Saturday, October 30, 2010

Wartawan Amplop dan Bos Media

SEORANG wartawan senior bicara menggebu-gebu di sebuah warung kopi. Katanya, jika saja semua perusahaan media mengupah secara layak jurnalisnya, maka hal ini bisa mencegah wartawan menerima atau meminta amplop. Bahkan, bisa mengantisipasi mereka agar tidak nyambi jadi makelar kasus.

Wartawan yang menerima suap, amplop, makelar kasus, ataupun hal-hal yang diharamkan oleh kode etik profesi wartawan, pemicu utamanya ialah rendahnya upah yang mereka terima dari perusahaan, ujar si senior itu.

Ia semangat sekali bicara soal upah layak bagi para jurnalis. Bahkan, ia menyebutkan satu persatu media yang upahnya layak, kurang layak, tidak layak, sampai media yang tidak mengupah wartawannya sama sekali. Wartawan yang tidak diupah oleh kantornya, biasanya disuruh cari iklan, jual koran, atau cari uang dari narasumber.

Setelah si senior selesai bicara, temannya gantian bicara. Sepertinya ia tidak puas dengan apa-apa yang disampaikan oleh si senior. Menurutnya, menyoroti masalah kewartawanan harus lebih luas lagi.

Apakah kalau kemudian semua wartawan diberi upah layak, terus hal itu dapat menjamin mereka tidak melakukan pelanggaran kode etik lagi? Kenapa kode etik seolah-olah hanya menyoroti wartawan di lapangan?

Ia menyontohkan, bos media tempatnya bekerja. Bosnya bergaji besar. Tapi, masih saja cari proyek dengan memanfaatkan pengaruhnya sebagai wartawan, memanfaatkan medianya.

Lalu, si bos media yang juga wartawan itu ternyata punya semacam kesetiaaan khusus dengan pemodalnya. Yaitu, media ini tidak akan mengutak-atik kasus-kasus yang dilakukan pemodal, seburuk apapun, sepenting apapun.

Kalaupun suatu hari menulis kasus (karena media menulis terus di halaman utama) yang menjerat pemodal, tentu saja bos media ini memerintahkan awak redaksi agar menulis secara sopan atau berusaha mengangkat dari sisi baik dari perusahaan saja. Kalau perlu, data-data kasus yang menjerat sang pemodal tidak usah dituliskan. Bagaimana?

Beberapa wartawan yang sedang duduk-duduk di warung kopi terdiam ketika mendengar statement itu, terutama si wartawan senior tadi. Agaknya, si senior masih butuh perenungan untuk menjawabnya dengan baik.

Thursday, October 28, 2010

Korlap 86 Bosan di Kelas Amplop

SUDAH bosan di kelas amplop karena tidak ada tantangan lagi, wartawan senior ini pun beralih kelas. Ia menjadi semacam jembatan antara pejabat A dengan pejabat B.

Konon, si pewarta senior ini pernah sukses membantu melancarkan pengadaan anggaran untuk salah satu proyek vital.

Caranya, dia membantu mempertemukan pejabat daerah yang punya gawe itu dengan pejabat pusat untuk membicarakan pos anggaran yang ingin diamankan.

Pejabat pusat itu ditemui agar ikut membantu memback up nilai anggaran agar tidak diubah-ubah, apalagi dikurangi. Setelah hitung-hitung keuntungan, ditambah lagi orang yang menjadi jembatan pertemuan rahasia ini adalah wartawan yang selama ini dekat dengannya, akhirnya pejabat ini pun siap sedia mendukung rencana pengamanan.

Nah, ketika semuanya berjalan sukses dan nilai pos yang diamankan itu benar-benar tidak diutak-utik saat pengesahan anggaran, semuanya tersenyum. Semuanya dapat keuntungan.
Tentu saja si wartawan senior nakal ini kebagian rezeki yang berlimpah.

Tuesday, October 26, 2010

Rebutan Amplop Di Bawah Panggung

INI cerita yang tersisa dari musim kampanye lalu. Dimana pada waktu itu, salah satu partai menggelar kampanye hebat-hebatan di daerah yang selama ini menuntut kesejahteraan ekonomi.

Kampanye benar-benar meriah. Ada musik, ada puji-pijian, ada yel-yel segala. Semua orang tampak tabah walaupun lokasi tempat kampanye itu sangat panas. Sekitar tiga jam kampanye berlangsung.

Singkat cerita, usai gelar kampanye, sekelompok belasan orang yang mengenakan kartu pers berkumpul di bawah panggung yang tadi digunakan untuk joget dangdut.

Seru sekali di bawah panggung itu. Sepertinya lebih seru dari acara kampanye itu sendiri. Selidik punya selidik, ternyata para wartawan tengah rebutan amplop dengan panitia humas.

Benar-benar rebutan. Tak terkendali. Semua orang merangsek ke panitia. Security yang mengamankan kampanye sampai merapat untuk mengendalikan suasana.

Security berusaha mengamankan panitia yang dikerubuti wartawan. Karena security ingin melindungi bos panitia dari amuk masa, ia langsung merangsek ke dalam kerumunan. Seperti banteng.

Saking kuatnya tenaga security, sebagian wartawan yang rebutan amplop sampai terjengkang ke segala arah. Akhirnya, aksi security ini berhasil menghentikan uyel-uyelan di bawah panggung.

Ending sumpah serapah pun keluar dari orang-orang yang terlempar setelah kena seruduk.

Monday, October 25, 2010

Bos Media Sumringah Terima Oleh-oleh

ADA salah satu petinggi media yang selalu berteriak-teriak kepada para wartawan untuk selalu meningkatkan citra media. Kesannya, bos ini sangatlah idealis. Menjunjung tinggi kode etik jurnalistik dan lain sebagainya.

Para wartawan di redaksi media pada awalnya sangat segan kepadanya. Mereka berpikir, inilah sosok wartawan ‘sejati’ yang patut jadi cermin. Seorang senior.

Belakangan, kantor redaksi silih berganti kedatangan orang. Pengamat, pejabat, pengusaha, dan lain sebagainya, datang untuk kepentingan masing-masing.

Salah satunya yang menarik terjadi di musim penghujan itu. Datanglah beberapa orang ke kantor redaksi. Ternyata, orang-orang ini datang dari salah satu perusahaan swasta.

Mereka datang untuk silaturahmi sekaligus mempromosikan produk. Mungkin, persahabatan semacam itu juga merupakan strategi cantik perusahaan agar jika kelak mereka kena bermasalah, media ini tidak terlalu banyak mengungkit-ungkitnya.

Usai, ngobrol dan cekakak-cekikik di salah satu ruangan, tamu-tamu itu pamit. Sambil salaman dengan salah satu bos media itu, salah seorang yang kemungkinan besar adalah marketing menyerahkan bungkusan mirip kado seukuran televisi 14 inchi.

Di salah satu kado itu, ada tulisan nama produk-nya. Sumringah betul petinggi media itu setelah menerimanya oleh-oleh. Setelah mengantar tamu keluar pintu, dia buru-buru menyembunyikan kado ke bawah meja kerja.

Para wartawan yang menyaksikan pemandangan itu cuma bisa saling pandang sambil bisik-bisik. “Apa bedanya amplop yang diterima wartawan di lapangan dengan oleh-oleh yang diterima buat bos kita ini yak.”

Kejadian semacam itu di kantor redaksi ternyata tidak hanya sekali itu terjadi.

Saturday, October 23, 2010

Obat Bodrex dan Wartawan Bodrex

SEORANG wartawan resmi yang selalu mengaku idealis protes keras dengan istilah bodrex (atau kadang-kadang ditulis bodrek) untuk menyebut orang yang mengaku wartawan untuk memeras narasumber.

Katanya, bodrex ialah obat yang bisa meringankan gejala sakit kepala, sakit gigi, dan menurunkan demam. Itu tuh, yang memakai Dede Yusuf yang sekarang jadi Wakil Gubernur Jawa Barat sebagai bintang iklannya.

Sementara bodrex yang satu ini, bikin pejabat negara, pengusaha, guru dan anggota masyarakat lainnya pusing tujuh keliling. Bukan cuma menimbulkan sakit kepala, tapi juga membikin asam urat kumat. Dan tentu saja, bisa membuat nama baik wartawan-wartawan resmi menjadi tercoreng.

Lagi pula, katanya, kalau sering-sering menyebut nama bodrex, sama juga seperti mempromosikan obat yang diproduksi oleh PT Tempo Scan Pacific ini secara gratis.

Menurut wartawan yang protes dengan sebutan wartawan bodrex itu, lebih tepat kalau mereka dinamai wartawan gadungan saja.

NB: terus apa dong sebutan bagi wartawan resmi, baik yang di lapangan maupaun di redaksi, yang punya perilaku seperti wartawan bodrek itu?

Humas Stres Berat Didatangi 30 Wartawan

BARU-BARU ini, salah satu perusahaan swasta menyelenggarakan pesta ulang tahun ke 10. Banyak tamu yang hadir, baik dari pemerintahan, legislatif, pengusaha, bahkan jumlah wartawan yang datang tak kalah banyak dengan jumlah tamu.

Acara hari jadi perusahaan swasta ini berjalan lancar. Makanan enak, doorprize menarik, live music, semua menjadi hiburan tersendiri bagi yang hadir di acara ini.

Usai acara, petugas hubungan masyarakat perusahaan pusing tujuh keliling, padahal harusnya sumringah karena acara berjalan lancar. Mengapa pusing? Di depan ruang humas, ternyata ditongkrongi banyak orang yang mengaku wartawan. Tidak tanggung-tanggung, jumlah mereka mencapai sekitar 30 orang.

Petugas humas sampai keringetan. Padahal, waktu itu, panitia hanya mengundang lima wartawan dari media yang mereka anggap bagus untuk pencitraan bisnis.

Puluhan wartawan itu nampak agak kesal karena mereka ditanya-tanya panitia mengenai bagaimana mereka bisa tahu ada acara ini, padahal tidak diundang. Ada yang bilang, mengatahui informasi acara ulang tahun ini dari spanduk di depan gedung.

Setelah bicara bicara bicara bicara, petugas humas mengerti alasan meliput acara ini memang menjadi hak wartawan. Tapi, yang membuat petugas humas stres berat ialah karena para wartawan itu minta uang transportasi atau amplop.

Semula petugas tidak mau meluluskan permintaan itu. Tapi, melihat gelagat orang-orang yang mengarah ke anarkis, akhirnya petugas humas mengalah. Mereka kemudian membagikan uang kepada satu persatu wartawan.

Setelah pembagian selesai, puluhan wartawan itu pergi.

Amplop Bikin Persahabatan Dua Korlap Retak

DI salah satu lembaga pilar pemerintahan, ada dua wartawan, si A dan si B, yang sangat klop. Maksudnya, klop dalam hal mencari ide untuk mendapatkan amplop dari narasumber.

Suatu hari, si A bertemu dengan wartawan C. Ternyata si C ini termasuk rajanya amplop juga di kalangan pers. Banyak ide dan banyak suksesnya. Makanya, si A sangat-sangat klop dengan si C ini. (Kalau dengan si B, sangatnya klopnya cuma sekali).

Akhirnya, si A dan si C sering jalan bareng untuk mencari amplop atau proyek dari narasumber. Sejak itu, A dan B jadi makin jarang ketemu dan jarang berduet lagi.

Karena merasa ditinggal mencari jale, 86, atau amplop, terus oleh A dan C, lama-lama si pun B menjadi uring-uringan. Ia menjadi kesal bukan main.

Saking tidak tahan menahan kegundahan hati, si B pun curhat. Dia menuliskan isi hatinya di status Blackberry Messenger dan status Facebook-nya.

“PERSAHABATAN YANG TELAH LAMA TERJALIN, TERNYATA DAPAT DIBELI OLEH AMPLOP"

Maksudnya, ternyata amplop pun bisa membikin hubungan pertemanan retak.

Korlap Amplop Curhat di FB

BELAKANGAN ini, wartawan yang biasa menjadi koordinator acara-acara ‘basah’ alias yang ada jatah amplopnya ini kerap kali terlihat mengeluh.

Bahkan, korlap senior ini sampai menumpahkan isi hatinya lewat status facebook dengan huruf kapital semua. “DISKRIMINATIF BETUL, SIH.”

Fenomena ini benar-benar tidak biasa. Hal ini menarik perhatian salah satu temannya. Karena selama ini si korlap tidak pernah bersikap demikian. Teman yang penasaran itu pun mencari tahu sebab musabab yang membuat si senior ini gundah gulana.

Usut punya usut, perubahan perilaku yang terjadi pada wartawan senior ini ternyata dipicu oleh amplop. Tepatnya, nilai jatah amplop yang dari panitia suatu acara.

Korlap ini merasa panitia di salah satu lembaga yang selama ini sering dia liput, tidak adil terhadap kelompoknya. Yaitu wartawan cetak.

Dia tidak bisa terima begitu saja kalau wartawan cetak kelompoknya hanya dijatah amplop yang isinya Rp50 ribu. Sementara wartawan elektronik Rp100 ribu.

Menurutnya, harusnya semua wartawan mendapatkan hak yang sama rata. Karena semua yang hadir ikut mempublikasikan acara yang diselenggarakan panitia itu.

“KOK SEKARANG DIBIKIN JARAK SEPERTI INI ANTARA SESAMA WARTAWAN.” Begitu statusnya di FB di lain hari.

Seperti halnya status-status FB sebelumnya, status yang terakhir ini juga mendapat reaksi yang cukup heboh dari para wartawan teman-teman si korlap. Komentar saling bersahutan. Ada yang bercanda, tapi ada juga yang serius. Intinya, mereka tidak terima kalau sampai jatah antar media dibeda-bedakan.

Wartawan Nakal & Kandang Kerbau

KONON, ada seorang wartawan di salah satu daerah yang nakal sekali. Dia jadi konsultan korban kasus.

Begini ceritanya. Tepatnya kasus ini terjadi di musim penghujan tahun lalu. Waktu itu, terjadilah kasus yang menimpa salah satu keluarga di daerah itu. Perkara ini membuat keluarga ini benar-benar tak berdaya. Dia tak punya pilihan lain selain memberikan sejumlah uang kepada oknum yang mengaku bisa mengamankan kasusnya.

Uang yang diserahkan keluarga itu jumlahnya besar sekali, sampai-sampai mereka harus menjual rumah segala. Benar-benar membikinnya makin jatuh miskin.

Nah, saat kasus ini masih hangat, ada seorang wartawan yang mengetahuinya. Mungkin pada waktu itu si wartawan ini iba melihat kondisi ibu itu sekaligus dia menangkap ada kesempatan yang bisa dimanfaatkan untuk mengeruk keuntungan pribadi.

Si wartawan ini memberi saran kepada keluarga itu. Dia menawarkan skenario yang bertujuan untuk menarik simpati publik dan tentu saja untuk mendapatkan keuntungan lain lagi. Keluarga ini harus tinggal di kandang kerbau. Lalu diliput. Dengan begitu, masyarakat akan iba melihatnya nongol di media.

Keluarga yang sedang terjepit ini pun menuruti saja saran itu. Mereka bermalam di kandang kerbau. Dan si wartawan pun meliputnya.

Tidak lama kemudian, peristiwa ini nongol di media. Dalam sekejab, menjadi berita besar. Ada keluarga yang tinggal berbulan-bulan bersama hewan piaraan karena uangnya habis setelah diperas oknum.

Efek berita itu ternyata ampuh. Ada gambar, ada artikel, segala sisi diungkapkan. Benar-benar membuat khalayak ramai teraduk-aduk emosi ibanya. ternyata strategi itu berhasil.

Tak lama kemudian, banyak orang yang menghubungi kantor pemberitaan tempat si wartawan bekerja. Umumnya, mereka minta informasi dimana keluarga itu tinggal. Mereka merasa kasihan. Ingin membantu.

Beberapa hari kemudian, tokoh masyarakat, pengusaha, sampai pejabat secara bergilir menjenguk keluarga itu. Tiap kali orang-orang datang untuk menyumbang uang, keluarga itu segera ke kandang. Tapi, begitu orang-orang pergi, mereka masuk rumah lagi. Pokoknya, sesuai saran si wartawan tadi.

Usut punya usut, uang yang terkumpul dari sumbangan pun banyak sekali. Kalau ditotal-total, jumlahnya melebihi uang yang pernah diserahkan ke oknum yang membikinnya jatuh miskin. Bahkan, belakangan, ada pejabat yang sampai membelikan keluarga itu rumah.

Usut punya usut, ternyata wartawan yang tadi memberi ide juga kebagian rejeki nomplok itu. Karena memang inilah yang diimpikan si wartawan nakal.

Tidak ada yang tahu akal-akalan ini. Tapi, berita tentang keluarga yang di kandang kerbau tadi terus meluas, bahkan sampai berhari-hari menjadi berita utama.

Friday, October 22, 2010

Dulu Tolak Amplop, Sekarang Bagi-bagi Amplop

SELAMA jadi wartawan di lapangan, cewek satu ini dikenal oleh teman-temannya selalu tidak mau terima amplop dari narasumber. Karena menurutnya, hadiah apapun dari narasumber itu tidak boleh diterima karena bisa membuatnya tidak bebas sebagai jurnalis.

Kadang-kadang, narasumber sampai menitipkan amplop lewat teman-temannya, tapi cewek ini tetap saja tidak mau terima. Dan terkadang, ia sampai mengembalikan sendiri hadiah itu ke humas panitia acara yang pernah mengundangnya.

Dia sangat menjaga reputasi sebagai wartawan di lapangan. Menerima hadiah dari narasumber, berarti mengurangi harga dirinya, kira-kira begitu.

Beberapa tahun kemudian, dia keluar dari media massa tempatnya bekerja. Dia pindah kerja ke bagian hubungan masyarakat / public relation di salah satu company.

Karena perusahaannya tempat bekerja si cewek ini bergerak di bidang layanan publik, jadi hampir setiap bulan menyelenggarakan konferensi pers untuk mengumumkan pencapaian layanan atau peluncuran layanan baru.

Bulan itu adalah bulan pertama dimana cewek yang sekarang jadi public relation perusahaan ini harus mengundang para wartawan agar meliput konferensi pers.

Dia stres. Apa yang membuatnya pusing tujuh keliling? Soalnya, sekarang dia harus mendata wartawan dan tentu saja menyiapkan anggaran untuk mereka.

Anggaran ini nantinya diperuntukkan untuk kebutuhan pengadaan souvenir yang akan dibagi-bagikan kepada wartawan. Atau bisa untuk anggaran amplop.

Nah, kalau dulu cewek ini selalu menolak pembagian amplop, sekarang dia mau tidak mau dia harus mengurusi amplop. Bahkan, dialah yang bertugas membagi-bagikannya.

Thursday, October 21, 2010

Korlap 86 Pusing Ditagih Korlap2 Lainnya

DI salah satu warung kopi kota industri, tempat biasa para wartawan nongkrong, bertemulah dua wartawan. Wartawan cetak bernama A dan wartawan elektronik bernama B. Mereka sudah lama tak berjumpa.

“Apa kabar bro,” kata si A.

“Baik selalu,” jawab si B.

Si A menambahkan, “Sepertinya ente kurang sehat,”

“Iya sih,” ujar si B.

“Gue lagi didera banyak problem ni. Beraaat,” ujar si B lagi.

“Ah, ente. Bisa saja kalau mendramatisir masalah, kayak bikin berita saja,” kata si A sambil tertawa ngakak.

“Ya ampun, lu enggak percayaan amat sih,” kata si B dengan wajah susah.

“Beneran ye. Kalau gitu tenang bro. berdoa dan bersabar, pasti ada jalan keluarnya,” ucap si A. “Percaya deh.”

“Nah, kalau perlu ente istirahat atau cuti beberapa hari gitu, pasti lega deh. Gue sudah membuktikannya coy. Hayo, cepet izin cuti ke kantor ente,” saran si A.

Si B mendengarkan saja saran si B. Wajahnya makin terlihat susah saja.

Si A bicara lagi. “Tapi, Ngomong-ngomong, sebenarnya apa yang bikin ente susah sih.”

Setelah itu, si wartawan B minta wartawan A mendengarkan persoalan yang membikinnya stres setengah mati. Tapi, sebelum curhat, dia minta si A benar-benar merahasiakannya.

“Gini bro, temen-temen tadi pada nagih jatah (amplop) ke gue. Ternyata, kemarin, mereka konfirmasi ke panitia acara konferensi pers. Dari situ, teman-teman tahu kalau amplopnya di gue semua. Mana udah gue pakai semua lagi.”

Si wartawan A cuma bisa mengelus dada.

Monday, October 18, 2010

Amanah Pak Lurah Kecewakan Korlap 86

LIMA orang wartawan datang bersamaan ke kantor kelurahan, siang itu. Mereka ingin konfirmasi terkait dampak proyek pengelolaan sampah yang tidak bagus bagi kesehatan penduduk di sekitarnya.

Tak lama kemudian, mereka pun sampai tempat kejadian perkara. Karena wartawan yang datang banyak, pegawai kelurahan langsung mempertemukan dengan pak lurah.

Karena judulnya cuma konfirmasi, maka jalannya wawancara itu tidak berlangsung lama. Selesai wawancara, mereka pamit. Lalu, satu persatu keluar dari kantor lurah.

Sampai di tempat parkir, ternyata salah satu wartawan masih di dalam kantor lurah. Teman-temannya mengiranya karena masih ada sesuatu yang perlu diperjelas. Mungkin jawaban lurah masih kurang, sehingga dia minta keterangan lagi.

Tapi, rasanya kok mustahil si wartawan itu sebegitu rincinya minta jawaban dari pak lurah. Karena biasanya, dia tidak pernah mau bertanya ke narasumber. Menelan mentah-mentah apapun yang disampaikan narasumber.

Tidak lama kemudian, si wartawan itu keluar. Wajahnya yang tadi kelelahan, sekarang tampak begitu cerah dan sumringah. Jalannya pun tegap.

Kemudian, lima wartawan ini pun pergi dengan mengendarai sepeda motor. Sekitar dua ratus meter dari kantor lurah, wartawan yang tadi terlambat keluar ruangan kantor lurah tiba-tiba berteriak dan mengajak teman-teman lain berhenti.

Setelah berhenti. “Coy, ada ni titipan. Ini buat dibagi-bagi, kata pak lurah tadi.”

“Wah, mantap banget lu. Gak nyangka lu pinter juga,” sahut temannya.

Tanpa panjang kata, si wartawan itu langsung mengeluarkan satu amplop di hadapan teman-temannya. Ia pun dengan penuh kebanggaan menyobek.

Tiba-tiba, wartawan yang mendapat amanah dari pak lurah menjerit. Disusul wartawan lainnya berteriak. Lainnya lagi histeris.

“Gila, isinya Rp10 ribu.”

“Kacau nih pak lurah, segini suruh bagi-bagi.”

“Ayo balikin sajalah.”

“Ayo, ayo.”

Sunday, October 17, 2010

Amplop Senior Dipotong 99,9 %

DI salah satu departemen, ada seorang wartawan senior yang gemar mencari amplop. Suatu Senin, ia mengajak dua wartawan yang baru liputan di pos itu kumpul di kantin. Sambil makan nasi rawon, mas pewarta senior tiba-tiba pamer.

"Coy, tadi gua dapat titipan dari abang kita," katanya.

"Mantap nih mas, waaah kebetulan banget," kata wartawan lain yang lebih yunior.

Selesai makan, si senior mengeluarkan amplop. Lalu ia memperhatikan amplop sebentar. Lalu, "Nih bagianmu."

"Makasih mas."

Kemudian si senior menyerahkan amplop ke wartawan muda lainnya. "Nih coy."

Si wartawan muda wajahnya agak kemerahan. Malu. Setelah menyimpan amplop, ia tersenyum sendiri sambil melengos.

Setelah acara seremonial yang diselenggarakan oleh wartawan senior itu selesai, mereka pun bubar.

***

Sore harinya, dua wartawan yunior itu misuh-misuh sesampai di warung yang biasa dijadikan basecamp wartawan. "Monyet juga tuh orang, amplop kosong dikasih orang."

"Besok kita gantian kerjain ajalah. Mentang-mentang kita masih baru di pos itu, dikerjain. Sial."

"Gue pikir isinya mantap."

***

Tibalah waktunya pembalasan. Kebetulan sebulan setelah bulan puasa, ada acara konferensi pers yang diadakan oleh pejabat baru. Nah, kebetulan pada saat itu, si senior datang terlambat karena dapat tugas lain dari redaksi. Dia baru datang setelah acara sudah bubar.

Dua wartawan yunior itu, walau masih baru bertugas meliput di kantor itu, ternyata mereka korlap juga. Alias, menjadi koordinator amplop.

"Kayaknya jelas (ada amplopnya) nih ya," kata senior kepada yunior.

"Mas tahu aja kalau ada acara yang jelas-jelas," kata si yunior.

Si senior hanya senyum-senyum. Senyuman penuh arti. Maksudnya, dia minta bagiannya.

"Ini mas."

Walau si senior itu sudah sangat biasa menerima amplop. Tetap saja ia agak malu-malu kalau menerimanya dari teman. Setelah amplop masuk kantong, dia pun bergegas pergi ke toilet.

Sesampai di toilet. "Asu, seribu rupiah."

Buru-buru si senior keluar. Maksud hati ingin menemui yuniornya. Tapi, ternyata mereka sudah tidak di tempat. "Keong."

Ia kena pembalasan. Isi amplopnya dipotong sampai 99,9 persen oleh yunior.

Saturday, October 16, 2010

Si Amplop Protes Si Bantal

TIBA-TIBA si wartawan muda ini mencak-mencak begitu membaca blog yang isinya melulu soal wartawan amplop. Katanya, ini ada ketikdakadilan. Seolah-olah yang 'main' hanya wartawan di lapangan. Padahal, level atasan di redaksi juga ada yang gemar terima 'guyuran' dari narasumber atau pihak tertentu.

"Bos-bos tuh macan-nya, mereka terima bantal, coy, bukan lagi amplop."

Bantal yang dimaksud si wartawan muda ini adalah permainan bos di redaksi bukan lagi kelas amplop. Tapi, main rekening, proyek, jabatan, ataupun jenis hadiah lain yang nilainya tentu membuat orang yang biasa main di kelas amplop terperangah.

"Amplop sih cuma recehan. Ibaratnya masih kasta kasta sudra," katanya.

Permainan bos, menurutnya lebih sadis. Terkadang mereka memainkan isu untuk mencitrakan pihak tertentu atau menggulingkan pihak tertentu. Kongkalingkong dengan pihak yang punya otoritas. Ujung-ujungnya uang.

Oleh karena itu, si wartawan muda ini tidak mau terima jika hanya wartawan lapangan kelas amplop saja yang dituntut paling bertanggung jawab terhadap pelanggaran etika jurnalistik.

"Yang terima bantal itu yang lebih parah."

Tapi terlepas dari amplop atau bantal, si wartawan muda ini mengakui kalau kebiasaan semacam itulah yang kemudian menjadi pandangan umum bahwa penghasilan utama wartawan itu ya dari 'suap' narasumber.

Friday, October 15, 2010

Si ‘Idealis’ Pun Jadi Pemburu Amplop

ADA seorang wartawan senior yang selalu mengaku anti amplop setiap kali bertemu dengan teman-temannya. Bahkan, dia pernah tega mengadukan teman lain yang terima amplop ke redaksi.

Singkat cerita, begitu ia pindah kerja ke media lain, ada perubahan dengannya sedikit demi sedikit. Mengapa demikian, ternyata karena dia sudah tahu permainan bos-bosnya di redaksi.

Kalau dulu si wartawan ini anti bergabung dengan teman-teman yang gemar menerima amplop, kini, ia senang berkumpul dengan mereka. Bahkan, dia mulai sering bergerilya sendiri untuk mencari acara-acara yang ‘basah.’

Setelah malang melintang ke dunia amplop, jale, atau sering dikenal 86, ia kerap menjadi korlap.

Suatu hari, ia bertemu dengan teman-teman yang dulu diejeknya karena suka menerima amplop. Kebetulan, mereka sama-sama akan pergi liputan ke acara konferensi pers salah satu calon anggota DPR RI.

“Cuk, jelas gak ni. Malas gue kalau gak jelas,” katanya. Yang dimaksud ‘jelas’ ialah ada amplopnya.

“Lu doyan juga lu sekarang,” kata temannya.

“Diem lu,” jawabnya sambil melengos.

“Gila lu coy. Dulu lu galak banget sama amplop.”

“Ah, bos gue di kantor aja pemain semua. Kelas berat. Permainan mereka bukan lagi amplop macam anak lapangan, tapi isu dan opini. Kita mah dikandalin sama bos-bos cuk. Mereka rapi mainnya, gayanya aja sok idealis. Padahal sering melenceng dari kode etik.”

Lalu, semua tertawa.

Dari wajah si wartawan yang dulu idealis ini terlihat ada kekesalan yang begitu mendalam. Dia kesal karena banyak bos-bosnya di kantornya yang gemar main ‘proyek,’ tapi selalu menuntut anak buah idealis demi menjaga citra redaksi.

“Mana ada bos yang benar-benar konsisten idealis, cuk. Modus semua.”

Thursday, October 14, 2010

Cerita Wartawan Muda & Korlap 86

INI KISAH seorang wartawan muda. Waktu itu, anak muda ini baru beberapa bulan mengenal dunia kewartawanan. Sekali waktu, ia ikut kumpul dengan teman-temannya yang bisa dibilang agak seniorlah. Mereka standby di salah satu tempat yang biasa dijadikan basecamp wartawan.

Di saat para wartawan sedang duduk untuk menunggu datangnya informasi berita, ada salah wartawan yang woro-woro. Ia bilang ada liputan yang sungguh menarik. Lalu, dia mengajak wartawan-wartawan lain untuk merapat ke sana.

Ramai-ramailah para juru warta ini ke sana tempat kejadian perkara - hotel - yang disebutkan oleh si wartawan agak senior itu. Sesampai di lobi hotel tempat penyelenggaraan acara yang diadakan oleh seorang tokoh, para wartawan pun langsung tanda tangan di daftar kehadiran yang disediakan panitia.

Si wartawan muda yang belum tahu banyak tentang seluk beluk acara-acara semacam itu pun ikut tanda tangan.

Singkat cerita, setelah acara yang sebenarnya tidak penting-penting amat itu usai, si wartawan agak senior yang tadi mengkoordinir untuk datang ke hotel itu, tiba-tiba mengajak salaman. Belakangan, si wartawan muda itu sadar, ternyata dia seorang korlap.

Begitu si korlap menjabat tangan, telapak tangan si wartawan muda merasakan ada kertas di sana. Ia kemudian menyadari kalau ternyata si korlap memberi amplop. Jabat tangan itu ternyata cuma cara agak acara bagi-bagi amplop tidak menjadi perhatian.

Si wartawan muda sampai merah mukanya dan berkeringat tubuhnya ketika disodori amplop oleh si korlap. Ia bingung setengah mati. Ini untuk pertama kalinya ia dengan mata kepala sendiri menyaksikan kalau amplop untuk wartawan itu memang ada di dunia.

“Siapa yang kasih, bang,” kata wartawan muda agak gemetar.

“Adalah. Ini jatah lo nih,” jawab si korlap.

"Gak bisa bang, gue kagak terima beginian. Pulangin dong," tambah wartawan muda dengan lugu.

"Sudah ada jatahnya masing-masing, ini buat lo!" balas si korlap.

Si wartawan muda itu idealis. Ia menganggap pemberian amplop dari narasumber merupakan pelanggaran terhadap kode etik profesi wartawan.

Waktu itu, si korlap sampai menyodor-nyodorkan amplop kepadanya, tapi dia tetap tidak mau terima.

Akhirnya si korlap menarik lagi amplop itu. Ia memasukkan ke kantongnya sendiri. Mukanya pun langsung cerah karena waktu itu jatah 86 buat dirinya jadi dobel.

*HIKMAH yang bisa diambil: Jadilah korlap biar dapat jatah dobel.

Wednesday, October 13, 2010

Senior Amplop Terpaksa Kembalikan Amplop

SUDAH lama wartawan ini menggeluti bidang amplop. Kalau ada liputan-liputan ‘basah’ sudah pasti ia hadir. Setiap harinya ia menajamkan telinga untuk mendapatkan informasi acara-acara yang ‘basah.”

Ia selalu mengutamakan acara ‘basah' dibanding mengejar good news untuk konsumsi redaksinya. Ini jaman new media coy, katanya. Untuk berita-berita yang sifatnya peristiwa, biasanya ia copy paste dari media online. Itu sebabnya, dia tidak khawatir kebobolan oleh media lain.

Di antara teman-teman sesame jurnalis, sepak terjang wartawan satu ini di dunia amplop tidak disangsikan lagi. Idenya banyak. Dia juga menyandang julukan korlap wartawan. Maksudnya, suka jadi koordinator saat menghadiri undangan pihak tertentu.

Tapi, ia tidak disukai oleh rekan-rekannya. Soalnya, beberapa kali ketahuan mencatut nama media lain demi amplop.

Nah, suatu saat si wartawan ini kena batunya. Di salah satu kafe ada gelar konferensi pers. Kepada panitia, dia bilang bahwa semuanya beres. Artinya, banyak wartawan yang bisa didatangkan ke acara untuk menghadiri acara.

Ditunggu. Ditunggu. Ditunggu. Sampai sejam lebih. Ternyata jumlah wartawan yang hadir hanya beberapa orang. Padahal, tadi dia bilang ke panitia semua wartawan dari media cetak dan elektronik akan hadir.

Karena yang hadir tidak banyak, panitia pun sampai menelepon media-media perwakilan di daerah itu agar merapat ke acara. Entah bagaimana dia mempromosikan acara itu ke media, eh ternyata ada beberapa wartawan lagi akhirnya ikut kumpul.

Singkat cerita, setelah jumpa pers selesai, si panitia berkata kepada beberapa wartawan yang hendak pulang. “Kapan ya tayangnya.”

“Wah kami wartawan lapangan bu. Semuanya yang memutuskan untuk tayang ya redaksi. Kami nggak tahu pasti.”

“Loh kok nggak pasti tayang gimana dong. Kan saya sudah kasih uang. Tadi saya titip ke si C####.”

Merasa tidak terima uang, sejumlah wartawan elektronik bergegas mencari-cari wartawan korlap amplop itu.

Setelah ketemu, terjadilah pembicaraan. Tanya sana. tanya sini. Akhirnya si wartawan korlap itu mengakui kalau telah mencantumkan sepuluh nama wartawan. Tapi, katanya, semua dari media cetak. Sambil gemetaran dia janji kalau uang itu nanti tidak akan ‘dimakan’ sendirian, melainkan akan diserahkan ke nama-nama wartawan yang masuk daftar absen panitia.

Karena percaya nama-namanya tidak dicatut, akhirnya sejumlah wartawan elektronik itu pergi.

Setelah wartawan elektronik pergi, si ibu panitia datang menemui si wartawan korlap yang masih berada di sekitar kafe. Ibu itu merasa dibohongi. Soalnya, tadi si korlap bilang bisa mengkondisikan para wartawan agar menayangkan berita. Dan dia sudah menyerahkan segeplok uang untuk mengakomodasi wartawan.

Setelah terjadi percakapan yang agak menegangkan, akhirnya, tiga buah amplop dikembalikan ke ibu panitia.

Dosen Pun Di-86-kan

MINGGU itu memang minggu yang kering. Mana tagihan sudah menumpuk. Hari-hari tidak ada amplop yang bisa dibawa pulang. Tapi dasar wartawan hobi amplop, idenya selaaaalu muncul di saat krisis seperti masa itu.

Datanglah si wartawan ini ke rumah seorang dosen. Sampai di rumah yang asri itu, disambutlah dia oleh dosen. Pengajar ini, dulunya adalah dosen si wartawan itu. Dosen ini terkenal suka jahil dan genit dengan mahasiswi.

Kemudian, mereka duduk di teras. Benar-benar mereka langsung akrab. Si wartawan pun tanya sana tanya sini sambil sesekali menyelingi obrolan dengan kelakar garing.

“Bapak ini ngetop, lho,” kata si wartawan yang selama ini dikenal sebagai korlap amplop.

Mendengar pujian itu, si dosen setengah kaget. Untung tidak sampai menjerit.

“Bidang yang bapak geluti sangat menyentuh kemanusiaan dan strategis,” tambah wartawan.

Si dosen tersipu-sipu malu. Lalu ia minum teh manis untuk mengusir perasaan yang bergejolak karena dapat perhatian dari mantan mahasiswanya.

“Sayangnya cuma satu yang kurang saja. Padahal nama bapak bisa melejit,” kata wartawan lagi.

“Ah, adik bisa aja,” kata dosen yang makin termakan rayuan gombal si korlap amplop.

“Betul, pak. Bapak ini kalau sering muncul di koran. Mantaplah nama bapak. Coba lihat abang A, abang B, abang C, mereka sering nongol di koran, namanya besar banget sekarang. Saya sering tukar pikiran dengan beliau-beliau.”

“Aduuuh, apalah bapak ini dik. Sudah cukuplah bapak seperti sekarang.”

“Coba lihat putra putri bapak, pasti bangga sekali kalau bapaknya terkenal,” kata wartawan yang kebetulan melihat foto keluarga lewat kaca jendela.

“Bapak mesti diprofilkan. Atau bapak nanti diwawancara saja biar bisa masuk koran.”

Lalu, sambil kelimpungan dosen bilang, “Ah adik. Silahkan lho, dicicipi dulu masakan ibu dan diminum teh angetnya.”

Posisi si wartawan memang berada di atas angin. Ia memonopoli suasana terus. Singkat cerita, setelah semua pujian dilemparkan ke si dosen sampai dosen serasa terbang, si wartawan pun hendak pamit.

Tapi, sebelum si wartawan pergi, si dosen memanggil-manggil istri yang berada di dapur. “Bu, bu, tadi yang bapak kasih ke ibu mana. Kesinikan dulu, bu.”

Dari dalam rumah, si istri dosen dengan suara agak keras menjawab. “Bukannya untuk belanja ibu, pak. Ini ibu baru mau ke supermarket.”

“Kesinikan dululah, bu, bapak lagi perlu sekali.”

Karena si ibu tak juga keluar dari dapur, si dosen pun segera masuk. Tidak lama kemudian keluar lagi.

“Dik, makasih atas kedatangannya ya. Bapak senang lho dikunjungi,” kata si dosen sambil menyelipkan uang ke kantong celana si wartawan.

Setelah itu, si wartawan pun pergi. Idenya berhasil. Dan si dosen senyum-senyum sendiri. Mungkin dia membayangkan, dalam waktu dekat namanya akan ditulis oleh bekas mahasiswanya itu.

Tuesday, October 12, 2010

Tak Absen, Tak Ada Amplop

CERITANYA ITU, ada seorang wartawati yang selama ini dikenal sebagai seorang pemburu amplop handal. Ia liputan di pulau yang terkenal dengan keelokan tempat wisatanya. Hari itu, dia ikut datang ke acara penyambutan pejabat dari ibukota.

Singkat cerita, acara seremonial yang cenderung hura-hura itu pun selesai dan berjalan lancar.

Sudah bukan rahasia lagi, khususnya wartawan pencari amplop, selesai acara, mereka menunggu pembagian amplop dari panitia. Tibalah waktu yang ditunggu-tunggu.

Nah, ternyata wartawan yang dapat jatah amplop hanyalah mereka yang sebelumnya telah konfirmasi ke panitia. Maksudnya, hanya wartawan yang diundang dan namanya tertera dalam daftar absen.

Tiba giliran si pemburu amplop. Lama ia menunggu, tapi panitia tidak juga menanggil namanya. Pas acara pembagian akan bubar, dia bilang, "Mana uang transportnya?"

"Namanya embak siapa?" jawab salah satu panitia.

“R.......“ kata wartawati.

Setelah melihat daftar, panitia lantas bilang begini: "Tidak ada dalam daftar kami. Yang dibagi uang transpor hanya wartawan yang sudah konfirmasi saja mbak,” kata panitia.

"Tapi saya sudah isi absen kok." Si wartawan pemburu amplop pun bercerita. Ia sudah absen di daftar kehadiran wartawan, tapi karena namanya tidak tertera di kolomnya, ia tulis sendiri pakai pulpen di bagian paling bawah.

"Maap mbak, tetep tidak bisa, sebenarnya yang dikasih yang transport itu cuma teman-teman yang diundang."

Setelah panitia menjelaskan seperti itu, si pemburu amplop agak ngotot. Dan ia tetap minta bagian. Ia mencoba menarik map yang dipegang panitia yang tetap tidak mau memberi uang.

Wartawan lain yang kebetulan masih di sekitar ruangan itu heran semua. Mereka buru-buru keluar karena takut chaos.

Si 86 Main Saham

KONON, di salah satu provinsi kaya ada salah satu perusahaan yang akan go public. Karena itu, perusahaan ini harus menjual sahamnya ke publik.

Nah supaya harga saham perusahaan ini bagus, dibutuhkanlah suatu promosi sekaligus pencitraan terhadap nama perusahaan. Kalau semuanya OK, tentu saja nasib perusahaan ini akan semakin mantap saja.

Bagaimana caranya, tentu saja dibutuhkan strategi-strategi khusus. Rupanya, pemilik perusahaan yang sedang naik daun ini tahu betul strateginya. Promosi dan pencitraan tentu saja harus dibangun lewat media massa.

Singkatcerita, agar semuanya mulus, perusahaan memudahkan penjualan sebagian saham kepada wartawan. ,

Pada waktu proses penjualan saham, ada wartawan yang dengan senang hati memanfaatkannya, ada yang malu-malu, ada yang sembunyi-sembunyi, tapi tidak sedikit juru warta yang menolaknya dengan alasan dilarang oleh kode etik.

Perusahaan itu tentu saja tidak secara gamblang minta timbal balik agar selalu mempublikasikan segala sesuatu tentang perusahaan dari segi positif saja. Dalam dunia wartawan nakal, amplopan alias hobi 86, dengan sendirinya, mereka tahu harus bersikap bagaimana setelah menerima kemudahan seperti itu.

Semula, cerita bagi-bagi saham ini rapi tersimpan. Terkubur berminggu-minggu. Sampai suatu hari, kasus ini terungkap dan menjadi cerita terkenal di kalangan wartawan provinsi itu.

Jadi begini. Gara-garanya ada salah satu wartawan yang bisa dikatakan agak senior datang ke salah satu bagian di perusahaan. Ia minta bagian saham karena selama ini sudah sering meliput segala sesuatu terkait dengan bidang yang digeluti perusahaan.

Tapi, juru bicara perusahaan terpaksa tidak meluluskan permintaan si oknum wartawan itu. Ia bilang kalau semua sudah dibagi rata. Dan semua sudah tersenyum.

Si wartawan agak senior itu kaget bukan kepalang. Selidik punya selidik, ternyata jatah yang harusnya ia terima sudah jatuh ke rekan satu kantor yang lebih gesit.

---Hatinya pun misuh---

Sukses Proyek, Sukses 86 Cash

ADA enam atau tujuh wartawan ingin menghadap ke salah satu pejabat daerah di suatu siang. Karena wajah para juru warta sudah cukup dikenal, ajudan pejabat langsung mempersilahkan mereka masuk ke ruang tamu.

Tak lama setelah para wartawan duduk di sofa, pejabat daerah ‘basah’ keluar dari ruangan. Ia habis mandi.

Setelah salam-salaman, bahkan ada wartawan yang sampai mencium telapak tangan segala, si pejabat daerah meminta para ajudan menghidangkan berbagai menu makanan ke meja tamu. Kebetulan, saat itu ia ingin makan siang.

Pejabat yang juga wajahnya kelihatan sudah letih karena mungkin hari itu banyak menerima berbagai laporan kasus dari anak buahnya, agaknya terhibur dengan kedatangan wartawan. Ia mengajak semua pewarta yang hadir ikut makan.

Sambil makan, salah wartawan yang selama ini dikenal sebagai korlap terus memancing-mancing pejabat itu agar tertawa. Ia bikin lelucon-lelucon yang kadang terdengar tidak wajar.

“Coba lihat sepatu saya, mirip sepatu antik.” “Coba bandingin sama sepatu bapak, jauh kan.”

Meski lelucon yang disampaikan si korlap sering tidak lucu sama sekali, si pejabat tetap saja tertawa. Mungkin ia butuh pelepasan.

Usai makan siang, acara ngobrol-ngobrol tetap berlanjut. Si korlap agaknya sudah mulai bosan dengan bikin lucu-lucuan. Sampailah pada tujuan utama. Ketika suasana benar-benar cair, ia bilang begini kepada pejabat itu.

“Bapak, kalau ada proyek pengerjaan jalan, kami dikasih lah ya. Beberapa meter juga tidak apa-apa, yang penting ada,” katanya.

“Hmmm. Coba nanti bapak lihat-lihat dululah ya,” sahut pimpinan daerah agak tidak peduli.

Tapi, pembicaraan itu agaknya telah mengubah suasana. Lama-lama karena didesak terus, si pejabat jadi agak serius.

Menyadari hal itu, si korlap tak ingin si pejabat tersinggung. Dan ia memang jago memonopoli suasana. Ia pun bikin lelucon lagi supaya si pejabat tertawa dan cair. Dengan suasana yang cair, ia berharap rencananya sukses.

Setelah si pejabat berhasil dibikin tertawa, si korlap tanya lagi soal jatah proyek pengerjaan jalan. Kejadiannya seperti itu berulang ulang sampai sekitar dua jam lamanya. Pokoknya bolak-balik si korlap melucu dan minta proyek.

Singkatcerita, entah karena sudah pusing atau karena mabuk kepayang oleh gombalan si korlap, akhirnya si pejabat bilang. “Besoklah bapak sampaikan kepastian soal proyek itu ya.”

Begitu mendapatkan pernyataan yang dianggap si korlap ‘mencerahkan,’ ia mengajak teman-temannya pamit. Setelah berjabat tangan, semua wartawan keluar ruangan, kecuali si korlap. Entah apa yang terjadi padanya, tiba-tiba ia meminta yang lainnya keluar duluan.

Tapi, tak lama kemudian, ia menyusul teman-temannya sambil tersenyum. Belakangan diketahui, rupanya, selain bisa membikin si pejabat mabuk kepayang, iapun sukses membuat si pejabat keluar uang cash.

Tuesday, October 5, 2010

Hari Apes Si 86

SUATU HARI, ada sejumlah wartawan datang ke pemilik sawmill - tempat penyimpanan kayu atau pabrik kayu – di salah satu kecamatan di Kalimantan. Si pemilik pabrik kayu bermasalah itu endingnya di -86-kan oleh juru warta nakal itu.

Itulah yang mengakibatkan si JJ, pemilik sawmill marah betul. Sampai suatu hari ketika salah satu wartawan itu – DD - datang ke sebuah salon. Dimana, pada waktu itu ada pula si JJ di sana.

Saat itu, si DD yang selama ini sering dikenal suka me-86-kan orang, rupanya datang ke salon hendak mencuci muke jak.

Setibanye di sana JJ lagi bermain kartu dengan beberape temannye. Ia kaget melihat si DD.
Ia pun curiga, jangan-jangan akan kena ancam lagi dan diminta uang oleh si DD. Ia takut juga, soalnya oknum wartawan ini pintar betul mencecar kasus, macam polisi saja.

Lalu, ketika posisi DD mulai dekat, JJ langsung berdiri dan membentak. “Kau ke ye yang membawe wartawan elektronik ke sawmill saye tuh.”

Singkat cerita, seusai membentak, JJ langsung memukul DD dengan kursi yang ada di salon. Make seketika itu pula pukulan bertubi-tubi mengenai DD. Akhirnya DD tergeletak.

Teman DD yang kebetulan ade di lokasi tak berani melawan. Soalnya, malulah kalau kasus ini membesar. Soal 86 pulak. Ia segera melarikannya ke rumah sakit terdekat untuk mendapat pertolongan.

“Ini emang sial lah, ngape pula tak dapat duet, eh malah benyai di pukule. Terpaksalah kite tiarap lah lok dan cari-cari sopoi yang lebih besak agek,” kata DD.