Tuesday, June 1, 2010

Gocing (9)

SUATU hari, semua jurnalis berkumpul di kantor polisi. Ada Damin, Pak Rosyid dan Prilia. Semua teman-temannya Bonarman juga kumpul di sana. Kami semua berada di ruang aula menunggu dimulainya acara konferensi pers yang akan diberikan kepala polisi.

Kuperhatikan, teman-teman dekatku sama sekali tidak mau bergabung dengan kelompok Bonarman sejak berada di luar aula. Mereka tidak peduli satu sama lainnya. Kalau aku, posisinya netral. Karena waktu dapat tugas di Gunung Jaya tidak ada perintah untuk ikut konflik.

Aku ngobrol dengan siapa saja, termasuk Bonarman, walau dia agak kikuk. Mungkin karena perilaku ngamplopnya kuketahui pas liputan berita kriminal malam itu. “Pak Bonarman, kasih tahu aku dong kalau ada info-info berita, biar aku tidak kebobolan,” kataku. Bonarman bilang. “Siap.”

Teman-teman wartawan Jakarta yang baru datang ke acara ini, ketika melihat formasi duduk wartawan Gunung Jaya itu, mungkin tidak merasa ada sesuatu yang janggal. Formasi duduknya adalah formasi perang dingin. Dan mereka saling buang muka.

Ketika kepala polisi sudah memulai siaran pers, semua terdiam. Begitu dibuka sesi tanya jawab, sebagian wartawan melontarkan berbagai pertanyaan. Tapi, di antaranya yang bertanya, hanya Prilia dan Pak Rosyid yang kritis. Menusuk ke akar masalah.

Sedangkan beberapa pertanyaan yang dilontarkan Bonarman, terkesan cuma formalitas dan sebenarnya tidak perlu ditanya, aku saja wartawan baru sudah paham. Dari apa yang terjadi dalam siaran pers itu, aku tahu wartawan mana yang berkualitas dan mana yang masih perlu banyak belajar.

Usai siaran pers, seperti biasa, ramai-ramai ke warnet langganan. Tapi sebelum jalan ke tempat parkir kendaraan, salah satu teman Bonarman, Purwoko, datang tergopoh-gopoh. “Ini, ada titipan dari humas,” kata Tudji.

Tudji menyerahkan uang Rp 50-an ribu beberapa lembar ke arah Pak Rosyid. “Bos, kembalikan uang itu ke humas,” kata Pak Rosyid dengan nada agak keras. “Udah dikasih Pak Rosyid, bagaimana ini,” jawab Purwoko. Lalu, Pak Rosyid mengajak kami semua pergi, kecuali Tudji.

Sampai di warnet, Pak Rosyid bilang. “Bodrek banget anak-anak itu. Pantatnya akan panas kalau sehari saja tidak dapat amplop.”

Pada waktu itu, aku cerita pengalamanku waktu liputan kriminal bareng teman-teman Bonarman, termasuk si Tudji tadi. Pola ngamplopnya sama. Setelah pulang, mereka memberi uang.

“Pak Rosyid, mereka tidak tahu malu juga ya, sudah ditulis di media, masih saja kelakuannya seperti itu,” kataku.

Kami ngobrol kelakuan wartawan dan amplop. Memang benar bahwa Bonarman dan teman-teman berasal dari media yang pemilik modalnya pelit sehingga gaji wartawannya kecil. Tapi, apa itu bisa membenarkan wartawan menerima amplop, sedangkan kode etik jurnalistik jelas-jelas melarangnya.

“Bukan cuma karena redaksinya pelit menjamin kesejahteraan pegawainya sehingga di lapangan, mereka cari sampingan seperti amplop, tapi juga kembali ke mental wartawannya,” kata Prilia.

Aku tambah pengetahuan lagi. Pak Koting, dosenku, memang sempat menyinggung soal mental wartawan. Kini, aku benar-benar berada di antara mereka yang punya mental seperti itu.

Satu lagi yang tak habis pikir ialah kenapa Bonarman dan Tudji memberi uang kepada kami. Dan mereka selalu bilang uang titipan. Apa mereka selalu mencatut nama media kami. Terus mereka pura-pura menyerahkannya pada kami, karena mereka tahu, kami akan menolak.

Jadi, itu semacam teknik antisipasi, jika suatu hari nanti humas polisi menelpon kami untuk mengatakan uang amplop sudah dibagi-pagi kepada wartawan lewat perwakilan. Kalau begitu caranya, kotor sekali mereka.

“Itulah kenapa kami dulu sampai menulis kelakuan mereka, mereka juga suka main proyek,” kata Pak Rosyid.

Melalui cerita-cerita teman yang sudah lebih senior jadi wartawan itu, pelan-pelan membangun sikapku sebagai jurnalis muda. Jadi, ada dua golongan wartawan di Gunung Jaya ini, ada yang hobi amplop atau idealis seperti teman-temanku. Nah, tinggal, aku memutuskan memilih jalan yang mana.

Tentu saja aku bangga punya teman-teman wartawan seperti Pak Rosyid, Damin, dan Prilia. Mereka membikinku semangat untuk jadi wartawan yang punya kehormatan. Tidak mau jadi jurnalis yang biasa-biasa saja atau tidak punya prestasi, tapi gemar mengejar amplop.

No comments: