Thursday, November 18, 2010

Korlap Amplop: Ini Eranya Main Saham

PERTENGAHAN November 2010 ini dunia pers Tanah Air ramai-ramai memberitakan pernyataan Dewan Pers yang menerima laporan adanya sejumlah wartawan yang diduga minta jatah saham perdana perusahaan baja raksasa.

Menurut laporan yang diterima dewan pers, para wartawan itu minta kemudahan-kemudahan mendapatkan banyak saham.

Wednesday, November 17, 2010

Si Wartawan Senior Kerjai Yunior

SORE-SORE, tiga wartawan muda sedang duduk-duduk di tangga kantor lembaga pemerintah. Kelepas-kelepus menghisap rokok. Tak lama kemudian, dari tangga terdengar bunyi sepatu. Ternyata, yang datang seorang wartawan senior. Agaknya, senior yang rambutnya beruban ini sangat buru-buru.

Begitu sampai di bawah, dia mendekati ketiga wartawan. Lalu, mengajak ketiganya naik ke lantai dua. Para wartawan muda yang baru liputan di kantor ini pun mengikuti si senior. Soalnya, si wartawan ubanan itu bilang pejabat A akan menyampaikan pernyataan penting terkait kebijakan pemerintah.

Tuesday, November 16, 2010

Ada-ada Saja Ulah Si Wartawan Senior Ini

ADA-ADA saja ulah wartawan senior yang hobi berburu amplop ini. Walau tidak diundang meliput acara seminar, dia nekad saja datang ke salah satu ruang aula hotel, tempat acara berlangsung.

Sebenarnya dia sudah tahu tema acara seminar ini sama sekali tidak nyambung dengan bidang liputannya.

Usut punya usut, ternyata si wartawan senior ini punya motivasi khusus sehingga berkeras hati untuk datang ke acara itu. Bukan untuk liputan, melainkan iseng-iseng ingin ikut makan siang gratis.

Acara seminar akhir tahun itu diliput banyak wartawan lokal maupun nasional. Di antara wartawan yang meliput merupakan teman-teman si wartawan senior tadi.

Usai acara, panitia seminar memanggil para wartawan yang sudah terdata dalam daftar undangan. Mayoritas wartawan sudah paham maksud si panitia. Jadi, wartawan yang tidak mau terima amplop, tentu saja tidak mau ketemu panitia. Tapi, mereka yang hobi amplop, dengan senang hati buru-buru datang ke panitia.

Si wartawan senior tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Karena dia tahu ada salah satu temannya yang tidak mau bertemu panitia karena menolak amplop, maka dia secara sembunyi-sembunyi menemui panitia.

Entah bagaimana caranya, akhirnya amplop jatah temannya itu berhasil dia ambil dari panitia. Bisa jadi dia mengaku mewakili temannya untuk menerima amplop itu.

Lalu, dia pulang bersama teman-temannya, termasuk wartawan muda yang amplopnya dia ambil tadi. Wajah si senior ceria sekali sambil memegangi kantong celana tempat dia menyimpan amplop.

Sunday, November 14, 2010

Korlap Amplop Sampai Ketinggalan Bus

INI cerita seorang wartawan yang selama ini dikenal sebagai koordinator amplop beken di kota setempat. Dia jadi beken karena kegigihannya untuk meraup amplop.

Hari itu, dia senang sekali. Soalnya, baru dapat undangan seorang pengusaha untuk meliput aksi bakti sosial di salah satu desa. Diajaklah semua teman-temannya berangkat ke TKP. Semuanya tentu saja bahagia. Mereka dijemput pakai bus.

Seperti biasa, acara semacam itu hanyalah seremonial belaka. Sambutan dari si ini, sambutan dari si itu. Sebagian wartawan sampai sempoyongan karena kelelahan.

Beberapa jam kemudian, acara selesai. Setelah itu, wartawan-wartawan mulai berjalan ke bus yang tadi mereka tumpangi. Sedangkan si korlap wartawan sibuk mencari si pengusaha yang mengundangnya. Tentu saja dia ingin mengurus jatah amplop.

Wartawan-wartawan sudah berada di mobil. Semuanya buru-buru ingin pulang karena sudah mendekati jam deadline pengiriman berita ke redaksi.

Karena mereka lupa kalau si korlap belum naik ke bus, para wartawan yang tengah diuber deadline ini langsung minta sopir bus untuk menjalankan bus.

Nah, ketika bus hampir sampai ke tempat biasa para wartawan kumpul, seorang wartawan baru ingat kalau si korlap ketinggalan.

Meski demikian, rombongan wartawan cuek saja dan menganggap si koordinator akan pulang bersama bos pabrik yang mengundang tadi.

Sesampai di tempat tongkrongan wartawan, para wartawan pun mengetik naskah berita di laptop masing-masing. Nah, dua jam kemudian sebagian wartawan mulai panik. Soalnya, si korlap belum nongol juga. Tapi, kepanikan itu hilang setelah, si abang korlap datang.

Begitu sampai, sang korlap marah-marah. "Asu, kalian tinggalin gua. Kirik. Gua naik angkot, keujanan dan kena macet, rik.”

Saking kesalnya si korlap langsung menunjukkan amplop yang tadi diberikan si pengusaha. Amplopnya sudah lecek dan basah karena kena air hujan.

Tapi, walau dia kesel, dia tetap membagi jatah amplop buat teman-temannya.

Saturday, November 13, 2010

Bos Media Bertekuk Lutut Dengan Pemodal

SUATU akhir pekan, berlangsunglah acara malam amal. Acara ini diselenggarakan oleh pengusaha yang memodali sejumlah media. Beberapa bos media juga diundang ke sana.

Seorang wartawan muda memperhatikan gerak-gerik bos media tempatnya bekerja yang juga hadir di sana. Dia heran, kenapa bosnya tidak duduk saja di kursi yang telah disediakan untuknya. Si bos, malah berdiri saja di depan pintu masuk.

Setengah jam kemudian, si wartawan muda itu baru tahu kalau si bosnya sedang menunggu pengusaha yang memodali redaksinya. Begitu si pemodal datang, si bos yang selama ini dikenal selalu bergaya jurnalis idealis itu, langsung menunduk-nunduk seperti kucing yang begitu nyaman berada di belaian pemiliknya.

Si bos media media kemudian menjabat tangannya erat-erat sambil diayun-ayunkan. Dia sampai mendekatkan kepalanya ke tangan si pemodal. Mungkin kalau tidak ada orang di sekitarnya, si bos menciumi tangan si pemilik modal media.

Sambil terus merendahkan badan dan bergaya tersipu-sipu malu, si bos mendampingi pemilik modal berjalan ke tempat duduk di deretan depan.

Si wartawan muda yang mengetahui kejadian itu, tidak habis pikir. Mengapa sih bosnya mesti bersikap seperti itu. Padahal, harusnya bisa biasa-biasa saja seperti orang lain yang hadir dalam acara malam dana.

Begitu si pemodal duduk di kursi, si bos media tidak segera pergi. Dia menemani si pemodal dulu. Dia duduk di bawah kursi, dekat kaki si pemodal sambil sesekali mengajak pemodal bicara. Di sana, dia seperti anak kecil yang menggelendot-nggelendot bapaknya untuk minta jajan.

Pemandangan yang aneh, pikir si wartawan muda. Bos yang hobi menang sendiri jika berpendapat di hadapan anak buah itu, bisa bertekuk lutut dengan pengusaha di tempat umum seperti itu.

Pikirnya, pantas saja, selama ini kebijakan redaksi selalu menguntungkan pemilik modal.