LELAKI tua berewok datang dengan senyuman. Dia mengenakan kemeja dan celana mirip seragam aparatur sipil negara. Sepatunya besar berwarna biru. Tangannya memegang helm bergambar bendera Bintang Kejora. Yang mencolok lagi pin dan gambar topi loreng. Pin Bintang Kejora dipasang di dada sebelah kiri. Topinya bergambar bendera Timor Leste.
Saya sudah familiar dengan wajah lelaki tua itu. Pertamakali melihatnya dari foto yang diunggah pendiri Yayasan Pantau di blog Andreasharsono.net. Benar-benar tak menyangka, siang itu bisa bertemu orang Biak ini secara langsung.
Dia disambut beberapa teman saya. Mereka segera bercakap-cakap seperti kawan lama, walau saya yakin sebagian besar teman saya baru pertamakali bertemu dengannya. Pembawaannya tenang, percaya diri, tak mengambil jarak, dan jenaka, tak sulit bagi orang seperti saya yang baru bertemu untuk cepat membaur.
“Pace kenapa bawa-bawa helm Bintang Kejora ke Jakarta,”
Lelaki tua menjawab.
“Ya daripada pakai punya orang bekas-bekas.”
Tawanya pecah.
Rupanya dia baru saja dari kantor Kedutaan Besar Jerman untuk mengurus Visa. Dia datang ke Jalan Cikini Raya pakai ojek. Sebelum ke Cikini, helm Bintang Kejora sudah diajaknya ke Kaliurang, Yogya.
Lelaki tua itu memang pegawai negeri sipil. Nama lengkap Filep Jacob Semuel Karma. Biasa dipanggil Filep Karma. Dia anak tokoh penting di Papua, Andreas Karma. Filep seorang pejuang kemerdekaan Papua Barat.
“Ini (menunjuk ke pakaian mirip PNS) saya ingat sebenarnya bukan (dari) Indonesia,” kata lelaki tua. “Tapi ini warisan Belanda dulu.”
Bagi Filep tidak ada yang salah dengan pakaian yang dikenakannya pada hari itu. Tapi, tak salah juga kalau sebagian orang penasaran. Dia pakai pakaian mirip PNS pemerintah Indonesia, sementara ada atribut berlambang Bintang Kejora di dada.
“Tidak, ini bukan PNS. Mana lambangnya.” Filep menjelaskan pakaian yang dikenakannya.
Dia menekankan bahwa itu bagian dari kebebasan berekspresi. Lalu, tertawa.
Tapi lebih jauh tujuan dia berpenampilan demikian yaitu untuk memotivasi teman-temannya sesama PNS di Papua. Agar mereka semua punya sikap. Jangan beraninya hanya di belakang.
“Kalian jangan jadi pengecut. Jangan di belakang ngomongnya Papua merdeka, tapi di depan nggak, saya Indonesia.”
Filep tergolong orang ekspresif. Bicaranya spontan. Berbincang-bincang singkat saja sudah bisa mengetahui sikap politiknya. Sikap itu tidak pernah berubah pada diri Filep. Gara-gara keteguhan sikap mendukung perjuangan mencapai referendum bagi Papua, dia berurusan dengan pemerintah Indonesia. Dia masuk penjara beberapa kali. Tuduhannya tak main-main. Makar.
Siang itu, Jumat minggu kedua Januari 2018. Filep mampir ke lantai dua Kekini Kafe, Jalan Cikini Raya 45, Menteng. Kebetulan pada waktu itu, saya ikut kursus jurnalisme sastrawi dan Filep ingin ketemu temannya. Janet Steele. Janet seorang guru jurnalisme sastrawi asal Amerika.
Filep menaruh helm di dekat tas di atas almari kecil, dekat pintu. Kemudian dia berdiri di dekat almari yang berada di depan pintu ruang kelas. Filep meladeni beberapa peserta kursus jurnalisme narasi yang mengajaknya bincang-bincang.
“Saya boleh pakai helmnya, pace.”
Filep menoleh ke arah saya.
“Boleh, silakan.” Tawanya pecah. Begitu juga dengan orang-orang di ruangan.
Di sela dia ngobrol, saya pelan-pelan minta izin foto bersamanya. Dia antusias. Tapi sebelum dijepret pakai kamera telepon seluler, dia memberi saran agar posisi kepala saya menyamping, menghadap mukanya, agar warna selang seling biru merah Bintang Kejora pada helm kelihatan dari depan.
Telapak tangan kiri Filep mengepal di dada. Dia tersenyum. Jepret.
“Apa tidak mau pakai helm Jakarta, pace.” Kata saya kemudian. Saya masih penasaran. Apa dia tidak kerepotan bawa-bawa barang itu. Dari Papua - Jakarta – Yogya – Jakarta lagi.
“Tidak apa-apa. Di Papua, tiap hari saya pakai.”
“Apa tidak takut ditangkap tentara?”
“Ada seorang kapolres bilang ‘cari kamu paling gampang, tinggal lihat helm.’”
Setelah berucap demikian, dia tertawa lebar. Matanya kali ini berbinar-binar. Penampilan fisik Filep memang terkesan garang. Tetapi kalau sudah mengobrol dengan dia, persepsi itu akan lenyap. Lelaki 58 tahun itu pandai bercerita pengalaman-pengalaman yang bisa membuat tawa pecah.
Suhu ruangan kafe terasa sejuk, meskipun cuaca di Jakarta Pusat sedang panas-panasnya. Di media internet, siang itu, memberitakan peristiwa demonstrasi Front Pembela Islam. Mereka memprotes Facebook yang dianggap memblokir sebagian akun alumni demonstran 2 Desember 2016 atau dikenal 212.
Filep menikmati suasana di lantai dua.
Dia berapi-api saat bicara tentang kenapa Papua harus menjadi bangsa yang menentukan nasib sendiri. Ada berbagai argumentasi yang disampaikan Filep untuk memperkuat alasan kenapa wilayah di ujung timur Indonesia harus merdeka.
“Mereka (Indonesia) sendiri sudah melanggar, saya bilang. Karena UUD di bagian pembukaan menyatakan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Papua ini bangsa, bukan suku. Kami bangsa.”
Panjang lebar dia bicara tentang Papua. Dia menyampaikan problematika dan ide-ide.
“Saya berpikir, mari kita bicara dari sisi ini. Kami nggak salah kan karena hak kami untuk menyatakan keberadaan kami.”
Saya berusaha memahami ide-ide Filep.
“Artinya kalau kita runut sejarah tidak ada orang Papua terlibat di Sumpah Pemuda, (ikut) perjuangan kemerdekaan (RI) tidak ada. Tapi kami terus dianeksasi oleh Pak Karno. Karena Pak Karno ketakutan, jangan sampai Belanda masih deket-deket dengan Indonesia karena nanti nyerang lagi ke Indonesia.”
“Terus kalau kita analisis, apakah Indonesia meneruskan penjajahan Belanda? Tidak kan. Nah Belanda itu menjajah sampai ke Papua. Tapi bukan berarti kami bagian dari Indonesia. Jadi kalau Indonesia memaksa wilayah sebagaimana Hindia Belanda, itu kan penjajahan. Kami punya hak untuk menyatakaan keberadaan sendiri, kan. Terus waktu 17 Agustus 45, itu kan wilayah Indonesia dari Ambon sampai Aceh itu memang dijajah Jepang. Kami tidak. Karena tahun 44 sudah dibebaskan oleh Amerika. Jadi kami bukan bagian dari Proklamasi 17 Agustus. Karena Amerika masuk juga ke Papua, Jepang dikalahkan di Papua. Jepang sudah minggat, karena Amerika pakai strategi lompat katak kan. Dari Papua ke Morotai. Morotai ke Filipina. Sehingga Indonesia lain masih dijajah Jepang, kami sudah tidak di bawah Jepang. Udah sendiri. Di bawah Amerika. Terus karena Amerika fokusnya pada perang, dia meminta kepada Belanda untuk mengadministrasi masyarakat sipil di Papua."
***
Suasana siang itu makin mengasyikkan. Filep bercerita dengan berapi-api. Janet belum memulai kelas. Jadi masih ada waktu untuk mendengarkan cerita Filep. Tapi Filep belum mulai menyantap makan siangnya, padahal dari tadi nasi kotak dari Yayasan Pantau sudah berada di tangan.
Mungkin saja dia enggan melewatkan perbincangan itu. Dia tidak mau makan di dalam ruang kelas. Pada waktu makan, dia memilih sambil berdiri di meja multi fungsi di depan pintu kelas, bersama para siswa.
Jenggot Filep sebagian telah memutih. Sama seperti jambangnya. Jenggot dan jambang Fillep sama-sama lebat.
Diam-diam saya mengamati terus lelaki tua di hadapan saya. Seumur hidupnya ternyata jenggot itu tidak pernah dipangkas sampai benar-benar habis. Tapi dia pernah merapikannya sedikit pada 1998. Setelah 2004 sampai sekarang, Filep tidak pernah lagi memotongnya.
“Kenapa Pak Filep suka memelihara berewok,” tanya saya.
Sambil makan, dia menceritakan soal berewok dan orang Papua juga pandangan orang luar. Pada umumnya, lelaki Papua punya berewok.
Tapi ada pengalaman kurang mengenakkan terhadap penampilan berewok. Sebagian orang di luar Papua, masih beranggapan kalau orang berewok adalah kalangan penjahat. Sambil memegang ujung jenggotnya yang gimbal, Filep berkata ingin mengubah stigma yang kadung melekat itu.
“Nah kalau saya tampilnya rapi bersih. Masyarakat saya tetep tersisih dan saya punya gap dengan mereka. Jadi saya harus tampil sebagaimana mereka tampil sehingga saya membawa mereka, saya mewakili mereka. Sehingga orang melihat, oh biar berewok begini, tetapi orangnya baik. Tidak semua orang berewok itu jahat. Sebab image yang ada itu, wah ini pasti preman ini, penjahat ini.”
***
Yang mendukung kemerdekaan Papua Barat sejauh ini baru tujuh negara kecil di Pasifik. Vanuatu. Solomon Island. Tonga. Tuvalu, Nauru. Palau. Marshall Island. Mereka menyerukan resolusi hak politik bagi Papua Barat untuk menentukan nasib sendiri.
Untuk disebut menjadi negara sah merdeka, membutuhkan berapa pengakuan dari negara lain?
“Wow, Palestina saja yang sudah diakui 129 negara sampai sekarang belum.” Filep menatap langit-langit ruangan sejenak.
Tapi Filep tetap optimistis.
Tahun lalu ketika umat Islam demonstrasi mendukung kemerdekaan bagi bangsa Palestina, sebenarnya Filep ingin ikut. Sayangnya posisi dia pada waktu itu di Papua. Dia ingin menyampaikan kalau ada kesamaan nasib masyarakat Papua dengan Palestina.
“Saya kalau kemarin posisi di Jakarta, saya akan ikut demo tentang palestina. Sudah itu di tengah-tengah saya angkat kasus Papua. Apa yang dialami Palestina sama dengan yang sekarang dialami Papua.”
Posisi Papua Barat sekarang sama persis dengan posisi Indonesia ketika masih dijajah kompeni Belanda.
“Semua dikeruk dibawa ke Belanda. Dari Jawa, Sumatera, semua dikeruk dibawa ke Belanda. Kenapa kekayaan Papua semua dikeruk. Dan aneh setelah otsus kok provinsi termiskin di Papua juga.”
Filep banyak belajar. Dulu, senior-seniornya berjuang menghadapi aparat keamanan dengan memakai cara kekerasan. Sebaliknya, yang jadi korban justru warga kampung. Melihat kegagalan lewat cara angkat senjata, Filep bertekad menempuh cara-cara damai.
”Mereka yang mukul pakai senjata, lalu ngumpet di hutan. Yang korban tuh desa-desa sekitar situ. Nah, saya tidak mau masyarakat jadi korban. Saya berjuang dengan damai.”
Referensi perjuangan Filep, di antaranya pejuang Indonsia. Tan Malaka. Chairil Anwar yang berjuang lewat syair untuk membakar semangat. Dia sudah komitmen mendukung kemerdekaan Papua Barat lewat perdamaian. Lewat cara-cara yang sekarang dia tempuh.
“Jadi istilahnya kalau nyari OPM tidak di hutan-hutan, ada di dalam kota. Istilahnya saya kan OPM, ngapain cari di hutan, saya bilang.”
Dulu, perjuangan dilakukan dengan jalan perlawanan secara fisik terhadap aparat keamanan. Belajar dari sejarah di Papua, jalan kekerasan tidak akan berhasil mencapai tujuan.
“Ya kalau dengan senjata, orang Papua berapa banyak sih kalau melawan. Kami taruhlah dua juta orang, melawan 250 juta, ya nggak mampu. Dan jalan kekerasan tidak ada yang simpati. Tapi kalau jalan damai, jalan dialog, banyak orang terbuka. Oh ia bener, ini hak mereka.”
Perbincangan semakin mendalam. Tiba-tiba cair lagi setelah muncul pertanyaan, “apa makna lambang Bintang Kejora, pace.”
Filep menjelaskan filosofi lambang Bintang Kejora dengan tegas.
“Bintang Tuhan, merah berani, putih ya kesucian hati. Putih biru kecucian dan kesejahteraan. Kenapa berselang-seling karena kami di sana terdiri dari banyak suku, 252 suku. Saya pribadi menambahkan dua suku baru.”
“Tambah dua suku bagaimana maksudnya?”
Filep menjelaskan dengan penuh energi. Matanya seperti menyala-nyala saking semangat bicara tentang Papua.
“Itu suku anak-anak keturunan, campuran. Dan WNA yang ingin jadi orang Papua. Artinya, nggak bisa kami hanya pertahankan hanya Papua saja. Lah temen-temen yang lahir di sana, nggak mau pulang, masa mau kita bunuh.”
Saya penasaran sebenarnya posisi mantan tahanan politik pemerintah Indonesia ini digerakkan kemerdekaan Papua sebagai apa.
“Saya cuma pejuang. Jadi yang disebut OPM itu kami juga bingung, ini stigmaisasi dari aparat keamanan. Terus ditanya, siap ketuanya. Saa juga nggak tahu. Tapi karena sudah distigma kalau ditanya kamu OPM, ya saya OPM, ya anggota, tapi saya nggak tahu ketua siapa, organisasinya bagaimana. Cuma karena stigma,” kata Filep. Tawanya berderai.
Beda dengan Gerakan Aceh Merdeka. GAM punya pemimpin. Hasan Tiro pada waktu itu.
“Kalau GAM terstruktur. Kalau kami nggak. Sehingga banyak grup-grup. Tapi sekarang kami sudah bernaung di satu payung.”
United Liberation Movement for West Papua namanya.
Satu lagi atribut yang dipakai Filep yang membuat penasaran adalah kenapa topi loreng dengan bordir tulisan Timor Leste. Timor Leste merupakan provinsi ke 27 di Indonesia pada tahun 1976. Tetapi kemudian berhasil memerdekakan diri pada Mei 2002.
“Artinya ini memotivasi saya. Timor Leste yang cuma 300 ribu orang saja bisa menang lawan Indoneisa. Kenapa Papua yang dua juta orang lebih nggak bisa menang.”
“Pakai topi itu sudah lama, pace?” Tanya saya.
“Mulai dari dalam penjara. Jadi ada teman aktivis diundang ke Timor Timur. Pulang, dia menghadiahkan topi ini. Sekitar 2005-2008.”
Teman yang memberikan topi itu kini berada di Belanda. Sebenarnya topi yang dipakai Filep sekarang ini imitasi. Topi asli dari temannya dia simpan di Papua.
Topi, pin, dan baju yang dipakai Filep menjadi masalah ketika dia baru tiba Bandara Soekarno-Hatta pada Selasa, 2 Januari 2018, malam.
Pada waktu itu, dia naik Lion Air dari Yogya, setelah menghadiri acara reunian di Kaliurang. Setelah delay sekali, pesawat terbang jam 17-an.
Di dalam Lion Air, dia duduk di seat nomor 18. Penampilannya menjadi perhatian salah satu penumpang di bagian depan. Kemungkinan, penumpang itu kemudian menghubungi petugas di Bandara Soekarno-Hatta untuk segera menahannya begitu turun dari pesawat.
Pesawat mendarat sekitar jam 21.00 WIB. Benar. Tak lama setelah itu, dia didatangi petugas.
“Permisi, kami perlu sedikit ngomong-ngomong,” kata petugas.
Filep harus masuk ke ruang khusus untuk diinterogasi.
Petugas memeriksa Filep karena dianggap membawa bendera Bintang Kejora. Filep tenang-tenang. Dia pernah menerima perlakuan yang lebih buruk dari hari itu.
Di ruangan itu, semangat Filep menggelegak. Dia ceramahi petugas-petugas itu.
“Bapak baca UUD 45, bendera itu terbuat dari kain. Ukuran dua meter kali satu meter. Ini tidak memenuhi syarat jadi bendera. Ini kan pin atau bros. Kenapa jadi masalah.”
“Saya tidak mengganggu orang, kenapa jadi masalah. Kecuali saya mengacau, itu salah saya.”
Filep tidak melakukan kesalahan. Tetapi dia baru diizinkan keluar dini hari.
Lelaki tua itu menghabiskan makan siang. Jam 13.00 WIB, tepat, Janet memulai kelas. “Mau ikut kelas.” Janet menawarkan kepada lelaki tua.
“Terimakasih.” Filep memilih tetap duduk di luar kelas. Sebentar kemudian, dia menghilang dari lantai dua.
[Tulisan ini dimuat di Suara.com pada Senin, 15 Januari 2018)
No comments:
Post a Comment