarang ikut salat di masjid. Nanti setelah teman-temanku pulang dari masjid, barulah kuajak mereka bermain.

Aku betul-betul merasa asing ketika masuk ke komplek masjid ini. Apa mungkin aku bisa punya teman-teman banyak lagi di sini. Apa kepala kompleks ini mau mengizinkanku main atau keluyuran kemana-mana.

“Ci, aku ngeri,” kataku untuk memecah kebisuan.

Peci tertawa. “Ngeri sama apa. Mencuri kelapa tengah malam saja kamu tidak takut.”

“Sialan kamu. Maksudku, baru masuk ke kompleks ini saja aku merasa tidak nyaman,” kataku sambil mengajak Peci berhenti di teras masjid.

Aku memikirkan bagaimana caranya agar tidak langsung masuk ke asrama. Lalu, mempertimbangkan untuk mencari tempat penginapan lain. Tapi, Peci keburu jalan lebih dulu. Menyebalkan anak ini.

Kami diterima oleh pemimpin asrama. Orangnya sudah agak tua. Pakai sarung putih dan baju koko. Di kepalanya pakai sorban. Ustad ini rupanya sudah berteman baik dengan si Peci. Agaknya, sebelum kami datang, Peci sudah menginformasikan kepada ustad bahwa aku berniat menjadi anggota asrama.

Peci langsung cium tangan ustad. Sedangkan aku hanya jabat tangan sambil mengucap salam. Aku tidak biasa cium tangan. Setelah namaku dicatat di buku milik ustad, aku langsung diantar ke salah satu kamar. Kamarku dekat dengan ruangan sekolah Tempat Pendidikan Alquran.

***

Matahari sudah terbenam. Kupikir Peci akan menginap untuk sementara waktu bersamaku. Ternyata dia memutuskan untuk tetap pulang saat itu juga, walau sudah berusaha kucegah. Setidaknya untuk malam itu.

Sepulang temanku kembali ke kampung, aku disergap perasaan kehilangan. Kini, aku tinggal di asrama. Sepi. Penghuni asrama ini tidak begitu peduli denganku. Mungkin karena belum kenal. Mereka semua sibuk dengan kegiatan masing-masing. Usai shalat, ada yang langsung belajar, ada yang diskusi, ada juga yang tidur.

Di lain hari, aku mulai kenal satu persatu para penghuni asrama. Tidak butuh waktu lama aku menjadi teman mereka. Aku paling kecil sehingga lebih mudah untuk masuk.Walau usia mereka lebih tua, ternyata anak-anak itu juga baru sepertiku. Rata-rata, orang-orang itu juga baru sekali menginjakkan kaki di kota. Sama juga denganku, mereka datang ke kota untuk sekolah.

Tidak butuh waktu untuk menyesuaikan dengan lingkungan asrama. Karena, situasinya hampir mirip dengan di kampungku. Semuanya serba takluk pada peraturan yang tentu saja dibikin orang dewasa yang berkuasa.

Aku berusaha sadar dengan posisiku. Aku adalah anak asrama. Jadi, aku harus menunjukkan kepatuhan pada aturan itu. Bangun pagi buta. Membersihkan lantai, halaman, dan taman di kompleks masjid. Memasakan nasi dan lauk untuk orang-orang yang lebih tua di asrama, membersihkan kamar mereka. Lalu, menyapu dan mengepel asrama secara keseluruhan.

Aku mulai betul-betul familiar dengan keadaan semacam itu setelah tiga bulan berada di sana.
Setiap hari, aku memperhatikan teman-teman seasrama. Di antara mereka banyak juga yang bandel. Ada juga yang jujur menunjukkan kebandelannya. Tapi, ada yang pura-pura rajin. Dan aku lebih cepat akrab dengan mereka yang tidak terlalu taat pada aturan. Walau begitu, aku juga sangat disenangi oleh teman lain yang taat pada aturan.

“Aku shalat di lantai bawah saja ya. Kalian yang salat berjamaah di atas,” kataku pada teman sekamar. Dia kupanggil Gendut. Tebal badannya tiga kali lipat dari badanku.

“Kenapa begitu, nanti kamu dicari ustad,” jawab temanku.

“Jangan bilang-bilang kalau begitu. Yang pentingkan aku shalat, walau tidak ramai-ramai.”

“Nanti aku yang dicecar,” kata dia lagi.

“Bilang saja aku ikut shalat, tapi di urutan belakang,” kataku.

Biasanya teman-temanku tidak suka berdebat. Lagipula, pasti mereka tidak akan berlama-lama untuk bertanya-tanya tentang alasanku kenapa tidak mau shalat berjamaah di lantai dua. Soalnya, sudah tidak ada waktu karena jam shalat hampir dimulai shalat.

“Ya sudah. Terserah kamu saja. Jangan sampai seperti dua teman lainnya, dimarahi karena tidak ikut shalat bersama,” katanya sebelum pergi.

Aku pergi gudang tempat penyimpanan tikar. Tempatnya di bagian bawah tangga besar. Tangga ini merupakan tangga utama masjid. Di sana, aku langsung tidur lagi. Ruangannya cukup hangat. Empuk karena banyak tikar dan karpet kain.

Aku baru bangun setelah ada bunyi semprotan air dari taman. Temanku lagi menyiram tanaman. Ada-ada saja, pagi-pagi menyiram tanaman, pikirku. Si Gendut sok rajin.

Begitu dia menoleh, aku lagi menyeret-nyeret karpet. Ini modus supaya kelihatannya akupun sedang kerja keras.

“Duh, berat sekali ini tikar. Kotor pula abis dipakai kemarin,” teriakku sambil melirik ke arah gendut.

“Hebat sekali kamu. Diseret lewat mana tadi tikarnya, kok, sudah sampai di depan gudang saja,” Gendut meletakkan selang dan bergerak ke arahku. “Taruh situ saja, nanti aku bantu.”

“Tidak apa-apa, aku kuat sendiri,” kataku. Gendut mendekat. Dan aku ajak dia bicara. “Kamu rajin sekali ya. Aku tidak terlalu rajin di tempat ini.”

Gendut bilang dia rajin karena tidak punya pilihan lain. “Sebenarnya aku juga tidak betah di sini. Tapi aku takut sama orang tuaku kalau aku bilang begitu.”

“Nanti mereka akan bilang, aku anak tidak mau maju.” Lagipula, katanya, dia sangat segan sama pemimpin asrama. Dia takut kualat.

“Kenapa takut. Kita anak sekolah. Kalau bukankah sebenarnya sekolah itu untuk membebaskan diri kita.”

“Ingat tidak pesan khotbah Jumat lalu, Jadilah dirimu sendiri. Berkembanglah, karena kamu adalah kamu.”

Aku tidak tahu apakah yang kusampaikan barusan akan dianggap temanku sebagai sikapku yang sok-sokan atau apa. Yang jelas, dia seperti sedang memikirkan sesuatu setelah mendengarnya.

Sungguh tabu apa yang kulakukan itu. Sebab, teman-temanku, walau bandel, mereka tetap takut dan melakukan perintah pemimpin asrama. Waktu shalat, ya shalat, waktu belajar ya belajar, waktu tidur, ya tidur. Seperti sudah jadi hukum yang mutlak harus ditaati seumur hidup.

Enam bulan di asrama, aku sudah punya teman baik. Maksudku, ikut-ikutan aku tetap tidur di saat jam shalat Subuh. Tapi, tidak ikut aku tidur di gudang, mereka tidur di dekat menara.

***

Asramaku tidak punya televisi. Mungkin tujuannya untuk mencegah pengaruh buruk televisi. Tapi rasanya tidak akan efektif memfilter pengetahuan lewat cara seperti itu. Inikan sudah jaman terbuka.

Akhirnya, kami suka cari alternatif lain untuk memenuhi kebutuhan nonton televisi. Di terminal angkutan dalam kota yang bertempat di dekat stasiun di kaki gunung ada televisi besar. Kami sering main ke sana.

Dalam hati, aku protes dengan kebijakan pengelola asrama. Sebagai anak sekolah, harusnya kami mengetahui berbagai informasi publik. Bukan justru ditutup seperti ini.

Yang mengasyikkan lagi ialah aku dan beberapa teman, termasuk si Gendut, suka beli bubur kacang ijo di dekat pasar besar. Biasanya, kami tidak makan satu orang satu mangko. Soalnya, uang yang kami miliki sangat terbatas. Jadi, urunan beli duadua mangkok dimakan bertiga.

Biasanya, kami baru pulang setelah puas menonton televisi, terkadang sampai tengah malam. Kami selalu dicekam rasa takut ketika hendak masuk ke kompleks asrama. Takutnya kalau kepala asrama tahu kami sedang kabur. Terus, dia menunggu di pintu.

Jadi, untuk menghindari pengawasan yang mungkin dilakukan pengelola asrama, kami menyelinap lewat pintu samping. Lalu mengendap di balik semak-semak menuju ke kamar masing-masing.

***

Suatu hari, Peci mampir ke asramaku. Waktu itu dia baru mengunjungi pamannya. Aku senang melihatnya. Kurangkul dia. Rasanya, selama ini aku tidak pernah merangkul orang, kecuali nenek. Itupun ketika aku masih kecil. Sekarang aku melakukannya lagi.

“Bagaimana kabar keluargaku Ci,” kataku.

“Semuanya baik-baik saja,” jawab dia.

“Nenekku bagaimana,” kataku lagi.

“Beliau sehat. Malah lebih sehat sekarang dibanding dulu ketika kamu di rumah,” ujar Peci.

“Sialan kamu Ci. Kuhajar kamu,” kataku. Lalu kami tertawa bersama-sama.

Nenek titip pesan lewat Peci agar aku berusaha betah tinggal di asrama. Tahan-tahan dulu. Apapun yang terjadi, anggap saja sekarang ini sebagai massa penggodokanku.

Nenek memang selalu bisa menyentuh perasaan terdalamku. Kalau sudah begitu, rasanya dia selalu tahu isi hatiku.

“Nenekmu selalu mendoakanmu supaya maju,” kata temanku. “Nenekmu juga titip lauk pauk buatmu.”

Si Peci juga berpesan kepadaku supaya patuh pada semua aturan di sini. Ingat nama baik orang tua. “Ingat posisimu di sini.”

Sebelum Peci pamit pulang, dia terus menyerocos menyampaikan pesan nenek. Seolah-olah sore itu adalah pertemuan terakhir. Kalau sudah begitu, aku mesti mengurungkan niat untuk mengutarakan yang sebenarnya terjadi. Aku tidak betah dan ingin pindah dari asrama ini.

***

Lagipula, aku sebenarnya tidak suka dengan penanggung jawab asrama yang dikasih kepercayaan oleh pemimpin asrama. Orangnya pendiam. Tapi begitu dia bicara, itu harus dikerjakan anak-anak asrama. Kepalanya seperti pulau tak berpenghuni. Soalnya rambutnya hanya tumbuh di bagian pinggir, sedangkan di bagian tengahnya botak. Aku panggil dia si Rambut Pulau.

Suatu hari dia bilang begini kepadaku. “Kamu tidak boleh ajak temanmu main ke sini. Ini asrama.”

“Aku ajak teman ke asrama itu bukan untuk main, tapi untuk mengerjakan soal sekolah, apa tidak boleh?” kataku.

“Tidak boleh, tujuan aturan ini supaya asrama tetap aman,” kata Rambut Pulau.

“Aman dari apa. Memangnya temanku pencuri. Aku mengajak teman, tentu saja teman yang sudah kupercaya,” kataku lagi.

“Kamu ini cerewet ya. Pokoknya tidak boleh,” kata dia.

Kamu tidak boleh bangun kesiangan. Ini bukan rumahmu.” Sementara dia sendiri, kulihat sering tidak ikut shalat Shubuh berjamaah. Tidur.

Suatu hari, saking sebalnya, kukerjai si Rambut Pulau. Dia biasa mengkilatkan sisa rambutnya tiap pagi sebelum mengajar. Oh iya, Rambut Pulau ini mengajar anak-anak SMP di dekat kantor kelurahan. Nah, semir rambut kesukaannya kusembunyikan di bawah lemari di gudang.

Di lain hari, sampai berkeringat si Rambut Pulau mengucur, dia tidak mampu menemukannya. Dia berteriak. “Hai kalian anak-anak, ada yang tahu semir rambutku.”

Tanpa semir itu, sepertinya dia sungguh tidak percaya diri. Rasakan kamu, kamu mesti merasakan ketidakpercayaan diri seperti itu. Makanya jangan suka otoriter sama anak-anak, pikirku.

Sampai akhirnya, si Rambut Pulau menyerah. Tapi, aku biarkan saja semir itu di sana. Sampai suatu hari ada temanku yang menemukan. Bukannya dia menyerahkan ke si botak. Malah dia bawa ke sekolahan dia buat menggambar di pagar.

***

Aku hanya tahan sepuluh bulan di ‘penjara’ ini. Sepulang sekolah, waktu itu hujan deras, aku pamit kepada ustad temannya Peci. Aku akan pindah ke kos yang bertempat di dekat sekolah. Tentu saja aku tidak bilang alasanku yang sebenarnya. Aku cuma katakan ingin tinggal di dekat tempat pendidikanku.

Ternyata tinggal di asrama sama saja dengan lingkungan rumah di kampung. Tidak memberi kesempatan kepada remaja untuk kreatif. Yang beda cuma, ini di kota besar. Sebenarnya harus diakui tinggal di tempat ini menambah wawasan, walau sedikit. Kendati begitu, selalu timbul pemberontakan.

Bagaimana tidak memberontak, di kompleks asrama tidak ada media informasi dan hiburan bagi penghuni. Nah untuk mendapatkan kebutuhan semacam itu, kami sampai harus mencuri-curi untuk mencari di tempat lain. Lalu, tiap hari kami harus melayani mereka yang lebih tua.

Makan saja diatur. Sudah seperti ayam ternak di kampung. Padahal, yang namanya lapar itu tidak bisa diajak kompromi. Tapi, kalau terlambat makan, penghuni pasti tidak dapat bagian karena sudah habis dimakan teman yang lain. Kalau sudah begitu, harus tahan lapar.

Anak-anak penghuni asrama harus mengalah pada orang dewasa. Misalnya kami harus rajin bekerja, sedangkan mereka bisa bermalas-malasan. Kalau mereka tidak ikut shalat Subuh berjamaah, tidak ada yang menghukumg. Coba kalau kami, pasti dimarahi.

Pemimpin asrama seperti raja. Tidak mau dibantah. Bantah berarti durhaka, kira-kira begitu. Sehingga aku makin kesal. Ini seperti orang tuaku. Aku paling tidak cocok dengan lingkungan yang otoriter. Tidak suka diskusi dan tidak suka mendengar pendapat orang lain.

Setelah hujan reda, kuangkut secara bertahap pakaianku ke kos baruku. Kos baruku sederhana. Cuma satu kamar. Tapi di sini, aku merasa akan bisa mengatur hidupku dengan caraku sendiri.

Aku berterima kasih pada temanku, si Peci. Terpaksa aku mengecewakan dia. Aku juga berterima kasih pada ustad teman Peci yang telah memberiku tempat di asrama yang sudah kuanggap jadi penjara anak ini.

Sunday, May 23, 2010

Gocing 3 (r)

MENJELANG musim kemarau berkepanjangan berakhir, orang-orang dewasa di kampungku mulai siap-siap bertanam. Biasanya, begitu musih berganti menjadi penghujan, mereka sudah selesai bercocok tanam.

Nenek orangnya sangat disiplin. Seperti pada hari itu, pagi-pagi sudah berangkat mencari rumput untuk ternak. Setelah itu, dia pergi ke ladang di kaki gunung. Di sana, banyak sekali aktivitas yang dia lakukan. Mulai menyingkirkan rumput liar pengganggu tanaman utama sampai mengatur tepi ladang yang rusak akibat diinjak-injak monyet besar.

Di waktu nenek pergi ke ladang, sepulang sekolah aku sendirian di rumah. Karena hujan turun, aku tidak pergi bermain dengan teman-teman sebaya.

Kalau lagi sendirian seperti itu, aku suka merenung. Menjelang berakhir masa bersekolah dasar, di dasar hatiku, makin tumbuh kesadaran tentang peran penting dukungan orang tua terhadap anak.

Pada satu titik kesadaran, aku bisa merasakan betapa banyak orang dewasa yang ternyata kasar pada anak-anaknya. Perilaku ugal-ugalan guru di sekolah dasar kepada teman-teman Peci pada waktu itu cuma salah satu contoh.

Bukan cuma teman-temanku yang jadi korban orang dewasa. Aku pun kerap merasakannya. Ibuku suka bersikap kasar padaku. Bapak tiri apalagi. Dia memang tidak kasar secara fisik, tetapi mentalku serasa disiksa oleh keberadannya di rumah.

Ibuku mungkin tidak sadar bahwa dalam banyak hal sikapnya sangat mengecewakan. Bagi dia, bisa jadi bentakan atau ancaman merupakan salah satu cara mendidik anak agar menjadi lebih baik.

Tapi apakah dia tahu, bentakan atau ancaman itu benar-benar mengintimidasiku. Bagiku itu sangat mengerikan. Bagaimana mungkin, mendidik anak justru menimbulkan rasa pesimis dan putus asa.

Dari sudut pandangku, sikap kasar macam itu menggambarkan ketidakmampuan orang tua memahami putra-putrinya. Ketidakbisaan berkomunikasi yang memadai, menjadikan perilaku kasar sebagai salurannya.

Alangkah menyedihkan. Kurasa, sikap bandel yang kumiliki ini juga terpengaruh oleh pengalaman-pengalaman terintimidasi dan kecewa seperti itu.

Dalam kesendirian di waktu hujan pagi itu, aku teringat suatu hari di akhir tahun, ibu pernah mengguyur air panas ke tubuhku. Kulit dada ini sampai terluka. Dan sampai kini membekas.

Di hari yang lain, kepalaku pernah dikramasi pakai sisa nasi yang tidak habis kumakan. Gara-garanya sebenarnya ya cuma sepele. Aku meninggalkan makanan itu di meja dan kebetulan ibu baru pulang dari kota besar. Mungkin dia sangat capek, lalu kesal mendapatiku asal-asalan meletakkan piring kotor.

“Rasakan itu akibat dari perbuatanmu, makanya, jangan bandel. Lain kali biasakan tertib setelah makan,” katanya.

Ibuku orangnya juga tidak kalah disiplin dengan nenekku. Ibu disiplin menegakkan kebersihan dan keteraturan di rumah. Sedangkan nenek disiplin berladang sampai seolah-olah dia merasa berdosa kalau tidak memperhatikan tanaman. Bagi nenek, tanaman adalah berkat untuk kelangsungan hidup di muka bumi. Ibu juga demikian, kebersihan adalah cermin dari penghargaan terhadap hidup.

***

Di rumah, aku tidak punya panutan. Aku sering iri sama adikku. Dia selalu dapat perhatian luar biasa dari ibuku. Tiap kali ada pertemuan keluarga, aku seperti tidak diakui. Mungkin itu cuma perasaanku, tapi yang kualami, aku tidak pernah dipangku atau diajak duduk berdekatan dengan orang tua.

Nenekku yang jadi andalan kalau aku merasa terasing di keluarga. Walau nenek tidak kuidolakan karena dia juga suka marah, di dasar hatiku, aku sangat tergantung padanya. Sebab, dia bisa menenteramkan hatiku. Apalagi kalau ibu mengomel, nenekku yang menghibur.

Kalau pernyataan-pernyataan ibu menyiutkan nyali sekaligus menjatuhkan semangat hidup, nenek selalu memegang tanganku. Tindakan yang sungguh membuat aku merasa tidak betul-betul seorang diri.

***

Bapak tiriku orang kota. Orangnya gendut dan suka pakai celana kain yang potongannya sangat lucu. Desain bagian paha sangat ketat, sedangkan ukuran bagian paling bawah, sangat besar.
Dia punya sepeda motor besar. Suaranya meraung-raung kalau datang ke kampung bersama ibu yang diboncengkan bapak tiri. Gagah betul dia dengan kacamata hitam yang ukurannya besar.

Aku tidak pernah bersahabat dengan dia. Orangnya sangat pendiam. Karena itu, kalau dia lagi di rumah, sangat jarang mengobrol denganku. Padahal, pertemuan kami rata-rata cuma sebulan sekali.

Dia lebih senang berkumpul dengan ibuku dan adiku. Terkadang dengan nenek kalau lagi bicara tentang bisnis ternak. Aku seolah-olah tidak ada dalam memorinya. Aku suka memperhatikannya. Sambil merokok , dia suka mengajak bermain adikku di halaman. Terkadang, dia mengajak pergi adik dan ibuku saja. Mungkin untuk belanja di pasar kecamatan.

Aku sebenarnya bisa menerima dia, walau aku tidak dekat dengannya. Tapi terkadang dia sangat mengecewakan. Ya itu tadi, dia seperti tidak pernah tertarik mengajakku bicara. Lama-lama, aku tidak menyukainya.

Suatu hari, aku teriak-teriak karena kecewa pada ibuku. Ibu bisa meledak kemarahannya hanya karena melihatku menaruh sepatu yang basah karena hujan di teras rumah.

Pada waktu itu, bapak tiriku bukannya mengajak berdiskusi. Dia tidak pernah bertanya mengapa aku sampai meletakkan sepatu itu di teras. Ah, dia malah ikut memusuhiku. Dia membenarkan tindakan ibu yang membentak-bentaku. Benar-benar tidak masuk akal. Sama saja seperti ibu.

Pengalaman keluarga macam ini mengajariku untuk menyampaikan suatu ketidakpuasan dengan cara marah-marah. Kemarahan tersimpan karena tidak ada teman untuk berbicara di rumah. Rasanya, putus asa kalau mengutarakan perasaanku pada nenek. Dia pasti selalu mengambil jalan pintas. Misalnya bilang agar aku jadi anak baik. Rasanya, dia seperti tidak mau memahami persoalanku.

“Kamu suka ngeyel (bandel) sih. Makanya dimarahi,” kata nenekku tiap kali mendapatiku punya persoalan di rumah.

Pernyataan yang membuatku kesal. Sepertinya dia terlalu malas untuk membahas permasalahanku. Mungkin dia bermaksud memintaku agar lebih banyak belajar. Aku setuju. Tapi aku kesal dan caranya yang seolah-olah membiarkan aku sakit hati.

Tapi, bagaimanapun juga nenek adalah andalanku di lingkungan keluarga. Aku jarang melawan dia. Walau sekalinya melawan, pasti membikin dia sangat marah. Mengapa aku jarang melawan dia dengan sengit karena kalau aku tidak punya teman lagi.

***

Aku ingin membuat diriku bebas dari banyaknya tekanan dari keluarga. Ingin mengeluarkan diri dari semacam belenggu ketakutan. Timbulnya, aku suka melawan.

Di lain waktu ketika awal-awal masuk sekolah menengah pertama, aku mulai melakukan perlawanan-perlawanan vulgar dengan siapapun, terutama orang-orang dewasa di kampung. Tiap kali ada yang coba-coba membatasiku, kutantang dia.

“Gocing, kamu nanti kuhajar kalau mengajak macam-macam anakku,” kata tetangga kepadaku. “Beneran, kamu nanti kupukul.”

Kata kata semacam itu sering kudengar. Aku makin kesal dengan mereka yang selalu otoriter. Aku mencap mereka sebagai orang bodoh yang harus dikerjai.

Suatu sore, ketika aku pulang dari sekolah. Tetangga berteriak. “Kamu kurang ajar. Anak tidak tahu aturan. Sini kamu bodoh.” Waktu itu, aku baru saja meruntuhkan pagar kayu rumahnya.

“Apa! Hajar itu ternakmu,” aku tak kalah garang. “Lihat ini, aku lemparkan kayu ke kandangmu.”

Aku kesal karena baru saja tubuhku nyaris ditubruk lembu jantan di dekat kandang warga kampung. Lalu aku dipelototi orang tua itu sambil memaki-maki seenak perutnya.

Aku kesal betul dengan kasus sore itu. Sesampai di rumah, aku berpikir bagaimana membuat dia tidak bisa tidur. Nah, aku temukan ide.

Menjelang pukul 22.00 WIB, aku mengendap ke kandang ternak orang tua itu. Bentuk kandang di kampungku biasanya sangat sederhana. Atapnya dari genteng tanah. Dindingnya hanya terbuat dari potongan-potongan bambu besar. Bambu di susun sedemikian rupa sehingga udara leluasa keluar masuk ke kandang. Tentu saja udara bisa keluar masuk, jarak antara satu potongan bambunya saja selebar badanku.

Sesampai di lokasi, aku merunduk masuk ke kandang yang penuh bau kotoran lembu. Di dekat lembu yang kebetulan sedang sangat tenang karena mengunyah rumput, kuolesi balsam panas milik nenekku pada bagian anusnya.

Aku cepat-cepat kabur dari sana karena sebentar saja, pasti efek balsam akan bereaksi. Benar saja, setelah aku meninggalkan kandang, lembu mulai berisik. Aku yakin, orang tua pemarah itu akan segera keluar rumah untuk melihat lembunya tengah mengamuk karena kepanasan di bagian anus. Semalaman dia tidak akan bisa tidur untuk menenangkan lembu.

Friday, May 21, 2010

Gocing 2 (r)

AKU lahir di sebuah dusun bernama Kambengan. Letak kampungku tepat di kaki gunung Kambengan. Kampungku dibelah sungai besar yang menyimpan air jernih. Sehingga sebagian penduduk yang tidak punya sumur, lantas mengambil air dari belik atau cerukan-cerukan yang dibuat di tepi sungai.

Kehidupan penduduk di kampung ini berjalan lambat. Umumnya, mereka hidup dari mata pencaharian berladang, baik di pinggir sungai maupun di punggung-punggung gunung.

Ada juga warga yang berprofesi sebagai pedagang, seperti ibuku. Tidak sedikit pula yang merantau ke kota-kota besar yang jauh letaknya dari kampung, seperti paman-pamanku.

Kerja keras yang dijalani warga kampung membikin anak-anak cepat belajar bertahan hidup. Ketika terang belum datang, orang-orang dewasa yang bertani sudah pergi ke ladang. Yang berdagang pun demikian. Pergi subuh dan baru pulang di waktu posisi matahari tepat di atas kepala. Tapi, ibuku tidak demikian, dia cuma pulang sebulan sekali dari kota besar. Sedangkan mereka yang merantau, biasanya baru pulang setahun sekali.

Melihat keadaan seperti itu, anak-anak otomatis belajar mandiri. Dan kesederhanaan serta kesahajaan mewarnai kehidupan mereka. Gocing. Itu namaku. Entah bagaimana nama ini bisa disematkan padaku. Mungkin, sebutan ini muncul karena perpaduan antara sifat pemalu dan nakal yang kumiliki.

Sudah jadi sifat dasarku kalau aku paling tidak menyukai anak sebaya yang terlampau tergantung pada orang tua mereka. Sedikit-sedikit mengadu, sedikit-sedikit merengek.

Sifat macam itulah yang sering membuatku berurusan dengan orang tua mereka. Biasanya, aku sering jadi korban. Kalau mereka bertengkar denganku karena tidak cocok pada waktu bermain, lantas hal itu diadukan kepada orang tua. Lalu orang tua yang tidak tahu menahu duduk perkaranya, tiba-tiba mencariku. Aku ditegur terkadang sampai dimarahi.

“Kamu menjengkelkan sekali,” kataku kepada si Peci suatu hari. “Begitu saja kamu melaporkanku ke orang tuamu.”

Si Peci. Begitu aku biasa memanggilnya. Kupanggil demikian karena hidupnya seperti kurang lengkap kalau tak bawa peci. Usianya lebih tua dari umurku. Di sekolah dasar, dia duduk dua tingkat di atasku. Walau lebih dulu lahir di muka bumi, dia tidak pernah berani berkelahi denganku. Dia inilah yang dulu kupaksa ikut mencuri sesajen.

“Habis, kamu suka egois. Kalau aku tidak mau ikut kamu, ya, jangan mengancam akan memukuliku di sekolah,” kata Peci kemudian.

Karena gemes, terkadang aku mengerjai anak yang suka mengadukanku ini. Kalau tidak di sekolah, masjid jadi tempat yang tepat untuk melakukannya. Suatu malam setelah aku dimarahi orang tua Peci, aku sengaja duduk di baris paling belakang. Tepatnya di belakang Peci.

Pada waktu salat Isya dimulai, kusruduk pantat dia. Karena lagi keadaan shalat, tentu saja si Peci tidak berani teriak. Dia cuma menoleh sebentar ke belakang. Ketika kembali ke posisi semula, kusruduk lagi.

Maksudku melakukan itu biar dia tahu rasa. Aku akan ketawa cekikikan kalau dia merasa terganggu, tapi tidak berani berbuat apa-apa. Sampai acara shalat selesai, dia tidak berani marah denganku. Yang pasti dia sadar, kalau berani-berani marah, aku ajak dia berkelahi.

Imam masjid tahu pada waktu aku ada suara gaduh di baris belakang. Selesai shalat pemimpin shalat tanya, siapa yang gaduh. Aku diam saja. Takut ketahuan. Kuharap, si Peci juga diam. Ternyata benar, Peci juga tidak berani bicara. Mungkin takut bicara di depan orang banyak. Selamat. Aku selamat, kataku dalam hati.

***

Ketidaksukaanku pada anak-anak sebaya bukan cuma karena mereka suka mengadu. Ketaatan pada aturan orang tua juga bikin aku tidak puas. Sifat macam itu yang selalu diinginkan para orang tua. Itu sebabnya, mereka jadi suka terlalu dominan. Dan parahnya, tidak lagi mampu menghargai kebebasan pribadi anak.

Kan, anak-anak bermain di jam yang tepat. Sepulang sekolah atau pas hari libur sekolah. Hanya saja karena para orang tua memang suka mematikan kreatifitas anak, jadilah mereka suka menggunakan cara-cara paksaan untuk mengendalikan anak.

Di lain hari, aku bersama Peci bermain layang-layang di atas kebun singkong yang baru selesai panen. Masih asyik-asyiknya kami bermain, tiba-tiba orang tua Peci datang dari jauh.

“Cing, aku pulang dulu ya. Itu bapak datang, aku mau disuruh pulang,” kata Peci sambil menggulung senar layang-layang.

“Rasakan, makanya kamu jangan terlalu nurut ,” kataku. “Sini, senarmu pinjamkan ke aku saja.”
Belum sempat si Peci memutuskan apakah akan meminjamkan senar atau tidak, bapaknya keburu sampai di tempat kami bermain. Begitu sampai, orang tua itu mengomel sambil melirik kearahku dengan tatapan tajam. Tangan si Peci langsung ditarik untuk menjauhiku.

“Aneh,” kataku dalam hati.

Lagi senang main layang-layang, eh, dipaksa pulang. Kalau aku yang diperlakukan seperti itu oleh nenekku, Saijah, dan ibuku, Sani, aku pasti melawan. Jalan terakhir untuk menghindari perlakuan macam yang diterima Peci ialah lari kencang. Pasti mereka tidak mampu mengejar. Nanti kalau mereka puyeng dan menghilang, aku kembali bermain.

Ugh, apa-apa dilarang. Mencari ikan di sungai. Berenang di sungai tidak boleh. Menyebalkan sekali. Yang bikin sebal lagi yaitu rata-rata temanku tidak berani lari untuk menghindari paksaan orang tua.

Mereka pasrah dan membiarkan kuping dijewer pulang. Seperti yang sering kulihat pada si Peci. Sepanjang jalan menangis. Pengalaman seperti itu bertolak belakang dengan gambaranku tentang dunia anak yang seharusnya.

Kesadaran macam itu kudapat dari renungan-renungan dikala aku juga dimarahi nenek dan ibuku di rumah. Aku tidak terlalu peduli dengan berbagai aturan dari mereka.

Sampai di dasar hati, aku protes kalau kebebasan yang kupunyai dibatasi. Aku pikir, mereka pakai kacamata kuda. Tidak bisa pakai kacamata anak. Menindas. Segalanya harus dari sudut pandang orang tua.

Aku sering cerita tentang pandanganku itu pada teman-teman yang punya kecocokan denganku. Kuajak mereka untuk membandel. Kalau diperintah-perintah pulang pada waktu jam bermain, tidak perlu nurut. Bahasa yang paling tepat untuk menyimpulkan pikiranku ialah ikuti kata hati.

Tapi, tidak ada teman yang mau mengikutiku. Malah aku jadi kesal dengan mereka. Terkesan pemberani kalau di sekolah. Tapi kalau di rumah, seperti kerbau piaraan nenekku. Diperlakukan seperti apapun, nurut.

Pikirku, biar sajalah. Hiduplah jadi anak kampung. Jadilah anak rumahan yang sok alim. Itu sama saja menipu diri.

“Kamu anaknya sok-sokan, Ci. Kamu seringnya mau diajak teman-teman mencuri jambu kepunyaan si pelit di dekat sekolah itu,” kataku kepada Peci di lain kesempatan.

“Kamu juga mau lari kalau ketahuan si pelit itu.” Aku ancam si Peci suatu hari akan kuadukan perilakunya ke orang tuanya. Karena takut aku betulan melaporkannya, air mata nyaris tumpah dari matanya.

“Kamu itu bukan anak alim, Kamu suka membohongi orang tua. Mendingan seperti aku, jujur. Nakal ya nakal.”

Kalau aku meniru gaya bicara imam masjid bicara, Peci pasti terdiam. Aku tahu dia ingin marah. Tapi, mana berani dia. Paling-paling nanti mengadukanku ke orang tua. Itupun, aku yakin, dia takut. Kunci keselamatannya sudah kupegang.

***

Di sekolah, aku pernah lihat guru olah raga melemparkan batu-batu sebesar kepalan tangan anak kecil ke arah murid yang tengah bermain kelereng. Pelipis salah satu teman Peci sampai bocor ketika kejadian itu.

Pada pagi itu, aku tidak berani apa-apa. Teman-teman juga begitu. Sebab, betul-betul sangar dan galak sekali guru berkepala pelontos itu.

Perilaku semacam guru ini yang kemudian membuatku makin sebal dengan orang dewasa. Suka memaksakan kehendak. Mendominasi kehidupan pribadi anak. Kejadian itu sangat terkenal. Sepanjang hari kami membicarakannya. Anak-anak makin tahu tentang kekerasan.

Jadi, kenapa harus menurut secara buta kepada orang dewasa. Mereka egois, pikirku. Aku juga bisa egois. Semua anak juga punya keegoisan.

Gocing 1 (r)

SEWAKTU masih bocah, aku tergolong pendiam. Terkadang pemalu. Tapi bukan berarti takut terhadap tantangan yang ada di sekitar lingkungan. Terkadang, karena terlalu suka tantangan, aku mendapat julukan anak nakal oleh para orang dewasa di desa.

Kadangkala aku melakukan kenakalan seorang diri. Seringnya, sih, mengajak teman untuk melakukan hal-hal usil di daerah kami. Seperti yang terjadi di suatu siang, ketika rumah tetangga menyelenggarakan kondangan. Aku mengajak serta beberapa teman mengendap ke singgetan atau kamar tengah rumah yang sedang kedatangan banyak tamu untuk meramaikan acara.

Sesampai di singgetan, kami mencuri daging ayam sesajen. Kuperintahkan teman-temanku untuk mengambil telur-telur dan uang koin serta uang kertas yang ditaruh di atas tampah. Uang yang merupakan barang langka diletakkan secara sembarangan di antara kembang setaman dan gunungan-gunungan tumpeng.

Sebenarnya pada waktu melakukannya, aku agak takut dengan aroma kemenyan dan suasana mistis di kamar tengah. Apalagi kalau ingat cerita-cerita para orang tua. Sesajian ini diperuntukkan bagi sesuatu yang ghaib sifatnya atau sesuatu yang betul-betul harus dihormati.

Aku tidak tahu yang disebut sesuatu itu. Otak ini tidak bisa melampaui pikiran orang tua. Tetapi itulah yang selalu diceritakan orang tua kepada kami, anak-anak kampung. Keinginan makan enak dan memperoleh uang jajan tanpa harus merengek-rengek kepada orang tua membuat kami lupa akan sesuatu yang disakralkan tadi.

Daging dan telur hasil dari menggasak sesajen langsung kami bawa kabur ke tepi sungai. Kami menaruh makanan yang mengeluarkan aroma lezat itu di baju yang dilipat di bagian perut. Sampai di tanah lapang pinggir bantaran sungai, kami buka dan kami makan ramai-ramai. Puas sekali.

Ditambah lagi, ada uang recehan dan beberapa lembar uang kertas. Menyenangkan. Jajan enak, sudah pasti.

Setelah itu, dengan bangga dan hati damai, aku dan dua teman yang terlibat aksi menikmati sesajen melangkah pulang dengan pasti. Tidak ada yang tahu apa yang telah kami lakukan. Rasakan sendiri, kenapa kalian semua sibuk. Sampai ada orang masuk singgetan, tidak ada yang menyadari.

Alangkah kagetnya, begitu aku berpisah dengan dua sobat, sampai di rumah, nenekku, Saijah, berdiri di pintu. Kalau dia sudah memasang wajah tanpa ekspresi senyum, aku berani bertaruh, dia pasti sedang panas. Karena aku tidak tahu apa sebabnya. Aku tidak peduli. Mungkin saja dia marah karena hal lain.

Ternyata dia marah denganku. Dia dapat laporan dari pemilik rumah kalau beberapa jam lalu, sesajen berantakan dan sebagian hilang. Si empu rumah tahu aku yang mengobrak-abrik sajen setelah ada salah satu saudaranya melihat aku dan dua teman makan dengan lahap di tepi kali. Pada waktu itu, saksi mata itu sedang menjemput dukun.

Aku diantar nenek menghadap pemilik rumah. Ternyata, di sana sudah ada dua teman yang kulibatkan dalam aksi di kamar yang dikeramatkan pemilik rumah. Kami semua kena marah, terutama aku yang mempengaruhi teman-teman untuk menggasak sesajen.

Tak cuma itu. Kali berikutnya, aku juga melakukan hal serupa. Tapi, seorang diri. Ketika orang-orang merapal doa bersama di atas tikar dalam rumah, aku menyelinap masuk ke singgetan setelah merangkak lewat bawah ranjang tidur besar.

Begitu sampai di dalam singgetan, hati bersuka cita. Tanganku mengambil satu persatu telur di atas tampah. Lalu kumasukkan ke saku. Tak sengaja tangan kiri menyodok gelas besar yang berisi kembang setaman. Gelas yang isinya air wangi yang aromanya mampu membikin bulu kuduk berdiri, tumpah.

Pemilik rumah sudah pasti curiga ada sesuatu di singgetan. Tapi waktu itu, dia pasti tidak tahu aku di dalamnya. Sebenarnya, aku sudah tengkurap agar tidak diketahuinya. Tapi, sial, kaki besarnya menginjak kepalaku. Yang terjadi kemudian, aku dijewer keluar.

Di usiaku yang ke delapan tahun, namaku mencorong di kampung. Terkenal sebagai bocah pendiam yang berkepala batu. Berani memakan sesajen yang masih dalam proses persembahan kepada “sesuatu” merupakan tindakan yang sangat tabu di kampung.

***

Sebagian besar orang tua tidak menyukaiku. Bahkan, reputasiku sebagai anak nakal juga jadi pembicaraan orang-orang dewasa yang fanatik terhadap hal-hal yang tahyul di desa tetangga. Tapi, aku tidak ambil pusing. Peduli amat dengan mereka. Karena rasanya menyenangkan melakukan hal-hal yant tidak dilakukan anak-anak kampung.

Teman-teman yang lebih dewasa, juga tidak banyak yang dekat denganku. Entah mereka segan atau takut kena masalah. Bahkan, suatu hari ada yang sampai ingin menghajarku karena aku paling benci menuruti keinginan mereka.

Tetapi, walau mereka memusuhi, diriku cuek saja. Kadang kutantang mereka berkelahi kalau sampai memaksaku melakukan sesuatu yang tidak bertolak belakang dengan kehendaku. Tidak ada urusan. Misalnya, aku dimintai burung merpati. Kalau tidak dikasih, kata mereka, maka aku akan ditenggelamkan bila sedang berenang bersama. Memaksa benar, pikirku.

Di lain waktu, kenakalanku semakin menjadi-jadi dan aku makin terkenal. Tapi terkadang sangat konyol. Suatu malam, aku ajak teman-teman dari kampung lain datang ke rumah. Sebenarnya idenya bukan datang dariku. Kami mencuri buah kelapa di tengah sawah, pinggir sungai besar.

Aku tidak jago panjat pohon. Satu orang teman, kupaksa naik ke pucuk pohon kelapa untuk memetik buahnya. Dia berhasil. Dan satu persatu buah kelapa muda berjatuhan ke tanah. Tentu saja itu hasil yang sangat menggembirakan.

Setelah aksi kami berhasil, semua anak berlari menuju pinggir ladang di dekat sumur warga yang waktu itu pasti sudah terlelap dalam alam mimpi. Pada waktu berlari, kami semua telanjang bulat. Betapa bodohnya. Itu usul temanku, katanya kalau mencuri dengan telanjang, setanpun tidak tahu.

Pesta buah kelapa muda berlangsung lancar. Keesokan hari, kampungku ramai pemberitaan soal pencurian buah kelapa. Mereka tahu ada pencurian karena kulit kelapa tidak kami buang. Untungnya, tidak ada warga yang tahu aksi kami.

Tetapi dasar ada anak tolol, sepekan kemudian rahasia aksi kami bocor lewat mulut teman yang membangga-banggakan diri karena berani manjat pohon kelapa tengah malam.

Terutama aku, aku dimarahi habis-habisa. Dicap sebagai pembawa onar. Tapi nasihat sekaligus makian hanya masuk telinga kanan dan langsung keluar lewat telinga kiri.

Seingatku, punya sikap ngeyel memang hebat di kampungku. Dan aku punya sikap semacam itu. Tiap ada orang dewasa yang marah, sudah pasti mereka akan semakin geram sampai bosan. Aku tidak mempan dimarahi. Apalagi cuma lewat lisan. Lewat fisik saja aku sering. Misalnya oleh ibuku, Sani.

Di rumah sendiripun aku juga sangat bandel dan selalu ingin menang. Adikku, Rumi, harus takluk. Kalau mereka ngeyel, itu bisa bikin aku siap bertarung dengan mereka. Ibaratnya, aku ingin jadi komandan, dan mereka jadi anak buah melulu.

Pernah suatu ketika membikin nenekku marah besar. Halaman rumah kupaculi. Tanahnya yang masih basah kelemparkan semuanya ke lantai rumah. Tentu semua jadi kotor. Setelah itu aku lari karena kecewa setelah merasa tidak ada yang bisa memahami diriku.

Nenek kemudian membersihkan lantai rumah. Tanah-tanah disapu lagi dan dilemparkan ke luar. Lantai jadi bersih lagi setelah di pel. Walau begitu, nenekku butuh waktu sejam lebih untuk mengerjakannya seorang diri.

Ketika pulang ke rumah, aku sadar akan kena murka nenek. Benar saja. Dia marah. Dan dia tidak puas dengan sikapku yang melampiaskan kekecewaan dengan cara mengotori lantai rumah. Dia minta aku bercerita kalau lagi punya persoalan.

Walau itu nasihat baik, tapi karena penyampaiannya dilakukan dengan keras, aku menangkapnya sedang marah. Kalau sudah berpikir orang lain memarahiku, aku akan cuek. Suara masuk kuping kanan dan keluar langsung lewat kuping kiri.

Aku sudah tidak begitu ingat kenakalan apa saja yang pernah kulakukan di kampung sewaktu masih duduk di sekolah dasar. Kebandelan pernah membuatku terlibat permasalahan dengan tetangga.

Meteran listrik rumah tetangga yang terletak di belakang rumahku, kumatikan. Aku kesal karena mereka selalu memutar musik sekeras-kerasnya. Seolah-olah, di kampung cuma dia yang hidup. Aku lari sekencang-kencangnya setelah itu. Kupikir ulah itu tidak ada orang yang tahu. Sampai sore hari ketika aku pulang, ternyata di rumah sudah ada Sukarta, si pemilik rumah yang kumatikan meteran listriknya.

Kuintip dari tumpukan jerami di halaman rumah. Sukarta dan nenek sedang memperbincangkan diriku. Sukarta orangnya bengis. Dia bilang ke nenekku, ingin rasanya dia memukulku biar jera. Di mata laki-laki yang jarang senyum dan suaranya keras itu, aku adalah anak biang onar. Tapi, nenekku melarang. Nenek mewanti-wanti kalau aku pulang ke rumah, tidak usah menggunakan cara fisik, melainkan memarahi dengan lisan saja.

Aku berpikir, jangan-jangan orang seperti Sukarta ini sakit. Dia tidak peduli orang lain kalau sedang memutar radio, misalnya apakah mengganggu atau tidak. Harusnya, ulahku itu ditanggapinya sebagai pelajaran. Bukannya malah memusuhi anak kecil sepertiku.

Sambil terus menguping pembicaraan Sukarta dan nenek, aku merayap menuju pintu samping untuk masuk rumah. Soalnya, aku sudah tidak tahan berlama-lama di balik jerami. Banyak nyamuk dan semut. Aku teriak ketika menginjak kain milik nenek. Kupikir ular. Posisiku ketahuan Sukarta.

Aku dimarahi habis-habisan oleh Sukarta. Saking murka dia, aku jadi agak takut. Jangan-jangan dia akan pukul aku. Atau dia akan banting tubuhku yang kurus. Aku siap-siap lari kalau dia membuat gerakan untuk menangkap badanku. Untungnya kekhawatiranku tidak jadi kenyataan.

Nenek cuma diam saja melihat diriku dimarahi Sukarta. Nenek justru memperlihatkan rasa puas. Mungkin amarahnya yang selama ini dipendamnya, seperti ikut tersalurkan lewat kemarahan orang tua tetangga yang galak.

Keberanianku mengusik ketenangan keluarga Sukarta menjadi cerita terkenal di kampung. Tidak ada anak yang berani melakukan itu, kecuali aku. Ini bikin teman-temanku hormat padaku di lain hari. Mereka bilang kenapa aku tidak mengajak tetangga itu berkelahi saja. Bahkan ada yang konyol. “Kau panah saja pantatnya.” Dengar ketololan temanku, lama-lama aku jadi bangga.

Wednesday, May 19, 2010

Si Gocing Menulis

SEPULANG sekolah sore Gocing duduk di meja belajar. Ini tidak seperti biasanya. Dia langsung keluarkan pulpen dan buku tulis dari tas hitam. Dia duduk tegak. Matanya menatap kertas putih di hadapannya. Pikirnya dia bisa langsung segera menumpahkan isi kepalanya di sana.

“Aku ingin menulis cerita, ya, cita-cita yang selalu kutunda,” pikir Gocing.

Dia mengernyitkan dahi. Berkali-kali dia mainkan pulpennya dengan tangan kanan. Tangan kirinya juga sibuk mengelus-elus buku tulis yang sebagian sudah usang.

Cukup lama dia melakukan hal seperti itu. Ujung pulpen berkali-kali ingin menoreh. Tapi selalu tidak jadi. Agaknya dia masih ragu dengan apa yang hendak diguratkannya. Walau tadi sebelum masuk rumah, dia sudah siap tempur di atas kertas.

“Hmmm. Aku ingin menulis tentang cerita hidupku sendiri. Rasanya itu jauh lebih menarik ketimbang cerita-cerita di luar diriku.”

Anak ini berpikir punya segudang cerita yang bisa diutarakan dengan berbagai sudut pandang sesegera mungkin. Gocing sudah banyak membaca karangan kepunyaan teman-temannya. Dan dia merasa kalau orang lain bisa, mengapa dia tidak.

“Bukankah aku punya bahan di otakku. Masa aku tidak bisa, kan tinggal memulai saja,” katanya untuk memompa semangat.

“Sekarang ini aku sudah siap menulis,” pikir Gocing, “tinggal memulai saja.”

Dia ingat banyak teori-teori menulis. Guru-guru di sekolahnya selalu bilang mulailah ceritamu dengan hal-hal yang mudah. Pikirkan dengan ringan apa yang akan dituliskan.

Ingat nasihat-nasihat bijak dari guru-gurunya, Gocing tambah percaya diri. Dia pegang erat pulpennya. Sesekali dia tempelkan tinta ke kertas. Tapi, lagi-lagi, bocah itu menariknya lagi.

Dia merasa banyak sekali pikiran yang ingin ditumpahkannya. Tapi dia rasakan seolah-olah makin besar keinginannya laju tangannya untuk menulis malah terganggu.

Jadi, pikirannya justru tidak keluar lewat tinta. Aneh, pikirnya. Kenapa bisa begini. Jangan-jangan ini disebut nafsu besar tenaga kurang. Atau tenaga berlebih, tapi nafsu yang tidak memadai.

Gocing coba menyelidiki mengapa bisa macet untuk memulai satu atau dua kata. Padahal semangatnya tadi begitu menggebu. Apa karena lapar atau karena dahaga. Apa karena cuaca sedang panas atau apa karena dia kesepian.

“Ah, kenapa tidak juga keluar tulisanku,” keluhnya. “Padahal aku cukup tahu banyak teknik-teknik menulis cerita pendek.”

Dia mulai panik. Kesal pada diri sendiri mulai menguasainya. Sesekali dia mengumpat.
Tapi bukan Gocing kalau begitu saja menyerah. Kelebihan anak ini ialah mau tahan berlama-lama dalam suasana mentok seperti itu.

Dia pantang mencabut semangatnya. Di dasar hatinya ada keyakinan bahwa semuanya pasti bisa dilakukan, asalkan sabar sedikit.

Seperti cicak yang dikenal Gocing sebagai spesies yang sangat sabar bila sedang mengincar mangsa. Pelan-pelan tapi pasti, cicak mulai bergerak ke arah mangsa yang sudah terlihat. Lalu.
“Crep.” Lidah cicak berhasil menjulur sekaligus menjerat makanan yang lama dinanti.

Itu strategi menulis yang dipikirkan Gocing sore ini. Dia mulai sadar, panik tidak akan membuahkan hasil. Kesabaranlah yang menentukan keberhasilan. Pada waktu yang bersamaan, Gocing telah belajar tentang ketenangan. Kepanikannya mulai hilang.

Dengan mengambil sudut pandang seperti itu, Gocing mampu duduk di meja belajar selama sejam lebih. Memegang pulpen dan memandangi buku tulisnya yang masih kosong.

Pikiran dia pusatkan untuk membangkitkan apa saja yang tadi ingin diuraikannya di kertas tulis. “Ayo, ayo, ayo. Aku bisa,” dia berteriak dalam hati.

Dia berusaha mengurut-urutkan bahan-bahan cerita yang tersimpan di memorik kepalanya. Dia merasa harus menuliskannya dengan cerdas. Kalau tidak brilian, dia katakan pada dirinya, sia-sialah dia berpikir keras.

Dia ingin punya karya yang beda dengan karangan-karangan yang pernah dia baca. Gocing ingin punya karangan yang benar-benar bermakna.

“Sedikit karya bermakna, lebih berharga dibanding banyak karya yang kurang menghasilkan makna pembelajaran.”

Gocing kembali pada keinginannya untuk menulis. Dia garuk-garuk kepala. Sambil memainkan kaki di bawah meja belajar. Ternyata di luar rumah mulai hujan dan mulai gelap. Dia tidak ingin menutup jendela. Dia biarkan angin leluasa masuk dan menyejukkan wajahnya.

Tapi, hingga detik ini, dia belum menuliskan satu katapun di kertas tulis. Semua bahan yang hendak dimuntahkannya masih tertahan di kepala. Bocah ini belum mampu menerjemahkannya ke tulisan tangan.

Mengingat-ingat nasihat gurunya di sekolah. “Tulislah sesuai kata hatimu.” Ingat itu Gocing yakin mengarang cerita akan jadi sangat mudah.

Tapi ketika berhadapan di atas kertas, situasinya ternyata beda. Gocing sadar ternyata hasratnya saja yang menggebu-gebu. Tapi dia yakin sebentar lagi akan bisa kalau mau usaha.

Tiga jam telah lewat. Kertas masih kosong. Pulpen masih di tangan kanan. Sementara tangan kiri menindih separuh buku tulis. Kepala Gocing jatuh ke pundak kanan. Dia ketiduran di atas meja belajar.

Dia baru bangun pukul 05.00 WIB ketika semua orang di rumahnya masih tidur pulas. Dia sadar dia belum memulai usaha kerasnya kemarin petang. Setelah itu, mulailah dia mengingat-ingat kembali apa.

“Ternyata, aku tidak bisa menulis karena terlalu berat pikiranku untuk menulis sesuatu yang harus besar.”

Lalu dia menulis. Inilah tulisannya.

Tuesday, May 11, 2010

Televisi Hitam Putih (4)

Tahun 1980-an di kampung saya hanya beberapa rumah saja yang punya pesawat televisi. Di antaranya di rumah saya. Itupun televisi hitam putih. Energinya dari accu yang hanya tahan untuk beberapa jam saja kalau televisinya dihidupkan terus.

Televisi pada waktu itu menjadi gerbang informasi dan hiburan yang tergolong mahal. Sehingga warga di sekitar rumah selalu menonton ramai-ramai di rumah saya. Suasana rumah jadi sangat ramai kalau sore sampai malam. Kalau tidak salah mulai jam 15.00 WIB, orang-orang mulai kumpul. Karena siaran TVRI satu-satunya channel ya dimulai pada jam segitu.

Teman-teman saya suka pura jalan-jalan di depan rumah agar saya segera menghidupkan televisi. Kadang-kadang suka memanggil-manggil dulu. Nanti kalau sudah dihidupkan, semuanya bergembira ria dan duduk di atas tikar dengan rapi.

Ketika malam mulai tiba, gantian orang-orang dewasa yang datang untuk menonton siaran berita jam 19.00 WIB. Setelah itu film. Yang paling menarik itu kalau ada acara sayembara ketoprak atau tiap akhir pekan, ada program Aneka Ria Safari yang isinya musik dangdut.

Ada yang lebih ramai lagi yaitu ketika ada siaran langsung tinju. Rumah sudah pasti penuh, malah terkadang televisinya kami gotong ke halaman agar semua orang tertampung. Menyenangkan. Tetapi terkadang kami semua sangat kecewa kalau acara lagi bagus-bagusnya, tiba-tiba televisi mati karena energi accu habis.

Saya paling tidak suka acara berita. Apalagi kalau Menteri Penerangan Harmoko menyiarkan propaganda pembangunan pemerintahan Presiden Soeharto. Tetapi karena setiap jam 19.00 dan 21.00 selalu ada siaran berita, lama-lama mengikuti juga perkembangan informasi yang ada.

Anak-anak kampung pada massa itu tidak paham dengan politik pemerintah yang ditransfer lewat kekuatan media massa milik pemerintah, TVRI. Kami manut saja apa yang disuntikkan pemerintah melalui program-programnya. Seolah-olah pada waktu itu kebenaran itu ya kebijakan yang disampaikan pemerintah.

Ugh... kok jadi ngomongin politik. Yach, kehidupan di kampung memang menyenangkan. Suasana kekeluargaan dan saling membantu yang setiap waktu dirasakan anak-anak, membentuk kami untuk menjadi pribadi yang Saling menjaga kerukunan dengan sesama. Doa orang tua juga begitu, sifat saling menghormati semoga tetap terjaga sampai mati.

Ramai-ramai menonton film tadi juga jadi pelajaran penting yang secara tidak sengaja ditunjukkan orang tua. Itu contoh konkrit kepada anak-anak yang mereka tidak sadari. Keterbatasan sarana dan prasarana menyatukan kami. Keterbatasan juga menjadikan pribadi-pribadi menjadi lebih bijak.

Gambar untuk Ekspresi (3)

Jaman masih sekolah di SDN Mojopuro III, saya paling menyukai pelajaran keterampilan, seperti menggambar. Tetapi saya tidak suka keterampilan yang agak rumit, seperti membuat anyam-anyaman dari kertas warna-warni.

Bagi saya menggambar itu lebih enak. Apalagi menggambar tentang panorama alam atau menggambar ulang obyek lain. Dengan menggambar, saya bisa mengekspresikan hasrat saya yang tidak bisa saya ungkapkan kepada orang lain.

Alat gambar saya tentu saja bukan peralatan menggambar serius, melainkan cuma pensil biasa. Tempat menggambarnya pun hanya kertas tulis atau kadangkala kertas gambar. Saya sangat senang kalau ada teman yang menyukai hasil karya saya. Apalagi kalau ada yang keceplosan memuji, itu sungguh membanggakan.

Karya gambar itu biasanya tidak saya simpan dengan baik, melainkan hanya dibiarkan di buku tulis yang bercampur dengan catatan-catatan sekolah. Jadi, setiap buku itu penuh, biasanya akan saya taruh di rumah dimanapun tempatnya. Sehingga, lama-kelamaan hilang entah ke mana.

Pada waktu itu, saya belum tahu mengapa saya menyukai keterampilan melukis. Semua itu berjalan begitu saja. Yang ada dalam pikisan saya, ya lebih baik melakukan sesuatu untuk menyenangkan hati, daripada bingung.

Oleh teman-teman saya lama kelamaan saya dikenal dengan penghobi menggambar. Walau tidak bagus-bagus amat, terkadang hasil karya saya membuat teman-teman di kelas terhibur. Misalnya kalau lagi melukis tokoh cerita pendek di buku cerita yang ada di perpustakaan.

Hasil gambaran tiruan yang saya bikin, pasti akan dilihat oleh semua teman sekelas. Pada waktu-waktu seperti itu, rasanya saya jadi orang penting. Ada pengakuan terhadap karya buatan saya, kira-kira seperti itu yang saya pikirkan.

Sayangnya kelebihan semacam itu lama-kelamaan hilang seiring dengan perjalanan hidup. Anak model saya yang terbatas pengetahuannya, mana tahu tentang potensi diri atau pengembangan bakat. Apalagi orang-orang dewasa di sekeliling saya pun tidak menangkap kelebihan-kelebihan anak.

Mungkin para orang dewasa terlalu capek dengan tanggung jawabnya di keluarga, Sehingga tidak jeli melihat perkembangan atau kecenderungan bakat yang dipunyai anak-anaknya. Atau memang mereka tidak paham dengan pentingnya menggali potensi yang ada pada keturunan mereka.

Akan tetapi yang jelas masih terekam sampai dewasa ialah pengalaman keterampilan tangan semacam itu ternyata bisa menghadirkan kesenangan dan pembebasan. Pikiran semacam itu ikut membangun kesadaran tentang posisi saya di tengah masyarakat.

Oleh-oleh Koran Bekas (2)

Kampung saya jauh dari kota. Akses informasi dari luar daerah, pada waktu saya masih kecil (1980-an ) sangat minim. Jadi, umumnya, kami yang menetap di kampung hidup dengan tenteram, tidak ada persaingan ketat, dan lambat.

Walau begitu, kampung saya termasuk salah satu penyumbang besar tenaga kerja untuk Ibukota Jakarta. Hampir setiap rumah, orang laki-lakinya merantau. Merantau untuk bekerja di Jakarta merupakan salah satu sumber nafkah, di samping bertani dan berdagang.

Para pemuda kampung saya, rata-rata betah merantau. Setiap tahunnya, mereka hanya pulang kampung dua atau satu kali. Selebihnya ya hidup untuk bekerja, hidup untuk mendulang uang dengan bekerja apa saja di Jakarta atau daerah-daerah lainnya. Lalu penghasilannya dikirim pulang.

Nah, ada pengalaman yang sungguh sampai sekarang masih terekam di ingatan saya. Pakde-pakde saya atau kerabat lainnya setiap kali pulang kampung, membawa koran-koran bekas.

Nama korannya Pos Kota. (Sekarang setelah besar, saya punya banyak teman wartawan di koran ini. Bahkan, sekarang punya mbakyu angkat yang jadi wartawan senior di Pos Kota). Koran itu memang benar-benar bekas, yaitu bekas pembungkus oleh-oleh atau barang-barang lainnya.

Koran ini selalu saya kumpulkan di atas lemari. Saya ikat baik-baik agar selalu rapi. Saya sangat senang karena di salah satu halaman ada cerita bergambar. Yang paling saya ingat itu cerita bersambung Doyok yang setiap akhir cerita selalu membuat pembaca tertawa.

Setiap tahun atau setiap kali pakde-pakde saya pulang kampung, beliau pasti membawa koran bekas. Lama-lama koleksi koran Pos Kota saya banyak sekali. Bahkan sampai menumpuk tinggi di atas lemari pakaian di rumah.

Setiap kali mengambil koran bekas itu, rasanya bangga sekali. Karena punya bahan bacaan yang mungkin tidak dipunyai teman-teman lain di kampung.

Saya beruntung bisa melihat informasi seputar Jakarta lewat koran itu. Yaitu koran lokalnya Ibukota Jakarta. Walau memang saya tidak secara serius meneliti setiap informasi yang ditulis di setiap halaman, tapi sekilas-sekilas saya tahu ada kejadian kriminal atau ada kejadian-kejadian lucu lainnya.

Persentuhan dengan koran itu, lama-lama membuat saya makin tertarik dengan perkembangan dunia di luar kampung. Tetapi karena keterbatasan pengetahuan dan minimnya akses untuk itu, maka perjalanan saya untuk lebih mengenal dunia sangat lambat.

Lambaaaaat sekali. Dan sangaaaaaaaaat lambat. Tetapi pada waktu itu ada keyakinan yang tertanam di hati saya bahwa suatu hari nanti saya tentunya bisa keluar dari kungkungan keterbatasan pengetahuan di kampung.

Rekaman ingatan tentang keberadaan para mahasiswa KKN di kampung saya itu juga terlibat dalam pembentukan keyakinan itu. Kalau mereka bisa seperti itu, seharusnya sayapun bisa kalau mau.

Kagum Sama Mahasiswa KKN (1)

Sewaktu masih tinggal di kampung Mangrih, Mojopuro, Jatiroto, Wonogiri, saya sangat kagum dengan anak-anak mahasiswa dari kota yang KKN di kampung. Mereka dekat dengan kepala desa dan bisa mengobrol bebas. Tanya apa saja dan mencatatnya di buku.

Rasanya luar biasa sekali bisa dalam posisi seperti mahasiswa KKN itu. Duduk sama tegakknya dengan kepala desa atau orang yang sangat kami hormati dan segani di kampung.

Misalnya, mencari tahu hal-hal yang sungguh buat saya, anak kampung, mustahil ditanyakan kepada kepala dusun. Misalnya soal tata kampung, rencana pembangunan, hasil pembangunan, juga menyinggung soal dana pembangunan.

Luar biasa, pikir saya. Pengalaman-pengalaman semacam itu selalu kutemukan setiap tahun, setiap kali anak-anak mahasiswa kota datang ke kampung saya. Lama-lama itu membangun keinginan saya untuk bisa seperti mereka. Kekaguman terhadap para mahasiswa KKN terekam terus.

Anak kampung. Yang setiap hari hanya bergaul dengan kambing dan sapi. Rumput dan berladang. Terkadang dapat oleh-oleh cerita-cerita luar biasa dari paman-paman kami yang baru tiba dari Ibukota Jakarta yang jauuuuuuh letaknya dari kampung.

Orang tua saya yang bekerja di Solo, juga kadang-kadang punya cerita mengagumkan tentang betapa orang kota itu punya kebebasan berpikir dan berpendapat serta perilaku hidup. Orang-orang kota selalu digambarkan sebagai manusia yang sadar dengan eksistensi pribadinya.

Hati saya selalu bergetar setiap kali mendengar cerita hebat dari kota. Para mahasiswa dan betapa hebatnya mereka karena bisa berkomunikasi bebas dengan para pemimpin kampung saya, bagi saya itu sangat menantang.

Sewaktu sudah agak besar, saya berpikir tentang profesi wartawan. Itu karena saya sering dengar radio berita dan siaran berita di TVRI. Mereka sangat hebat. Tapi saya tidak tahu proses keredaksian mereka. Tapi kira-kira cara kerjanya seperti mahasiswa KKN tadi, tanya-tanya lalu jadi berita.

Sungguh profesi wartawan sangat mengagumkan. Pikir saya pada waktu itu, profesi ini pasti bukan sembarangan, orang-orangnya pasti menarik. Orangnya pasti suka berpetualang. Turun kampung, ketemu para pemimpin dan orang-orang berpengaruh lainnya.

Dalam hati, apa saya bisa menjadi seperti itu. Mana ada orang kampung bisa jadi seperti itu. Yang ada ya petani, buruh kasar. Paling-paling berdagang di kota. Di keluarga saya dan orang kampung saya, tidak ada yang sehebat itu, pikir saya.