Monday, August 30, 2010

Eta Teh Wawartawanan

DI DUNIA kewartawanan, ada wartawan bodrek yang baik. Biasanya, ia tidak suka memaksa pejabat untuk memberi uang. Hanya meminta, kalau diberi ya bilang terima kasih, kalau tidak diberi, ia cari lagi sasaran pejabat lain. Tapi, ada juga di antara mereka yang bertindak keterlaluan. Suka mengancam.

Model wartawan yang terakhir itu tak lain adalah si wartawan bernama XXL yang ada di Jawa Barat. Kemana-mana ia mengaku sebagai salah satu wartawan koran kriminal. Kemana-mana, ia mengenakan id card bertuliskan nama media, entah medianya ini terbit penjuru dunia mana, tidak ada yang tahu, kecuali dia sendiri. Misterius.

Mengapa dibilang medianya misterius, soalnya para wartawan di daerah itu tidak ada satupun yang pernah menemukannya, apalagi sampai membaca media tempat si wartawan bernama XXL ini bekerja.

Tapi, biarpun keadaannya seperti itu, nama si XXL ini cukup mencorong di dunia kewartawanan setempat. Sayangnya, bukan karena karyanya, melainkan karena sepak terjangnya di tengah masyarakat.

Banyak pejabat, baik di pemerintahan, swasta, maupun kepolisian yang sudah tidak asing lagi dengan XXL. Orangnya memang agak supel dan selalu hadir dimana-mana. Tapi, ia juga dikenal cepat naik pitam kalau sudah menyangkut uang amplop.

Para kepala sekolah dan kepala dinas paling tidak mau berurusan dengannya si XXL. Tetapi, anehnya, para pejabat itu selalu merasa ketakutan kepadanya. Apalagi kalau mereka didatangi si XXL dengan berbagai isu, lalu diancaman akan dipublikasikan ke medianya.

Nah, suatu hari, si XXL mendatangi seorang PNS. Ia mengancam akan memberitakan kasus pemalsuan identitas si PNS itu saat daftar jadi pegawai beberapa tahun lalu. Kecuali, si PNS mau memberikan uang beberapa juta rupiah kepadanya.

Saat mendatangi tempat tinggal PNS tadi, si XXL mengaku membawa semua berkas pemalsuan itu. Tapi, pada waktu itu, si PNS tidak mau cek-cok. Ia bilang minta waktu, tujuannya agar si XXL tidak berbuat sesuatu yang tidak diinginkan.

Keesokan harinya, si PNS datang ke polisi. Ia melaporkan si XXL dengan tuduhan pemerasan.

“Eta teh wawartawanan alias wartawan gadungan, pak,” kata PNS.

“Lebok tah, ngaririweuh wae. Ngabalaan dunya eta teh.”

Siang harinya, si PNS bersama polisi langsung mendatangi kantor kelurahan, tempat biasa si XXL nongkrong. Petugas pun langsung menangkapnya.

“Puas tah rasakeun ku sia wartawan. Eta teh ngarana teu nyaho di temah wadi.”

Thursday, August 26, 2010

Wartawan Amplop Kena Tipu

BIAR DIKATA masih yunior, kenekadan wartawan satu ini di dunia peramplopan boleh dibilang tiada tanding. Makanya, untuk urusan satu itu, rekan-rekan lain angkat topi deh.

Hampir semua acara konferensi pers yang berada dalam jangkauan liputannya akan ia sambangi. Terutama acara-acara rilis kebijakan yang diselenggarakan oleh departemen-departemen.

Karena, berdasarkan pengalaman selama malang melintang di dunia peramplopan Tanah Air, sudah barang tentu acara-acara semacam itu ber-ending dengan membahagiakan hati. Amplop.

Kehebatannya bukan hanya di bidang ketahanan dalam bergerilya amplop dari satu acara ke acara lain. Tapi, ia juga dikenal pandai membaca bahasa tubuh humas atau korlap wartawan saat akan membagi-bagikan amplop kepada wartawan yang hadir ke acara.

Dengan bangga ia bercerita. Katanya, kalau di departemen A, bahasa tubuh humas atau korlap saat akan membagikan amplop ialah dengan menggerak-gerakkan wajah ke arah tertentu mirip orang lagi sakit leher. Artinya, wartawan disuruh berkumpul di salah satu sudut ruang.

Sedangkan di departemen lainnya, kata dia, biasanya humas dan korlap akan mencolek tangan atau perut wartawan. Maksudnya, agar bersiaga karena amplop akan segera dibagi.

Pokoknya, dari pengalamannya, bahasa tubuh pegawai humas atau korlap selalu berbeda-beda di tiap acara.

***

Nah, suatu hari, si wartawan pembaca gerak tubuh ini menghadiri suatu acara rilis di salah satu kantor di bawah departemen A. Kebetulan, isi acaranya memang bagus untuk konsumsi media tempatnya bekerja.

Setelah acara seminar selesai, seperti biasa, ia akan duduk diam dulu. Ia telah memprediksi panitia pasti sedang mempersiapkan amplop. Ia perhatikan orang-orang sambil berharap-harap menemukan humas.

Tiba-tiba, matanya tertuju kepada seorang ibu-ibu yang sejak awal acara sampai akhir acara duduk di salah satu kursi. Ia langsung riang gembira begitu melihat ibu itu menggerak-gerakkan kepalanya mirip orang sakit leher. Arah gerakannya ke atas. Berarti ia minta wartawan naik ke atas, kebetulan kantor humas departemen itu memang di lantai dua.

Buru-buru ia melangkah. Ia menyusuri tangga yang berbentuk melingkar menuju ke lantai dua. Sesampai di atas, ia menunggu sebentar. Ia mencari ibu tadi yang ternyata masih berdiri di bawah. Sabaaaar.

Seperempat jam ia di atas, tapi belum ada tanda-tanda pegawai humas menemuinya. Lalu, ia melongok ke bawah lagi. Sudah sepi. Lalu matanya memandang jauh ke pintu keluar, ternyata si ibu yang gerak-gerak kepala tadi di sana.

Lalu, ia turun. Ia mendekati ibu itu. Lho, ibu itu ternyata masih saja menggerak-gerakkan kepala. Kemudian, ia perhatikan ibu itu terus menerus.

Ternyata, sial benar, ibu itu agaknya memang punya semacam kelainan di organ tubuhnya. Sehingga setiap beberapa menit, pasti menggerakan kepala ke samping. Dengan penuh duka cita, lalu si wartawan tadi pergi meninggalkan tempat itu.

(GoVlog-Ramadan) Jelang Lebaran, Wartawan Tambah Banyak

INI CURHATAN dari seorang pejabat di pemerintahan XXL menjelang lebaran tahun ini. Belakangan, ia bilang kalau dirinya sangat capek. Kalau pulang kerja, pinggangnya ibarat sudah mau patah saja.

Apa gerangan yang membuat pejabat bagian hubungan masyarakat ini kelenger. Ternyata karena para wartawan. “Jumlah wartawan di sini sekarang banyak banget, berlipat ganda,” katanya. "Terus, tiap hari menemui kita."

Ia tahu jumlahnya berlipat-lipat karena setiap hari memang selalu berjumpa dengan wartawan. Hari-hari terakhir ini, setiap kali jalan ke luar dari ruangan, ia pasti jumpa orang-orang baru yang di lehernya tergantung kartu pers.

Pak pejabat itu mengira-ira, ada lebih dari dua ratus wartawan yang sekarang ini beredar di kompleks pemerintahannya. Padahal, jumlah normal wartawan meliput di kantor pemerintahan ini jauh sebelum bulan puasa hanya sekitar 30 orang.

Entah itu wartawan resmi atau bukan, yang jelas, dari pagi sampai sore mereka hampir dapat ditemukan di setiap lorong kantor dinas dalam kompleks pemerintahan itu. “Ini suasana mendadak.”

Terus apa sebenarnya yang membikin pak pejabat ini merasa pusing tujuh keliling. Kan, memang setiap hari ia berjumpa wartawan dan melayaninya.

“Soalnya, sekarang ini, makin banyak proposal yang diajukan ke kita. Umumnya proposal untuk THR. Gimana kagak puyeng nih kepala.”

***

Dipersembahkan untuk GoVlog- Ramadan  VIVAnews



Wednesday, August 25, 2010

Wartawan Gahar Hobi Minum Bodrex

SEORANG wartawan bertampang gahar senang betul mendapat julukan bodrek. Sampai-sampai, entah mengapa, tiap kali memperkenalkan diri dengan wartawan yang baru dikenalnya, ia hampir pasti, bilang seorang wartawan bodrek.

Tentu saja, wartawan-wartawan yang baru berkenalan dengannya kaget mendengar pengakuannya di berbagai tempat liputan itu. Soalnya, langka sekali ada wartawan bodrek memperkenalkan diri, yang ada malah sebaliknya.

Usut punya usut, ternyata ada yang melatar belakang kasus unik ini. Ceritanya begini :

Mungkin karena banyaknya persoalan hidup yang mendera, wartawan senior yang suka tertawa selebar-lebarnya ini jadi sering mengeluh sakit kepala jika sedang liputan di lapangan.

Tapi, ia sangat takut ke rumah sakit untuk memeriksakan sakit menahunnya itu. Padahal, tampangnya bisa dikatakan membikin anak-anak kecil yang melihatnya gemetaran. Ditambah lagi, rambutnya diberi warna merah-merah dan agak panjang. Akhirnya, ia cuma membeli obat di apotik atau super market terdekat untuk mengobati.

Obat yang sering ia beli bermerk Bodrex. Soalnya, di ingatan wartawan senior ini sudah terekam betul wajah bintang iklan Dede Yusuf. Maka dari dulu sampai sekarang, ia hanya setia pada obat yang dikampanyekan Dede yang kini jadi Wakil Gubernur Jawa Barat itu.

Nah, suatu hari, ketika liputan di salah satu departemen, sakit kepalanya kumat. Ia tiba-tiba pergi begitu saja ke arah petugas humas yang berdiri di dekat tangga. Beberapa wartawan yang tidak kenal dengannya sempat berpikir, jangan ia akan me-86-kan petugas humas.

Sesampai di dekat tangga, kebetulan di sana ada kursi kosong, ia langsung duduk. Lalu, tangannya merogoh tas untuk mengambil si Bodrex. Lalu menelannya dengan bantuan pisang matang yang selalu ada di tasnya.

“Wartawan bodrek kok minumnya Bodrex,” katanya lirih kepada temannya yang kebetulan sejak tadi duduk di dekat situ.

Tuesday, August 24, 2010

Si Madona Dapat Amplop di Pedalaman

SUATU HARI, wartawati yang suka dipanggil Madona ini mendapat tugas liputan ke Indonesia bagian Timur. Ia diundang oleh salah satu departemen pemerintah yang humasnya sok bossy. Sebut saja nama Mr Boshek.

Nah, hari pertama di tempat kejadian perkara, wartawan dan wartawati yang diundang departemen itu, diajak ke pedalaman. Mereka diminta meliput acara seremonial berupa pemberian bantuan untuk keluarga miskin yang menetap di sana.

Sesampai di pedalaman, setelah puas disambut dengan tari-tarian suku pedalaman yang unik, para wartawan dan wartawati disuruh bikin berita oleh Mr Boshek tadi.

Pokoknya, waktu itu, semua juru warta disuruh menulis sore itu juga biar beritanya muncul menjadi headline gede-gede di koran masing-masing, termasuk koran si Madona van Java.

Setelah memberi pengarahan, Mr Boshek tiba-tiba mendekati satu persatu para pewarta. Dengan sigap tangannya menyelipkan amplop putih ke ketek setiap wartawan.

Si Madona cuma tertawa geli setelah mendapat bagian. Begitu suasana cair setelah tegang sejak tadi, si Madona berdiri. Lalu, pelan-pelan dan pasti, ia pergi ke kamar mandi.

Di sana, sambil sembunyi, di balik pintu kamar mandi, si Madona membuka amplop. Tentu saja, ia akan malu sekali kalau sampai membuka amplop di depan wartawan lainnya. Gengsi coy.

Sekejap, mata si Madona berbinar-binar terang, bahkan warna matanya boleh dibilang berubah menjadi hijau, padahal biasanya berwarna biru. Isi amplopnya cukup membuat hatinya menyanyi kegirangan. Isinya Rp1 juta.

Di pikiran si Madona, lumayan. Uangnya bisa menambah hobi fashion-nya. Pokoknya, nanti duit itu akan dibuat jalan dan beli baju ke mal.

Sehabis membuka amplop, si Madona langsung keluar dari kamar mandi. Lalu, ia membikin berita, biar beritanya tidak basi dan menyesaki otak.

Eh, rupanya karena ia berada di pedalaman, sinyal internet jelek sekali. Singkat cerita, deadline pun terlewati tanpa bisa mengirim berita ke redaksi untuk koran. Malam harinya, baru ia berhasil mengirim berita, tapi beritanya tidak masuk ke koran, melainkan di internet saja.

Dalam hati, ia kesal. Padahal untuk membuat berita itu, ia harus bersusah payah, bahkan sempat kebelet pipis, sementara toilet di pedalaman tidak memadai.

****

Setibanya di Jakarta kembali, ternyata urusan berita belum kelar. Mr Boshek marah-marah kepada Madona lewat telepon. Pokoknya, ia tidak terima kalau beritanya hanya masuk di internet. Ia maunya jadi headline super gede di koran. Dan parahnya ia minta ketemu pemimpin redaksi kalau sampai keinginan itu tidak dituruti.

Lalu, otak si Madoona pun encer. Ia keluarkan jurus. Ia bilang ke Mr Boshek, begini; "Pak, kamu pikir saya suka pergi ke pedalaman itu, banyak nyamuk, kamar mandi parah, banyak cacingnya, terus penginapannya payah. Duh, sebenarnya saya tak suka pergi ke sana. Saya mah terpaksa saja, karena menghormati undangan anda. Jadi, bapak seharusnya bersyukur dong sudah saya liput. Lagian saya tidak pernah minta uang kan?"

Pada saat berkata demikian, dalam hati, si Madona sebenarnya merasa senang karena akhirnya bisa liputan ke Indonesia bagian Timur. Cuma agar si Mr Boshek tidak macam-macam, ia berkata sebaliknya.

Sudah digertak begitu, ternyata Mr Boshek tetap tidak mau terima. Akhirnya si Madona bilang lagi. "Pak, hitung saja berapa duit yang anda keluarkan buat saya, besok saya ke kantor bapak buat bayar semuanya! termasuk amplop itu!”

Dalam hati, si Madona van Java deg-degan juga. Bagaimana kalau Mr Boshek mencak-mencak lagi. Eh, tapi rupanya, gertakan itu membuahkan hasil. Agaknya, nyali si Boshek menciut juga. Akhirnya ia bilang begini, "Ya jangan galak-galak gitu mbak, maaf deh kalau begitu, makasih ya."

Begitu selesai telepon. Si Madona menjerit lirih. Horaaaaaay. Lega hatinya. “Mentang-mentang ngasih amplop trus mau semena-mena, enggak bisa dong kalo sama gua, enak aja, huh!”

Akhirnya, si Madona pun bisa beli baju ke mal dengan lega. Wajah si Mr Boshek pun sirna.

Gundah Gulana Wartawan Amplop Jelang Lebaran

KESEDIHAN jelas memancar dari wajah wartawan senior di kabupaten X ini. Betapa ia tidak sedih, Lebaran tinggal sebentar lagi, tetapi dompet kering. Ditambah lagi, tentunya pengeluaran untuk kebutuhan hari raya nanti membengkak.

“Coba, gimana gua enggak gundah gulana,” kata dengan agak malu-malu. “Sepi jalean (amplop), pula.”

Dari beberapa acara liputan yang diadakan pihak swasta di daerah liputannya belakangan ini, ternyata tidak ada yang membuahkan amplop untuk dibawa pulang. Kering. Semuanya kering.

“Kepala gua puyeng sampai peyang,” katanya geregetan, apalagi kalau membayangkan para bos di kantor redaksi yang pelit terhadap karyawan. “Wuaaa pusiiiiing.”

Sebenarnya, selain aktif ikut acara-acara yang diadakan swasta, seminggu terakhir ini, ia juga rajin turun ke kantor-kantor pemerintah. Ia datang ke kantor-kantor dinas untuk bertemu petugas humas. Hitung-hitung untuk mempererat tali silaturahmi. Harapannya, ada jale datang. “Tetapi apa daya, jalean tak kunjung tiba,” katanya.

Tetapi, ia berjanji tidak akan putus asa. Banyak jalan menuju Roma. Sisa hari menjelang Lebaran ini, akan dimanfaatkan untuk mencari uang tambahan sebaik-baiknya. Kerja keras, pasti membuahkan hasil yang baik.

Salah satu cara yang sekarang ini akan ia tempuh cukup unik bagi orang awam. Tapi untuk wartawan, tentunya sudah biasa. Yaitu, dengan mencari isu terlebih dulu untuk kemudian konfirmasi kepada pejabat yang bersangkutan.

Ia sudah merencanakan untuk menghubungi sejumlah pejabat strategis. Setelah konfirmasi selesai, ia akan menyinggung-nyinggung sedikit soal THR Lebaran. Ia yakin, usaha kali ini pasti berhasil untuk mendapatkan uang tambahan untuk memenuhi kebutuhan Lebaran.

Monday, August 23, 2010

Jatah Amplop Dipotong Korlap Galak

DI KOTA X, ada seorang pejabat yang sangat royal kepada wartawan. Tiap kali bertemu dengannya, sudah bisa dipastikan, pulangnya akan diberi bekal amplop berisi uang.

Oleh karena itu, para wartawan amplop senang bukan kepalang, bila mendapat undangan datang ke rumah dinas pejabat ini.

Seperti sore itu. Ajudan pejabat itu menyampaikan undangan buka bersama via SMS kepada seorang wartawan koran XX yang kalau di kota ini ia dikenal sebagai koordinator lapangan wartawan senior.

Setelah dapat kiriman SMS, si wartawan koran XX ini langsung mendistribusikan SMS itu kepada teman-temannya. Makin banyak teman datang, makin besar jatah amplopnya, kira-kira begitu yang ada di kepalanya. “Coy, jelas nih, datang ya,” kata wartawan koran XX lewat SMS. “Jangan sampai kau tidak datang.”

Acara yang ditunggu-tunggu pun tiba. Buka bersama. Yang datang ke acara itu sekitar 20 wartawan amplop. Usai makan-makan dan ngobrol basa-basi dengan pejabat yang menjadi tuan rumah, koordinator lapangan mulai bisik-bisik ke ajudan.

Ia mengatakan sudah waktunya undur diri karena sudah mulai larut malam. Sebenarnya kalimat undur diri itu hanyalah kiasan untuk minta amplop.

Ajudan tentu saja sudah bisa membaca bahasa semacam itu, apalagi yang menyampaikan wartawan yang selama ini jadi korlap.

“Ini bang untuk 20 wartawan,” kata ajudan singkat sambil menyerahkan segeplok uang di amplop putih ke tangan korlap.

“Siap, perintah dilaksanakan,” kata korlap sumringah dengan nada gemetaran. Mungkin saking senang hatinya.

Setelah itu, satu persatu wartawan meninggalkan tempat kejadian perkara. Di tikungan jalan, di ujung jalan besar dekat rumah pejabat royal tadi, korlap berhenti.

“Ini coy,” katanya sambil menyerahkan uang kepada temannya. “Ini bagianmu coy.” Begitu seterusnya sampai selesai.

Tiba-tiba ada yang berteriak. Yang teriak ini seorang wartawan yunior, tapi ia sudah banyak malang melintang di dunia peramplopan. “Ini kurang bos, ajudan tadi bilangnya Rp200 ribu, bukan Rp130 ribu.”

“Halah, kau tinggal terima. Banyak omong kau,” kata korlap dengan nada galak. “Kalau kau tidak mau, ini kau kembalikan padaku.”

Sesama wartawan amplop, di kota itu, biasanya kalau sudah begitu, persoalan sudah selesai. Mereka tidak akan marah, walau jatahnya dipotong korlap. Mereka sama-sama tahu, kalau uang tadi cuma diperoleh secara gratis dari pejabat.

Wartawan yunior tadi juga tidak mengamuk. Cuma saja, hatinya menjerit. “Ular beludak benar abang satu ini.” Di daerah itu, ular beludak adalah simbol keserakahan, agresif, licik, serta sangat berbisa.

Friday, August 20, 2010

Kuciwa, Informasinya Tak Valid

KATA WARTAWAN SENIOR, jadi wartawan harus siap tempur kapan pun dan di mana pun. Nasihat ini benar-benar diimani si Boim -- nama samaran -- dan Sujoko -- samaran juga. Mereka kerja di stasiun televisi swasta -- beda channel.

Makanya, meski keduanya masih tergolong wartawan yunior, kedua pemuda ini sudah dikenal oleh teman-temannya sebagai wartawan militan.

Nah, pagi itu, keduanya sedang jalan bareng sambil menunggu datangnya informasi peristiwa kriminal dari teman-teman lain. Di tengah jalan, tiba-tiba terdengar bunyi, ‘trilit, trililiiiiiit.’ Telepon genggam Boim yang masih jadul itu bunyi.

“Ups, ada SMS cuy,” ucap Boim dengan gaya sedikit ingin ikut-ikutan anak gaul.

Lalu, ia buka itu SMS dari nomor tidak dikenal. Bunyinya begini, “Orang tua siswa protes buku paket sekolah.”

Lalu, di bawah SMS tertulis alamat TKP dan nomor kontak pengirim informasi berita.

Ia senang bukan kepala. Karena akan dapat liputan bagus. Boim langsung meluncur dengan kuda besinya berbocengan dengan Sujoko. Kemacetan diterobos. Polisi tidur dihajar. Pokoknya, bisa cepat sampai di tempat tujuan.

Tak lama kemudian, mereka sampai di TKP sesuai yang tertulis di SMS. Di sana, ternyata tidak ada orang tua murid yang sedang demo. Hanya ada seorang laki-laki mengenakan baju seragam safari mirip Paspampres. Tapi warna pakaian safarinya sudah agak pudar.

Belakangan diketahui, ternyata pria itulah yang menyebarkan informasi berita lewat SMS kepada si Boim. Pria ini, di daerah itu dikenal sebagai wartawan bodrek. Ia paling rajin ikut acara-acara rapat di balaikota. Pantas saja ia bisa tahu nomor wartawan lain, termasuk Boim.

Lalu, Boim pun bertanya kepada pria itu sambil turun dari motor. “Bos, yang demo pade kemane ya?”

Si penyebar SMS yang ternyata bernama Durman (bukan nama asli) pun menjawab, “Waaahh tadi niatnya ada bos.”

Boim, “Terus pada kemana?”

Durman, “Ya mereka masih di rumah.”

Boim, “Terus jadi demonya?”

Durman, “Besok aja kali ya bos. Sekarang lum siap.”

Boim, “Kok lum siap. Sebenernya yang mau demo siapa?”

Durman, “Ya warga.”

Boim, “Terus kaitannya dengan bapak apa.”

Durman cengar-cengir. Lalu, ia menjawab. “Yak kan saya wartawan juga, pak.”

Si Boim dan Sujoko kesal bukan main. Mereka melengos dan menggerutu dengan ulah Durman.

“Heuh dasar.” Boim dan Sujoko pun meninggalkan tempat itu.

Thursday, August 19, 2010

Wartawan Bodrek Dikerjai

WAKTU ITU ada jumpa pers tentang rusaknya terumbu karang di Pulau Dewata. Di antara wartawan resmi, ada seorang wartawan yang selama ini dikenal di sana sebagai bodrek atau tidak punya media jelas, tapi selalu ikut ‘meliput.’

Semua wartawan yang datang ke acara itu, awalnya saling pandang satu sama lainnya. “Tumben ada bodrek di sini, emang mereka pikir ada amplopnya kali ya?”

“Ya sudah biarin saja, entar juga tahu rasa, terus kapok sendiri.”

Acara jumpa pers pun berlangsung. Narasumber memaparkan berbagai kerusakan terumbu karang di sejumlah pantai Pulau Dewata. Terumbu yang dulu indah dipandang, tapi kini orang sudah segan memandang karang.

Semua wartawan -- termasuk bodrek tadi -- sibuk merekam data yang disampaikan narasumber. Di sesi tanya jawab, berkali-kali si bodrek memuji setinggi langit semua program rehabilitasi terumbu karang yang dipromosikan narasumber.

Nah, ketika acara konferensi pers selesai, semua wartawan menuju ke tempat makan yang sudah disiapkan panitia. Ada yang makan, ada juga yang tidak mau makan.

Di ujung ruangan, si bodrek tampak siaga. Di tengah-tengah acara istirahat itu, ada wartawan koran A yang pernah jadi korban pencatutan nama oleh wartawan bodrek, usil. Ia ingin mengerjai si bodrek itu.

Ia naik ke lantai dua gedung, kebetulan kantor sekretariat panitia acara berada di sana. Sampai di atas, ia panggil salah seorang temannya dari koran B. Katanya, panitia memanggil.

Waktu itu, si wartawan koran B yang masih muda itu sedang diajak ngobrol oleh wartawan bodrek yang sudah senior.

“Sebentar ya, mau naik dulu dipanggil,” kata wartawan B kepada bodrek.

“Pergilah. Nanti kalau sudah dapat (amplop) gantian, ya atau bagi-bagilah,” kata wartawan bodrek.

“Beres,” kata si wartawan muda sambil mengangkat jempol dan telunjuk yang membentuk lingkaran pertanda setuju.

Sekitar lima menit kemudian, si wartawan koran A langsung didatangi si bodrek. “Ada apa mas, kok dia dipanggil ke atas, aku tidak.”

“Waduh, saya enggak tahu. Tanya sendiri saja sama panitianya,” kata wartawan koran A yang sedang mengarang sandiwara itu.

Si bodrek berambut sebahu itu terus mondar-mandir. Ia kelihatan resah dan gelisah. Sebentar duduk, sebentar berdiri. Mau masuk ke ruang panitia, ia tidak begitu berani. Jadi, ia, nunggu panggilan.

Ada lagi suara panggilan dari dalam ruang. Ternyata wartawan koran A yang dipanggil. Si bodrek makin risau.

Beberapa menit kemudian, wartawan koran A dan koran B turun dari lantai dua. Lalu, mereka buru-buru pulang.

Si bodrek tanya, “dapat (amplop).”

“Sudah dong,” kata wartawan koran A.

“Kok aku belum, ya.”

“Wah, enggak tahu ya. Tungguin saja, siapa tahu dipanggil, kalau memang tadi absen,” kata wartawan koran A yang tengah mengerjai si bodrek yang dulu pernah mencatut namanya untuk minta uang narasumber itu.

Tidak tahu endingnya bagaimana, yang jelas, keesokan harinya, si bodrek merengut kepada si wartawan koran A dan koran B ketika mereka bertemu muka di kantor pemerintahan, tempat dimana semua wartawan kumpul.

Wednesday, August 18, 2010

Mengapa Ia Terima Amplop?

MET PAGI abangku yang baik hati!! Abangku yang baik hati mohon petunjuk dan bantuannya karena istriku habis operasi sesar anak pertama kami dengan biaya Rp9 juta. Padahal aku cuma punya uang Rp5 juta jadi mohon petunjuk dan bantuannya bang.

Wassalam abangku yang baik hati. Dari ….. Harian ….”

SMS itu tadi dikirimkan ke beberapa orang pejabat. Sambil menunggu jawaban dari pejabat yang tak juga kunjung datang, wartawan amplop ini pun bercerita. Ia bercerita tentang bagaimana kantor media tempatnya bekerja memperlakukannya.

“Kantor aku hanya menggaji aku Rp800 ribu per bulan,” katanya lalu terdiam. “Teman-temanku lainnya pun terima gaji sebesar itu.”

Ternyata gaji itu tak sepenuhnya ia terima, karena masih ada potongan-potongan lainnya. Ia tidak menjelaskan apa saja potongan itu.

Tetapi, yang jelas, gaji sebesar itu sudah sangat tidak sesuai dengan tingkat kebutuhan hidup di jaman sekarang (2010). Mungkin kalau hidup di kampung di Provinsi Jawa Tengah sana, uang sebesar itu masih cukup untuk sebulan. Tapi, ini Jakarta, Coy. Apa-apa mahal, hampir semua kebutuhan memerlukan uang.

Ditambah lagi, istri wartawan ini baru saja melahirkan di rumah sakit. Istri melahirkan dengan cara sesar. Tentu saja biayanya mahal sekali. Rp9 juta. Angka itu baginya bagaikan petir menyambar-nyambar. Petir menguber-ubernya.

Dengan gaji Rp800 ribu dari perusahaan yang memperkerjakannya selama bertahun-tahun, ditambah lagi sekarang ini tidak punya uang tabungan lagi karena kemarin sudah habis total, bagaimana caranya melunasi biaya rumah sakit? Untuk, hidup sehari-hari pun, ia sudah setengah mati cari uang tambahan, misalnya terima amplop dari acara yang ia liput.

Nah, sekarang ini, istri harus pulang karena memang sudah boleh pulang. Tapi, ternyata belum bisa keluar rumah sakit karena biayanya belum lunas. Nah, kalau tidak segera pulang, ia harus tetap membayar kamar penginapan.

Akhirnya, rupa-rupa cara ia tempuh untuk membiayai istrinya. Semuanya dilakukan dengan jujur dan transparan. Kalau lagi liputan dapat amplop, ya, ia terima. Ia juga minta bantuan kenalan-kenalannya lewat telepon, SMS, atau bertemu langsung.

Pokoknya, ia mengoptimalkan jaringan narasumbernya untuk mendapatkan biaya tambahan. Apalagi yang bisa ia lakukan, karena keluarganya sendiri juga sudah tidak kuat. Cari kerja lain, usianya sudah tidak memungkinkan. Mengharapkan dari kantor. Mustahil. Sebab, kantor redaksi yang selama bertahun-tahun ia abdi, tidak sensitif dan pelit.

“Aku tidak mencuri, aku tidak memeras. Kalaupun mereka tidak memberi uang, ya tidak apa-apa,” katanya. “Aku tidak menodong.”

Kejar-kejaran dengan Wartawan Bodrek

MATAHARI telah meninggi. Resah dirasakan para pemburu berita di kantor polisi, terutama yang bekerja untuk media online. Soalnya, dari pagi hari, mereka belum juga bisa mengirim berita ke redaksi. Karena memang sedang tidak ada berita.

Sesama wartawan saling bertanya dan berbagi informasi. Ruangan humas kantor polisi pun jadi ramai. "Bro udah buat berita apa? gua bisa ditanya kantor nech, belum buat berita apa-apa? tanya si wartawan online kepada teman.

"Masih sepi bos, gua juga bingung nech buat tayang siang, tapi ga ada berita sama sekali," jawab wartawan TV.

Di tengah keresahan, tiba-tiba terdengar SMS masuk ke handphone salah satu wartawan TV.

"Woy bro ada rilis BNN (Badan Narkotika Nasional) nech sekarang, ayo kita merapat," teriak si wartawan untuk mencairkan kebuntuan.

Setelah itu, para wartawan pun segera begegas untuk berangkat ke kantor BBN yang berada di salah satu daerah pinggir.

Namun, tanpa disadari, informasi rilis itu terdengar oleh salah satu wartawan bodrek alias puyer. Atau nama bekennya di kalangan wartawan kantor di kantor polisi itu, 'kapsul.'

Ia tampak sumringah begitu dengar rilis. Maklum, liputan rilis, umumnya selalu ber-ending bagi-bagi amplop.

Tanpa basa basi, ia langsung bertanya kepada salah satu wartawan online yang buru-buru ke tempat parkir. "Mas, rilis BBN yach? itu di mana?”

Tapi, pertanyaan itu tidak ditanggapi si wartawan online, karena waktu itu semua wartawan sedang buru-buru. Si wartawan online langsung naik motor dibonceng oleh temannya yang kerja di media TV.

"Ayo cepetan bro, kita cabut, si 'kapsul' tadi udah nanya-nanya, ntar dia ikut lagi," ujar si wartawan online kepada temannya.

Ternyata, si kapsul tak kehilangan akal. Ia pun berlari menuju motor. Lalu menaikinya untuk membuntuti wartawan lain menuju kantor BNN.

Aksi kejar-kejaran pun terjadi di jalan raya. Layaknya pembalap profesional, si 'Kapsul' terus tancap gas agar tak ketinggalan.

"Gila si bodrek, dia di belakang kita bro, ayo kita ngumpet dulu, biar dia bingung," pinta si wartawan online kepada temannya.

Tepatnya, saat berada di dekat perempatan jalan besar, motor si wartawan TV dan online langsung menepi dan berbelok ke arah pasar. Tujuannya untuk mengelabuhi si 'Kapsul.'

Tapi, si kapsul ternyata berusaha ikut menyusul. Hanya saja, ia kemudian terjebak di lampu merah Polsek Jatinegara. Melihat itu, wartawan TV dan online tadi langsung tancap gas dan berputar balik menuju arah kantor BNN lagi.

Mereka yakin, si bodrek putus asa. Bingung tak tahu harus kemana. Soalnya kehilangan jejak.

"Si bodrek kehilangan jejak bro, syukurin," ujar wartawan online dengan nada senang. Soalnya, ia males, liputan bareng wartawan bodrek itu. Ia sangat berani minta uang ke narasumber tiap kali ada acara.

Kedua wartawan itu, kemudian tiba di BNN, meskipun sedikit terlambat dari jadwal rilis yang ditentukan. Keduanya langsung sibuk dengan peralatan liputan.

Tanpa disadari dari belakang si 'kapsul' muncul lagi. Badannya penuh keringat. "Hai mas, absennya mana yach? tanyanya kepada wartawan online.

"Ga tahu, cari aja sendiri," jawab si wartawan online. Dalam hati, ia berkata, 'Gila si 'kapsul' sampai juga dia. Apa dia telepon 108 (call center) buat tanya kantor BNN, ya."

Tuesday, August 17, 2010

Panitia Geleng-geleng Kepala ke Wartawan

INI CERITA seorang wartawan setengah senior. Kenapa oleh teman-temannya dibilang begitu, karena dari usianya sudah masuk senja, tapi ia mengaku masih baru bergelut di dunia jurnalistik.

Nah, suatu hari, ada acara pembukaan galeri lukisan di salah satu kabupaten di Pulau Dewata. Tempat acaranya ini, memang selama ini jadi markasnya para seniman daerah setempat.

Wartawan setengah senior satu ini, selama ini, memang tak pernah membuang kesempatan menghadiri acara ‘basah’ macam itu.

Walau, jarak yang ditempuh lumayan jauh, dari Denpasar, dan juga acaranya berlangsung malam hari, tetap saja ia bertekad datang. Oleh teman-temannya, ia terkenal tidak pernyah menyerah, khusus untuk soal mencari jale alias 86 alias amplop.

Waktu itu, dia menduga pemilik galeri yang mengundang acara itu adalah salah satu pengurus cabang partai besar Tanah Air. Jadi, ia berani menebak, isi amplopnya bakalan tebal, dech.

Setelah melalui perjuangan panjang. Menyusuri gelapnya malam di Pulau Dewata dengan sepeda motor, tibalah si wartawan setengah senior di tempat kejadian perkara. Kebetulan, sampai di sana acaranya sudah hampir bubar, sehingga ia tak perlu lama-lama menunggu tahap yang paling ia cari. Pencairan jale.

Begitu pembukaan galeri selesai, ternyata si wartawan setengah senior satu ini bingung sendiri. Soalnya, waktu itu, para wartawan lainnya sibuk mencari narasumber dengan angle berita masing-masing.

Setelah tidak bingung, ia menemui panitia pembukaan galeri. Begitu ketemu, ia langsung mengutarakan isi hati. Terus terang, ia minta amplop.

“Pak, ini acaranya sudah selesai dan sekarang saya mau pulang,” kata si wartawan setengah senior.

“Oh, iya mas, makasih banyak sudah mau datang.”

“Enggak ada anggaran untuk wartawan nih,” tanya dia.

“Oh, iya sebentar, ini ada titipan dari yang punya galeri.”

Wuih, begitu tangannya menerima amplop, wajahnya langsung sumringah. “Gede nech,” katanya dalam hati.

Begitu dapat amplop, ia langsung membuka sambil pura-pura membungkuk untuk mengambil sesuatu di lantai. Setelah amlop disobek, ternyata, isinya Rp50 ribu.

Eh, dia langsung protes panitia yang tadi menyerahkan amplop. “Bapak ini gimana sih, jauh-jauh ngundang, cuma dapet RP50 ribu doing.”

Tak Cuma itu, dia sampai curiga kalau jatah untuk wartawan sudah dipotong oleh pihak lain.

“Kalau bapak enggak mau, ya nggak usah diterima saja. Sini dikembalikan juga enggak apa-apa,” tantang si panitia galeri.

Dengan pedenya si wartawan setengah senior bilang, “Enak saja dibalikin. Saya sudah capek-capek, terus nggak dapat apa-apa, gitu." Setelah bicara itu, uang Rp50 ribu yang tadi diributkan langsung masuk kantong. Terus, ia pergi begitu saja.

Si panitia cuma bisa geleng-geleng kepala pertanda heran. “Kok ada ya makhluk seperti itu.”

Monday, August 16, 2010

Gara-Gara Jepretan Kamera, Tinju Dihentikan

BENAR-BENAR mengagetkan apa yang dilakukan wartawan muda usia di bidang olah raga ini. Apes. Gara-gara kilatan kamera pocket-nya, pertandingan tinju profesional, geger.

Jadi, ceritanya begini. Begitu juri tinju menendang-nendang lonceng, dimulailah permainan tinju yang sejak lama dinanti pemirsa. Tergopoh-gopohlah si wartawan muda usia ini dari belakang.

Ia cepat merapat ke dekat ring. Supaya bisa mengamati jalannya permainan. Maklum, bisa dibilang pengamatannya mewakili jutaan pembaca korannya besok.

Karena fotografer koran tempatnya kerja tidak datang, maka selain mereportase, terpaksalah ia juga gunakan kamera pocket. Jeprat-jepret sana sini untuk mengabadikan peristiwa. Walau kameranya cuma kamera mini, tapi gayanya benar-benar mengesankan. Kadang di bawah, kadang di atas.

Pada waktu itu, semuanya berjalan aman-aman saja. Tetapi kemudian, insiden itu terjadi. Gara-garanya begini. Setelah sekian menit ia tidak menjepretkan kamera, ternyata hal itu mengakibatkan sistem mekanis kilatan lampu yang tadi di off-kan, kemudian bekerja kembali secara otomatis.

Ia tidak sadar sampai ronde dua dimulai. Kedua petinju dengan garang menghajar sana – menghajar sini, hantam kanan – hantam kiri, si wartawan muda usia pun siap-siap menjepret momen-momen penting itu.

“Jepret.” Bersamaan dengan itu, kilatan kamera keluar. Terang sekali. Tiba-tiba, wasit bilang, “Stop, stop.” Tangan wasit dengan gesit memisah perkelahian kedua petinju yang seperti orang kesambit setan itu.

Setelah pertandingan berhenti, wasit menegur wartawan muda usia ini dengan bahasa isyarat. Intinya, tidak boleh memotret dengan cahaya di dekat permainan. Karena hal itu bisa menyebabkan mata petinju silau. Kalau silau, bisa dengan mudah dibantai musuhnya.

Si wartawan muda sendiri tidak percaya dengan apa yang telah ia lakukan. Ia sangat tidak enak hati. Pertandingan tinju profesional dihentikan. Padahal, saat itu, acaranya disiarkan televisi swasta di hadapan jutaan pemirsa.

Awalnya, penonton tinju tak sadar dengan insiden itu. Tetapi, belakangan, akhirnya tahu juga. Mereka sangat kecewa. Mereka melampiaskan kekesalannya kepada si wartawan muda usia itu dengan meneriakinya. "Wooi, bodooooo kauuuu. Anak siapa itu."

Makin merahlah wajah si wartawan muia usia itu. Ia cuma bisa terdiam sambil berdoa agar semua orang di stadion itu cepat melupakan insiden barusan. Akhirnya doanya terkabul, pertandingan tinju pun dilanjutkan lagi.

Acara Kering, Wartawati Bodrek Pun Menjerit

CERITANYA ada suatu acara peluncuran buku salah satu artis ibukota di Pulau Dewata. Di dalam bus rombongan wartawan yang diundang panitia, ternyata ada seorang tante yang selama ini dikenal sebagai wartawati bodrek senior.

“Kok si ibu itu bisa ikut, ya,” tanya seorang wartawan yang duduk di belakang kepada temannya.

Wartawan yang ditanya pun menjelaskan kalau tante wartawati bodrek itu setiap hari memang nongkrong di tempat biasa wartawan resmi kumpul. Biasanya, ia mencari informasi berkaitan dengan undangan acara yang tentu saja berbau 86.

“Karena aku ditanya dia, ya aku jawab kalau kita akan ke luar kota untuk ikut peluncuran buku," kata wartawan kepada temannya yang tadi tanya. “Terus, ibu-ibu ini maksa ikut.”

Waktu itu di dalam bus itu ada enam orang wartawan resmi, ditambah tante wartawati bodrek itu.

Sampailah di tempat kejadian perkara alias tempat acara peluncuran buku. Acara itu ramai sekali. Dan baru selesai menjelang malam.

Benar-benar di luar dugaan. Tidak seperti acara-acara peluncuran buku selebriti lainnya yang selalu ada uang amplopnya, kali ini tidak ada sama sekali. Panitia hanya bilang terima kasih. Ini membuat tante wartawati kesal, tapi tidak berani mengutarakannya di hadapan panitia.

Sampai di dalam bus, ia terdengar masih ngedumel soal proyek ‘terima kasih’ alias acara tanpa ada 86 alias jale alias amplop itu. Karena benar-benar di luar harapan.

Bus meluncur dengan tenang. Tadinya, bus ini mau berbelok sebentar untuk mengantarkan salah satu wartawan ke redaksi yang letakknya di dekat jalan raya besar. Tapi, tante wartawati tidak mau ikut. Ia maunya diantar duluan.

Tetapi karena wartawan lain protes karena bagaimanapun juga mereka wartawan resmi, akhirnya tante wartawan tadi marah. Lalu, ia minta turun dan agak menjerit. “Kering. Acara pelit. Menyesal aku datang.”

"Ma Untuak Kami"

KEJADIAN ini benar-benar menyedot perhatian. Betapa tidak. Wartawan adu mulut, bahkan nyaris adu jotos di tepi jalan. Gara-garanya bisa dibilang sepele, bisa juga dibilang berat. Yakni, karena tak dapat jatah alias jale alias amplop alias 86.

Kisahnya begini, sebuah organisasi wartawan di salah satu daerah di Sumatera Barat mengadakan pelatihan hukum terkait dengan pers. Acaranya berlangsung di hotel. Karena temanya hukum, yang hadir banyak dari aparat penegak hukum, kejaksaan, polisi, dan pengadilan.

Banyak juga wartawan dari daerah setempat datang. Wartawan yang diundang hadir semuanya. Yaitu, sesuai undangan yang disebar panitia, setiap media mengirimkan satu wartawan, baik itu media cetak, elektronik, maupun televisi.

Sebelum masuk ke ruang acara, wartawan yang diundang itu terlebih dulu diminta untuk mengisi daftar hadir. Setelah siap, acara dimulai pukul 10.00 WIB. Materinya menarik dan berat. Detik jam terus berjalan. Dan acara itupun diakhiri pada pukul 16.00 WIB.

Setelah acara ditutup, panitia meminta para wartawan dari media-media yang diundang untuk menghadap panitia bagian keuangan. Soalnya, ada pembagian uang transportasi.

Sebelum acara pembagian uang, sang panitia mengecek satu persatu nama wartawan yang hadir. Setelah beres, mulailah pencairan dana transportasi.

Setelah pembagian beres, para wartawan diminta menandatangani kwitansi sebagai tanda bukti penerimaan uang. Lalu, semuanya mulai bubar dan meninggalkan tempat kejadian perkara.

Tetapi, tiba-tiba ada empat orang yang mendatangi mbak-mbak yang jadi panitia pembagi uang transportasi tadi. Empat orang itu, tiga di antaranya masih muda usia, sedangkan satu lagi usianya sekitar 40 tahun.

Mereka ini, rupanya sejak awal pembagian uang sampai tanda tangan hadir di ruangan. Dengan gaya yang sedikit mengancam salah satu wartawan itu bicara kepada panitia.

“Ma untuak kami, kami kan ikuik acarako, sejak tadi,” katanya. (mana jatah kami, kami kan sudah mengikuti acara ini sejak tadi)

Mbak-mbak yang jadi panitia tidak begitu saja membagikan uang transportasi. Ia bertanya dengan nada keibuan, “Apak dari media ma?” (bapak-bapak dari media mana ?)

“Saya dari media XXXXX. Kami ini empat orang media yang sama, kami ingin mengekspos acara ini lebih mendalam dari pada media lain,” katanya dengan nada penuh percaya diri.

Kemudian mbak-mbaknya kembali bertanya. “Kalau dari media (XXXXX) itu udah dikasih dana transportasinya pak, nah ini tanda tangannya,” ujarnya.

Namun, keempat wartawan terus berkeras hati minta jatah. Mbak-mbak panitia yang agak geregetan, tidak mau ambil pusing. Ia langsung melapor ke ketua panitia acara.

Setelah itu, ketua datang. Ketua langsung menghampiri keempat wartawan dan menjelaskan perihal uang transportasi. Bahwa, sudah diberikan kepada wartawan yang juga dari media yang disebut keempat orang itu.

Tapi, keempat wartawan tetap bersikeras bahwa mereka belum terima uang. Sampai akhirnya datang lagi panitia masuk ke ruangan dan berembuglah mereka semua di sana.

Salah satu panitia yang badannya cukup besar menjelaskan kepada empat orang wartawan tadi.

“Modeko pak, tadi memang ala diagiah pitinyo samo kawan apak tadi dan uangnya itu sudah dilebihkan untuk bapak-bapak ini, lai nyo agiah tahu, dek karano media samo maka tandantanganyo ciek se dibuek,” katanya sang panitia. (begini pak, tadi memang sudah dikasih uang transportasinya, sama kawan bapak tadi itu sudah dilebihkan sedikit, ada dikasih tahu sama kawan bapak? ini karena media sama, maka tanda tangannya cukup satu saja)

Ke empatnya lalu mengangguk tanda mengerti maksud panitia berbadan besar itu. Lalu, geserlah mereka dari ruangan. Mereka keluar.

Di luar, ternyata kawan-kawan keempat wartawan tadi menunggu di parkiran sepeda roda dua. Kawan-kawan mereka itulah yang tadi pagi tanda tangan absen.

Begitu mereka bertemu, dari jauh terlihat seperti perang mulut. Beberapa wartawan lainnya hanya melihat dan melongo. Tampak si wartawan yang usianya 40 tahun dan tiga temannya yang tadi bertemu panitia, menaik-narik kancing baju pemuda di tempat parkir tepi jalan.

Panitia acara tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka hanya menonton para wartawan itu dari jauh.

Lama-lama situasi makin panas. Sampai akhirnya, satpam gedung meminta para wartawan itu untuk pergi karena dikhawatirkan terjadi bentrok fisik.

Wartawan Amplop Juga Punya Harga Diri

SUATU HARI seorang wartawan muda bernama X mendapat undangan hajat besar sebuah partai gurem di kawasan Ibukota. Tentu saja dia sangat senang begitu mendapat undangan via SMS itu. Pasalnya, bukan saja berita bagus akan ia dapat. Tapi, dipikirannya, juga akan dapat amplop yang lumayan gemuk tentunya.

X, walaupun tergolong wartawan baru, tapi karena pandai bergaul, ia cepat beradaptasi dengan dunia wartawan termasuk dengan rupa-ruupa jalenya alias 86-nya. Bahkan, tak jarang dirinya dipercaya narasumber atau panitia untuk mengorganisir rekan-rekan wartawan dalam sebuah acara.

Maka cap Kordinator Lapangan atau Korlap sudah resmi disandangnya. Bahkan beberapa wartawan dari media yang katanya anti amplop mencap X sebagai wartawan amplop.

Nah, karena pengalamannya itulah, ia tahu kalau hajat besar partai seperti ini, di Ancol itu, pasti ada alokasi dana untuk wartawan yang cukup besar terutama bagi wartawan yang diundang seperti dirinya.

Singkat cerita, di hari H, dirinya sudah berada di hotel tempat partai gurem menggelar hajat besar. Setelah pembukaan oleh ketua umum partai, para wartawan langsung digiring oleh panitia ke sebuah ruangan untuk mendengar keterangan dari para petinggi partai.

Setelah selesai mencatat pernyataan para petinggi partai, para wartawan diminta naik ke lantai atas, tepatnya di kamar salah satu petinggi partai itu menginap. Karena ini hajat besar, maka amplopnya juga besar, jumlahnya Rp1 juta, hampir 1 bulan gaji si wartawan X.

Petinggi partai itu sendiri yang langsung membagikan amplop itu kepada wartawan satu persatu.

Sampailah pada giliran X. Namanya dipanggil. Lalu ia melangkah menuju kamar. Begitu buka pintu X langsung mendapati sang petinggi partai yang dengan congkaknya duduk sambil menaikan kakinya ke meja.

Belum hilang kaget X atas ketidaksopanan petinggi itu, kembali ia dikagetkan dengan sikap petinggi itu yang melempar amplop ke hadapannya.

Setelah, bisa lepas dari kagetnya, X langsung memungut amplop itu dan menghitung uang di dalamnya secara sembunyi-sembunyi. Tepat seperti dugaannya Rp1 juta. Dengan tenang, uang itu ia kembalikan ke dalam amplop dan kemudian ia lempar ke muka sang petinggi.

Tentu saja sang petinggi kaget dan marah besar atas sikap X. Bahkan, beberapa satgas partai sempat akan mengeroyok X. Untung saja, wartawan lain yang sedang antri menunggu giliran langsung masuk karena mendengar suara gaduh dan makian dari sang petinggi partai.

Setelah mendengar cerita dari X tentang penghinaan yang dilakukan sang petinggi, maka secara otomatis wartawan lainnya membela X dan menolak prosesi pemberian amplop dilanjutkan. Bahkan wartawan yang telah menerima amplop dengan sukarela mengembalikan amplop yang telah di tangan.

Besoknya, tidak ada satupun berita tentang hajat partai gurem itu di TV, koran maupun media online serta radio. Semua kompak memboikot pemberitaan partai itu sampai waktu yang tidak terbatas.

****

Berhubung kejadiannya dekat-dekat dengan puasa, maka si X mengambil hikmah dari kasus itu. Begini kira-kira ia berkata:

Ini pelajaran bagi semua orang kalau uang bukan segalanya dan dengan uang tidak bisa berbuat seenaknya apalagi melecehkan harga diri seseorang termasuk wartawan amplop, karena wartawan amplop juga punya harga diri.

Sunday, August 15, 2010

Wartawan ‘XX Muda Terus’ Antri Amplop 2 X

SEORANG WARTAWAN muda usia terheran-heran ketika menyaksikan pemandangan yang tak biasa. Kala itu di akhir pekan. Di salah satu kantor humas sedang digeruduk para wartawan bodrek atau nama bekennya di lingkungan itu para 'Kapsul.’

Saking banyaknya wartawan bodrek yang terus berdatangan, membikin staf humas kuwalahan. Bahkan, sampai menutup pintu humas agar si kapsul tak rebutan masuk. Humas mintanya agar mereka itu tertib antri untuk ambil jatah mingguan.

Pokoknya, pemandangan di sana sudah seperti warga mengantri bantuan langsung tunai (BLT).

Di antara aksi saling desak-desakan, ada wartawan yang bilang begini. "Coba kau lihat koran ku lae, aku sikat itu orang-orang (pejabat di kantor humas ini), ini BB-nya (barang bukti), biar nanti menghadap langsung cair."

Makin lama, ternyata wartawan datang terus. Antrian semakin panjang sekali. Sebagian sudah tidak sabar. Soalnya, jatah uang Rp50 ribu itu pun tak kunjung didapat.

"Pak tolong jangan dorong-dorong terus nanti pintu kacanya bisa pecah," pinta si staf humas yang bertugas membagikan jatah.

Tibalah waktu yang sangat dinantikan. PEMBAGIAN alias PENCAIRAN. Situasi makin tidak kondusif. Aksi dorong mendorong pun tak terhindarkan.

Suasananya bukan lagi mirip pembagian BLT. Kini, mirip pembagian zakat yang kerap kali ricuh.

Di antara wartawan itu, ada yang curang. Setelah dapat jatah, mereka kembali berdiri mengantri sambil mempertontonkan rompi bertuliskan pers dan macam-macam nama media yang hampir tidak bisa ditemukan di loper koran.

"Lae, aku sudah dapat jatah, pinjamlah rompi kau, aku mau antri lagi, mana cukup kalau hanya Rp50rb saja," kata si salah satu wartawan sambil berbisik-bisik kepada kawannya.

Namun sialnya, saat kembali mengantri, salah satu staf humas menyadari jika beberapa wartawan itu sudah dua kali mengantri. "Lah bukannya bapak sudah dapat tadi," tanyanya.

"Itu tadi media saya XX, kalau antrian yang sekarang XX Muda," ujarnya dengan logat daerah.

Dengan pasang muka kesal, staf humas itu cuma bisa pasrah dan memberikan selembar uang lagi kepada wartawan bodrek itu. "Nanti kalau ngantri yang ketiga sekalian aja tambahin medianya jadi 'XX Muda Terus," ujarnya ketus.

Si wartawan muda yang sejak tadi menonton peristiwa itu, akhirnya pergi pelan-pelan. Ia takut kalau-kalau terjadi aksi anarkis di kantor humas itu.

Beli Celana Demi Wawancara di Istana

WARTAWAN MUDA usia di bidang olah raga ini dapat tugas dari redaksinya untuk wawancara juru bicara presiden. Kantornya di komplek Istana, di mana tidak sembarang wartawan bisa dapat akses ke sana.

Setelah membuat janji pertemuan dengan juru bicara presiden, wartawan muda usia ini siap-siap meluncur dengan sepeda motor bebeknya.

Tapi, sebelum ia meluncur, tiba-tiba teman-temannya mencegat. Ada teman yang kemudian menasihati si wartawan muda kalau masuk ke komplek istana itu wartawan mesti berpenampilan rapi. Tidak kumal. Celana pun dilarang yang berjenis jeans, melainkan harus celana kain atau sering disebut celana bahan.

Agak kaget si wartawan. Badannya agak berkeringat mendengar syarat-syarat yang baru saja disebut temannya itu. Ia pikir, liputan ke Istana sama seperti di tempat liputan lainnya. Bisa pakai kaos dan celana jeans. Terus, bagaimana caranya ia memiliki celana bahan pada saat itu juga.

Waktu pun terus berputar. Matahari sudah di ubun-ubun. Jadwal perjanjian wawancara dengan juru bicara presiden sudah dekat. Tak mungkin ia bilang ke redakturnya kalau ia malu atau batal wawancara hanya karena soal celana.

Maka, bergegaslah si wartawan muda usia itu meluncur. Karena ia tidak punya persediaan celana bahan di kosnya atau ia tidak mungkin pinjam celana temannya karena pasti tidak muat, maka ia akan mampir dulu ke pasar kain di Tanah Abang.

Sesampai di pasar, ia buru-buru mencari tempat jualan celana bahan. Ia keluarkan Rp35.000 untuk sepotong celana warna krem. Karena jadwal perjanjian makin dekat, ia langsung kembali ke tempat parkir dan melompat ke sepeda motor. Lalu ngacir.

Sepanjang jalan, ia berpikir, di mana tempat ganti celana. Akhirnya, ia temukan tempat strategis untuk ganti celana, yaitu di kantin dekat komplek Istana. Celana jeans ia bungkus pakai plastik kresek bekas. Lalu, ia pakai celana baru, celana bahan.

Seandainya ada teman-temannya melihat kejadian itu, pastilah akan tertawa terbahak-bahak. Celananya agak kependekan. Rupanya, ia tidak terlalu teliti mencoba celana itu di pasar tadi. jadi, kalau jalan, mirip aktor komedian, Charlie Chaplin. Untung dia tak pakai topi.

Agak malu sebenarnya si wartawan muda usia ini mengenakan celana itu, tapi apa boleh buat. Demi tugas redaksi, ia pun harus segera masuk kantor juru bicara presiden untuk wawancara mengenai kampanye bike to work yang akan dicanangkan si juru bicara presiden.

Waktu pun berlalu. Tahun berganti tahun. Celana bahan kenang-kenangan itu, masih disimpan rapi si wartawan muda usia di kamar kos.

Tanya Baik-baik, Disangka Minta Amplop

INI CERITA beberapa wartawan muda yang tidak meminta diberi jale alias 86 alias amplop. Tapi, panitia acara justru menganggap mereka wartawan amplop. Mungkin, selama ini si panitia telalu sering jadi korban para wartawan amplop atau bodrek. Sehingga menganggap semua wartawan sebagai pencari jale.

Agar tidak panjang-panjang kata pengantar cerita ini, sebaiknya langsung saja dimulai ceritanya. Begini. Suatu hari, para wartawan muda itu diundang untuk mengikuti acara musyawarah luar biasa partai politik. Mereka diantar menggunakan bus khusus karena memang lokasi acaranya jauh.

Dua hari lamanya acara musyawarah besar partai yang berlangsung di kota pinggir Jakarta.

Dua hari itu, mulai dari pagi sampai malam hari, para wartawan muda dengan setia meliput acara. Mereka membuat liputan-liputan terbaik yang bisa mereka kerjakan.

Dua hari pun berlalu. Seiring dengan tutupnya muktamar, para wartawan muda harus pulang, kembali ke Jakarta.

Tetapi ada insiden kecil saat mereka akan pulang. Karena tempat acaranya terpencil plus tidak ada angkutan umum, akhirnya mereka mencari panitia yang sejak pagi sulit ditemui. Ketika berhasil ditemui, wajah panitia seperti tidak bersahabat.

Panitia sok cuek dengan para wartawan muda ini. Melihat wajahnya, mengingatkan pada kasus panitia yang merendahkan wartawan bodrek karena suka memaksa minta uang.

Usut punya usut, ternyata benar, si panitia menganggap wartawan muda yang menemuinya itu, ingin minta amplop. “Jatahnya sudah habis, bos,” katanya kepada wartawan sambil membuang muka dan berpura-pura sibuk.

Tetapi, baru ia sadar dengan kesalahpahamannya setelah para wartawan menjelaskan kalau mereka bukan ingin minta amplop. Melainkan, ingin bertanya bagaimana cara pergi ke Jakarta, sementara tidak ada angkutan umum dari tempat musyawarah besar.

Barulah, si panitia ingat kalau para wartawan ini, tadinya dijemput dengan mobil panitia.

Saturday, August 14, 2010

Wartawan Bodrek Ingin Infus Pejabat

WARTAWAN bodrek, siang itu, lagi kumpul-kumpul di warung kopi tempat biasa nongkrong. Hari itu, mereka sudah mengincar pejabat yang akan dimintai uang. Salah satu pejabat yang akan jadi sasaran ialah yang bertugas di kantor Pekerjaan Umum di kota dekat laut.

Setelah diskusi singkat, mereka pergi dari warung kopi. Mereka memacu kencang sepeda motornya agar segera sampai di kantor PU.

Tak lama kemudian, mereka tiba di tempat tujuan. Sesampai di sana, mata mereka liar, mencari sang pejabat. Tengok sana-tengok sini. Tapi, tak ada pejabat yang terlihat menarik.

Lantas, mereka mencari ke ruangan sang pejabat yang tadi diincar. Pejabat PU ini jadi sasaran karena paling banyak proyek di departemen itu. Dan sebagian proyek di dinas ini, punya masalah. Mulai soal curangnya tender proyek sampai pengerjaan yang tidak sesuai bestek atau ketentuan yang berlaku.

Wartawan ini memiliki semua data soal itu. Tinggal bagaimana cara mengolahnya yang bagus agar si pejabat mau membagi uang korupsinya.

Sampai di depan pintu, wartawan lapor dengan ajudan pejabat tadi dan singkat cerita mereka langsung dipersilahkan masuk.

Dengan wajah sok sangar, sang wartawan mulai keluarkan pena, kertas, tape recorder, dan kamera.

Wartawan tanya sana-tanya sini dengan nada sinis. Sang pejabat pun hanya diam saja atas tingkah wartawan ini. Lalu mereka mengatakan punya data proyek bermasalah.

Pejabat itu kemudian tidak bisa berkutik atas data-data yang ditunjukan wartawan tadi. Sang pejabat bingung tidak tahu harus menjawab apa. Pokoknya pejabat ini pada intinya sudah bersedia untuk membayar 86 alias menyuap wartawan agar tidak perlu membesar-besarkan soal proyek itu.

Tapi rupanya wartawan ini terus menerus mencoba menekan metal sang pejabat. Mungkin berharap kalau sudah tak berkutik sama sekali, lantas akan dikasih uang lebih banyak.

Salah satu wartawan bilang begini, "Bapak jangan macam-macam ya, diproyek yang bapak kerjakan banyak masalah tuh."

Pejabat, "Nggak semua bermasalah pak.” Sambil senyum-senyum, ia melanjutkan, “Masak nggak bisa kita damai sih pak."

Wartawan, "Eh bapak jangan coba-coba merayu saya ya, Nanti kalau saya infus bapak, pasti ditangkap jaksa."

Pejabat, "Salah pak wartawan, ekspos maksudnya, bukan infus."

Wartawan agak kaget karena salah bicara, lalu meninggikan suara, "Iya, itu maksud saya."

Sang pejabat yang tadinya takut, malah sekarang tak gentar dengan wartawan bodrek itu. Ia kembali percaya diri karena sekarang tahu sedang menghadapi wartawan dari media tidak jelas yang cuma berani gertak. Masa mau ekspos berita, dibilang infus.

"Silahkan bapak infus saya sekarang juga."

Kelakuan Wartawan Amplop Senior Jelang Lebaran

RUPA-RUPA cara digunakan wartawan yang hobi mencari amplop untuk mendapatkan dana segar alias uang dari narasumber. Seperti juga wartawan botak senior satu ini. Idenya selalu mengalir, apalagi kalau menjelang lebaran.

Mungkin perlu sedikit dikasih tahu bocoran tentang wartawan senior ini. Selama ini, ia tidak terlalu disukai teman-teman wartawan lainnya, karena paling malas kalau ikut liputan ke TKP alias tempat kejadian perkara kriminal. Alasannya macam-macam, mulai dari sakit perut sampai ada urusan keluarga. Tapi kalau sore hari, menjelang deadline, ia pasti minta dikirimi berita kriminal dari temannya yang liputan.

Namun, tiba-tiba ada perubahan besar dalam pola liputannya menjelang hari raya lebaran. Wartawan senior ini, setiap hari bertanya kepada teman-temannya, baik via telepon, SMS, BBM, atau ketemu langsung. “Ada razia apa nanti malam coy, kabari gua lah ya, kalau ada TKP,” katanya selalu.

Ia juga jadi gemar kumpul-kumpul bersama wartawan kriminal di warung internet, tempat di mana para wartawan di daerah itu bermarkas alias tempat menulis berita.

Awal-awalnya, teman-temannya tidak begitu ngeh dengan perubahan yang dialami wartawan botak senior ini. Sampai suatu malam kedoknya terbongkar. Ia sangat bersemangat ikut razia Satpol PP di salah satu kecamatan yang disinyalir masih ada tempat hiburan yang beroperasi.

Sepanjang razia itu, ia terlihat tidak ikut meliput seperti teman-teman lain. Si botak hanya duduk di atas motor dari kejauhan. Sementara wartawan lainnya sibuk wawancara narasumber. Semula, wartawan lain pikir, si botak takut dengan razia atau trauma dengan aksi anarkis.

Tetapi, begitu acara razia berakhir, tiba-tiba ia seperti melompat dari atas sepeda motor untuk menemui orang yang dituakan di Satpol PP. Ia menempel pejabat di satuan itu mulai dari tempat hiburan yang baru dirazia sampai kantor satuan di pusat pemerintah kota.

“Mantap operasi kita malam ini abangku,” kata wartawan senior kepada kepala satuan.

Sejurus kemudian, pejabat di satuan polisi pamong langsung kena rayuan maut si wartawan senior. Buktinya, saat itu juga, tangannya merogoh kantong. Keluarlah beberapa lembar uang Rp50 ribuan dari kantong orang tua di satpol itu untuk si senior.

Begitu uang sudah cair, si senior undur diri. Ia pamit kepada teman-temannya. “Coy, aku terpaksa pergi duluan ini, mau ngetik berita dulu. Bos gua sudah telpon-telpon dari tadi, supaya berita segera dikirim.”

Mendengar itu, wartawan kriminal yang lain cuma diam saja sambil melengos ke kanan. Soalnya, mereka sudah tahu kelakuan si botak satu ini.

Friday, August 13, 2010

Tak Diundang, Bodrek Pun Ngamuk

DI KOTA KHATULISTIWA, siang hari itu, berlangsunglah acara forum pertemuan petinggi partai besar di Tanah Air. Seperti juga di daerah lain, acara macam ini, pasti menyedot perhatian banyak wartawan, baik media lokal maupun nasional. Bahkan, wartawan bodrek pun datang.

Belasan wartawan dipersilahkan panitia masuk ke ruang khusus penyelenggaraan konferensi pers. Yang diundang panitia, tentunya mereka para wartawan yang punya media jelas alias korannya banyak ditemukan di loper-loper koran kota setempat.

Selesai sesi tanya jawab, para wartawan ini keluar. Mereka dipersilahkan ke ruang makan untuk menyantap makanan yang disediakan panitia. Sebagian lagi keluar ruang untuk merokok.

Beberapa wartawan yang keluar ruang terperanjat karena melihat kerumunan wartawan yang selama ini dikenal sebagai bodrek tengah menggerutu.

Selidik punya selidik, rupanye wartawan bodrek mondar-mandir dari tadi untuk mencari panitia acara. Tentu saja panitia yang tugasnya membagi-bagikan amplop kepada wartawan. “Kemana dia, tak ketemu-ketemu,” ujar salah satu wartawan bodrek itu.

Maka salah satu wartawan bodrek pun nanya ke si wartawan muda yang sedang merokok di depan pot bunga. “Dimana ya panitienye.” Dia bertanya dengan nada sopan.

Lalu dijawab oleh wartawan muda, “Loh..loh...loh.... abang neh bukannya dari tadi ada di sini lah.”

“Iya, aku neh dah mondar-mandir nyari panitie. Tapi tak ade lah,” kata salah satu wartawan yang selama ini dikenal pemberani kalau sedang minta uang itu.

“Mungkin di atas kali ya,” kata si wartawan muda. Di atas, maksudnya di lantai dua.

Maka setelah itu, wartawan bodrek itu pun langsung bergegas ke lantai atas untuk mencari panitia. Jumlah wartawan bodrek itu lumayan banyak. “Sudah kayak pasukan aja,” guman wartawan muda sambil menghisap rokok.

Usut punya usut, ternyata di atas para wartawan bodrek marah-marah ke pantia. Intinya, mereka mempertanyakan kenapa sampai tidak dilibatkan dalam konferensi pers soal rapat partai. Ini, bagi mereka adalah suatu sikap diskriminasi.

Terjadilah cek cok antara panita dan wartawan bodrek itu selama beberapa menit. Sampai panitia bilang, “Tenang-tenang, sabar-sabar yah bapak-bapak, tenang. Semuanya ada bagian kok.”

Begitu mendengar itu, maka wajah sumringah pun mulai terlihat dari wajah wartawan bodrek itu. Kemurkaan mereka mulai mereda. “Akhirnya dapat juga,” celetuk salah satu wartawan bodrek.

Maka tidak lama kemudian, pembagian jatah uang dari panitia pun dimulai. Saat itu juga. Tidak pakai ditunda-tunda.

Setelah itu, rombongan itu pulang. “Nah kalau gini kan enak lah, kite,” ujar salah satunya sambil menuruni anak tangga.

Panitia acara dari partai besar itu cuma bisa merengut di lantai dua karena tadi dia sempat ketakutan setengah mati menghadapi wartawan bodrek.

Vivanews.com Itu Koran Ya Pak?

SUDAH beberapa hari ini berita begitu sepi di kota Khatulistiwa. Wartawan muda itu dalam ibadahnya selalu berdoa agar segera ada berita bagus. Di akhir pekan di bulan puasa, pagi-pagi buta ia sudah terbangun dari tidur.

Lalu, ia buka pesan-pesan yang masuk ke HP selama ia tidur semalam. Matanya melek dengan semua info yang masuk. Akan tetapi, semua info yang masuk, selalu datar saja. Tetapi, ia tidak lemah semangat.

Setelah mandi, ia keluar rumah dengan harapan ada taruna alias berita besar. Wartawan muda ini datang ke pusat pemerintahan provinsi. Kemudian datang ke kantor pemerintah kota, lalu ke polsek-polsek, kemudian ke poltabes hingga kantor Polda. Tetapi hasilnya semua info datar-datar saja.

Ia mulai tidak bersemangat. Ya sudah, akhirnya ia memutuskan untuk balik kanan dan istirahat setelah melakukan perjalanan melelahkan. Ia merebahkan badan yang lesu.

Hari itu, tepatnya hari Jum'at. Ia agak terhibur setelah datang telepon dari kekasih yang nan jauh di sana. Betapa tidak senang, si kekasih bilang kangen berkali-kali.

Maka percakapan pun dimulai. Romantis-romantis tentunya. Tapi, sayang hanya berlangsung beberapa menit. Karena, ada telepon yang masuk lagi. Wartawan muda ini terpaksa memutus percakapan dengan kekasih karena dalam kepalanya, telepon yang masuk itu tentunya ingin mengabarkan berita besar.

Rupenye yang barusan masuk itu nomor tidak dikenal: +62561712XXX. Tambah yakin dia ini taruna besar yang ditunggu. Tibe-tibe saja si penelepon menyapa si wartawan muda dengan logat Pontianak, “Halu....selamat sore bapak.” Ia seorang perempuan.

Lalu si wartawan menjawablah, “Sore ibu.”

Si ibu itupun bicara maksud dan tujuannya. “Bapak, saye ini dari Pajak. Apa betul ini bapak. “

“Iya betul,” kata si wartawan.

Lantas orang pajak itupun memberitahu soal undangan untuk hadir ke acara Media Gathering Buka Puasa Bersama pada tanggal 18 Agustus 2010 di sebuah hotel ternama di kota khatulistiwa.

Si ibu pajak itu rupanya masih penasaran. Ia bertanya. “O iya, bapak ini wartawan kontributor media vivanews.com yah, itu koran kan yah.”

Lalu si wartawan jawab, “Saye bukan media cetak atau koran, ibu. Saya dari media online, media yang ada di internet-internet itu. Media ini tidak terbit di kertas, melainkan bisa dibaca di internet.”

Agar tidak salah paham, si wartawan muda menjelaskan bahwa kantor redaksi medianya ada di Jakarta dengan alamat di Menara Standard Chartered, Lt.31 Jl. Prof. Dr. Satrio No. 164 Casablanca, 12930.

Ia sengaja secara gamblang menjelaskan itu. Si ibu dari kantor pajak itu pun tetap saja tidak mengerti soal media online atau yang sering disebut portal ini.

“Media koran kan yah pak, media koran yah pak yang tiap hari ada kita langganan itu kan.”

Wartawan sekali lagi bilang, “Saye bukan dari koran.”

Hampir setengah jam ibu itu menelpon. Rupenye bosan juga die itu. Tanpa basa basi. Maka ia pun menutup telponnya. Si wartawan muda tahu, ibu itu tidak mengerti juga soal media online.

Si wartawan muda pun merengut. “Ngape orang tuh tak paham benar soal yang ku omongin tuh. Hari gini tak tahu media online, humas kantor pajak pula dia.”

Dapat respon macam itu dari humas kantor pajak, si wartawan muda ini mulai pikir-pikir menghadiri undangan itu. Sambil merengut, ia kembali rebahan untuk menunggu taruna besar hari itu.

Thursday, August 12, 2010

Empat Wartawan Kriminal Kecele

DI AWAL bulan puasa, empat wartawan kriminal yang biasa bertugas di salah satu polres Ibukota itu sedang duduk-duduk. Sambil menunggu buka puasa yang masih enam jam lagi, mereka ngobrol tentang apa saja di sana.

Tiba-tiba dari luar ruang wartawan, terdengar suara sirine mobil polisi. Salah satu wartawan melihat dari jendela mobil itu keluar buru-buru dan di belakangnya diikuti mobil yang biasa dipakai anggota intel.

Keempat wartawan langsung panik begitu menyadari kemungkinan ada berita besar. Seorang wartawan senior yang duduk santai di depan komputer dicuekin. Maksud hati, keempat wartawan muda ini ingin membobol berita.

Makin semangat dan yakin keempat wartawan itu. Mereka langsung melompat dan lari sekencang-kencangnya ke tempat parkir sepeda motor. Setelah menghidupkan mesin, mereka langsung mengejar mobil yang suara sirinenya masih terdengar.

Mereka memacu motor sekencang-kencangnya. Tiap lampu merah diterobos. Bahkan, salah satu motor wartawan sampai menyerempet spion mobil pribadi. Pokoknya, dalam pikiran mereka, ini akan ada berita besar.

Setelah kejar-kejaran dengan mobil polisi tadi selama sekitar satu jam, raungan sirine mobil polisi berhenti di dekat perempatan jalan perbatasan Jakarta-Depok. Bersamaan dengan itu, mobil itu langsung masuk ke sebuah bengkel mobil besar.

Tidak lama kemudian, beberapa anggota polisi keluar dari mobil, lalu berbincang sebentar dengan warga yang berada di dalam bengkel.

Wartawan pun melompat dari sepeda motor. Sambil terengah-engah, keempat wartawan itu masuk ke bengkel. Mereka langsung tanya ke orang yang ada di gedung yang tadi bicara dengan polisi.

“Pak, ada peristiwa apa, polisi kenapa datang ke sini,” kata salah satu wartawan.

“Polisi itu sih biasa datang ke sini kalau mau service mobil,” jawab orang itu.

Tapi naluri berita kriminal wartawan mengatakan ini pasti ada sesuatu yang ditutup-tutupi. Karena, biasanya kalau ada peristiwa besar, polisi suka menutupi lebih dulu sebelum diumumkan ke publik. Tidak mungkin, tidak ada sesuatu.

Karena jawaban dari orang bengkel tidak memuaskan, akhirnya keempat wartawan berlari ke arah polisi. Setelah bekeringat, para wartawan menemukan anggota polisi tadi tengah berada di dalam rumah makan.

Setelah basa-basi, wartawan tanya. “Ada peristiwa apa, pak.”

Dan polisi menjawab, “Ada peristiwa kebakaran, tapi di tempat lain. Di sini tidak ada apa-apa.”

“Terus kenapa tadi pakai sirine,” kata wartawan.

“Ya biasa, biar cepat sampai sini saja dan biar jalannya lancar,” kata polisi.

Awalnya, wartawan itu masih tidak begitu percaya omongan polisi. Sampai akhirnya, mereka capek sendiri karena polisi tetap bilang bahwa tidak ada kejadian kriminal.

Tidak lama kemudian, telepon salah satu wartawan berbunyi. Ternyata dari wartawan senior yang tadi ada di ruang wartawan Polres.

“Gimana beritanya,” kata warawan senior di ujung telepon.

Lalu, dijawab sama wartawan, “Berita apaan bang, orang polisi makan doang.”

Lalu, pecahlah tawa si wartawan senior. “Makanya lu tanya-tanya dulu sebelum ikut mobil polisi, kalau ada berita besar, gua pasti dikasih tahu duluan coy.”

Akhirnya, kembalilah para wartawan itu ke kantor polres. Sambil tertunduk malu, mereka masuk ke ruang wartawan. Meledaklah tawa sejumlah wartawan senior yang berada di sana.

Wartawan Amplop Buru Uang Ketupat Lebaran

HARI LEBARAN tinggal sebentar lagi, tetapi sayang, uangnya betul-betul menipis. Jadi, wartawan amplop senior ini betul-betul harus memutar otak. Maklum, lebaran banyak kebutuhan.

Soalnya, kalau berharp gaji dan THR dari kantor redaksi, bagi dia, itu semua tidak bisa diandalkan. Jumlahnya kecil. Maklum, kantornya pelit setengah mati. Coba kalau nilai gaji dan tunjangan layak, tentu dia tidak akan pontang-panting seperti sekarang.

Cring, suatu pagi hari, ide cemerlangnya keluar seiring dengan usainya waktu sahur. Jadi, untuk mendapatkan dana segar lebaran alias uang ketupat atau apalah namanya, caranya ialah mengoptimalkan jaringan narasumber.

Wartawan senior ini mengumpulkan dulu nomor-nomor dan nama narasumber yang kira-kira tidak pelit mengeluarkan uang. Bahkan, ia sampai tanya-tanya nomor telepon narasumber dari teman wartawannya.

Setelah semua nama dan nomor telepon terkumpul rapi, mulailah ia mengontak satu persatu. Ada yang bisa ditelepon, ada juga yang tidak bisa karena telepon narasumber selalu sibuk.

Wartawan amplop senior tidak kehilangan akal untuk mengejar narasumber yang nomor teleponnya sibuk terus itu. Ia mengirimkan SMS kepada pejabat-pejabat itu. Intinya ingin mengucapkan lebaran sekaligus mengharapkan uang ketupat.

Hasilnya bisa dikatakan lumayan bagi si wartawan ini. Ada narasumber yang mengajaknya ketemu dan buka bersama, ada juga narasumber yang bersedia mentransfer uang ketupat via rekening bank.

Ada salah satu narasumber yang akhirnya membalas SMS setelah tiga jam dikirim. Isinya berupa kalimat memaki-maki. Usut punya usut, ternyata wartawan senior ini setengah tahun yang lalu, pernah memberitakannya negatif sehingga nyaris dipecat dari jabatan.

Bahkan, narasumber itu sampai mengancam akan melaporkan si wartawan amplop senior ke redaksi karena telah meminta-minta uang ketupat.

Bagi wartawan senior, ini pengalaman yang sial. Ia lupa kalau pernah berurusan dengan pejabat itu. Kalau ingat, pasti ia tidak akan meminta uang ketupat padanya.

Trik Wartawan Nakal Cari Karcis Kereta

MENJELANG libur lebaran di Indonesia, tidak mudah untuk mendapatkan kursi kereta api ke Pulau Jawa. Orang harus mengantri lama sekali untuk mendapatkannya. Atau harus lewat tangan calo untuk mendapatkannya, tentu saja resikonya harganya berlipat-lipat dari harga normal.

Tapi, wartawan senior satu ini, tidak mau seperti anggota masyarakat lainnya. Wartawan yang sudah merencanakan libur ke kampung halaman selama sepekan itu punya cara pintas untuk menyiasati sulitnya mendapatkan tiket kereta api.

Tentu saja, ia memanfaatkan posisinya sebagai wartawan. Suatu pagi, ia menghubungi kepala salah satu stasiun tersibuk di Ibukota ini lewat telepon. “Halo pak kepala, apa kabar.”

“Kabar baik, mas. Dengan siapa?” kata kepala stasiun.

“Dengan saya pak, wartawan XX. Wah bapak sibuk sekali ini sepertinya,” ujar wartawan.
“Ada keperluan apa, mas.”

“Saya ingin ngobrol-ngobrol sama bapak nih, soal persiapan perjalanan lebaran, gimana pak situasinya,” kata wartawan senior.

Karena sudah biasa ditanya-tanya wartawan soal persiapan perusahaan kereta soal lebaran, berceritalah panjang lebar kepala stasiun tadi. Mulai dari jumlah kereta, pengamanan dalam kereta, pengamanan jalur kereta, sampai suasana di stasiun itu.

Di ujung telepon, wartawan menjawab, “Baiklah, pak. Semoga semuanya berjalan baik dan lancar.”

“Dan media saya harapkan juga memberitakan dengan jelas sehingga masyarakat tidak panik,” kata kepala stasiun.

Lama-lama, karena suasana perbincangan sudah mulai cair, mulailah wartawan ini mengarah pada tujuan sesungguhnya. “Sukseslah pak ya. Kalau sukses di lebaran ini, bapak kepala nih, sebentar lagi bisa jadi naik pangkat."

Kepala stasiun yang tadi mengeluarkan suara agak galak, kini, mulai lembut. Agaknya, ia kena rayuan gombal si wartawan. Ia selalu bilang terima kasih tiap kali si wartawan memuji setinggi langit.

Nah, pada saat seperti itu, niat asli wartawan itu terungkap. “Pak, ngomong-ngomong, tiket kereta ini susah sekali di dapat, ya. Mohon bantuannyalah pak. Satu tiket saja.”

Entah karena tidak enak hati atau karena senang setelah mendapat pujian sehingga tak kuasa menolak, kepala stasiun itu akhirnya memberikan jatah kursi khusus kepada wartawan itu. Setelah itu, ia mengucap beribu-ribu terima kasih.


Tuesday, August 10, 2010

Gaya Wartawan Amplop Pun Ditiru

CARA wartawan nakal yang suka minta amplop narasumber, ternyata ditiru juga oleh orang awam. Sebagai contoh yang terjadi di acara ulang tahun lembaga di bidang pendanaan ini.

Saat itu, yang datang ke acara itu bukan cuma petinggi pemerintah, melainkan juga pengusaha-pengusaha sukses. Di antara kerumunan orang yang datang, termasuk wartawan, ada seorang pria berbadan besar berjalan pelan-pelan di tengah ruang.

Pria itu mengenakan pakaian gelap. Melihat penampilannya, mengingatkan pada gaya ajudan bupati, gubernur, atau menteri.

Di pojokan, pria berambut klimis itu mendekati panitia, kebetulan waktu itu ada banyak wartawan di sana. “Bu, saya mau pamit,” katanya kepada panitia.

“Ya silahkan pak, kalo sudah selesai tugasnya,” kata panitia sambil memperhatikan daftar acara di kertas yang ia genggam.

Si pria berseragam mirip ajudan itu berkata lagi. “Yah, tapi kalau pergi kan bukan begini caranya bu. Saya ini mau pamit baik-baik, karena ada yang nunggu di luar sana. Mohon bu, kami meminta bagian kami.”

“Lah bagian apa ya pak,” kata panitia sambil mengira bapak itu sedang melucu. Soalnya, kalau diperhatikan tampangnya, tidak pantas pria itu meminta-minta seperti itu. Lama-lama, ibu itu jadi teringat ada wartawan amplop yang minta uang padanya tahun lalu.

Belum lagi si panitia bicara, si seragam menambahkan, “Tapi, ya paling enggak ada yang harus dibawalah bu, masa tangan kosong begini.”

Panitia menjawab, “Kalau mau pamit ya udah, silahkan pak. Silahkan pulang dan hati-hati di jalan.”

Si seragam menjawab, “Wah gak bisa bu. Saya ini mau pamit baik-baik loh. Tadi saya kan ikut juga membantu ibu.”

Karena tidak ditanggapi, si seragam itu sampai bilang kalau dia anggota intelijen. Tapi, itu tidak bisa dipercaya begitu saja. Karena semua petugas keamanan harusnya sudah pergi begitu acara selesai, tapi si seragam itu tetap bertahan.

“Yah pokoknya harus ada sesuatulah, seikhlasnya ibu saja berapa. Saya ini intel.”

Semua orang, khususnya wartawan menyaksikan perbincangan kedua orang itu. Tapi, tidak ikut campur tangan.

Tidak lama kemudian, entah karena panitia tidak mau ribut dengan pria itu, akhirnya si panitia memberikan kalender kepada si seragam. Barulah setelah itu, si seragam itu pergi.

Udah Dapat Berita, Dapat Amplop Juga

TIBA-TIBA, satu kelompok wartawan yang tengah bersantai di warung kopi, langsung terkejut. Karena salah satu wartawan di antaranya mendapat kiriman informasi via telepon mengenai adanya perampokan di kantor konsultan proyek.

Ini berita besar akhir pekan itu, maklmu selama beberapa pekan terakhir tidak ada berita mantap. Para wartawan bergegas mengambil sepeda motor lalu melesat ke tempat kejadian perkara.

Sampai di tempat kejadian perkara, mereka diterima oleh pegawai kantor. Mereka bercerita bahwa pelaku perampokan bercadar dan membawa senjata api. Setelah memperdaya korban, komplotan penjahat menggarong uang ratusan juta rupiah di brankas. Setelah itu kabur.

Setelah semua data yang dibutuhkan berhasil dihimpun, para wartawan hendak pamit kepada pengelola kantor konsultan. Tapi, belum juga berucap pamit, pengelola kantor memanggil salah satu wartawan yang usianya kelihatan lebih tua.

Ternyata, ia dipanggil untuk diminta mengarahkan teman-teman wartawan lainnya agar tulisan beritanya nanti tidak dimiring-miringkan alias diplintir-plintir sehingga.

Setelah itu, pengelola kantor yang jadi korban perampokan memberi uang kepada wartawan yang dipanggil tadi. Selain berpesan agar beritanya tidak diplintir, pengelola kantor minta agar uang ini dibagi-bagikan kepada wartawan lain.

Setelah keluar dari kantor konsultan, amanat uang dari pengelola kantor itu disampaikan oleh wartawan yang dipanggil tadi kepada sekitar delapan wartawan temannya.

Wartawan-wartawan yang liputan kasus perampokan itu kaget sekali. Sudah dapat berita besar, eh, ada rejeki nomplok lagi. Karena kegirangan, ada yang sampai teriak, asyik, asyik.

Di antara acara bagi-bagi uang, ada seorang wartawan yang terlambat datang. Begitu ia nimbrung dan mengetahui ada uang dari narasumber, ia menggerutu. Soalnya, ia tidak kebagian.

“Sialan. Seumur hidup gue baru tahu ada liputan perampokan dapat jalean (amplop) dari korban,” katanya.

“Kalau tahu ‘jelas’ (dapat amplop) begini, gue bakal datang paling awal, kalo bisa sebelum rampoknya dateng gue udah di TKP.”

Berkah Amplop Lebaran Ternyata Tak Datang

SUATU ketika, seorang petinggi gedung wakil rakyat menyelenggarakan acara buka puasa bersama di rumah dinas yang ia tinggali.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, banyak pejabat yang diundang. Mulai dari pejabat biasa sampai pejabat luar biasa di negeri ini datang ke sana. Makanan sangat berlimpah. Demikian pula minuman serta snack-nya. Kali itu, suasana buka puasa bagaikan pesta.

Selain pejabat beserta staf yang jumlahnya kira-kira mencapai 200 orang, terdapat pula sekelompok orang dengan tampang sangat capek. Mereka adalah wartawan.

Di dalam rumah, tamu-tamu kelas eksekutif sudah mulai menyantap makanan yang tersedia. Tetapi, di luar ruangan, ternyata semua makanan belum boleh disantap oleh tamu kelas bisnis dan ekonomi.

Tiba-tiba kegaduhan kecil terjadi ketika ada wartawan yang nekat mengambil es kelapa yang penyajiannya sudah menggoda sejak sore. Karena jumlahnya kalah banyak, petugas katering kemudian membiarkan mereka mengambil makanan dan minuman itu.

Suara gaduh yang timbul karena para wartawan yang haus dan lapar itu sedang makan, akhirnya terhenti, ketika tiba waktunya acara salat magrib bersama.

Usai shalat, acara selanjutnya adalah menyantap makanan berat. Lagi-lagi terjadi kegaduhan karena para wartawan terlambat untuk dipersilakan mengambil makanan.

Tak lama kemudian, acara makan-makan itu berakhir. Wartawan yang sudah datang sejak jam 16.00 WIB menunggu di salah satu sudut yang dijanjikan oleh koordinator lapangan alias semacam orang yang dituakan untuk mengurus kebutuhan wartawan. Wartawan-wartawan nakal itu sudah yakin, pasti sebentar lagi akan ada pencairan alias bagi-bagi amplop lebaran. Soalnya, mereka ingat kalau di tempat pejabat lain, pastinya momen semacam ini, selalu ada uangnya.

Namun apa lacur, 'berkah' yang ditunggu-tunggu wartawan nakal itu ternyata tidak pernah datang sampai acara bubar.

Kekesalan mereka bertambah besar manakala teringat tiga kali lebaran sebelumnya di rumah itu juga. Pemilik rumah dinas ini, tidak pernah mau membagi-bagikan berkah amplop.

Sambil bersungut-sungut, seorang wartawan nakal pun bernyanyi: tiga kali lebaran, tiga kali 'puasa.'

NB:

Akhirnya wartawan-wartawan itu mengambil hikmah dari kasus ini: Jangan mau diundang buka puasa oleh petinggi gedung dewan ini. Tidak pernah jelasssssssss!!!

Monday, August 9, 2010

“Kimak, Hanye Dua Puloh Ribu Jak, Ape Can”

DI SALAH SATU HOTEL di kota khatulistiwa berlangsung acara ramai. Waktu menunjukkan pukul 09.00 WIB. Tibe-tibe ade masuk SMS ke HP seorang wartawan muda. Isinya: ‘wak ade acara konpers soal gizi burok. Cepetlah wak merapat, dah mou mulai neh.’

Meluncurlah si wartawan muda ini ke hotel tak lama setelah terima SMS. Setelah sampai di hotel itu, ternyata wartawan sudah banyak yang datang, mulai yang tua sampai yang muda.

Saling pandang pun terjadi begitu wartawan muda masuk ke salah satu ruang, karena ade yang kenal maupun tidak. Soalnye orang neh jarang sekali kelihatan, terkecuali ade acare seminar alias acara ‘basah’ saja mereka datang. Selebihnya tak pernah.

Di sekitar wartawan muda, bisikan mulai terdengar, “wak...wak...ade rembang patinye (amplop) neh besak.” Make yang dengar bisikan pun mulai kegirangan. “Ahay. Muantap wak, kite bise peste malam neh.”

Tak lama setelah itu, seorang panita pun mulai menghampiri para wartawan. “Oke...kawan-kawan wartawan semuenye diharap isi buku tamu yeh. Soalnye nanti ade lah uang bantuan untuk bensin atau transport.”

Make para wartawan pun senyum-senyum gembiranya minta ampon. Sesudah isi buku tamu itu, make para wartawan pun mulai masuk ruang seminar soal gizi burok di salah satu daerah di Kalimantan Barat.

Maka acara pun dimulai sampai empat jam. Setelah acara selesai, maka panitiapun mulai memanggil para wartawan. “Bang..bang....ini loh...janji yangg saye omongankan tadi. Ini ade sedikit sumbangan dana bantuan untuk transport, jumlahnya ya adelah.”

Maka si wartawan itu tadi makin suke kegirangan. Suare tertawa keras pun terdengar. “Mantap wak.”

Setelah pembagian amplop itu tadi, maka para wartwan pun mulai membuka masing-masing amplop. Ade yang pura-pura ke toilet, ade pula yang membuka dalam tas mereka masing-masing.

Yang pergi ke toilet ternyata buru-buru sekali. Saking gak sabarnya, maka si amplop pun cepat-cepat dibuka di dalam toilet. Tapi, betapa terkejutnya salah satu wartawan tua itu, ternyata hanya ade uang sebesar Rp20.000.

Uangnya itu sudah sobek lagi kusam. Maka si wartawan itu pon teriak. “Kimak hanye dua puloh ribu jak, ape can.”

Lalu, iapun berlari menghampiri wartawan lainya. Setelah dicek ternyata emang berbeda. Wartawan lain, bahkan ade yang isi amplopnya Rp15.000. Bahkan ade yang Rp2.000.

Setelah itu si wartawan pun pada protes same panitie acare. “Ini tak bise neh. Ini gak sesuai. Same jak ngolok,” kata salah satu di antaranya.

“Emang kite ini ape,” kata wartawan lainnya.

Maka si wartawan pun berbondong-bondong protes ke panitie... Setelah di cari panitienye, ternyata sudah pada pulang. Semakin kecewalah para wartwan bodrek itu tadi.

“Ya udal wak, emang udah naseb dah dapat Rp2.000 jak. Cukoplah tuk beli bakwan,” celetuk kawan waratwan bodrek itu tadi.

Wajah sedih, lemah pun terpancar dari muka mereka itu tadi. “Dah lah yeh, bagos kite nyari agik yang lainye. Mungkin ade gak yang lebih besak rembang patinye.”

Melihat pemandangan itu, si wartawan muda hanya bisa geleng-geleng kepala saja. Tak habis pikir lihat wartawan bodrek itu tadi pada pusing tujuh keliling.

Keong Racun! Isi Amplop Cuma Rp5.000

PAGI-PAGI BUTA, seorang wartawan senior dikejutkan oleh dering telepon. Karena berkali-kali telepon itu berteriak, terpaksalah dia bangun, walau sebenarnya sangat malas.

Maklum, semalam dia begadang sehabis ikut judi bola. Capek masih terasakan sampai pagi hari. Sudah capek badan, capek juga hati, karena kalah judi banyak sekali.

Beberapa detik setelah ia menerima telepon, ia langsung bugar. Capek langsung hilang. Selidik punya selidiki, ternyata yang menelepon itu adalah temannya yang mengabarkan kalau ada panitia acara partai yang mengundang untuk liputan.

Tema acara salah satu partai papan menengah itu ialah Kebulatan Tekad Untuk Menuju Pilres 2014.

Wartawan senior ini senang sekali. Yang tadinya malas mandi, kini, ia cepat-cepat ambil handuk dan lari-lari kecil ke kamar mandi. Dalam pikirannya, gila, diundang secara khusus oleh panitia. Pasti jale-nya alias amplop alias 86-nya besar sekali.

Ia menghitung-hitung sambil mandi, jale yang akan diterima nanti siang paling sedikit tiga tiang atau dalam bahasa awamnya sebesar Rp300 ribu.

Sejam kemudian, temannya datang dengan sepeda motor. Lalu, cepat-cepat mereka meluncur ke kecamatan tempat berlangsungnya acara kampanye tadi sebagaimana undangan dari panitia partai.

Sampailah mereka di lapangan acara. Bagi, wartawan senior itu, membosankan sekali acara macam itu. Yang menghiburnya sampai akhir acara hanyalah tiga tiang yang bakal diterima.

Tiga jam setelah berpanas-panasan di lapangan, acara selesai. Wartawan senior dan temannya kucuk-kucuk datang ke panitia yang berada di dekat mobil. Ternyata yang datang bukan Cuma dua wartawan, tapi belasan wartawan.

Sesuai perkiraan, mereka dibagikan amplop. Tapi, untuk menerima jatah, mereka harus berbaris. Ada sekitar 90 orang dengan kalung kartu pers yang berderet-deret di depan panitia. Setelah berkeringat dan kulit merah karena panas, akhirnya dua wartawan itu dapat bagian.

Tidak lama setelah basa-basi dengan panitia dan bertanya kapan ada acara lagi, kedua wartawan itu langsung undur diri. Mereka segera cabut dari tempat kejadian perkara. Sepanjang jalan kedua wartawan itu bahagia bukan main.

Sesampainya di warung makan untuk mengisi perut, maklum perjalanan panjang, dua wartawan itu dengan malu-malu kucing membuka amplop. Sedetik kemudian, “Kacruuuuuuutt, keoooong racuuuuuuun.”

Mereka misuh-misuh. Sumpah serapah keluar. Kenapa kok begitu? Ternyata amplopnya isinya Cuma Rp5.000. Mereka langsung lemes dan tidak nafsu makan.

Si wartawan teman wartawan senior yang punya sepeda motor langsung mencoba menelpon panitia yang mengundangnya. Maksud hati untuk konfirmasi apakah benar isi amplop cuma goceng. Sialnya, mereka harus kecewa lagi. Telepon panitia ternyata tidak aktif.

Kecewa Berat Isi Amplop Cuma Rp10.000

DI SALAH satu perusahaan kelas menengah, siang itu, berlangsung acara public expose. Acara ini menghadirkan banyak sekali wartawan.

Di antara wartawan yang hadir, ada seorang wartawan muda yang baru datang. Di salah satu ruangan, tiba-tiba ia didatangi panitia yang kemudian meminta si wartawan muda ini ikut mengantri di sudut ruangan,, karena semua materi acara akan diberikan perusahaan lewat rilis.

Si wartawan muda bilang kepada panitia itu. Ia ingin meliput acara secara langsung sekaligus ingin mewawancara direksi perusahaan. Ia tidak ingin tulisannya nanti cuma tulisan biasa. Ia ingin mendapatkan liputan yang lebih bagus dan mendalam.

Tapi si panitia humas tidak begitu saja memberi izin kepada wartawan itu untuk masuk ke acara utama. Humas bilang, tetap mesti menggunakan prosedur. Jadilah akhirnya, si wartawan muda mengikuti pengarahan humas. Mengantri bersama wartawan lainnya.

Wartawan muda yang baru saja masuk ke liputan bidang pasar modal ini agak heran dengan sebagian besar wartawan yang berada di ruangan. Banyak yang sudah tua dan ubanan. Si wartawan muda ini juga tidak pernah melihat mereka sebelumnya.

Tiba-tiba salah satu wartawan tua yang seolah-olah ia adalah wartawan senior, bilang ke wartawan muda, “Enggak usahlah pakai acara wawancara, yang penting baris aja, nanti juga beres.

Si wartawan muda bertambah bingung. Mengantri. Ia perhatikan, lama-lama ruangan itu penuh sesak. Antrian terus memanjang ke belakang seperti kereta tambahan di hari lebaran.

Sejam kemudian, panitia humas muncul lagi. Ia membagi-bagikan rilis seperti janjinya. Tiba-tiba ada kehebohan begitu para wartawan menerima rilis. Ternyata, di dalam kertas rilis yang dilipat-lipat itu, terselip amplop.

Para wartawan tua tampak panik. Ada yang sampai menjerit lemas. Si wartawan muda penasaran. Kenapa setiap kali ia lihat wartawan tua itu selesai membuka lipatan rilis, mereka menjerit. Barulah ia tahu sebab musababnya. Pantas saja histeris, wong, isi amplopnya cuma dua lembar uang Rp5.000.

Di antara keinginan tertawa melihat reaksi para wartawan tua itu, si wartawan muda berpikir-pikir. Mungkin, panitia memang hanya membandrol satu wartawan Rp10.000. Soalnya, yang datang ke acara ini sangat banyak sekali. Mungkin di luar perkiraan perusahaan. Akhirnya, anggaran terpaksa dibagi-bagi rata.

Wartawan muda ini sendiri tadi tidak menyangka akan ada amplop di dalam rilis. Selanjutnya, ia tidak mau berlama-lama dan berpusing-pusing di dekat para wartawan tua itu, setelah mengembalikan amplop berisi uang itu, ia minta izin ke panitia untuk bertemu ke bagian direksi.

Sebelumnya, wartawan muda menjelaskan ke panitia kalau kedatangannya ke perusahaan ini bukan untuk cari uang, melainkan benar-benar untuk tugas jurnalistik.

Di belakang wartawan muda, ternyata para wartawan tua juga protes. Tapi, yang mereka protes soal adalah amplop yang isinya cuma dua lembar uang Rp5.000. Inti aspirasi mereka ialah agar isi amplop itu ditambah lagi.

Tak Didaftar Panitia, Misuh-misuh

HARI ITU merupakan puncak peringatan Hari Koperasi di daerah penghasil padi ini. Sebagian anggota masyarakat senang karena untuk pertama kalinya, perayaan macam ini diselenggarakan di daerahnya. Tentu saja para wartawan juga senang karena mendapat berita besar, mengingat tokoh yang hadirpun kelas nasional.

Di antara puluhan wartawan yang bergerombol di kursi bagian belakang, seorang wartawan muda terlihat gesit mewawancara narasumber. Setelah satu selesai, ganti wawancara narasumber yang lainnya. Dan seterusnya.

Pada pukul 14.00 WIB, acara peringatan Hari Koperasi bubar. Sebagian wartawan yang tadi santai di kursi belakang, tiba-tiba sibuk. Bukan sibuk mengejar narasumber, melainkan sibuk mencari panitia acara. Ke sana ke mari.

Nah, giliran si wartawan muda yang santai. Soalnya, ia sudah punya data banyak sekali. Ia juga bukan wartawan amplop. Ia cuek saja dengan teman-temannya yang mendadak super sibuk itu. Ia langsung pergi dari tempat kejadian perkara untuk mengetik berita.

Dua jam kemudian, seorang temannya datang. Nampaknya si teman yang tadi juga ikut acara peringatan Koperasi itu sedang tidak bahagia. “Asu, kirik.”

Entah kenapa, ia misuh-misuh. Pada waktu baru turun dari sepeda motor, ia langsung menendang sepeda motornya hingga nyaris terguling.

“Kurang akar tuh panitia. Masa namaku enggak dicantumin. Kamu dapat berapa?” katanya kepada si wartawan muda.

“Dapat berapa apanya?” jawab si wartawan muda. Dalam hati, ia berkata, oh ternyata persoalannya seputar amplop sehingga ia misuh-misuh seperti itu.

Teman wartawan yang baru datang tadi terus saja mengamuk. Ia menggerutu tak habis-habisnya. Ia merasa baru saja mendapatkan ketidakadilan.

“Yang dihitung panitia kok wartawan-wartawan yang enggak jelas (alias bodrek). Lha yang kaya kita kok engga dicantumin.”

Karena wartawan muda tidak terlalu peduli dengan amplop-amplopan. Ia hanya tertawa keras-keras.

“Elu sih, minta amplopnya kurang galak,” ledek wartawan muda sambil terus tertawa. “Lain kali, elu tempel terus tuh panitia, tempel sampai rumahnya kalau perlu, sampai cair.”



Thursday, August 5, 2010

Ingin Konfirmasi, Eh Diperiksa

INI cerita seorang wartawan muda di Kalimantan Barat. Biar lebih mantap. Biarkanlah si wartawan ini bercerita sendiri dengan tuturnya. Nah, begini ia bercerita.

Saye dapat info dari kawanku seorang. Die bilang ke saye, ade penangkapan kayu pek di Polsek Ambawang. Maka saye pun bergegas meluncur ke TKP.

Begitu semangat saye dapat info itu, karena sudah lama juga saye tak dapat taruna besar.

Begitu sampai di Polsek Ambawang, saye langsung diterima yang piket. Maka saye pun langung disalami. Sesudah disalami, saya langsung dibawa ke ruangan penyidik.

Lalu si penyidik meminta KTP saya. Lalu saya berikan ke die. Begitu dia mengotak-atik KTP saye.

Sesudah mengotak-atik KTP dan mulai membuat laporan, lalu ia bertanya ke saye. “O iya, bapak ini mau laporan tentang apa yah???”

Lalu saya pun menjawab, “pak, saye neh nak konfirmasi soal penangkapan kayu yang ditangkap Polsek Ambawang.”

Lalu si penyidik pun merengut wajahnya sambil berkata, “Eh, eh, eh, jadi bapak ini wartawan yah???”

Lalu saye pun tersenyum. “Kan dari tadi saya mau bilang ke bapak, saye neh mau konfirmasi soal penanggkapan kayu.”

Bapaknya, lalu menarik tangan saye ke ruang penyidik. Ya saye turut jak.

Begitu semangat saye dapat info itu, karena sudah lama juga saye tak dapat taruna besar.

Setelah itu, si penyidik bingung. “Aduh mohon maaf yah, kirain warga.”

Kata saye, “Iya pak, sayepun emang warga negara Indonesia yang baik.”

Lalu setelah itu, saye pun keluar dari ruangan penyidik. Lalu iapun bercerita soal penangkapan kayu itu.

Tapi setelah selesai cerita, si penyidik bilang, “eh bang, jangan naikin dulu yah, aku takut sama komandan.”

Lalu si penyidik bilang lagi, “Besok saja ya bang konfirmasinya, saye tak berani, soalnya itu kewenangan komandan.”

Indahnya Berbagi Jale

RAMAI betul di stadion olah raga di kota industri itu di pagi bulan Mei. Ternyata, berlangsung acara Puncak Hari Keluarga Nasional. Pantas saja ramai, di sana ada Gubernur datang.

Di antara keramaian pengunjung, tepatnya di dekat pintu masuk, ada kesibukan tersendiri. Di sanalah para wartawan yang meliput acara berkumpul.

Para wartawan mengikuti acara konferensi pers yang diadakan panitia acara perayaan. Ada sepuluh wartawan yang tanda tangan di tabel kehadiran.

Acara konferensi pers selesai. Tidak lama setelah Gubernur selesai bicara, acara besar itupun disudahi.

Tibalah waktunya yang ditunggu para wartawan nakal alias wartawan yang suka mencari amplop dari acara-acara yang dikenal basah macam ini. Pembagian amplop.

Kesepuluh wartawan yang tanda tangan di tabel kehadiran tadi sudah duduk rapi di dekat pintu, dimana ruangan di balik pintu itu tempat panitia bekerja.

Begitu panitia keluar ruangan untuk menemui para pewarta, ternyata di luar sudah ada 33 wartawan menunggu. Namun, panitia tetap konsisten, pada acara pembagian amplop, mereka hanya menyerahkan kepada sepuluh wartawan. Itupun, lewat koordinatornya agar tidak sampai terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Misalnya ribut. Tak lama kemudian, sesi jale ini selesai. Panitia pun angkat kaki.

Tapi, sepuluh wartawan yang mendapat amplop tadi ternyata merasa tidak enak hati dengan wartawan lainnya yang juga teman sendiri yang tidak kebagian. Lalu setelah keluar dari GOR, digelarlah rapat mendadak di rerumputan samping GOR. Tujuannya untuk membagi hasil pemberian panitia tadi.

Tidak lama kemudian, tercapai kesepakatan, semua wartawan mendapatkan jatah yang tentu saja nilainya kecil-kecil.

“Judulnya, indahnya berbagi jale (amplop), bang,” ujar salah satu wartawan koran.

Polantas Pun Di-86-Kan

PAGI-PAGI wartawan sudah nongkrong di warung kopi. Setelah menyantap secangkir kopi, empat wartawan inipun berembug. Tujuannya tak lain ingin mencari sasaran yang bisa memberi uang amplop.

Setelah bincang-bincang, lantas mereka akhirnya sepakat akan menemui seorang kontraktor bermasalah di daerah itu. Kejadian ini berlangsung di salah satu kota di Sumatera Utara.

Setelah sepakat, mereka pun menuju ke salah satu desa, dimana rumah kontraktor itu berada. Mereka menggunakan mobil Carry milik salah satu wartawan media lokal terkemuka di Sumut.

Dari kejauhan terlihat mobil anggota Polantas parkir di tepi jalan. Sejumlah polisi sibuk menurunkan plang tanda ada razia. Mobil milik wartawan inipun semakin mendekat ke Polantas itu.

Tak lama, salah satu polisi menyetop mobil wartawan itu. Sesuai standar polisi, kendaraan yang lewat dan mencurigakan akan diberhentikan.

"Selamat pagi," kata polisi itu sambil hormat.

Namun, saat itu kaca mobil gelap dan belum dibuka. Lantas, polisi ketuk kaca, agar dibuka.

Begitu kaca dibuka dan polisi menyadari bahwa wartawan yang ada di dalam mobil itu, lantas, anggota polisi itupun berucap, "Ya Allah, kalian pulak.” Tangan kanan polisi itupun memukul jidadnya sendiri.

Wartawan yang di dalam mobil cengengesan.

Polisi bilang, "Haram mampus baru inilah mobil yang kami stop. Rupanya kalian pulak," kata polisi itu sambil santai.

Wartawan menjawab, "Isikan minyak kamilah."

"Pergilah kalian dulu, nanti pulangnya singgah kemari," kata polisi itu setelah kena rayu wartawan.

***

Begitu kembali lagi setelah sasaran kontraktor tak berhasil ditemui, rupanya oknum Polantas tadi sudah cabut dari lokasi razia itu.

Karena sudah menjadi kebiasaan, kalaupun sudah tidak berada di tempat, akan disusul ke markas oknum Polantas tadi.

Akhirnya tibalah mereka di markas polisi. Di sana ada polisi jaga lagi piket. " Eh bang, mau ketemu komandan ya," kata polisi piket.

Wartawan menjawab," Iya, mana komandanmu."

"Lagi istirahat, ini bang, ada titipan untuk empat orang," kata polisi piket sambil menyerahkan amplop, tentu saja pada wartawan nakal itu.

Wartawan pun senang." OK, makasi yo, besok di mana lagi kalian razia," celetuk wartawan sambil tertawa.

Uang atau Amplop

TAHUN 2000 silam, seorang petinggi polisi yang mengurus soal lalu lintas menggelar acara konferensi pers. Yang datang ke acara yang dikenal di kalangan wartawan sebagai wilayah basah ini banyak sekali. Ada wartawan resmi anti amplop maupun semi amplop serta ada pula wartawan bodrek.

Nah, usai acara konferensi pers, ada wartawan muda dari sebuah majalah yang minta waktu kepada petinggi polisi itu untuk wawancara ekseklusif.

Setelah wawancara selesai, petinggi polisi yang sepanjang acara tadi nampak berbunga-bunga itu meminta wartawan muda dihadapannya jangan pergi dulu. Soalnya ada sesuatu yang harus diselesaikan secara adat di tempat itu juga.

Si wartawan muda pun menunggu. Rupanya, petinggi itu ingin memberikan kartu nama. Tapi, ternyata bukan Cuma kartu nama saja. Ia juga menyodorkan amplop kepada wartawan.

Terus, si wartawan muda bereaksi. “Terima kasih pak ini saya terima (kartu nama), tapi amplopnya tidak.”

Petinggi polisi yang nampaknya tidak biasa bertemu wartawan yang bisa mengatakan menolak amplop itu agak kaget dan nyaris berteriak kecil. Tapi, ia langsung menguasai medan.

Ia menarik amplop lagi, lalu membuka, lalu mengambil uang kertas yang berlembar-lembar itu. “Oh ya sudah, amplopnya saya ambil lagi kalau begitu, dik,” kata petinggi polisi itu sambil menyodorkan segepok uang itu kepada wartawanmuda secara telanjang.

Wartawan muda ini nyaris menjerit juga. Ia langsung buru-buru pergi, tanpa mau menerima uang itu. Tidak lama setelah kepergian wartawan muda, beberapa wartawan lain yang menyaksikan kejadian itu, langsung mendekati si petinggi polisi.