Saturday, July 31, 2010

Wartawan Bodrek Salah Masuk Kandang

DI salah acara ramah-tamah di lembaga anti korupsi pertengahan tahun, puluhan wartawan kumpul. Wartawan resmi maupun wartawan yang selama ini dikenal sebagai bodrek ikut acara yang dihadiri banyak pejabat tinggi itu.

Empat wartawan bodrek itu memisahkan diri dari teman-temannya yang wartawan resmi. Mereka bergerombol. Duduk-duduk santai sambil memperhatikan pejabat-pejabat yang kadang-kadang keluar ruangan untuk pergi ke toilet.

Tibalah acara makan-makan. Para wartawan resmi langsung mendekati narasumber-narasumber yang sejak tadi ditunggu. Mereka mewawancarai mereka. Empat wartawan bodrek yang baru nongol di lembaga anti korupsi itu pun ikut-ikutan berdesakan dengan wartawan resmi di depan narasumber.

Nah, begitu selesai acara ramah tamah, para pejabat yang hadir, satu persatu meninggalkan ruangan. Mereka dibagi-bagi tas yang berisi souvenir dan buku tentang Undang-undang Pemberantasan Korupsi, stiker anti korupsi dan lain sebagainya.

Para pewarta pun kebagian souvenir itu. Tetapi, ada pemandangan lucu yang ditunjukkan empat wartawan bodrek setelah mereka menerima tas dari panitia.

Di dekat pintu gerbang gedung anti korupsi, mereka membongkar-bongkar seluruh tas tangan itu. Semua isinya dikeluarkan. Sepertinya mereka sedang berusaha menemukan sesuatu yang sangat berharga di hidup ini. Beberapa menit kemudian, mereka memasukkan buku, stiker, dan lainnya ke dalam tas dengan marah.

Kembalilah mereka ke dalam gedung lembaga anti korupsi buru-buru. Mereka mencari panitia.
Wartawan-wartawan resmi yang tengah membuat laporan untuk redaksi masing-masing memperhatikan keempat bodrek yang terlihat kecewa itu.

Keempat wartawan bodrek itu kemudian bisa menemukan panitia bagian hubungan masyarakat yang tengah berdiri di dekat parkiran gedung. Setelah mereka bertemu, mereka terlibat perbincangan.

Tak tahu apa yang sedang dibicarakan, tapi pertemuanitu hanya berlangsung singkat. Keempat wartawan itu pergi dengan bersungut-sungut. Satu di antaranya mengumpat-umpat.

Setelah bertemu wartawan bodrek, panitia bidang humas tadi menemui wartawan resmi dan bercerita. "Mereka kira di sini ada amplop, salah tempat mereka," kata panitia yang juga mantan wartawan sambil tertawa lebar-lebar.

"Tadi saya seperti memberi kuliah kepada mereka (bodrek) kalau di lembaga seperti ini tidak ada begituan (amplop). Kan, hal itu juga dilarang dalam kewartawanan."

Mendengar cerita panitia, sambil menulis berita, wartawan resmi cuma bisa cengar-cengir sambil melihat keempat wartawan bodrek yang menunggu angkutan umum di seberang gedung lembaga anti korupsi.

Friday, July 30, 2010

Juru Foto Bodrek Gagal Akali Pejabat

DI PERTENGAHAN musim panas, di sebuah hotel ibukota provinsi diselenggarakanlah acara tentang pemberantasan korupsi. Hadir sejumlah pejabat tinggi dari beberapa lembaga.

Sebelum acara dibuka secara resmi, di luar ruangan banyak sekali wartawan yang datang. Sebab, semua wartawan yang biasa bertugas di lembaga-lembaga itu ikut hadir. Di antara mereka, ada dua orang yang selama ini dikenal sebagai wartawan bodrek. Gaya mereka seperti pewarta foto.

Di pertengahan acara, tepatnya saat sesi istirahat siang, sebagian pejabat berhamburan keluar ruangan. Ada yang ke WC, makan, atau melayani wawancara dan sebagainya.

Nah, pada saat itulah, dua wartawan bodrek itu bekerja. Mereka berusaha menawarkan foto-foto yang diambil sebelum acara kepada pejabat yang kena jepret.

Kerja mereka mirip dengan penjual jasa foto yang memang biasa ikut acara-acara seperti itu. Hanya saja, kalau penjual jasa foto biasanya hanya memasang tarif murah. Tapi, dua wartawan bodrek ini menjual fotonya dengan harga sangat mahal. Mungkin juga karena embel-embel kartu persnya itu.

Seorang pejabat tinggi yang wajahnya terfoto oleh mereka berhenti ketika ditawari dengan sedikit memaksa.

"Pak, ini gambar anda," ujar pria yang mengenakan kartu pers berukuran agak besar itu.

“Wah bagus nih," kata pejabat itu sambil memegang fotonya.

"Rp400 ribu aja, pak," ujar bodrek. “Nanti bisa kita pasangkan bingkainya, biar lebih indah, pak.”

“Masa semahal itu," kata pejabat.

"Buat saya saja, ya,” tambah pejabat itu sambil ngeloyor ke toilet.

Dua wartawan itu tidak berdaya. Akhirnya si wartawan bodrek yang selalu membawa koran tergulung di kantong celananya itu cuma bisa bengong dan kembali ke press room.

Usaha wartawan dan teman-temannya ternyata tidak cuma sampai di situ. Mereka juga ikut doorstop seorang pejabat lainnya bersama wartawan resmi.

Selesai ikut wawancara, mereka kembali bergerombol. Tidak lama kemudian, mereka mengejar narasumber yang baru diwawancarai. Usut punya usut, ternyata mereka meminta amplop.

Ternyata pejabat itu punya ajudan berbadan besar. Karena para bodrek terus mendesak minta uang transport atasannya, ajudan pun turun tangan untuk menemui dua wartawan tadi.

Ajudan tahu kalau yang minta uang itu adalah wartawan bodrek karena sebelumnya telah diberitahu wartawan resmi yang biasa meliput di kantor pejabat itu bahwa wartawan yang meminta uang atasannya adalah bodrek.

Begitu bertemu wartawan bodrek, ajudan itu mengatakan, “Kan, tadi sudah wawancara, bapaknya ada acara lain lagi. Atau kalian masih mau wawancara lagi.”

Lalu, wartawan resmi yang selama ini geregetan dengan ulah para bodrek langsung menyela, “Sudah cukup kok wawancaranya.”

Akhirnya ajudan dan pejabat pergi. Sementara wartawan bodrek itu terlihat sangat kecewa, terutama kepada wartawan resmi. Lalu, mereka pergi.

Wartawan Nakal Akali Anggota Dewan

KIRA-KIRA jam 09.00 WIB, menjelang sidang paripurna di gedung wakil rakyat. Sekitar empat orang yang mengenakan kartu identitas wartawan mengerubungi seorang anggota dewan yang tidak begitu terkenal.

Para wartawan begitu antusias meng-interview si wakil rakyat. Sampai-sampai si wakil rakyat kewalahan melayani pertanyaan yang datang bertubi-tubi.

Sebenarnya tema pertanyaan yang dilontarkan ke wakil rakyat itu ringan-ringan saja, misalnya soal hobi, cita-cita, keluarga, dan rencana kerja. Tapi, karena pertanyaannya datang secara bergilir dan tidak putus-putus, anggota dewan itu keteteran.

Kira-kira seperempat jam lamanya, tanya jawab itu berlangsung di dekat air mancur gedung dewan. Lalu, masuk ke menit keenambelas sampai seterusnya, keempat wartawan tidak lagi mewawancara. Tapi, berusaha menciptakan canda tawa dengan si wakil rakyat.

Pak wakil rakyat itu rupanya terbuai dengan puja-puji dari keempat wartawan. Beliau gembira dan sesekali tertawa selebar-lebarnya tiap kali kena sanjungan.

Tak terasa 30 menit berlalu, pak wakil rakyat harus segera hengkang dari lobi gedung dewan untuk menuju ke lantai dua, ruang paripurna. Sebentar lagi sidang dibuka.

Belum juga melangkah, salah satu wartawan sambil merunduk-runduk dan senyum-senyum mengajukan satu permintaan kepada pak wakil rakyat. Ia memohon diberi uang seikhlasnya dari anggota dewan itu.

Anggota dewan itu kaget. Ia tidak menyangka akan dimintai uang. Sambil cemberut, ia tanya untuk apa uang itu, para wartawan nyaris serempak menjawab untuk membantu menyuarakan pendapat wakil rakyat.

Karena pada waktu itu, wakil rakyat itu tengah terburu-buru, dengan sangat terpaksa mengeluarkan beberapa lembar uang dari tasnya. Lalu diserahkan cepat-cepat kepada wartawan di hadapannya.


Satpam Bank Usir Wartawan Nakal

INI ada cerita dari sebuah kantor bank di kota wisata. Dimana waktu itu ada tiga orang wartawan koran pagi diusir oleh petugas keamanan setempat.

Ceritanya begini, ketiga wartawan selama ini rajin sekali mengikuti acara-acara yang diselenggarakan bank itu, walau sebenarnya sebagian besar acaranya tidak penting atau tidak ada berita penting yang dihasilkan dari sana.

Tiap datang, mereka selalu mendaftarkan nama teman-teman wartawan lainnya kepada panitia acara. Jadi, seolah-olah kedatangan mereka untuk mewakili para wartawan yang tidak bisa hadir di event yang diselenggarakan bank itu.

Nah, ada beberapa wartawan yang belakangan sadar nama mereka telah dimanfaatkan ketiga orang itu untuk meminta uang amplop kepada panitia acara.

Lalu, mereka menemui humas bank yang juga jadi panitia setiap kali ada acara. Dibeberkanlah modus ketiga wartawan itu. Bahwa, mereka tidak pernah mewakilkan kehadirannya ke acara-acara bank kepada tiga wartawan itu.

Barulah, humas bank sadar. Ada juga praktek penipuan semacam itu di kalangan wartawan. Selanjutnya, mereka mencatat identitas media dan nama ketiga wartawan nakal. Di acara-acara bank berikutnya, mereka tidak akan diundang lagi.

Di akhir tahun itu, ketika bank akan menyampaikan hasil evaluasi, diundanglah banyak wartawan, kecuali tiga wartawan nakal tadi.

Di tengah acara, ketiga wartawan itu ternyata datang. Tapi, sebelum sampai ke ruangan tempat penyelenggaraan acara, mereka diminta menunjukkan kartu undangan oleh petugas keamanan.

Tentu saja mereka tidak bisa menunjukkannya. Karena itu, petugas tidak mengizinkan masuk. Tapi, mereka ngotot. Sempat terjadi perdebatan sengit. Bahkan, nyaris terjadi baku hantam di depan kantor bank yang berakhir dengan pengusiran itu.

Tuesday, July 27, 2010

Akal Duo Bodrek Lolos Pemeriksaan Panitia

JELANG pertandingan sepak bola piala menteri, panitia penyelenggara menggelar konferensi pers. Tempatnya di kantor stadion terbaik di kota itu.

Karena event ini masuk kategori bergengsi, panitia hanya mengundang wartawan-wartawan dari media top nasional maupun lokal. Yang datang pun haruslah wartawan olahraga.

Seleksi untuk bisa masuk ke acara konferensi pers pertandingan sepak bola piala menteri sangatlah ketat. Kalau tidak punya identitas jelas, pastilah bisa masuk.

Datanglah dua orang laki-laki yang dengan kartu pers besar yang menggantung di dadanya. Pakaiannya necis. Pakai rompi hitam dengan kantong sangat banyak kanan kiri atas bawah.

Mereka ingin sekali ikut konferensi pers karena biasanya acara seperti ini ada uang amplopnya.
Tapi, nampaknya mereka tidak begitu percaya diri masuk ke arena konferensi pers. Wartawan-wartawan olah raga mengenalnya sebagai wartawan pemburu amplop. Tepatnya wartawan bodrek. Medianya kadang terbit, kadang tidak terbit. Tapi lebih banyak tidak terbitnya.

Seorang wartawan muda dari media nasional olah raga kebetulan melintas di dekat mereka. Dua wartawan setengah baya itu memanggilnya.

Mereka ingin pinjam korek api. Wartawan muda yang juga perokok ini pun meminjamkan korek api. Lalu, ia ingin pergi lagi. Tapi, sebelum pergi, dua wartawan bodrek itu panggil lagi.

Duo wartawan bodrek itu bertanya-tanya soal jadwal pertandingan. Lalu, ia bercerita soal cuaca. Kemudian cerita soal gedung stadion. Si wartawan muda yang saat itu tengah buru-buru ingin masuk karena acara konferensi pers akan segera dimulai, hanya jawab-jawab sekilas saja.

Tidak lama kemudian. Wartawan muda masuk. Di belakangnya duo wartawan setengah baya itu mengikuti. Panitia tidak memeriksa lagi duo wartawan itu karena mengira teman si wartawan muda. Sukseslah rencana si duo itu ikut konferensi pers.

Belakangan, si wartawan muda sadar. Kalau tadi dikerjai duo wartawan itu. Mereka pura-pura mengakrabinya di dekat panitia acara biar bisa lolos ke acara konferensi pers.

Jungkir Balik, Usai 86

ADA seorang wartawan senior yang sudah bertahun-tahun ditugaskan oleh pimpinannya di kejaksaan. Biasanya, wartawan yang sudah sampai tahap demikian, banyak dikenal oleh pejabat setempat, mulai dari tingkat bawah sampai atas.

Wartawan senior satu ini beda dengan yang lainnya. Kalau yang lainnya memanfaatkan kedekatan dengan narasumber untuk berita-berita ekseklusif, sedangkan dia, tidak begitu. Ia memanfaatkannya untuk keuntungan di luar jurnalistik.

Di mata para wartawan yang biasa liputan di kantor itu, si senior ini benar-benar kacau. Meminta uang kepada narasumber bagi dia sudah tidak canggung lagi. Todong sana todong sini, di depan teman-teman, maupun ketika lagi sendirian.

Suatu pagi, tumben dia tidak kelihatan. Padahal ada sidang kasus besar yang sedang berlangsung. Teman-temannya heran. Kemana wartawan senior bersembunyi.

Baru pada siang harinya, dia datang dari parkir mobil. Ia masuk kantor kejaksaan dengan tergopoh-gopoh. Temannya bertanya, “Dari mana bro.”

Si senior tidak menoleh. Baru pada panggilan kedua, dia dengar panggilan rekan-rekannya yang duduk di bangku tunggu. Sambil menoleh, si senior bilang, “Spion mobil gue rusak, mau menghadap bos dulu.”

Rekan-rekan wartawan lain saling pandang. Mereka tidak terlalu kaget. Sudah pasti, si senior mau ketemu salah satu pejabat kejaksaan. Kalau tidak untuk minta uang buat ganti spion, apalagi.

Seperempat jam kemudian, si senior turun dari lantai empat. Dengan wajah sumringah, ia bilang pada teman-temannya. “Lancaaaaaar.” “Sukses.”

Ia turun sambil menari-nari dan memperlihatkan beberapa lembar uang pecahan Rp100 ribu di kantong celana bagian kanannya. Karena saking senangnya, ia lupa sedang turun tangga.

Akibatnya, ia terpeleset dan jatuh terguling-guling. Sampai di bawah, ia menjerit kesakitan. Ikat pinggangnya putus dan celananya melorot. Akhirnya, kejadian ini menjadi tontonan banyak tamu kantor jaksa siang itu.

“Gak papa lu, bro. Yang penting sukses dan lancar, kan yak,” kata temannya sambil cekikikan. “Sialan,” umpat si senior.


Wartawan Itu Agamanya Apa?

CERITANYA begini. Ada seorang pengusaha keturunan China yang menjadi tersangka korupsi. Di awal pekan, ia datang ke kantor kejaksaan untuk memenuhi panggilan.

Karena kasus yang menjeratnya berat karena merugikan keuangan negara miliaran rupiah, jadi waktu itu banyak sekali orang media yang meliput kedatangannya. Milyarder ini ditunggu-tunggu sekitar 30 juru warta di depan kantor jaksa.

Sejam kemudian, pengusaha kakap keluar dengan wajah capek. Kuping merah dan lehernya berkeringat. Wartawan mencecarnya dengan berbagai pertanyaan. Setelah sesi tanya jawab selesai, pengusaha itu menuju mobil hitam mewah yang telah menunggu.

Sebelum masuk ke mobil. Ia berhenti sejenak. Lalu, ia merogok sesuatu dari dalam tas kulitnya. Setelah balik badan, pengusaha ini tanya ke wartawan.

“Mana koordinator wartawannya. Mana koordinator wartawannya, sini, sini,” katanya dengan nada cepat. Wajahnya sumringah.

Wartawan yang masih berkumpul di lobi gedung saling melihat. Ada yang bilang ke pengusaha itu, tidak ada koordinator wartawan di sana.

“Ini ada buat kalian (uang). Ayo ke sini, ayo ke sini,” kata pengusaha itu dengan logat China-nya sambil menyeringai.

Wartawan-wartawan yang berada di barisan paling depan secara serempak menolak tawaran pengusaha yang jadi tersangka itu.

Karena tidak ada yang mau menerima uang, pengusaha berjalan lagi mendekati wartawan. Ia mengaku heran. “Ada juga wartawan seperti kalian ya, tidak mau ini (uang),” katanya senyum-senyum.

Si pengusaha kemudian membaur dengan wartawan. Kejadian ini benar-benar mengejutkan. Setelah basa basi sana sini, si pengusaha curhat kalau selama ini sering didatangi wartawan yang umumnya minta uang setelah selesai wawancara. Atau sebagian wartawan lagi mengajukan proposal proyek.

Sampai-sampai si pengusaha memiliki pemahaman tersendiri tentang wartawan. Bahwa wartawan itu juga suka harus dibayar selesai wawancara. Kalau tidak, beritanya bisa miring ke sana kemari. Jadi harus dibayar.

Malahan, ada sekelompok wartawan yang rutin sekali menyambangi pengusaha itu ke kantor tiap hari raya. Alasannya untuk menyampaikan ucapan selamat. Terus, kartu ucapan yang mereka bawa, biasanya juga mencantumkan nama puluhan wartawan, lengkap dengan nama media.

Mungkin saking gemesnya, si pengusaha kaya itu bilang ke wartawan di kantor jaksa. “Wartawan itu sebenarnya agamanya apa. Natal datang minta THR, Lebaran datang minta THR, Tahun Baru datang minta THR, Imlek datang lagi minta THR.”

Kontan saja, wartawan kantor jaksa tertawa terpingkal-pingkal setelah dengar curhatan si pengusaha kakap itu.

Wartawan Bodrek dengan BlackBerry-nya

PADA suatu hari, berlangsunglah pelatihan untuk meningkatkan kapasitas jurnalis di daerah yang diselenggarakan oleh perusahaan swasta. Puluhan undangan disebar ke berbagai penjuru wilayah.

Banyak sekali wartawan yang diundang menghadiri acara, mengingat pembicaranya didatangkan langsung dari Ibukota Jakarta.

Ternyata, peserta yang hadir banyak sekali. Bahkan melebihi kuota. Usut punya usut, rupanya lebih banyak wartawan bodrek yang ambil bagian di acara ini. Bahkan, ada yang berbondong-bondong datang dari provinsi tetangga.

Para wartawan itu tidak punya media yang secara rutin terbit. Bahkan, ada pula yang sama sekali cuma mengaku-aku wartawan dengan bekal kartu pers palsu.

Seminarnya ramai sekali. Pembicara dari Jakarta yang merupakan seorang pakar itu membahas secara khusus tentang kode etik jurnalistik. Perdebatan pun tak bisa dihindari. Semuanya beradu argumen dengan semangat membangun jurnalistik yang baik.

Beberapa jam berlalu tanpa terasa. Tibalah penutupan acara seminar. Begitu selesai, panitia membagi-bagikan biaya transportasi pengganti kepada peserta seminar.

Ada wartawan yang menolak uang transportasi, karena mereka menganggap itu tidak boleh diterima. Tapi, ada pula yang senang sekali menerimanya.

Setelah pembagian uang transportasi kepada peserta selesai, panitia bersiap meninggalkan lokasi seminar.

Kucuk-kucuk datang seorang kakek ke meja panitia dan menanyakan yang transportasi yang ia terima. “Jatah saya mana?” katanya.

Karena panitia merasa sudah selesai membagikan semua uang transport, spontan mereka menjawab, “Semuanya sudah diserahkan. Bapak dari mana?”

Merasa ada respon, sang kakek terus mendesak panitia untuk meminta bagiannya. “Ini tidak adil, teman saya terima masa saya tidak dapat apa-apa?” Kakek ini mengaku dari media cetak dari provinsi tetangga.

“Bodrek itu,” kata salah seorang panitia sambil bisik-bisik kepada temannya.
Di dekat meja, si kakek ini tetap ngotot dan tidak mau pergi sebelum diberi uang saku oleh panitia.

Merasa iba, ada seorang wartawan yang kemudian mendatangi sang kakek untuk memecahkan kebuntuan negosiasi. “Ada apa pak?”

Dengan lugas si kakek menjelaskan identitasnya sebagai seorang reporter lengkap dengan sejumlah kartu pers yang dia miliki.

Ternyata, kakek ini memiliki banyak sekali kartu pers. Ia mengeluarkan kartu yang digantung di leher dan kantong celana. Tulisannya pun rupa-rupa. ‘PERS,’ dan ‘PRESS.’

“Saya ditugaskan pemimpin saya untuk ikut acara ini. Rumah saya jauh dari sini. Sekitar 15 KM dari sini. Kalau tidak diberi uang saya pulang naik apa?” ungkapnya mengeluh.

Bajunya lusuh, bertopi, sepatunya juga butut. Tas kecil menggelayut di pundak. Wajahnya mengiba.

Dalam hati, wartawan yang tadi menanyai kakek itu ingin memberi uang sekadar ongkos pulang. Kasihan juga bila dia sampai jalan kaki dari acara itu.

Hanya saja, di pikirannya berucap, ”Jika diberi, ini mah tidak mendidik namanya. Tapi kasihan, bapak ini sudah renta sekali…”

“Teman saya dapat, masa saya tidak dapat,” kata kakek itu lagi. Ia menjelaskan salah seorang temannya menerima amplop berisi pecahan Rp100.000.

Berbagai penjelasan diberikan, tapi kakek itu tidak mau tahu. Ia malah emosi. “Kalau begini caranya, bapak menipu saya dan menelantarkan saya. Tega menipu orang yang sudah tua ini? Saya pulang ke rumah naik apa? Tega melihat saya jalan kaki ?”

“Saya akan laporkan anda karena telah menipu saya,” ancamnya lagi.

Ungkapan bapak itu membuat wartawan muda ikut emosi juga. Spontan ia katakana, “Silangkan lapor, kemana saja bapak lapor nanti saya tanggapi.”

Melihat reaksi wartawan muda, kakek itu pun mereda dan mencoba meminta dengan cara melunak. “Tolonglah, kalau ada berikan uangnya. Kalau tidak ada, juga tidak apa-apa kalau tega melihat saya pulang jalan kaki.”

Panitia tetap tidak memberi uang karena kakek itu jelas-jelas bukan wartawan resmi. Panitia kemudian mengucap terimakasih. Si wartawan muda berjabat tangan dan meminta maaf atas reaksi kerasnya tadi.

Sambil berdiam seribu bahasa, kakek itupun pergi ke lobi hotel berjalan beriringan dengan wartawan muda. Tiba-tiba telepon si kakek berdering keras.

Kakek ini merogoh kantong celana bututnya dan mengangkat telepon. Kaget si wartawan muda itu. Ternyata telepon milik kakek itu BlackBerry terbaru. Yang harganya di atas Rp3 juta. "Gila lu, teleponnya seharga dua kali gajiku, ngapain pula tadi lu ngotot minta duit recehan," pikir si wartawan muda.

Dengan santai, si kakek langsung pergi sambil berbincang-bincang di telepon. Di pinggir jalan, ia ditunggu sekitar lima orang yang tadi jadi peserta seminar.


Monday, July 26, 2010

Wartawan dan VCD Miyabi Palsu

USAI operasi barang ilegal di pasar, alat bukti berupa ribuan keping VCD, DVD, minuman keras seperti anggur kolesom, mansion, drum, vodka dihamparkan di salah satu tempat aman di kantor polisi pinggiran kota.

Sejumlah wartawan nakal tampak tergiur betul dengan barang bukti itu. Menyaksikan wartawan yang melempar kode untuk mengambil barang bukti yang akan dimusnahkan itu, si anggota polisi datang ke wartawan. Ia tidak tega menolak permintaan jurnalis nakal tadi untuk memiliki keping VCD dan DVD. Setelah dirayu-rayu, akhirnya polisi membolehkan juga.

Karena sudah ngebet dari tadi, tanpa pikir-pikir lagi, wartawan langsung menyerbu keping VCD dan DVD yang umumnya bergambar film-film biru di pojok halaman kantor polisi. Mereka bongkar-bongkar kardus dan karung tempat menyimpang alat bukti. Sudah seperti pemulung barang bekas.

Melihat kelakuan para wartawan nakal tadi, polisi yang ada di sekitar lokasi sampai geleng-geleng kepala dan tertawa.

Saat wartawan sedang berebut memilah-milah kepingan barang bukti, anggota polisi mengingatkan agar yang diambil VCD dan DVD berisi lagu-lagu saja. Jangan yang aneh-aneh, seperti film berisi ajaran porno.

Setelah para wartawan amplop itu puas menjarah barang bukti. Mereka kembali ke markas atau tempat nongkrong. Di sana, mereka menghitung hasil jarahan. Gelak tawa menghiasi sore itu.

Mereka pikir, malam harinya bisa senang-senang bisa menonton film-film biru. Seperti Miyabi yang lagi hits bulan itu.

Sepuluh menit kemudian, salah satu wartawan menjerit. Ia baru tahu telah tertipu. Ternyata yang dibawanya bukan VCD berisi film yang diharapkan, melainkan VCD dan DVD transparan. Tidak ada gambarnya, apalagi suaranya, pada waktu diputar dengan mesin.

Setelah itu, temannya juga berteriak. “Asu, ini sih kosongan semua,” katanya.

"Gimana nih, apa dikembalikan saja,” katanya. "Ah, elu saja yang kembalikan, gue mah malu. Mending diam aja, belaga bego," jawab wartawan lainnya.

Malam itu, mereka tidak henti-henti misuh alias mengumpat. Tapi, mereka tidak bisa marah kepada siapapun.

Akhirnya, mereka merahasiakan kejadian itu. Kalau kejadian sore itu sampai terdengar wartawan lainnya, pasti akan akan ramai dan malu setengah mati. (share dari Arnes)

Duo Wartawan Pilih Push Up Daripada Ditilang

SUATU hari ada razia kendaraan motor di jalan protokol. Soalnya, belakangan ini, banyak terjadi kasus pencurian kendaraan di kota wisata itu. Berhentilah si wartawati karena diminta minggir oleh polisi lalu lintas.

Nah, di belakang si wartawati, ada dua wartawan yang berboncengan satu sepeda motor yang ternyata juga diberhentikan. Ooohh, rupanya mereka duo wartawan yang sering nongkrong di kantor Dinas Pekerjaan Umum atau kantor Humas, pikir wartawati itu.

Si duo wartawan melempar senyum nakal kepada si wartawati. Tapi wartawati tidak mau menanggapinya, lagipula waktu itu dia harus menjawab pertanyaan polisi dulu.

Sebelum menjawab pertanyaan polisi dan menunjukan SIM dan STNK, si wartawati membuka helm lebih dulu. Ternyata, polisi sudah kenal sama si wartawati.

Karena si wartawati memiliki surat-surat kendaraan lengkap, petugas polisi makin menaruh hormat pada wartawati. Senyum lebar, dilemparkan petugas kepadanya.

Karena sudah dipersilahkah kembali melanjutkan perjalanan, wartawati memasukkan lagi SIM dan STNK-nya ke dompet. Iseng-iseng dia melirik ke arah duo wartawan yang juga tengah diperiksa polisi.

“Mohon izin Ndan (komandan). Saya wartawan pers Ndan,” kata wartawan yang membawa sepeda motor sambil merendah-rendahkan badannya di depan polisi.

Tapi, polisi tidak menghiraukannya. Polisi mengeluarkan buku tilang dari celana. Soalnya, wartawan tadi tidak punya SIM. STNK-nya pun sudah dua tahun lalu mati.

“Aduh Ndan. Mohon izin Ndan. Izin melintas Ndan, kami pers nih,” kata wartawan sambil terus memohon-mohon agar petugas tidak menilangnya.

Karena polisi terus berjalan menuju mobil untuk mencatat pelanggaran wartawan, duo wartawan itu terus berusaha mencegahnya. Mereka sampai mengeluarkan semua identitas yang terkait pers kepada polisi. Ada ID card undangan liputan, ada ID card liputan konser musik, sampai ID card kelompok kerja wartawan kantor polisi.

Tapi, polisi tetap tidak peduli. Akhirnya, dua wartawan bilang kalau mereka temannya si wartawati. “Kita semua mitra Ndan. Mohon ijin Ndan. Kok dia (wartawati) tidak diapa-apain,” kata wartawan.

Kata polisinya, "Sudah-sudah, tidak usah nunjuk-nunjuk orang. Ini surat tilangnya, jadwal sidangnya tolong dilihat.”

"Please, Ndan. Apa kami push up aja Ndan. Mohon perintahnya. Tapi jangan ditilang lah, Ndan," kata wartawan.

Akhirnya, duo wartawan cuma bisa cengar-cengir di pinggir jalan. Mereka pikir bisa lepas dari tilang seperti sebelum-sebelumnya. Tapi, ternyata polisi tetap menilang kendaraan. Sialan, pikir mereka.

Si wartawati tertawa dalam hati. “Rasain kalian, suka aji mumpung sih lo pada. Mentang mentang wartawan, sok kebal hukum.”

Sunday, July 25, 2010

Kisah Wartawan & Perwira Pelit

ADA seorang wartawan kriminal yang bertugas di salah satu kantor polisi. Karena dia sudah senior. Senior dalam pengertian, lamaaaaaa sekali liputan bersama polisi. Alias tidak dipindah-pindah oleh kantornya. Maka hampir seluruh perwira polisi dikenalnya dan mengenalnya.

Dengan bekal itu, tentu saja dirinya dengan mudah dapat penghasilan tambahan atau berbagai jalean yang diberikan secara sukarela oleh para perwira polisi itu.

Tapi, ada satu perwira yang tidak pernah berbagi rejeki alias pelit. Paling banter kalau menghadap si perwira itu di ruangannya, hanya dibelikan mie ayam. Itupun dilarang nambah dan tanpa minum. Padahal dengan perwira lain, si wartawan senior ini bisa mendapatkan rejeki alias uang yang nilainya bisa sama dengan gaji bulanannya di kantor.

Sikap pelit itu mayoritas wartawan di wilayah itu enggan menyambangi kantor si perwira tadi. Namun, hal itu tidak berlaku bagi si wartawan senior.

Dia terus memutar otak untuk dapat menaklukan si perwira pelit. "Masa sih, tuh orang gak punya kelemahan. Pasti ada, guw bakal coba lobi doi," seru si wartawan senior di depan rekan-rekannya ketika makan siang di dekat rumah sakit.

Dengan ditemani seorang rekan, si wartawan senior langsung memacu motor tuanya menuju kantor si perwira pelit itu.

Tiba di TKP, mereka langsung menghadap. "Siang ndan (komandan). Kita lagi monitor di daerah ini nech. Kebetulan mampir. Ijin menghadap," kata si wartawan senior agak keras, tepat di depan wajah perwira.

"Oh... monggo. Silakan adik-adik. Saya selalu terbuka menerima rekan-rekan sekalian. Kita ini khan mitra kerja," balas si perwira.

Seperti yang sudah-sudah, si perwira langsung memanggil ajudannya untuk memesankan mie ayam untuk si wartawan senior dan rekannya. Itupun tanpa minuman ringan dan rokok.

Tidak sampai 15 menit mie ayam itu datang dan langsung disantap kedua wartawan. Sambil menyantap mie ayam, si wartawan senior melihat sekeliling ruangan si perwira yang cukup luas dan megah sambil terus memutar otak untuk menaklukan kepelitan si perwira.

Tiba-tiba saja pandangan mata si wartawan senior yang terkenal cerdik itu berhenti pada sebuah figura foto besar yang bergambar si perwira berikut istri dan dua anaknya, cowok dan cewek.

Foto itu cukup istimewa karena si perwira memakai seragam dinas lengkap. Istrinya pun tak kalah penampilannya, berkebaya dan bersanggul. Sedangkan anaknya yang pria berseragam tentara dan anaknya yang perempuan mengenakan seragam taruna akademi polisi.

Tiba-tiba dengan setengah berteriak, si wartawan senior berucap "Nih dia kelemahannya udah gue dapat."

Tentu saja si perwira yang hanya berjarang satu meter di depannya mendengar teriakan si wartawan senior, walaupun tidak jelas. Maklum perwira ini sudah berusia lanjut dan akan segera pensiun.

Mungkin karena alasan itulah yang membuat dirinya memilih dimusuhi wartawan dan anak buahnya karena tidak pernah berbagi dan lebih memilih menabung dana taktis itu untuk masa pensiunnya yang segera tiba.

"Ada apa, Dik, tadi ngomong apa," tanya si perwira setengah kaget.
Diday

"Ijin bertanya Ndan," pinta si wartawan.

"Oh, monggo, silakan," ujar si perwira dengan logat Jawanya yang kental.

"Itu foto siap, Ndan? Yang di figura besar itu," tanya si wartawan dengan nada pelan.

"Oh, itu, itu anak dan istri saya," jawab si perwira penuh kebanggaan.

Seketika obrolan yang tadinya berjalan kaku berubah menjadi cair dan akrab.

"Komadan memang hebat," ucap si wartawan.

"Ah... adik ini meledek. Kalau hebat masa saya pensiun cuma dengan satu melati bukan bintang," jawab si perwira dengan nada lemah.

"Itu bukan ukuran Ndan, biarpun komandan cuma punya melati di pundak. tapi komandan sukses mendidik putra-putrinya sampai bisa masuk Akpol dan Akabri tanpa koneksi," terang si wartawan dengan logat Sumaterannya yang kental.

Seketika senyum mengembang di bibir perwira yang terlihat sudah sepuh itu. Dan senyum itu baru berhenti setelah mendengar ketukan pintu yang lumayan keras yang dilakukan ajudannya. Si ajudan mengingatkan kalau ada jadwal rapat dengan camat dan Danramil di kantor kecamatan.

Mendengar ucapan sang ajudan, si wartawan senior dan rekannya hendak bangkit dari duduknya. Namun segera dicegah oleh si perwira. "Duduk saja Dik, saya tidak jadi menghadiri rapat itu kok. Biar nanti wakil saya saja yang hadir," ucapnya mantap.

Seketika si perwira menyuruh ajudannya keluar ruangan dan menyampaikan perintahnya agar wakilnya menggantikan dirinya pada rapat itu.

"Kemitraan dengan media jauh lebih penting dari pada rapat kordinasi macam itu. Coba tadi dilanjutkan omongannya Dik," pinta sang perwira dengan penuh antusias.

Dengan segera si wartawan kembali duduk nyaman dan melanjutkan bualannya. "Iya Ndan, Komandan jauh lebih hebat dari pada Kepala Polisi yang bintang dua karena anaknya enggak lulus Akpol atau humas yang bintang satu saja putrinya juga gagal masuk Akpol untuk yang ketigakalinya. Jadi, jelas Komandan lebih sukses mendidik anak dan lebih sukses dari para perwira berbintang itu," ucap si wartawan dengan penuh rayuan pulau kelapa.

Tentu saja si perwira melati itu senang bukan kepalang dan terus menatapi figura dengan foto anak-anaknya yang berseragam taruna polisi dan TNI.

Tidak ingin kehilangan momentum, si wartawan senior segera menyambung ucapannya yang memabukan itu.

"Kalau saya prediksi, anak komandan yang pria bakal jadi Pangdam dan yang perempuan minimal jadi Kapolda bahkan bisa jadi Kapolri perempuan pertama di negeri ini," ucapnya lebay.

"Ah... Adik ini bisa saja. Itu kan bukan karena saya saja. Tapi juga berkat didikan ibunya di rumah," ucap si perwira mulai mabuk rayuan.

Tak terasa hari mulai sore dan itu artinya jam deadline untuk koran si wartawan mulai dekat. Dengan segera kedua wartawan itu pamit kepada si perwira.

Namun tanpa diduga si perwira mencegahnya. Dan minta obrolan dilanjutkan lagi. "Aduh.. nanti saja Dik, kenapa buru-buru. Kita kan jarang ngobrol," ucap si perwira penuh pengharapan.

Tapi tampaknya kedua wartawan itu jauh lebih takut pada redakturnya ketimbang pada si perwira polisi. Maka dengan mantap kembali mereka ijin untuk meninggalkan ruangan.

"Aduh, mohon maaf nih Ndan bukannya kita enggak mau ngobrol lama tapi kantor sudah telepon terus nih. Kalau gak segera pulang bisa dipecat kita," kilah si wartawan senior disambut anggukan rekannya.

"Oke lah kalau begitu. Saya tidak bisa memaksa adik-adik untuk tetap di sini. Tapi tunggu sebentar," pinta si perwira sambil ke luar ruangan.

Tidak sampai 10 menit si perwira kembali masuk ruangan sambil menenteng dua amplop coklat besar yang mirip amplop lamaran dan langsung diserahkan kepada kedua wartawan yang menjadi tamunya hampir dua jam itu.

Tanpa ekspresi senang kedua wartawan itu menerima amplop coklat tersebut, masing-masing satu. Dan segera menjabat tangan sang perwira lalu melesat ke luar ruangan menuju parkiran motor. Amplop coklat itu langsung dimasukan ke dalam jaket kulit hitamnya.

Di daerah persimpangan jalan, kedua wartawan itu berpisah, yang satu ke arah selatan dan satu lagi ke arah utara.

Sekitar 15 menit setelah berpisah, si wartawan senior berhenti karena teleponnya berdering. Ternyata dari rekannya yang seharian tadi menemaninya. "Ada apa coy telepon ane," tanyanya setengah marah karena perjalanannya terganggu.

"Cing, gue di POM bensin nih," jawab sang rekan.

"Terus kenapa, dompet lo ketinggalan lagi. Mau pinjam duit lagi. Basi cing, modus lo udah kebaca," jawaban si senior di ujung telepon.

"Bukan itu Cing. Ente udah buka amplop dari komandan tadi belum," tanya sang rekan.

"Ah... ngapain paling juga kumpulan rilis seperti yang sudah-sudah. Sebentar lagi juga gue buang nih," jawab si wartawan senior.

"Busyet, jangan cing. Emangnya udah enggak butuh duit lo," teriak si rekan.

"Duit, duit apaan? Kalau duit sih gue masih doyan tapi mana duitnya," ucap si senior penasaran.

"Itu di amplop coklat yang mau ente buang. Cepet buka," perintah sang rekan.

Dengan penasaran sang wartawan langsung membuka jaket kulit kumalnya dan membuka amplop. Hampir saja matanya meloncat keluar melihat tumpukan uang berwarna biru yang setelah dihitung jumlahnya mencapai Rp3 juta.

"Gila Cing, duit Rp500 ribu. Banyak amat ya, ngasih gocap aja gak pernah. Jangan-jangan dia salah ngasih lagi maklum sudah tua," ucap si wartawan kepada rekannya di ujung telepon.

"Iya nih. Jangan-jangan kita dijebak lagi. Nanti dituduh meras. Udah jangan disentuh tuh duit dan besok kita balikin. Gue enggak mau masuk bui," perintah sang rekan.

Singkat cerita, esoknya kedua wartawan itu kembali menemui sang perwira yang sedang menerima tamu dua orang pria berperut buncit dan berkepala botak.

Setelah menunggu 10 menit, akhirnya kedua tamu itu ke luar ruangan. Dan masuklah kedua wartawan itu dengan diantar ajudan sang perwira yang lebih ramah dari biasanya.

Si perwira tentu kaget kembali bertemu dengan kedua wartawan senior itu. Tapi, dia justru senang dan kembali mempersilahkan duduk.

Dengan memberanikan diri, keduanya langsung menyerahkan kedua amplop coklat kepada pemilik sebelumnya, komandan. Tentu saja si perwira itu heran. Dan bertanya alas an kenapa sampai dikembalikan.

"Kami tidak mau dianggap meras Ndan," jawab keduanya bareng.

"Oh... itu, saya sukarela memberinya dan dari uang tabungan saya sendiri yang saya ambil dari ATM kemarin. Bahkan yang ambil uangnya ke ATM juga saya sendiri. Terimalah. Kalian berdua telah menyadarkan saya, kalau yang berharga itu bukan hanya uang saja tetapi juga anak yang membanggakan," terangnya.

"Oh... begitu. Kalau begitu kami terima deh Ndan pemberiannya. Dan kami doain biar anak komandan jadi Kapolri beneran," ucap si wartawan senior seraya meraih kembali amplop coklat yang hampir saja masuk ke dalam laci.

Dengan terbata-bata kedua wartawan itu menjawab kompak "Siap Ndan," sambil melirik figura yang sudah diganti dengan warna keemasan sehingga tampak lebih mewah dari sebelumnya.

Sejak itu, setiap Jumat kedua wartawan itu rajin menyambangi kantor polisi tempat si perwira itu. Dan sikap keduanya menjadi tanda tanya besar bagi rekan-rekan wartawan yang lain karena buat apa mereka ke kantor polisi itu karena kepala polisinya terkenal paling pelit.

"Ngapain ya tuh curut (panggilan kepada dua wartawan) berdua tiap Jumat ke kantor polisi itu," tanya wartawan lain yang brewokan.

"Mungkin sholat Jumat, bang," jawab seorang teman si wartawan brewok.

"Bah, dah mau kiamat kali kalau mereka sholat Jumat. Si A (senior) kan bukan muslim. Sedang si B, Islam KTP-nya, doang," bantah si wartawan brewok sambil garuk-garuk kepala. (share dari Day)

Nunggu Amplop Sampai Diusir Polisi

AMPLOP memang jadi daya tarik besar bagi sebagian jurnalis Indonesia yang tidak mau menerapkan kode etik jurnalistik. Betapa tidak, uang coy. Bekerja kalau bukan untuk mencari uang, lantas cari apa. Kira-kira begitu dalam pikiran wartawan.

Nah, pikiran itu benar-benar ada di kepala dua wartawan ibukota ini. Senang benar, mereka dapat informasi, salah satu kantor polisi pada hari itu akan menyelenggarakan jumpa pers. Di kepala mereka, sudah pasti minimal Rp100 ribu di tangan.

Padahal, belum tentu semua acara jumpa pers ada uang amplopnya. Contohnya ya kantor polisi yang mengadakan konferensi pers tentang keberhasilan anggota polisi mengungkap suatu kasus yang selama ini jadi perhatian media setempat pada hari itu.

Usai acara, kedua wartawan berkepala botak itu menunggu di dekat pos jaga. Biasanya, pembagian amplop memang dilakukan setelah acara bubar. Wartawan dipanggil satu persatu oleh koordinator atau koordinator yang menemui wartawan-wartawan yang meliput acara.

Hampir sejam mereka duduk. Pantatnya sudah panas karena kelamaan. “Kok, belum ada pembagian nih. Dimakan siapa uangnya nih. Sial,” kata wartawan tua itu.

“Setan benar. Ngerjain kita ini bang,” kata temannya. “Siapa yang bawa duitnya.”

Kalau saja dua orang ini tahu coordinator wartawan di kantor polisi itu, sudah pasti mereka akan memburunya dan meminta jatahnya. Sayang, mereka baru sekali itu datang ke sana.

Dua wartawan ini melihat tiga wartawan yang baru keluar dari ruang pers. Wartawan tua botak itu teriak. “Woi, pada mau kemana, belum dapat nih.”

Tiga wartawan yang sehari-harinya ngepos di kantor polisi itu cuek saja. Mereka langsung menuju ke sepeda motor di tempat parkir. Lalu, pergi.

Dua wartawan tua itu kembali duduk. Sudah pusing. Lalu, mereka beranjak menuju ke anggota polisi yang jaga di pos jaga. “Bang, yang bagi-bagi jatah siapa ya. Kita belum dapat ini bang,” kata si tua.

Anggota polisi yang tak tahu menahu urusan wartawan itu marah. Lalu, diusirlah dua wartawan tua itu. Mereka disangka wartawan pemeras yang selama ini bikin onar.

Friday, July 23, 2010

Balas Dendam Gara-gara Amplop

GARA-GARANYA, si wartawan yunior ini pamer ke wartawan senior kalau dia dapat amplop berisi banyak duit di salah satu acara pejabat pemerintah. Kesal karena merasa dilangkahi, si senior ingin balas dendam.

Tibalah waktunya pembalasan. Kejadiannya saat berlangsung rapat besar organisasi wartawan. Si senior bilang kepada yunior, di acara itu panitia menyediakan uang transportasi (amplop) buat para wartawan yang datang.

Namanya juga masih yunior dan masih polos, ia nurut saja dengan rekannya si wartawan senior. Datanglah si yunior ke acara itu. Ia langsung ingin ketemu panitia acara rapat. Waktu itu masih di acara pembukaan rapat besar.

Setelah ke sana kemari, keluar masuk, akhirnya wartawan yunior berhasil menemukan panitia. Ia mengutarakan maksudnya. Minta jatah uang karena ingin segera pergi untuk meliput acara lain.

Panitia acara juga wartawan itu cepat menguasai keadaan. Ia langsung tahu tipe wartawan yunior ini. Sambil menahan tawa, ia bilang kalau di acara rapat wartawan seperti ini, tidak ada namanya uang jatah buat wartawan yang meliput acara.

Wartawan yunior agak ngeyel kepada panitia. Soalnya, tadi ia didoktrin oleh si senior kalau acara rapat ini ada anggarannya, termasuk untuk wartawan.

Karena tidak ingin bertengkar, panitia acara ingin tahu siapa orang yang menyuruh wartawan muda itu. Si wartawan yunior mengaku kalau tadi dikasih bocoran sama wartawan senior mengenai adanya amplop untuk wartawan.

Baru setelah mengetahui siapa nama wartawan senior itu, pecahlah tawa panitia acara. Karena kasihan, ia bilang kalau wartawan yunior itu sedang dikerjai. Bocoran amplop seperti yang disampaikan senior itu tidak ada.

Lalu, panitia acara itu bercerita kalau wartawan senior itu adalah wartawan yang selama ini tukang peras narasumber. Dengan wajah merah karena malu, si yunior cepat-cepat pergi. Sialan, katanya.


Si Wartawan Amplop Tekor

TUMBEN sekali siang itu di sebuah kantor polisi. Wartawan yang dikenal suka menguber-uber amplop berkumpul bersama wartawan yang anti amplop. Soalnya, biasanya wartawan amplopan suka tidak betah duduk berlama-lama, karena di kepalanya selalu berpikir bagaimana cara dapat uang dari narasumber.

Beberapa wartawan koran yang anti amplop bisik-bisik. “Ada press release di restoran A, yang membikin acara perusahaan properti.”

Beberapa wartawan amplop tentu saja dengar bisik-bisik itu. Soalnya, kan, mereka ada di satu ruangan. Tapi, karena selama ini mereka tidak terlalu dekat, para pencari amplop tidak berani bertanya soal kapan acara press release itu diselenggarakan.

Sejurus kemudian, wartawan anti amplop satu persatu pergi. Mereka menuju sepeda motor masing-masing yang diparkir di belakang kantor polisi.

Tidak lama setelah wartawan anti amplop pergi, para wartawan amplop juga angkat kaki. Mereka ingin mengikuti kemana perginya wartawan anti amplop tadi.

Seperempat jam kemudian, sampailah para wartawan anti amplop itu di depan restoran A. Sebuah restoran yang terkenal mahal. Dan sering dijadikan tempat konferensi pers para pejabat pemerintah. Setelah memarkir kendaraan di parkiran restoran yang luas, mereka mereka tidak masuk ke restorannya, melainkan ke warung makan tradisional yang terletak samping resto.

Beberapa menit kemudian, datanglah rombongan wartawan amplop. Mereka melihat, sepeda motor para wartawan anti amplop terparkir di depan restoran. Mereka buru-buru ikut memarkir di sana. Lalu, mereka berlari-lari kecil sambil bersiul-siul masuk ke dalam resto.

Di dalam suasananya sepi. Lalu, mereka duduk di salah satu bangku dan memesan jus mangga. Mereka pikir, mungkin datang terlalu cepat sehingga panitia acara konferensi pers dari pengusaha properti belum datang.

Sejam ditunggu. Tapi ternyata tidak ada tanda-tanda ada acara press release. Mereka mulai khawatir. Tak lama kemudian, mereka keluar lagi dengan kepala tertunduk. “Dimana acaranya ya,” kata salah satu di antara mereka sambil melihat ke sana kemari.

Para wartawan anti amplop terpingkal-pingkal di dalam rumah makan tradisional. Mereka melihat para para wartawan bodrek sedang kebingungan dan gondok di teras restoran. Kena para wartawan amplop itu. Dikerjai habis.

******

Keesokan harinya, tanpa disengaja dua kelompok wartawan itu bertemu lagi di lobi kantor walikota. “Brader (brother), bohong yang kemarin. Kami datang kok kosong tuh restoran,” kata salah satu wartawan pencari amplop.

“Tempat jumpa persnya dipindah ke tempat lain sama panitia acara, pren (friend),” kata seorang wartawan anti amplop sambil berusaha keras menahan tawa.

“Kok tidak bilang-bilang ke kami. Kami sampai beli jus kemarin itu. Mahal pula harganya. Mestinya telpon dong brader, duh,” kata wartawan amplop.

“Hmmm betul juga. Tapi kami tidak punya telpon kalian. Bingung juga kami kemarin itu,” kata wartawan anti amlop.

Perbincangan kedua kelompok wartawan selesai setelah salah satu wartawan amplop memberikan nomor teleponnya kepada wartawan anti amplop. “Please, brader, kalau ada info jumpa pers kasih tau yach.”

Berburu Amplop di Markas Wartawan

DI KANTOR organisasi pers yang selama ini dikenal sering berkampanye tentang idealisme, berkumpul puluhan wartawan. Waktu itu ada acara syukuran. Karena skalanya nasional, diundanglah tokoh masyarakat, pejabat pemerintahan, sampai anggota DPRD.

Benar-benar kejutan. Ternyata di antara wartawan yang berkumpul, ada beberapa pemuda yang selama ini dikenal sebagai wartawan bodrek. Wartawan yang medianya kadang terbit, kadang tidak terbit. Tapi lebih sering tidak terbit.

Kedatangan mereka disebut kejutan karena selama ini tidak pernah ada ceritanya wartawan bodrek mau datang ke acara yang diselenggarakan organisasi kewartawanan.

Usut punya usut, ternyata mereka datang ke acara syukuran ini karena ada pejabat-pejabat pemerintahan yang hadir. Mungkin, mereka pikir, acara ini banyak duitnya. Ada uang amplop, kira-kira begitu.

Tiga jam kemudian, acara bubar. Wartawan-wartawan dari organisasi kewartawanan pun satu persatu pergi. Tapi, ada beberapa di antaranya yang iseng. Karena mereka tahu ada wartawan bodrek datang, berpura-puralah mereka memegang kertas yang dilipat-lipat mirip amplop yang kemudian dimasukkan ke celana.

Sambil berlalu di dekat beberapa bodrek, wartawan-wartawan tadi sengaja ngobrol agak keras. Mereka bilang baru dikasih uang dari anggota DPRD.

Tentu saja si bodrek bersemangat. Mereka pikir, memang ada pembagian amplop beneran. Wartawan bodrek pun menunggu sambil berharap-harap segera dapat jatah amplop.

Sekretaris organisasi kewartawan yang masih lugu heran sekali dengan pemuda-pemuda itu. Yang lain sudah pulang, kok, mereka belum pergi juga. Dia berpikir. Oh, mungkin wartawan-wartawan ini sedang menunggu kertas siaran pers.

Lalu sekretaris itu masuk lagi ke sekretariat untuk ambil siaran pers. Setelah keluar lagi, ia langsung membagi-bagikan kepada tiga wartawan bodrek tadi.

Si bodrek kecewa berat. Nunggu amplop, malah dikasih kertas press release. Mau marah dan mau nodong, tentu saja mereka tidak punya nyali untuk itu karena sedang berada di kantor organisasi kewartawanan. Akhirnya, mereka pergi tanpa pamit dengan wajah murka.

Thursday, July 22, 2010

Bercucuran Keringat Demi Amplop

INI ada cerita lagi soal wartawan amplop. Kejadiannya saat berlangsung acara pisah sambut kepala polisi. Seorang wartawan koran besar didaulat menjadi pembawa acara selama pesta itu.

Usai menjadi MC, wartawan itu diberi amplop tebal. Itu honor sebagai pembawa acara. Saking senangnya, ia membuka amplop itu di pojok ruangan yang kebetulan banyak sekali wartawannya.

Ada tiga wartawan, salah satunya dari koran XX, yang melihat dengan mata kepala sendiri peristiwa pembukaan amplop berisi uang honor nge-MC itu. Isinya Rp1.5 juta.

“Wow, gede coy,” kata wartawan koran XX sambil senyum-senyum kepada dua rekannya.

Mereka mengira uang itu uang amlop untuk semua wartawan yang hadir di acara pesta. Sebab, pastinya panitia membagi-bagikan uang kepada wartawan.

Tidak lama kemudian wartawan yang nge-MC tadi pergi meninggalkan lokasi untuk menuju ruang pers. Wartawan koran XX dan dua rekannya mengikuti.

“Brader (brother), maaf nih. Darimana tadi (amplop) brader ya,” tanya wartawan XX kepada wartawan MC sambil jalan.

“Dari humas, dung, pren (friend),” kata wartawan MC sekedarnya.

“Kok aku tidak dapat bagian, brader,” kata wartawan koran XX. “Padahal tadi kita udah absen.”

“Tanya saja sama humas,” ujar wartawan MC.

Setelah itu, ketiga wartawan pergi. Mereka mendatangi humas. Ketika mereka menagih jatah, humas bilang kalau anggotanya yang mengurus semua wartawan.

Ketika didesak untuk menyebutkan siapa anggota yang mengurusi wartawan, humas bilang si Anu berpangkat Ini.

Kemudian, berpencarlah ketiga wartawan untuk mencari si Anu. Hampir semua ruangan di kantor polisi dimasuki, tapi tidak ketemu. Sampai berkeringat mereka mencari. Semua ruang diubek-ubek. Tidak ketemu juga.

Kembalilah mereka menemui humas. Lagi-lagi humas tidak mau tahu. Ia malah menyebut kalau setiap wartawan yang hadir tadi dikasih Rp2 juta. "Gila," teriak si wartawan dalam hati karena kaget dengar angka itu.

Tambah streslah ketiga wartawan itu. Stres karena begitu bernafsu untuk dapat bagian jale itu. Bolak balik ke sana kemari. Pusing tujuh keliling mereka hari itu mencari si Anu.

Tahu tidak. Sebenarnya, humas kantor polisi itu mengerjai ketiga wartawan yang selama ini suka minta uang kepada narasumber. Ia tidak membagi-bagi uang ke wartawan, kecuali wartawan yang diminta jadi MC tadi sebagai honor. Dan nama si Anu berpangkat Ini yang disebutkan ke tiga wartawan tadi juga cuma fiktif belaka.


Minta Amplop, Eh, Dikasih Nasi

DI KALANGAN wartawan amplop, dikenal istilah basah dan kering. Basah artinya acara yang banyak uangnya. Kalau kering, ya acara yang kering kerontang alias tidak ada uang yang bisa diharapkan mengalir ke kantong wartawan itu.

Biasanya tempat yang paling basah itu ialah acara peluncuran produk. Nah, suatu hari ada acara peluncuran produk perbankan di ibukota. Banyak wartawan yang hadir di sana. Entah wartawan amplop, semi amplop, atau anti amplop.

Seorang wartawati televisi yang sejak lama gerah dengan ulah wartawan amplop, datang ke panitia acara. Ia bilang, untuk siap-siap diserbu wartawan yang minta jatah uang.

“Hati-hati, banyak yang kagak beres. Kalau dimintain macem-macem, jangan dikasih,” kata si wartawati kepada panitia.

“Soalnya, sering perbankan itu diancem-ancem mau ditulis macem-macem kalau tidak memberi amplop sama wartawan-wartawanan,” katanya lagi.

Saran si wartawati itu dituruti oleh panitia. Tidak ada pembagian souvenir, tidak ada pembagian bonus, apalagi amplop.

Sejumlah wartawan yang tergopoh-gopoh datang ke panitia, usai penutupan konferensi pers, harus menahan malu sekaligus kecewa. Sudah merayu-rayu supaya diberi amplop, eh, ternyata cuma disumbang nasi kotak untuk bekal makan di jalan.

Wednesday, July 21, 2010

Wartawan Dikerjai Amplop

BERKUMPULAH wartawan yang biasa liputan politik di kantin kantor partai. Ada wartawan baru, ada pula wartawan yang sudah bangkotan di sana. Mereka makan siang usai konferensi pers soal program-program partai untuk menang di pemilu.

Di saat makan, salah satu wartawan koran bisik-bisik kepada wartawan televisi beken yang baru dirotasi redaksinya ke kanal partai politik.

“Ini, ada titipan,” kata wartawan koran seraya menyelipkan lipatan kertas putih mirip amlop ke tangan wartawan televisi.

Wartawan televisi tidak banyak bicara. Ia sepertinya sudah terbiasa soal kalimat yang disampaikan wartawan koran itu. Yang jelas, wajahnya sumringah sekali. Semangat hidup tumbuh setelah ia memasukkan kertas putih yang dilipat ke dalam saku celana.

****

Keesokan harinya, enam wartawan itu kembali berkumpul di kantin yang sama. Tiba-tiba wartawan televisi bilang “Sialan lu, bang.”

Rupanya dia kesal sama wartawan koran yang sebelumnya memberikan kertas terlipat kepadanya. Ia kesal karena kertas berlipat itu ternyata cuma kertas HVS yang sengaja dilipat mirip amlop. Padahal, tadinya dia mengira isinya ratusan ribu rupiah.

Ternyata si wartawan televisi itu dikerjai oleh si wartawan koran. Pecahlah tawa para wartawan itu di kantin.

Tuesday, July 20, 2010

Wartawan Mabuk

SENANG bukan main senangnya si wartawan koran ekonomi satu ini. Dia menang lomba penulisan karena tulisannya menarik bagi BUMN tempat dia bertugas selama ini. Sudah pasti bangganya dobel. Dapat penghargaan sekaligus dapat uang.

Tiba waktunya penyerahan hadiah. Ternyata, hadiahnya tergolong luar biasa kalau diukur gaji yang dapat diberikan perusahaan media kepadanya pada jaman itu. Bahkan gaji tiga bulan plus bonus pun masih kalah nilainya.

Selesai seremoni, ia berpikir sambil buang air di toilet sudut gedung BUMN paling gemuk di Tanah Air. Katanya, kalau penghargaan sampai dikasih tahu ke redaksi, bisa-bisa hadiahnya dipotong rata sama bos-bos di kantor. Lebih baik, dirahasiakan saja.

Pikiran si wartawan pemenang lomba ini ada benarnya juga. Lebih baik hadiah dari BUMN itu dibuat pesta ramai-ramai bersama teman-teman yang bertugas di sana.

Di akhir pekan, pergilah mereka ke salah satu pusat pijat plus-plus terkenal di Ibukota. Usai acara, uangnya belum habis. Masih banyak. Lalu, pergilah mereka ke karaoke, tentunya sambil mabuk.

Keesokan harinya, kebetulan mereka libur. Kumpul lagi di restoran bonafit. Makan-makan. Selesai makan, dihitung-hitung lagi, uang masih sisa banyak.

Lalu, mereka pergi ke karaoke lagi. Kali ini di tempat karaoke yang lebih mewah dan pelayanan kelas atas. Singkat cerita, jam 02.00 WIB, sambil teler-teler, mereka hendak bayar ke kasir.

Dirogoh-rogoh, di cari-cari di tas, kosong. Ternyata uang si wartawan pemenang lomba itu hilang entah kemana. Mungkin jatuh saat naik taksi. Jadilah mereka urunan. Tapi sial. Uang urunanpun tidak cukup untuk bayar karaoke. KTP pun disita.

Anak Kucing

JAM-JAM berangkat kerja, depan Stasiun Gambir, Jakarta Pusat, pasti ramai kendaraan. Kalau sudah begitu, sepertinya hampir semua orang di jalan raya hanya memikirkan dirinya masing-masing. Tak terlalu penting mendahulukan orang lain. Itulah awal mula kesemrawutan di sekitar Gambir.

Tetapi, pagi itu ada pemandangan yang lain. Benar-benar lain, karena tepat di tengah jalan persimpangan lampu merah, antara Stasiun Gambir dan Gereja Immanuel, ada seekor anak kucing. Ia panik karena setiap kali mau minggir, ada kendaraan lewat. Tiap kali mau menepi, ada kendaraan di depannya.

Tapi, si kucing tidak putus asa. Ia terus bergerak ke sana kemari. Kadang-kadang meloncat untuk menghindari gilasan roda mobil. Gerakan kucing itu menjadi perhatian salah satu pengendara sepeda motor yang kemudian menepi.

Pemilik sepeda motor berlari menuju ke tengah jalan untuk mendekati kucing. Sambil memberi aba-aba kepada pengemudi kendaraan agar tidak ngebut, pria itu mengangkat kucing, merapatkannya ke dada, lalu pelan-pelan kembali ke sepeda motor.

Anak kucing itu tidak dilepas di trotoar atau dilempar ke dalam area stasiun, melainkan langsung dibawa pergi oleh pengemudi sepeda motor tadi. Setelah seratus meter jalan, ia berhenti lagi. Lalu, melepas kucing di dekat Taman Tugu Monas.

Orang-orang yang berdiri di dekat halte melihat tindakan pria itu tadi sambil terbengong-bengong.

Friday, July 16, 2010

Bike to War

KALAU berangkat ke redaksi di bawah jam tujuh pagi, biasanya ruteku, Jalan Medan Merdeka Utara – Jalan Thamrin – Jalan Sudirman, relatif lancar.

Kalau jalan lancar, rasanya bisa menikmati perjalanan. Seperti pagi itu, ketika sedang lewat di depan Istana Merdeka, Jalan Medan Merdeka Utara.

Dari kejauhan aku kagum dengan seorang tentara yang berpakaian lengkap mengendarai sepeda angin atau onthel. Menurutku, ini patut di contoh. Hmm.. coba kalau semua orang seperti beliau, ibukota ini pasti bebas dari macet. Tentu saja ramah lingkungan.

Setelah kendaraanku berada di belakang sepeda yang ditunggangi tentara, mataku tertuju pada stiker bulat di bawah tempat duduk sepedanya. ‘bike to war.’

Tulisan itu, menurutku tidak umum. Biasanya, kan stiker-stiker yang sering dipakai para pengendara sepeda angin begini: ‘bike to work.’

Justru karena tidak umum, kreativitas tentara itu membikinku tertawa sepanjang jalan. Mentang-mentang tentara, bikin lelucon juga tidak jauh-jauh dari perang. Ia punya cara sendiri untuk kampanye bersepeda.