Tuesday, December 22, 2009

Sebenarnya Waraskah Orang Yang Merasa Waras

Pak Johny namanya. Kutaksir umurnya sekitar 40 tahun. Kalau pakai konsep manusia waras dan kurang waras, beliau masuk kategori kurang waras. Kasihan betul nasib Johny semalam. Seorang bapak menampari wajah Johny dengan kalap. Johny jadi bulan-bulanan oleh pukulan dan tamparan bertubi-tubi.

Sambil memukul, bapak kalap itu bilang Johny telah meninju putranya. Beberapa orang, termasuk wanita yang mungkin istri si kalap, mencoba menahan bapak kalap agar menyudahi penganiayaan terhadap Johny malang. Tapi itu tidak menghentikannya.

"Ampun pak, ampun, ampun pak," kata Johny. Bapak kalap makin gelap mata. Dipukulinya wajah si Johny. Aku di balkon kosanku dan tidak bisa berbuat banyak melihat kekerasan ini. Ada ibu-ibu yang bilang sebenarnya Johny tidak bisa disalahkan begitu saja karena sebenarnya anak yang dipukulnya memancing-mancing kemarahan Johny sampai keterlaluan.

Siapa yang tidak waras sesungguhnya. Johnykah atau bapak kalapkah atau wargakah yang tidak berusaha keras mencegah penaniayaan terhadap Johny. Inilah yang disebut penghakiman sepihak. Orang-orang yang mengaku waras dan menganggap Johny tidak waras, mengapa tidak menggunakan kewarasan dalam menyelesaikan masalah.

Kewarasan dalam konteks kasus ini yaitu bercirikan kesediaan meneliti lebih dulu sebab musabab Johny sampai memukul anak. Betulkah Johny tanpa alasan kuat sampai melakukan itu. Bukankah selama ini Johny tidak pernah mengganggu siapapun termasuk anak. Kata orang sini, Johny adalah orang baik dan berperilaku sopan terhadap warga.

Buktinya, dia diterima secara iklas di lingkungan sekitar kosku. Bahkan dia bebas tidur di bangku kayu dekat tempat parkir mobil rumah pak RW. RW pensiun menjabat RW. Orang-orang sinipun selalu memberi dia makan dengan gratis.

Tapi mengapa bapak kalap itu begitu beringas dan tanpa ampun. Tanpa meneliti. Tanpa minta pertimbangan. Memukul. Memukul. Johny lari, lalu dikejar untuk kemudian dipaksa lagi menerima hantaman demi hantaman hingga merintih dan minta ampun. Hampir saja Johny malang ditubruk mobil yang sedang mundur menuju tempat parkir pak mantan RW. Dan bapak kalap seperti menikmatinya.

Pak Johny malang. Percayalah anda manusia baik. Engkau tidak melawan. Kalau anda mau melawan, pasti anda jauh lebih perkasa. Anda memberikan wajah dengan iklas untuk memuaskan kemarahan bapak dari anak yang kau pukul tadi. Kau memang tak minta maaf secara lisan karena kau pasti juga tak didengar. Kau pasti sudah sadar soal itu.

Kepasrahan anda menerima perlakuan kasar itu menjelaskan bahwa anda berani mengakui kesalahan telah memukul anak, walau aku yakin Pak Johny tak 100 persen salah. Kau melakukan itu pasti karena betul-betul dibuat sangat tidak manusiawi oleh anak itu. Perlakuan anak itu pasti sudah di luar batas kesopanan. Aku dulu juga pernah melihat anak-anak sini mengejekmu habis-habisan. Dan kau memilih senyum-senyum dan menghindari mereka. Aku yakin, kau sampai meninju anak bapak kalap itu sebenarnya ingin mununjukkan eksistensimu. Itu hanya bentuk komunikasimu agar mereka yang bilang orang paling waras itu menganggapmu ada.

Johny telah menunjukkan kepadaku secara gamblang. Sebenarnya siapa yang tidak waras di dunia ini. Beliau jauh lebih waras dari manusia-manusia yang menganggap diri mereka waras. Pak Johny tidak pernah mengambil makanan dari yang bukan haknya. Dia tidak mengambil uang dengan cara haram.

Bahkan kalau beliau ingin merokok, mesti keliling kampung untuk mencari puntung sigaret. Dia tak pernah mengemis kepada orang waras. Kau hidup dekat dengan alam. Teman sejatimu adalah nyamuk. Kau berikan darahmu secara gratis kepada nyamuk. Hidupmu mengalir bagai air sungai. Johny tidak berontak dunianya.

Sungguh cerdas kau Johny, kau tunjukkan kepada kami semua yang tinggal di kampung ini bahwa bapak kalap itu adalah orang gila yang sesungguh-sungguhnya di dunia yang gila segila-gilanya ini.

---Kemayoran

Sunday, December 20, 2009

Melihat Posisi Manusia Dalam Relasi Dengan Alam

Satu lagi film menarik di akhir 2009. Avatar. Film ini berkisah tentang Jake Sully, mantan angkatan laut Amerika yang terluka dan cacat akibat perang. Dia terpilih untuk berpartisipasi dalam program Avatar, yang memungkinkannya bisa berjalan kembali. Jake menuju ke Pandora, sebuah hutan nan subur yang penuh dengan berbagai macam makluk hidup, sebagian indah dan sebagian lagi menakutkan.

Pandora juga rumah bagi suku Na'vi, makluk yang mirip manusia dengan kehidupan 'primitif' serta memiliki kemampuan seperti manusia. Ketika manusia memasuki mencoba memasuki Pandora untuk meneliti kandungan mineral yang ada di sana, suku Na'vi memerintahkan prajurit untuk melindungi negerinya dari ancaman.

Jake direkrut untuk menjadi bagian dari proyek ini, karena manusia tidak dapat menghirup udara di negeri Pandora, maka mereka menciptakan makluk mirip suku Na'vi yang mereka sebut sebagai Avatar. Di Pandora, dengan tubuh Avatar, Jake dapat berjalan kembali. Di Hutan Pandora, Jake melihat banyak keindahan dan bahaya. Dia juga bertemu dengan wanita muda Na'vi bernama Neytiri.

Berjalannya waktu, Jake berbaur dengan suku Na,vi dan jatuh cinta kepada Neytiri. Pada akhirnya Jake terjepit antara tujuan dikirim oleh militer ke Pandora dan suku Na'vi memaksanya untuk memihak satu pilihan yang akan menentukan nasib bumi dan suku Na'vi.

Itulah deskripsi ceritanya. Lalu apakah pesan yang sebenarnya hendak disampaikan film Avatar kepada penonton. Film ini hendak menunjukkan kepada kita, kepada dunia mengenai posisi manusia di alam semesta yang kaya dan yang indah ini. Betapa kecerdasan manusia kemudian menghilangkan rasa kemanusiaan. Pengertian kemanusiaan adalah kemampuan untuk menghormati bukan hanya kepada manusia saja, melainkan kepada semua yang ada di alam ini.

Lihatlah para manusia dalam film ini, melalui teknologinya, menciptakan mesin-mesin, membuat makluk yang menyerupai suku Na'vi untuk menyamar agar dapat mempelajari sistem hidup dan lingkungan hutan Pandora. Tujuannya ialah agar manusia dapat meneliti kandungan mineral alam di sana. Setelah berhasil, selanjutnya mereka dapat mengeksploitasinya atas nama penyelamatan hidup manusia.

Ya, semuanya atas nama hidup makluk manusia. Bisakah manusia mengubah cara berpikir demikian dengan menggunakan sudut pandang masyarakat suku Na'vi yang dalam hidup mereka sangat percaya bahwa relasi dengan alam dapat menyelamatkan makluk hidup dari kepunahan.

Bisakah manusia begitu. Dapatkah manusia percaya bahwa untuk melangsungkan hidup tidaklah melulu harus merusak alam dan hak hidup makluk ciptaan tuhan. Merusak suku Na'vi. Ya ampun Ternyata manusia yang mengklaim punya kecerdasan itu gagal. Mereka tidak bijak.

Manusia, dalam film Avatar, gagal melampaui dan memberi makna terhadap keberadaan alam. Mereka tidak mampu membaca secara jernih apa tujuan alam ini diciptakan.

Mereka selalu beranggapan bahwa dengan kecerdasan, dengan teknologi yang ditemukan, mereka merasa bisa menguasai dan tidak boleh ada yang menghalanginya. Lagi-lagi atas nama kelangsungan hidup. Ras manusia.

Pesan-pesan alam, misalnya yang terjadi melalui bencana alam, tidak pernah mampu diterjemahkan oleh manusia bahwa itu adalah bukti serius terjadinya perubahan sistem alam yang dipicu koleh kebijakan-kebijakan keliru. Yang dilakukan tangan-tangan pemimpin oportunis.

Manusia memang dapat sekali-sekali menangkap adanya perasaan alam yakni berupa kerusakan alam, perubahan iklim, tetapi upaya pencegahan dan perbaikan hanya dilakukan manusia ala kadarnya dan sifatnya politis belaka.

Suku Na'vi dapat diterjemahkan sebagai perwakilan alam yang sangat indah. Mereka telah memberikan pesan-pesan kepada manusia bahwa alam telah sangat baik hati mendukung kelangsungan hidup makluk manusia. Dan itu sangat nyata.

Alam telah memberikan keseimbangan hidup dan hal ini tidak terbantahkan. Karena itu, mereka meminta agar alam janganlah diganggu, jangan dirusak, tetapi harus jadi teman, menjadi bagian kehidupan yang harus tetap diposisikan sama dengan makluk yang lain. Tapi sayang ini tak ditangkap secara baik oleh kecerdasan manusia.

Justru manusia menganggap Na'vi sebagai ancaman. Upaya perlindungan yang dibangun oleh prajurit suku agar alam tetap terjaga ditangkap sebagai kejahatan.

Mereka haruslah dimusnahkan lagi-lagi atas nama kelangsungan hidup manusia. Aneh justru manusia kemudian berpikir bahwa alam telah meneror manusia, maka harus dilawan. Teror harus dilawan dengan teror. Alam harus dikendalikan. Gila. Manusia betul-betul makluk yang tidak terkendali. Sifat yang tepat untuk melukiskannya ialah biadab.

Mereka menyerang, membakar, membunuh suku Na'vi dan hutan Pandora tempat hidup suku Na'vi. Posisi Jake yang merupakan terjemahan dari sisi manusia yang tersadar dan mampu memaknai alam dan ingin menyadarkan tentang ancaman adanya kepunahan alam kepada dunia, justru dianggap sebagai pengkianat ras manusia. Dia dijepitkan pada posisi untuk memilih suku atau kelangsungan hidup manusia.

Manusia yang sadar posisi kemanusiaannya sungguh tak bisa hidup di dunia yang dipenuhi kapitalis ini. Jake merupakan personifikasi manusia yang ingin mewujudkan perdamaian antara alam dan manusia, tetapi dia dipaksa harus sadar bahwa itu mustahil dia lakukan.

Lalu dia dipaksa ikut sistem ciptaan manusia oportunis. Manusia hanya memaknai alam sebagai benda yang berfungsi sebagai pendukung kepentingan mereka saja. Dan tak mampu melihat maknanya secara mendalam.

---Kemayoran

Saturday, December 19, 2009

Bila Manusia Jadi Alien

Sejauh ini manusia percaya kalau hanya di planet bumi yang memiliki kehidupan. Sebab penjelajahan yang dilakukan oleh para ilmuwan ke planet-planet lain di galaksi bimasakti belum mampu menemukan tanda kehidupan baru.

Itu sebabnya, susah bagi mayoritas manusia untuk berimajinasi bahwa di planet lain ada makluk hidup. Maka itu yang timbul dalam benak manusia adalah bahwa hanya kitalah makluk di alam semesta yang dibekali kecerdasan.

Nah, ada pengalaman menarik yaitu apa yang akan terjadi kalau ternyata di luar sana, ada kehidupan. Ada atmosfir, air, tumbuhan, dan satwa. Kemudian ada makluk yang juga punya inteligensi. Pengalaman ini dijelaskan lewat gagasan dalam film Planet 51.

Adalah astronot Amerika, Kapten Charles "Chuck" Baker, mampu mendarat di Planet 51. Dan dia yakin telah menjadi orang pertama yang sampai di sana. Tetapi kemudian dia terkejut karena ternyata planet ini dihuni makluk bertubuh kecil berwarna hijau. Dan makluk ini hidup bahagia di sana.

Satu-satunya hal yang paling ditakutkan penduduk Planet 51 adalah kedatangan makluk asing. Mereka bilang makluk asing sebagai alien. Malangnya Chuck, dia dianggap alien yang ditakutkan mengacaukan sistem kehidupan masyarakat planet.

Selain menawarkan gagasan adanya kehidupan baru di planet luar bumi, film ini juga ingin menunjukkan kepada manusia mengenai apa yang terjadi jika logika terhadap makluk asing dibalik. Jika selama ini manusia tidak terlampau peduli pada pelestarian alam dan merendahkan posisi hidup makluk hidup lain, kini manusia dianggap makluk aneh dan jadi ancaman makluk lainnya.

Dari sudut pandang manusia, Chuck merupakan orang cerdas karena mampu melakukan penjelajahan dan sukses menemukan planet baru serta menjumpai kehidupan baru. Tentu ini merupakan prestasi dan penghargaan telah menunggunya.

Tetapi masalahnya apakah pencapaian itu ditangkap oleh makluk planet. Tidak. Secara umum tidak. Manusia tetaplah makluk asing yang mengancam keharmonisan makluk planet. Chuck akan ditangkap untuk selanjutnya diperiksa otaknya.

Dia dianggap sebagai makluk yang akan merusak tatanan kehidupan. Akan merampok pencapaian masyarakat planet. Akan memperalat mereka. Kebencian itu diceritakan bahwa Chuck hanyalah makluk yang akan menyedot otak mereka.

Sampai akhirnya Chuck dengan bantuan robot bernaman "Rover" mendapatkan teman. Namanya Lem, seorang pengawas benda-benda langit. Chuck dibantu oleh Lem untuk menjelajah Planet 51 agar mereka terhindar dari pengejaran besar-besaran yang digerakkan oleh ilmuwan dan tentara planet.

Agar selamat, Chuck harus menjelaskan kepada mereka kalau dirinya bukan orang jahat sehingga tidak perlu ditakuti. Tetapi, rupanya sulit sekali hal itu dia lakukan. Karena tidak ada orang yang percaya lagi. Dalam pikiran orang planet ini, Chuck adalah makluk yang harus pergi dari muka planet.

Menonton film ini aku jadi bertanya-tany apakah manusia yang hidup di jaman modern ini sebenarnya sudah bekerja keras untuk menghormati orang lain atau sama sekali tidak. Apalah mampu saling menghargai atau tidak. Ataukah kita semakin mencurigai satu sama lainnya. Akhirnya manusia hidup sendiri-sendiri.

Perilaku makluk Planet 51 bisa juga ditafsirkan sebagai personifikasi sifat masyarakat manusia. Chuck ingin mengingatkan kembali bahwa kita harus saling mengenal. Dengan begitu kita bisa bekerjasama menuju masyarakat manusia. Tanpa mau mengenal bagaimana bisa bekerjasama.

Lalu apakah kita mau berkembang dalam pengakuan terhadap pentingnya peran hewan, tumbuhan, udara. Sudahkah kita mengetahui kalau kita tidak bisa eksis, tanpa ada ketiganya. Apakah kita sebenarnya tidak terlalu peduli.

---Kemayoran

Friday, December 18, 2009

Hoi Manusia, Kata Orangutan

"Hoi hoi hoi," seru adik kecilku. Di ragunan, di kandang di bawah sana, dua ekor orangutan Kalimantan hanya melirik ke arah kami, lalu kembali pada keasyikannya mengunyah rumput. Lagi adikku memanggilnya. Tapi kedua satwa ini tak peduli. Dan begitu seterusnya.

"Mas, kenapa dia tidak mau mendengar lagi panggilanku," kata adik. Kubilang, buat apa orangutan ini harus capek-capek menanggapimu. Dan apa gunanya pula kamu memanggil-manggil dia. Jadi, mari kita melihat saja dan mengetahui kehidupan kedua makluk yang sama dengan kita yaitu diciptakan oleh tuhan.

Lihatlah dik, dia begitu asyik di sana, di cekungan kolam, walaupun sebenarnya dia sedang dipenjara dan diperalat oleh makluk yang bernama manusia. Aku yakin sebenarnya dia sadar tentang kondisinya sekarang ini. Kalau kebetulan dia melirik ke arahmu ketika dipanggil, boleh jadi dia sebenarnya menganggap kita sebagai makluk aneh. Makluk jahat karena memaksa makluk lain untuk dikomersilkan atas nama penyelamatan satwa.

Sangat beralasan kalau orangutan ini menganggap manusia sebagai makluk asing dan aneh. Karena sejatinya manusia memang telah mencuci sistem hidup satwa dengan mengondisikan sedemikian rupa secara sepihak agar para orangutan ini bersedia bertahan di penjara yang diberi status kebun binatang.

Kebun binatang merupakan terjemahan dari bentuk penjajahan hak hidup bebas yang dipunyai para satwa. Manusia beralasan bahwa pembangunan kebun ini sebagai upaya nyata untuk menjaga, melestarikan, dan mengingatkan masyarakat bahwa ini lho, ada satwa yang harus dijaga. Maka mereka dipamerkan di kebun.

Tahukah kita bahwa alasan-alasan yang dikampanyekan manusia ini sesungguhya adalah untuk menjelaskan ada pelegalan di luar sana, di hutan-hutan sana, bahwa manusia sah-sah saja mengeksploitasi hutan secara besar-besaran dan semuanya atas nama perekonomian nasional.

Ketika hutan makin habis, seiring dengan tingkat kesadaran sebagian anggota masyarakat bahwa hutan harus tetap ada dan satwa tidak boleh punah, tetapi di sisi lain sistem bisnis harus tetap jalan, lalu dimunculkan kebun binatang. Jadi kebun ini sebenarnya dapat dikatakan sebagai kedok atas nama penyelamatan ekosistem.

Jujurkah manusia dalam menghormati makluk lain. Bisakah secara iklas menganggap mereka ada di dunia ini. Menempatkan mereka sebagai sesama makluk tuhan yang mempunyai hak atas atmosfir planet ini. Bisa berhentikah manusia menguasai makluk hidup yang lainnya yakni membiarkan mereka hidup dengan sistemnya di alam bebas.

Jadi dik, mari kita belajar. Kita harus jadi orang pintar dan punya hati untuk menyadari bahwa di bumi ini, manusia bukanlah penguasa tunggal atas kehidupan. Ada satwa dan tumbuhan.

Dalam kerangka berpikir kita ini dik, haruslah tertanam bahwa bumi hanyalah satu benda di antara dari milyaran benda berbentuk bulat mirip bumi di galaksi Bimasakti. Bumi ini posisinya mengapung. Dan di sanalah kita, manusia, satwa, dan tumbuhan bertahan hidup.

Ragunan 18 Desember 2009

Thursday, December 17, 2009

Gemarkah Kita Hanya Dengan Satu Sudut Pandang

Begitu hari mulai gelap, arus lalu lintas menuju ke Puncak Bogor mengalami kepadatan kendaraan. Rata-rata kecepatan bus yang kutumpangi hanya mencapai 0-5 kilometer perjam. Mungkin hati pengemudi kendaraan ini kesal karena kondisi ini tentu menguras energi yang besar.

Kemacetan arus lalu lintas menjelang akhir pekan yang panjang ini merupakan realitas yang terjadi di depanku. Realitas ini begitu nampak dan sangat terasa. Yakni kendaraan mengantri sangat panjang. Dan waktu yang kami butuhkan untuk mencapai hotel tempat acara menjadi sangat lama.

Kudengar ada teman-teman yang mengeluhkan situasi ini. Mereka bilang ini semua karena banyaknya kendaraan milik orang Jakarta yang masuk ke Puncak. Mereka telah menjadi biang keladi atas kesemrawutan lalu lintas sore ini. Dalam hati, aku setuju dengan umpatannya. Tetapi betulkah kemacetan hanya karena tingginya volume kendaraan.

Banyaknya kendaraan yang ikut memicu macet memang realitas yang tak terbantahkan. Tetapi fakta ini pasti bukanlah satu-satunya kebenaran. Karena di dunia ini tidak ada realitas satu-satunya. Selalu ada kenyataan lain yang berda dalam realitas yang nampak di depan sana. Apakah itu.

Dalam konteks realitas kemacetan sore ini, ternyata ada realitas lain yakni seperti yang telah terurai secara singkat di atas, tingginya volume kendaraan. Realitas lainnya ialah infrastruktur jalan. Kalau memperhatikan kemacetan yang terjadi ini, ternyata jalus jalan yang dilewati bus yang kutumpangi memang sempit. Hanya terdiri dari dua jalur. Dan ini merupakan jalur satu-satunya di kawasan ini menuju ke Puncak.

Volume kendaraan yang tinggi tanpa diimbangi dengan infrastruktur yang memadai tentu saja sangat tidak tepat. Jadinya setiap hari menjelang libur, daerah ini akan selalu menjadi rute yang mengalami kemacetan arus lalu lintas.

Ada lagi realitas lain yang membangun realitas kemacetan yakni perilaku para pengemudi mobil dan pengendara sepeda motor. Sebagian di antara mereka tidak tertib berlalu lintas seperti saling serobot untuk mendahului kendaraan lainnya. Keadaan ini secara langsung mengakibatkan makin semrawutnya lalu lintas.

Ketiadaan aparat kepolisian di jalur macet di daerah ini juga merupakan realitas. Kebijakan direktorat lalu lintas terhadap pengaturan arus kendaraan di Indonesia juga kenyataan yang ikut menentukan bagaimana kondisi lalu lintas.

Singkat cerita, dengan mendasarkan pada realitas-realitas yang diuraikan di atas, beralasan kuatkah kita kalau dengan mudah membuat satu kesimpulan bahwa macet hanya karena banyaknya jumlah kendaraan. Atau macet karena ulah ugal-ugalan sopir angkot. Apakah kita sudah berusaha melihat kenyataan secara menyeluruh sebelum membuat keputusan. Gemarkah kita melihat sesuatu hanya dengan satu sudut pandang.

Perjalanan Jakarta-Bogor 17 Desember 2009

Wednesday, December 16, 2009

Kemana Komitmen Itu

Surahmat dan Pradnya Paramitha adalah orang yang sebenarnya masih ingin mengenal kepribadian masing-masing. Tapi entah apa yang mendasarinya kemudian dua manusia ini berkomitmen untuk menikah dalam waktu dekat. Kupikir yang mereka lakukan ini terlalu terburu-buru.

Surahmat adalah temanku. Dia pengusaha percetakan. Sedangkan Paramitha juga temanku seorang pramugari maskapai Air Asia yang belum lama ini pensiun dari pekerjaan.

Dalam perjalanannya kedua orang ini memang saling berbahagia pada awal-awal berelasi. Tetapi proses berikutnya masalah-masalah bermunculan di antara Surahmat dan Paramitha. Dan mereka agaknya kurang matang dalam mengelola semua persoalan sehingga mengganggu keharmonisan.

Hal-hal yang seharusnya tidak perlu menjadi masalah justru makin berkembang menjadi persoalan serius. Misalnya soal teman-teman mereka di facebook. Kecemburuan membikin bangunan hubungan kedua manusia ini pelan-pelan runtuh. Hampir setiap waktu mereka saling mencurigai. Saling tidak mempercayai.

Situasi ini kemudian membawa mereka pada kritisnya jalinan kisah cinta mereka. Pertengkar demi pertengkaran sering terjadi. Belakangan Surahmat tidak mau lagi berakomunikasi. Hari berikutnya gantian Paramitha yang membalas tidak mau berkomunikasi. Dan seterusnya begitu.

Aku sebagai teman mereka dapat memahami situasinya. Mungkin karena aku tidak terlibat secara langsung dalam pergulatan bathin kedua temanku ini, sehingga aku bisa bersikap netral dan mampu melihat secara agak menyeluruh terhadap problem mereka.

Paramitha adalah pencemburu. Sikap ini ingin dia tunjukkan untuk menjelaskan betapa besar keinginan untuk memiliki Surahmat. Dia ingin secara total menguasai pasangannya. Perasaan semacam ini tanpa disadarinya telah melupakan bahwa Surahmat memiliki kebebasan pribadi.

Paramitha kurang mampu menyadari soal kebebasan orang lain. Dia berpikir bahwa yang namanya berpacaran adalah melegalkan keinginan menguasai. Dia tidak mampu melampauinya sehingga terjebak pada kesempitan berpikir dalam menafsirkan makna cinta. Yakni memahami dan membebaskan.

Hal kecil, misalnya Surahmat tidak mengangkat telepon, ini bisa membuat emosi Paramitha meledak. Hal yang patut disayangkan karena sama saja tidak menghormati sebuah hubungan yang sudah terjalin lama. Mengapa harus marah. Coba dia menggunakan sudut pandang lain, seperti oh mungkin saja Surahmat sedang sibuk. Dan aku harus memahaminya.

Coba itu juga dikerjakan, walaupun memang berat untuk situasi Paramitha yang mungkin saja waktu itu sangat menginginkan kehadiran Surahmat, tentu saja hal-hal semacam ini bisa membuat bertahannya keharmonisan. Aku tidak bermaksud menyalahkan Paramitha karena dilain kesempatanpun sebenarnya Surahmat sering bersikap semacam itu.

Singkat cerita hubungan mereka benar-benar berada dalam jurang. Belakangan Surahmat tidak mempercayai Paramitha. Dan sebaliknya juga demikian. Paramitha makin sempit. Dia hidup dalam kecurigaan yang ujung-ujungnya dia sendiri yang tersiksa karena posisinya sangat menginginkan Surahmat berada dalam kekuasaannya.

Pekan lalu Amanda, teman baik Paramitha menghubungiku untuk memberitahu kalau Paramitha koma setelah alergi sinar mataharinya kambuh. Pada waktu itu Paramitha dirawat di salah satu rumah sakit di Semarang. Dia bilang Paramitha sempat tidak bernafas selama lima menitan.

Tidak lama kemudian, dia diterbangkan ke Kuala Lumpur untuk berobat. Selama pengobatan, kondisi kesehatannya menunjukkan perkembangan positif sehingga dia bisa meneleponku untuk bercerita tentang perasaan-perasaannya. Dia ingin agar aku menjelaskan kondisinya kepada Surahmat yang sama sekali tidak percaya kalau dia sakit.

Kuceritakan kepada Surahmat dan ternyata dia sama sekali tidak percaya. Dia merasa sedang dikerjai Paramitha. Intinya Surahmat merasa akan dikuasai dan dia menolak keras bahkan menganggap Paramitha sebagai orang yang punya kepribadian aneh.

Dia berpikir begitu karena merasa menemukan banyak indikasi dalam proses hubungan selama ini yang menjelaskan kalau Paramitha sedang merencanakan sesuatu yang intinya hanya ingin dimanjakan.

Tadi siang, Paramitha menelponku untuk mengatakan dia sedang dirawat di sebuah rumah sakit di Singapura karena kondisi kesehatan memburuk lagi. Dia menangis dan suaranya sangat lemah dan mengeluh tidak punya semangat hidup. Kukatakan kepadanya tugasnya sekarang ini adalah istirahat, berdoa dan memupuk semangat.

Lupakan semua persoalan dengan menyadari bahwa perhatian teman-temannya jauh lebih berharga daripada persoalan dengan Surahmat. Jangan merasa kehidupan ini menjadi tiada arti hanya karena ada satu orang yang tidak percaya kita. Kukatakan hidup kita ada di tangan kita setelah tangan tuhan.

Beberapa puluh menit kemudian, Amanda meneleponku dari Denpasar untuk memberitahu bahwa Paramitha meninggal dunia di Singapura. Ya ampun. Setelah itu kuberitahukan kepada Surahmat dan dia tidak percaya dengan mengatakan ini cuma kerjaan iseng yang bertujuan cari perhatian. Bahkan dia bilang Paramitha telah menipunya dengan menceritakan latar belakang keluarga yang fiktif.

Aku tidak ingin terlibat pada persoalan kedua manusia ini. Aku hanya berpikir dimanakah sebenarnya letak cinta yang telah mereka bangun. Betulkah Surahmat sangat benci Paramitha. Dan sebenarnya apa yang mendasari dan apa yang terlintas dalam pikiran Surahmat ketika bersedia berkomitmen untuk hidup dengan jalan menikah dengan Paramitha.

Itulah kisah perjalanan Surahmat dan Paramitha. Tragis. Komitmen untuk menikah yang telah mereka bicarakan kandas karena dalam prosesnya mereka tidak bekerja keras untuk membuang ego.

Tuesday, December 15, 2009

Apa Itu Cinta

Sebelum menonton film New Moon di akhir November 2009, aku telah banyak mendengar berbagai pendapat, baik dari obrolan-obrolan singkat teman-temanku juga dari komentar-komentar di jejaring sosial facebook. Biasanya mereka mengatakan sangat gandrung dengan cerita film ini. Mereka umumnya adalah perempuan. Mengapa sampai begitu. Aku makin penasaran.

Setelah selesai menonton film barulah aku dapat jawabannya. Salah satu sudut pandang dalam New Moon yaitu begini, Bella putus asa atas kepergian vampir, kekasihnya, Edward Cullen, namun semangatnya menyala kembali saat pertemanannya dengan Jacob Black semakin akrab.

Haru biru, tentu saja. Kuperhatikan orang-orang di sekitarku dalam bioskop 21 Taman Ismail Marzuki seperti tidak bernapas ketika menyaksikan pemutaran film ini. Bahkan Vira, temanku seperti tidak berkedip selama menonton. Mungkin hatinya ikut berontak sambil mengingat-ingat seseorang.

Pembuat cerita ini ingin menunjukkan kepada penonton bahwa perasaan cinta Edward dan Bella adalah semangat untuk saling memahami satu sama lainnya. Cinta dalam kasus ini dikonteksnya menjadi pasangan hidup. Mereka bekerja keras untuk tidak memaksakan kekuatan dan kehendak untuk saling memiliki. Yang dilakukan oleh kedua orang ini adalah bagaimana masing-masing bersedia memberikan kebebasan pribadi.

Edward membebaskan Bella untuk membuat keputusan sendiri dengan cara memutuskan tidak ingin mengganggu lagi kehidupan Bella di dunia. Edward yang tentu saja sangat menyintai gadisnya ini dengan tulus lenyap dari muka bumi untuk pergi bergabung dengan keluarga vampirnya.

Tetapi apa yang terjadi. Cinta memang bisa dianggap tidak rasional oleh orang-orang yang sedang tidak terlibat dalam percintaan. Sampai-sampai keluarga Bella menganggap dia sakit dan sangat-sangat butuh pertolongan. Mereka berpikir demikian karena menilai kehidupan Bella semakin tidak fokus dan tidak konkrit sepeninggal cinta Edwardnya.

Cinta adalah perasaan ingin memiliki orang lain. Cinta sekaligus mengandung perasaan ingin menguasai orang lain. Cinta juga berisi unsur kepasrahan. Dan itulah yang dialami Bella. Lamanya waktu. Bergantinya musim. Tidak pernah membuat cintanya redup.

Bahkan kekuatan cinta itu selalu membikin dia terjaga. Dia tetap optimis akan menemukan Edward. Rupa-rupa cara dia tempuh untuk mewujudkan semangat cinta yang abstrak itu. Dia bekerja keras untuk mengkonkritkan perasaannya.

Tidak lama setelah Bella dan Jacob semakin akrab dan dekat, barulah dia menyadari bahwa dirinya telah masuk ke dunia serigala jadi-jadian yang merupakan musuh bebuyutan para vampir, kesetiaan Bella kepada Edward pun diuji di sana.

Cinta kusebut sebagai sesuatu yang abstrak. Mungkin boleh dibilang sesuatu yang jadi-jadian. Betapa tidak. Ketika orang sudah menyatakan jatuh cinta, jatuh hati, kepada seseorang. Dia menjadi orang yang bisa mengorbankan harga dirinya, mengorbankan waktunya, mengorbankan perasaannya dan mengorbankan hal hal yang menurut orang yang tidak terlibat dalam percintaan itu adalah hal yang tidak perlu dilakukan.

Boleh kuceritakan sedikit tentang pengalamanku. Suatu hari ditemukan mayat pria yang sudah membusuk. Lalu dia dibawa ke rumah sakit. Keluarga dan pacarnya yang mendengar informasi ini langsung merapat ke sana. Begitu tiba di ruang jenazah, sang pacar yang selama ini menantikannya langsung menubruk dan memeluk erat mayat yang sudah membengkak dan bau itu.

Tanpa didasari perasaan cinta, tentu saja sulit melakukan hal semacam yang dilakukan gadis ini. Perasaan cinta gadis ini kepada pacarnya telah mengalahkan bentuk fisik dan lain-lainnya yang dianggap orang yang tidak terlibat cinta tidaklah perlu melakukannya.

Itupula yang ingin ditunjukkan cinta Bella kepada Edward. Cinta mereka menembus batas-batas kewajaran yang dimiliki keluarga dan teman-temannya. Cinta yang membebaskan yang ditunjukkan oleh Edward telah mengunci perasaan Bella. Sehingga Bella rela bekerja untuk terus mewujudkannya. Begitu juga dengan Edward, walau dia memutuskan untuk menghilang dari kehidupan kekasihnya.

Tanpa kekangan, tanpa diatur ini dan itu, tanpa cemburu buta, sikap-sikap yang mementingkan diri sendiri sebagaimana yang terjelaskan melalui sikap Edward kepada Bella, itulah yang sebenarnya dicita-citakan banyak orang yang sedang membangun cinta.

Karena yang terjadi pada umumnya adalah ketika sebagian manusia menyatakan cinta kepada pasangannya, hubungan mereka di kemudian hari menjadi tidak lagi bebas. Terjadi penyempitan makna dari persahabatan menjadi pacaran. Persahabatan berarti bebas. Pacaran berarti penuh pagar.

Mengapa menjadi sempit karena dalam berpacaran mereka membuat komitmen-komitmen tertentu yang intinya saling melarang pasangannya untuk tidak melakukan ini dan itu. Melakukan hal-hal dimana hal itu sebelum dapat mereka kerjakan sebelum mereka sepakat berpasangan.

Jadi salah satu nilai film ini ialah cinta itu bukan sesuatu yang sudah jadi dan manusia tinggal mengenakannya sebagaimana mengenakan pakaian yang sudah selesai dijahit. Cinta bukanlah seperti itu karena cinta adalah sebuah kata lain dari semangat manusia untuk saling memahami dan hal ini harus diwujudkan dengan secara terus menerus.

Jakarta 15 Desember 2009

Wednesday, December 2, 2009

Apakah Kita Zombie

Kami sama-sama senang setelah menonton film Zombieland di bioskop 21 Plaza Semanggi. Kami berdiskusi sambil berjalan kaki sepanjang jalan menuju tempat parkir di gedung Standard Chartered, Jakarta Selatan.

“Manusia butuh saling kerjasama dengan yang lain. Kita tidak bisa hidup sendiri,” kata Vira. Aku setuju dengan bagaimana dia menerjemahkan pesan film Zombieland ini.

Kira-kira kalau film ini dideskripsikan berdasarkan alur ceritanya, begini. Seorang pemuda penakut bernama Columbus terpaksa bergabung bersama pembasmi zombie dadakan bernama Tallahassee.

Saat Tallahassee sedang dalam misi mencari Twinkie yang tersisa di bumi, keduanya bertemu dengan Wichita dan Little Rock, kakak beradik yang sudah bersembunyi di banyak tempat untuk terhindar dari kekacauan ini. Itulah deskripsi sederhana dari Zombieland.

Sebenarnya tidak ada pengalaman hidup yang baru yang ingin ditawarkan pembuat film ini kepada publik. Jadi, menurutku, ceritanya hanya lebih pada keinginan mengingatkan kembali kepada masyarakat tentang betapa pentingnya menghormati dan menghargai orang lain yang ada di sekeliling kita.

Misalnya hal itu ditunjukkan oleh Columbus dan Tallahassee. Pada awalnya mereka menolak untuk untuk saling bekerjasama. Mereka merasa sudah sangat percaya diri untuk dapat menangani kekacauan dan semua permasalahan mereka.

Situasi kacau yang dimaksud ialah dimana sistem tata krama sudah tidak berfungsi. Manusia sudah tidak memiliki rasa kemanusiaan. Menganggap yang lain sebagai ancaman. Sebenarnya ini lebih tepat untuk menjelaskan situasi kemasyarakatan dunia modern dewasa ini. Dimana sebagian anggota masyarakat berpikir kita harus mencurigai orang lain akan berbuat jahat kepada kita.

Tetapi toh pada akhirnya kekuatan kekacauan jauh lebih berkuasa daripada sifat egois yang dimiliki Columbus dan Tallahasse. Situasi sangat tidak menguntungkan dan akhirnya menempatkan mereka pada kondisi untuk tetap saling membutuhkan satu sama yang lainnya. Untuk kembali pada kerinduan saling percaya dan dipercayai.

Pulau zombie menurutku merupakan terjemahan dari suatu sistem yang diciptakan oleh pemilik modal atau oleh penguasa yang membangun kerajaan sendiri. Mereka menciptakan rupa-rupa aturan main yang tentu saja mendukung keinginan mereka untuk mencapai keuntungan dan kenikmatan sebesar-besarnya.

Entah secara sadar atau tidak mereka telah mempersempit ruang gerak masyarakat melalui aturan-aturan main. Sehingga masyarakat terjebak pada aturan itu. Masyarakat tidak lagi memiliki kebebasan karena semuanya sudah diatur lewat sudut pandang sistem pemilik modal.

Ketika yang berjalan di lapangan tidak lagi sesuai sistem yang diatur itu, kemudian masyarakat dianggap telah melakukan suatu pelanggaran. Singkat cerita akhirnya yang terjadi ialah saling memakan satu sama lainnya. Rasa saling memanusiakan, memahami, menghormati, dan menghargai telah hilang dari muka bumi dan selanjutnya tergantikan oleh aturan main bikinan pemodal itu.

Sistem baru yang tercipta ialah segala sesuatu kemudian diukur dengan prestasi kerja, penampilan fisik, kecerdasan berbicara, dan lain-lain. Kerjasama kini tidak lagi didasari rasa saling memanusiakan, memahami, sopan santun, saling mempercayai, melainkan kemudian tergantikan oleh ukuran-ukuran itu tadi.

Columbus dan Tallahassee dalam perjalanannya ke negara bagian yang lain secara tidak sengaja bertemu dengan Wichita dan Little Rock. Kakak beradik ini cerdik dan pemberani. Berkali-kali mereka berhasil memperdayai Tallahassee yang sangat percaya diri dan terkenal tidak pernah takut pada zombie.

Kecerdikan ini, menurutku, penjelasan dari usaha mati-matian manusia dari rasa terancam oleh keberadaan orang lain. Karena mereka sudah terjebak pada sistem yang mewajibkan bahwa orang lain itu harus dicurigai, mereka harus mempertahankan diri dengan cara memperdayai dan lari, lari, dan lari.

Apakah lari dari kenyataan bahwa kita harus mengenal orang lain itu merupakan solusi?
Kecerdikan dan kepintaran kakak beradik ini pun tidak bisa mempertahankan hidup mereka sendiri. Toh, pada akhirnya mereka tetap butuh hidup kerjasama dengan Columbus dan Tallahassee. Itu ditunjukkan ketika film ini akan selesai.

Bersama-sama kemudian mereka berjuang melawan para mayat hidup atau melawan sistem. Mereka ingin menjelaskan kepada dunia modern ini bahwa jangan sampai terjebak pada sistem-sistem yang justru menempatkan manusia untuk tidak saling mengenal satu sama lainnya. Jadi, buang ungkapan bahwa orang lain itu jahat. Karena sebelum kita mau mengenal orang lain, bagaimana tahu dia jahat.

Senin 14 Desember 2009

Filosofi Jembatan Semanggi

Jembatan Semanggi. Bangunan fisiknya berupa jalan layang yang melingkar-lingkar. Karena bentuknya mirip struktur daun lalapan, semanggi, maka kemudian meresap dan menjadi nama jembatan itu sendiri.

Pada perkembangannya, kawasan Jembatan Semanggi menjadi ciri khas Ibukota Jakarta. Jembatan ini menjadi semacam poros lalu lintas Ibukota Jakarta sekaligus sebagai simbol kemakmuran perekonomian.

Lokasi jembatan terkenal ini berada di kawasan Karet, Semanggi, Setia Budi. Pembangunannya dilakukan pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.

Proses pembangunan Jembatan Semanggi tidaklah mudah. Presiden Soekarno tidak begitu saja mendapat restu dari rakyat. Sebab, pada waktu itu orang sudah mulai berpikir kritis terhadap ide-ide pembangunan fisik.

Pada masa itu, anggota masyarakat yang kritis terhadap kebijakan pemerintah menilai bahwa gagasan Bung Karno ini hanyalah proyek mubazir. Proyek yang hanya akan menghabiskan keuangan negara dan tidak ada manfaatnya bagi kesejahteraan rakyat.

Bung Karno tentu saja memahami apresiasi yang disampaikan masyarakat. Dia menampung semua protes itu. Bung Karno mengolahnya.

Tapi, bukan Bung Karno namanya kalau kemudian mundur oleh berbagai kritik. Dia tetap mantap pada pendirian, yakni merealisasikan pembangunan Jembatan Semanggi. Tahun 1961 proyek dimulai.

Waktu itu, Jembatan Semanggi hanyalah salah satu dari paket pembangunan fasilitas publik yang akan dibangun pemerintah. Proyek lain yang juga didirikan, antara lain Gelora Senayan (Gelora Bung Karno) dan Hotel Indonesia.

Mengenai nama Semanggi, Bung Karno punya cerita sendiri. Dalam satu kesempatan, dia pernah bicara filosofi tentang daun semanggi. Filosofi yang dimaksud adalah simbol persatuan, dalam bahasa Jawa dia menyebut “suh” atau pengikat sapu lidi. Tanpa “suh” sebatang lidi akan mudah patah.

Sebaliknya, gabungan lidi-lidi yang diikat dengan “suh” menjadi kokoh dan bermanfaat menjadi alat pembersih.

Itulah sejarah singkat Jembatan Semanggi yang kini tetap berdiri kokoh dan mengimbangi pesatnya pembangunan infrastruktur Ibukota Jakarta.

Bila menilik sejarahnya, pantas memang bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menetapkan kawasan Jembatan Semanggi sebagai tempat wisata bernilai sejarah.

(Bahan tulisan diolah dari berbagai data kepustakaan)

Mengapa Mereka Bunuh Diri

Bunuh diri merupakan tindakan mengakhiri hidup sendiri tanpa bantuan aktif orang lain. Alasan melakukan ini banyak macamnya, tapi umumnya didasari oleh rasa bersalah yang sangat besar, karena merasa gagal untuk mencapai sesuatu harapan.

Hal itu diungkapkan ahli psikologi Sani B Hermawan kepadaku Rabu 2 Desember 2009 untuk menanggapi beberapa kasus bunuh diri yang terjadi di Indonesia selama sepekan terakhir, dua di antaranya terjadi di pusat belanja Jakarta.

Selain dilanda putus asa karena tidak mampu memecahkan masalah, ada juga diakibatkan oleh kepribadian tertentu. Salah satunya depresi. Jadi, kata Sani, orang yang tidak puas dan tidak kuat menahan cobaan hidup, bisa memilih jalan bunuh diri.

“Jadi, orang yang punya kepribadian seperti itu, dia memiliki kecenderungan untuk bunuh diri,” kata Sani.

Ditanya mengenai motif bunuh diri sebagaimana ilmu sosiologi jelaskan, yaitu karena ingin berjuang melalui keyakinan yang dianut, Sani mengatakan kasus semacam itu memang ada.

Dia menyontohkan bunuh diri dalam budaya Jepang yang dikenal istilah hara-kiri. Hara kiri, kata dia, didasari semangat untuk mencapai suatu kehormatan. Karena mati dianggap lebih terhormat daripada hidup tidak punya harga diri.

Kemudian bunuh diri karena ideologi tertentu, misalnya dengan meledakkan diri di tempat publik.

“Alasan pelaku kan karena ada yang ingin dia perjuangkan. Tapi menurut saya, itu paradigma yang keliru,” katanya. “Karena yang tewas bukan hanya dia sendiri, orang lain juga jadi korban.”

Sani mengatakan tidak melihat kasus bunuh diri di Indonesia dilakukan karena didasari semangat pencapaian kehormatan seperti dalam hara-kiri. Sebab, budaya Indonesia dengan Jepang beda. Apalagi, masyarakat Indonesia umumnya taat pada agama dan agama melarang bunuh diri.

Jadi, Sani lebih menangkap kasus bunuh diri di Indonesia hanya sebatas karena mereka tidak mampu memecahkan masalah pribadi dengan baik.

Nah, kalau persoalannya itu, Sani mengatakan salah satu cara mencegahnya ialah dengan memahami mereka yang sedang menjalani cobaan hidup. Dan ini merupakan tanggung jawab teman dan keluarga. Mereka harus membantu, mendengar, memahami, mendukung, dan mencari solusi bersama.

Hai, Panggil Aku Mo

Suatu sore aku dan temanku Vira main di Taman Ismail Marzuki. Sehabis membeli buku tentang tokoh filsafat, Freud, Sartre, dan ilmu tentang Kosmologi, di toko buku milik Pak Jose Rizal Manua, kami nongkrong di salah satu kafe.

Di sana, tiba-tiba calon dokter gigi dari UI ini mengeluarkan sesuatu yang terbungkus plastik dari dalam tas trendinya. Lalu, dia memberikan sesuatu itu kepadaku. Setelah kuambil dan kulihat, ternyata seekor monyet. Wow lucunyaaa. Eh, tentu saja ini bukan monyet sungguhan, melainkan sebuah boneka.

Bulunya coklat dan sangat tebal. Dan kalau dilihat dari depan, kepala teman baruku ini tampak botak. Dan justru menurutku itulah salah satu letak kelucuannya. Ditambah lagi dia selaaaaaaalu menyunggingkan senyum kepadaku dan tentu saja kepada siapapun yang berjumpa dengannya.

Vira bilang boneka lucu ini mirip seorang fisikawan bernama Albert Einstein. Kok bisa, pikirku. Oh, rupanya karena kepala boneka monyet ini botak, lalu dia membayangkan monyet ini sebagai Einstein. Hahahhaha.

Selesai makan di kafe itu, aku dan Vira nonton film New Moon. Film yang lagi disukai banyak orang sekarang ini. Film yang menjelaskan tentang hakikat cinta. Cinta berarti memahami. Memahami ciri-cirinya ialah memberi kebebasan kepada pasangan. Cinta bukanlah sesuatu yang sudah tersedia dan mereka tinggal menjalaninya. Bukan seperti itu. Menyintai berati kita bekerja. Bertindak untuk mewujudkannya. Dan itu berlangsung sepanjang hidup. Oh cinta. hahaha.. Eh, monyet temanku ikut nonton. Hehehe.

Dia duduk di tengah, di antara kami para manusia. Mungkin dia satu-satunya monyet yang beruntung malam itu. Beberapa orang sepertinya keheranan padaku. Soalnya, aku duduk jejer boneka. Orang melihat ini seperti langsung memikirkan sesuatu. Ya ya ya ya… Tidak mengapa.

Usai nonton film, kami makan, lalu pulang. Vira bilang monyet ini mesti dikasih nama. Mmm. Betul juga, pikirku. Tapi siapa namanya. Vira bilang ya namanya monyet saja. Masa sih namanya monyet saja. Tapi lama-lama kupikir bener juga. Kenapa monyet harus dikasih nama yang aneh-aneh, paijo, paimin, macan, dan lain-lain.

Sepanjang perjalanan pulang, aku mikir-mikir. Kuberi nama apa ya si teman lucuku ini. Ada beberapa pilihan. Tapi lama menentukannya. Sesampai di kos, aku baru memutuskannya. Yah, kuberi dia nama Mo saja. Dua huruf yang kuambil dari kata monyet. Singkat dan lucu.

Yoi, malam itu akhirnya aku punya teman baru di kamar kos. Pada waktu Vira memberiku hadiah boneka ini, dia bilang supaya temanku bukan cuma buku-buku saja. Mesti ada sesuatu yang lain atau yang baru. Hahahah. Sesuatu itu mungkin maksudnya sesuatu yang menawarkan semacam pengetahuan atau pemandangan yang baru sama sekali.

Memang selama ini sama sekali tak pernah terpikir olehku untuk membeli boneka untuk hiburan di kamar kos. Pasti aneh menurut sudut pandang teman-temanku yang main ke tempatku. Mereka akan pikir, wow Sis sudah menjadi pria gemulai. Haghaghag.

Nah, aku juga berpikir bahwa di situlah letak menariknya. Mungkin saja Vira berpikir demikian. Dia sengaja menghadiahiku sebuah boneka sekaligus untuk menantang konsep yang menyebut mainan semacam ini hanyalah untuk anak perempuan. Vira mungkin mau menjelaskan bahwa Boneka adalah mainan yang universal. Benda ini bisa menjadi teman bagi siapapun, pria dan wanita, besar dan kecil.

Bisa jadi Vira juga berpikir begini. Boneka monyet ini hanyalah cara bagi dia untuk berkomunikasi dengan orang lain agar masyarakat lebih tergugah hatinya dan menyayangi satwa. Mungkin Vira termasuk pengagum Ahimsa, ajaran Buddhisme dan Hinduisme, yang berarti manusia tidak boleh melukai, apalagi membunuh makluk hidup. Ajaran itupula yang diikuti oleh Mahatma Gandhi. Gandhi menempuh jalan hidup pelayanan.

Wokay, si Mo. Kau sudah jadi temanku sekarang. Kini kau telah kuberi jiwa. Kau kumonyetkan atau dalam bahasa manusia kau telah dimanusiakan. Aneh kedengarannya. Diberi jiwa. Maksudku, kau kuberi makna sebagai teman.

Mo, kini kau perlu tahu. Viralah yang telah menyelamatkanmu dari pertokoan di Taman Safari, Cisarua, Bogor. Waktu kau masih di sana, pastilah kau hanyalah seonggokan benda yang hanya dimaknai sebagai barang dagangan. Kini, kau dikeluarkan dari sana ketika Vira dan keluarganya berekreasi di tempat asalmu.

Dan kini kau tinggal di tempat yang jauh lebih terhormat yaitu di kosku. Kau kutempatkan di dekat buku-bukuku. Kau tau, bagi manusia, buku adalah salah satu jalan untuk membuka pikiran dan membuka kecerdasan. Walau kau tak membaca, setidaknya kau berada di dekat buku-buku kelas beratku. Hehhe.

Hmmmm… Ngomong-ngomong soal monyet. Ternyata bukan aku saja yang suka monyet. Si Vira pun agaknya suka sekali. Hahaha… Jepret.. jepret… jepret… beberapa foto berhasil diambilnya di Taman Safari sore itu. Bahkan, mungkin saking bangganya, dia memampangnya di facebook.

Dia bercerita telah berhasil menjepret salah satu monyet yang agak kurus ketika mobil yang ditumpanginya dicegat. Ada lagi satu monyet diambil fotonya ketika sedang meminta-minta kepada para pengunjung taman. Okeh.

Kembali pada Si Mo yang manis. Si bulu coklat yang tebal. Kepalanya agak plontos bergaya Einstein. Dia adalah makluk yang kusebut sebagai pemilik senyum abadi. Kusebut demikian karena struktur mukanya memang akan selalu membikin dia tetap ngguyu terhadap apapun yang terjadi.

Tuesday, November 3, 2009

Ada Kuntilanak di Kantorku

Kalau malam, tempat parkir di gedung Standard Chartered biasanya gelap. Walau ada beberapa lampu kecil yang dibiarkan pengelola gedung tetap menyala, penerangannya tidak mampu mencapai semua area.

Ada cerita mistik yang berkembang di sana, di antara para security, office boy, tukang parkir, dan wartawan yang piket malam. Katanya ada penunggu di basement. Beliau adalah seorang perempuan. Haks. Ada yang percaya, ada pula yang tidak percaya.

Kebetulan malam itu aku sedang piket malam di redaksiku yang berada di lantai 31. Ada seorang temanku yang baru datang sekitar jam 23.00 WIB. Wajahnya agak pucat, lehernya berkeringat setelah keluar dari lift. Agaknya dia juga sedang menyimpan amarah.

Dia bercerita kepadaku. Tadi sewaktu masuk ke basement untuk memarkirkan kendaraan, tiba-tiba dia sangat ketakutan. Yang membikin dia setengah mati kaget ialah suara kuntilanak tertawa yang bunyinya seperti di film-film hantu. Bahkan, setelah turun dari kendaraan dia lari sekencang-kencangnya di tengah gelap.

Sampailah dia di tempat terang. Rasa takut bukan kepalang mulai hilang. Dan dia menemui tukang parkir di lantai atas. Belakangan temanku ini tahu kalau suara kuntilanak yang baru saja menghantuinya itu bukan betulan, melainkan sengaja dibunyikan oleh security iseng lewat telepon genggam.

"Monyet," kata temanku.

Saturday, October 31, 2009

Lupa Topi Bundar

Sabtu pagi anak-anak kecil berkumpul di rumah kosku. Ada Tasya, ada Runay, dan ada Susi. Mereka bernyanyi-nyanyi rame-rame. Misalnya yang dinyanyikan lagu berjudul Bintang Kecil, dan Topi Bundar.

Si Susi : "Topi saya bundar. Bundar topi saya. Kalo saya besar..."

Si Tasya: "Salah itu Sus"

Si Susi langsung diam dan melihat Tasya. Mungkin dia merasa salah karena meski sudah berusaha keras menghafal lagu itu, tetap saja tidak pas. Lalu si Tasya yang anaknya lebih percaya diri mulai tampil menyanyi.

"Topi saya bundar, bundar topi saya. Topi saya bundar, bundar topi saya, topi saya bundar, bundar topi saya, saya topi bundar..."

Maksudnya Tasya semula mungkin ingin menunjukkan kalau dia lebih jago dan hafal. Tapi entah kenapa dia tidak mampu menyelesaikan lagu secara baik.

Setelah itu gantian Susi yang langsung menyanyi.

"Topi saya bundar. Bundar topi saya. Kalo saya besar... kalo saya besar... kalo saya besar"

Begitulah cerita anak-anak manis di kosku. Aku tidak tahu apa sebabnya secara pasti, cuma terakhir-terakhir si Susi dan si Tasya menangis. Eh si Runay yang pendiam juga nangis.

Dari perkataan ibunya yang kudengar dari kamarku, rupanya kedua anak baik itu sudah putus asa karena tidak berhasil menghafal lagu Topi Bundar.

Kucing dan Si Boim Berbagi Tempat

Setiap malam, setiap pulang dari redaksi, anak kucing berbulu hitam di kos selalu menyambut kedatanganku. "Miauww.. miauwww." Mungkin dia bilang, selamat datang kembali. Sepertinya dia senang betul melihatku.

Malam itu, setelah melompat dari pojokan teras rumah, dia mendekatiku. Lalu menggelendot ke kakiku. Aku sampai tak enak harus menjauhkan badannya dari kakiku supaya aku bisa jalan masuk rumah.

Mungkin dia ingin mengobrol denganku. Cerita-cerita melalui bahasa belaian. Dan dia menjawab dengan. miauwww.. Menyenangkan memang punya teman seperti ini. Setia kawan.

Karena agak ngantuk, aku tidak bisa membelai kepala kucing hitam dan berbulu putih di dada itu. Aku masuk dan menutup pintu rumah. Tumben saja, kucing ini tidak ikut masuk. Dia rupanya ingin tidur di luar atau di kain teras.

Oh, rupanya di teras tetanggaku ada si Boim. Dia ini pria kurang waras yang tinggal di lingkungan sekitar rumah kosku. Boim yang gemar tertawa terbahak-bahak itu sedang tidur-tiduran. Kucingku tadi berjalan mendekati Boim.

Begitu sampai di dekat tempat tiduran Boim, si Boim tersenyum pada kucing. Kurasa kedua makluk tuhan ini ada kontak komunikasi. Tiba-tiba Boim tertawa lebar. Dan kucingku mengeong.

Aku memperhatikan mereka dari jendela. Wow.. si Boim memberi tempat kepada kucingku. Dia menggeser badan lalu kucingku langsung menempati ruang kosong di dekat si gila itu.

Setelah itu, Boim mulai fokus pada dunianya sendiri. Ngawang-awang entah apa yang dikhayalkan. Sementara kucingku langsung melingkar malas sambil menggerakkan ekornya. Bahagianya mereka. Begitu bebasnya jiwa mereka menjadi makluk hidup sehingga tidak ada lagi saling curiga.

Misuh-misuh

Ini masih kisah Bahrul, temanku yang lagi kuliah S2 jurusan Ekonomi di UGM, Menteng. Acara ngumpul-ngumpul usai kuliah sering mereka lakukan. Biasanya tempatnya di kafe. Hari itu, teman-teman Bahrul memutuskan ngerumpi ekonomi di Tebet.

Masing-masing mahasiswa bawa mobil sendiri-sendiri. Kecuali Bahrul. Mungkin sekalian mereka akan pulang setelah selesai acara di Tebet. .

Bahrul: "Din, ayo Kita bareng saja. Daripada kamu capek bawa mobil sendiri. Macet pula."

Dina: "Mmmm. Boleh juga sih. Nanti kamu antarin Din ke kampus lagi yah."

Bahrul: "Okay hun, apa sih yang enggak buat kamu."

Bahrul temanku ini masih jomblo. Dia tidak pernah tinggal diam kalau melihat perempuan yang menurut perspektifnya layak dikejar. Diam-diam sejak lama dia ingin menembak Dina.

Sampai di pelataran parkir, Bahrul buru-buru menghidupkan sepeda motornya. Setelah bayar parkir, dia membawa motor ke depan lobi kampus tempat si Dina menunggu.

Bahrul: "Hai hun, marilah."
Dina agak kaget. Dan menjawab, "Aduh, mamaku marah kalau aku naik motor. Kulitku sama rambutku bisa kotor."

Semula Bahrul pikir Dina bercanda saja. Tapi ternyata serius. Dina menolak Bahrul dan motornya. Setelah minta maaf, Dina membawa mobilnya sendiri.

"Monyet-monyet," kata Bahrul dalam hati. "Asu."

Gagal ke Perpustakaan

Siang itu, Bahrul, temanku baru selesai mengikuti kuliah di jurusan Magister Manajemen UGM, Menteng. Dia tidak langsung pulang ke kosan di Kali Pasir yang tak jauh dari kampus S2 UGM itu. Melainkan ngobrol dengan Putri.

Mereka ngobrol seputar rencana tesis. Maklum semester depan sudah masuk masa tesis. Bahrul yang dasarnya jago pidato itu memberitahu kalau bahan-bahan tesis mudah dicari di perpustakaan UI. Lengkap.

Dibalik itu, dalam dasar hati si Bahrul sebenarnya juga menyimpan cinta untuk Putri. Makanya, begitu semangat si Bahrul menawarkan diri menemani pujaan hati ke perpustakaan UI.

"Oke, ayo kita ke sana Rul," kata Putri.
Bahrul sangat senang. Inilah kesempatan mendekati Putri, pikir Bahrul. Girang bukan main hatinya. Ibarat mendapat kiriman uang dari orang tua di saat dompet benar-benar kosong.

Bahrul pamitan dulu kepada Putri untuk pergi ke belakang sebentar. Maksud hati melihat sepeda motor apakah bensinnya masih ada atau tidak. Lega hatinya, tangki penuh. Lancar.

Dia menemui Putri lagi di ruang lobi kampus. Putri tetap berdiri di sana sejak Bahrul pergi. "Rul, kamu yang nyetir mobilku ya," kata Putri.

Bahrul agak kaget. "Aku tidak bisa bawa mobil, Put."

Gara-gara itu, rencana ke perpustakaan dibatalkan Putri. Sebenarnya Bahrul agak kecewa juga. Dan setelah itu, Putri agak menjauhi Bahrul.

Dalam hati Bahrul bilang, "Nanti kalau aku sudah selesai tesis dan punya pekerjaan baik, lihat saja, mobilku banyak." "Kok ada manusia seperti ini. Menjauhiku hanya karena tidak bisa nyopir."


Friday, October 30, 2009

Tertawa

Tertawa. Ini jenis kegiatan manusia yang menjelaskan suasana hati. Suasana bahagia dari dasar hati atau bahagia dengan berpura-pura.

Bahagia. Kalau yang bahagia betulan itu berarti jiwanya sedang bebas. Karena pada waktu mereka bekerja untuk tertawa, muntahlah semua kesusahan yang ditanggungnya.

Makanya, banyak manusia yang mengakui kalau tertawa itu obat yang manjur serta mujarab, obat terbaik awet muda, atau meditasi yang hebat. Sebab, tertawa jadi alat memulihkan jiwa-jiwa yang sedang sakit.

Karena itu tadi, sampah-sampah yang menyesaki hati beterbangan bersama energi yang keluar bersama ekspresi tertawa.

Tertawa, tertawa dan tertawa. Saking dahsyatnya pengaruh tertawa, ada juga manusia yang menggunakannya untuk kegiatan politik. Mulai dari politik tingkat kecil-kecilan sampai tingkat tinggi.

Kenapa tertawa bisa jadi alat politik, karena efek tertawa ini mereka harapkan dapat memaksa orang lain mengikuti atau mempercayai kehendak lainnya.

Kalau yang terakhir itu tergolong tertawa yang berpura-pura. Bolehlah dikatakan tertawa jenis itu adalah tertawa yang menabrak sejatinya fungsi tertawa.

Baiklah, tulisan ini bukan untuk memperdebatkan hakikat tertawa. Takutnya nanti justru mengecilkan makna tertawa. Maksud hati hanya untuk mengatakan bahwa tertawa itu penting untuk kehidupan. Tertawa sehat seperti lari pagi.

Film Korea Dipikir Film Jepang

Aku senang karena dapat kiriman film tentang cerita perjuangan anak sekolah. Temanku yang mengirim film itu bilang ini tontonan bermutu sekaligus untuk memudahkan belajar nihongo, bahasa Jepang. Kata dia, dialog-dialog dalam film ini berlangsung sederhana dan pendek-pendek. Jadi mudah mengingat dan memahaminya.

Lalu, kusimpan baik-baik di laptopku itu film. Walaupun senang punya koleksi film baru, aku tidak langsung menontonnya. Kupikir, nanti saja setelah libur kerja, baru kutonton film Jepang special ini sampai selesai.

Singkat cerita pada suatu hari aku pamer kepada temanku kalau punya film Jepang asli dan bagus. Kuceritakan apapun yang pernah diceritakan temanku yang memberikan film itu kepada teman yang akan kuberi rekaman film itu. Soalnya, aku tahu dia sangat suka nonton film-film Jepang. Dia sedang cari beasiswa ke Jepang.

Ternyata dia suka. Kubilang ada lima belas potongan film. Jadi, untuk memindahkan dari laptopku ke laptopnya harus pakai fleshdisk. Transfer film berlangsung ribet. Maklum, memori flesdisiknya terlampau kecil sehingga harus berulang-ulang memindahnya.

Tapi tidak mengapa, kata temanku. Karena dia sangat senang dapat film baru. Semuanya kami lakukan dengan senyum. Berkeringat juga karena tempat kerjanya agak jauh dari meja kerjaku.

Selesalah sudah proses pemindahan. Aku bahagia karena merasa menjadi bagian dari kebahagiaannya. Aku kembali duduk dan menulis di meja redaksi.

Tidak lama setelah itu, tiba-tiba temanku mengirim pesan lewat YM sambil berteriak. “Bro, ini sih bukan film Jepang, ini film Korea.”

Mahasiswa Filsafat Main Catur

Dua orang mahasiswa filsafat ingin main catur ketika tiba waktunya istirahat kuliah. Sebab, perpustakaan kebetulan sangat penuh pengunjung hari itu. Tapi masalahnya, catur satu-satunya yang ada di unit kemahasiswaan sedang dipakai mahasiswa lainnya.

Mahasiswa : "Bagaimana caranya ini supaya kita bisa bahagia dengan catur"

Mahasiswi: "Hmmm, aku juga sedang berpikir keras"

Mahasiswa: "Aku punya ide cemerlang"

Mahasiswi: "Oh ya, semenarik apakah idemu"

Mahasiswa: "Kita tidak memerlukan bidak beneran dalam arti fisik. Kita main catur pakai imajinasi saja"

Mahasiswi: "Wow"

Mahasiswa: "Yeah... ini nyata"

Mahasiswi: "Mmm. oke, kupikir sangat menarik itu. Kalau begitu, marilah kita mulai main catur dengan sudut pandang filsafat."

Jadilah mahasiswa dan mahasiswi itu bermain catur siang itu. Seru sekali karena diselingi juga dengan perdebatan. Misalnya mengapa kuda harus selalu jalan membentuk huruf L. Mengapa raja justru hanya boleh berjalan satu langkah saja.

Lama-lama permainan mereka jadi perhatian mahasiswa-mahasiswa lainnya. Jadilah permainan catur dengan sudut pandang filsafat itu tontonan yang ramai. Masing-masing orang kemudian ikut berdebat. Gilakah atau menggilakah kedua mahasiswa ini, kata para mahasiswa yang mengerubungi pemain catur filsafat.


Thursday, October 29, 2009

Kisah Cicak Melawan Buaya

Tiba-tiba terjadi ketegangan antara cicak dan buaya. Ini terjadi ketika cicak menemukan ketidakadilan yang melibatkan buaya. Ceritanya, kata cicak ini hanya untuk menjelaskan posisi yang lemah (KPK). Sedangkan buaya untuk menggambarkan posisi yang lebih garang (polisi).

Cicak: “Aku ingin memeriksamu”

Buaya: “Cicak kok memeriksa buaya, mana bisa”

Cicak: “Kamu mau mendukung tegakkan hukum di negeri ini tidak?”

Buaya: "Bagaimana ceritanya. Tidak mau, karena kamu mau memenjarakanku”

Cicak tidak hilang akal. Dia memancing buaya dengan kata-kata agak pedas. Tujuannya agar Buaya sadar. “Masyarakat juga tahu kok kalau kamu ini buaya”

Buaya: “Emang. Kan bukan rahasia umum.”

Cicak: “Misalnya buaya darat.”

Buaya: “Buktinya apa”

Cicak tidak menjawab karena berpikir panjang. Sebab, tiba-tiba kepalanya ditodong pakai tombak yang sangat tajam.

Buaya: “Jadi, kesimpulannya apa. Jawab! Kamu ngerecokin saja. Buaya kok dicicakin”

Cicak: “Benar-benar kriminalisasi”

Maka di negeri tempat para hewan ini hidup sepanjang tahun selalu terjadi pelanggaran hukum.


Kera Menolak Kembali Ke Hutan

Seekor kera di Jawa menolak dikembalikan pengelola perhewanan pemerintah ke habitatnya di hutan. Tiap kali diangkut dan ditinggal di hutan, keesokan harinya kera besar itu selalu kembali ke kandang.

Rupa-rupa cara digunakan manusia agar kera itu tidak kembali. Misalnya hewan ini ditinggalkan di tengah hutan belantara dengan harapan dia tidak tahu cara kembali ke kandang milik pemerintah. Tapi kenyataannya masih saja kera ini bisa kembali.

Akhirnya pengelola perhewanan putus asa. Petugas yang mampu memahami prilaku kera pun didatangkan ke pusat perhewanan itu untuk mengetahui apa yang terjadi.

Kemudian, terjadilah dialog antara petugas khusus dan kera. Hanya mereka berdua yang paham komunikasi itu. Setelah selesai, petugas khusus prilaku kera ini bercerita.

“Alasan kera ini tidak mau kembali ke hutan karena merasa percuma saja,” katanya.

Kepala bidang perhewanan yang penasaran bertanya kepada petugas itu. “Kenapa percuma, bukankah ini langkah yang baik.”

Petugas khusus prilaku kera menjawab. “Menurut kera, soalnya tidak lama lagi hutan ini toh dibabat juga oleh manusia, dan kera-kera ditangkapi lagi. Jadi lebih baik tetap tinggal di kandang.”


Wartawan dan Amplop Kosong

Ceritanya begini. Berlangsunglah konferensi pers di kantor polisi soal hasil penggerebekan VCD porno dan miras. Banyak sekali wartawan yang hadir di acara itu.

Setelah konferensi selesai, seperti biasanya polisi membagi-bagikan amplop kepada wartawan. Cara membaginya ialah dengan menunjuk salah satu wartawan untuk menjadi koordinator pembagian jatah.

Di kalangan wartawan kriminal sudah jadi rahasia umum kalau mereka yang berasal dari media besar jatahnya ya lebih besar dibandingkan wartawan dari media lokal.

Pokoknya selama pembagian itu semuanya berjalan lancar dan semuanya bahagia sampai bubar.

Tiba-tiba ada wartawan dari media besar yang panik, kecewa, dan tentunya marah hingga mukanya memerah. Usut punya usut, dia salah mengambil amplop yang ternyata tidak ada isi uangnya.

Lalu, dia mencari-cari koordinator wartawan untuk protes atas kesialannya. Setelah ketemu, ternyata si koordinator tidak tahu menahu soal itu.

Maka diantarlah wartawan media besar itu menemui kepala polisi. Mereka mengadu karena merasa tertipu. Pak kepala polisi ternyata juga tidak tahu menahu soal itu.

Tapi wartawan terus mendesak. Mungkin daripada ribut, pimpinan polisi itu memanggil ajudan untuk konfirmasi masalah amplop kosong. Pengusutan singkat dilakukan dan hasilnya tidak ada yang mau mengaku.

Mungkin karena tidak enak dengan para wartawan dan tidak ingin persoalan ini jadi bahan gunjingan di luar kantor polisi, maka kepala polisi mengalah dan terpaksa harus merogoh kantong lagi.

Kisah Tiga Wartawan Amplop

Serombongan wartawan mingguan senyum-senyum setelah selesai wawancara kepala dinas. Naik motor dengan wajah sumringah. Sepanjang jalan bersiul-siul. Selidik punya selidik, ternyata mereka baru saja diberi amplop oleh pak kepala dinas.

Sebelum pembagian ‘jale,’ uang sogokan untuk wartawan, wartawan yang tadi diserahi amplop oleh kepala dinas pergi ke tukang tambal ban. Sedangkan yang lainnya menunggu di masjid.

Wartawan B: “Waduh, senangnya hari ini.”

Wartawan C: “Mudah-mudahan isi amplopnya banyak. Kira-kira berapa liter (jumlah) ya”

Wartawan B: “Aku mau beli telepon genggam baru sama mau dugem nanti malam.”

Wartawan C: “Aku mau bayar kos sama buat bayar utang.”

Tidak lama kemudian datanglah wartawan A yang membawa amplop. Mereka semua girang bukan main. Ketawa-ketiwi dan saling sindir-sindiran. Mereka yakin isinya memuaskan seperti hari-hari biasanya.

Wartawan B dan C: “Ayolah buka, coy.”

Wartawan A: “Siap komandan.”

Setelah dibuka, amplop itu isinya recehan Rp 5.000 tiga lembar, jauh dari harapan para wartawan yang suka menerima sogokan itu. “Asu,” kata mereka.

Minta Wawancara Pakai Bahasa Jawa

Ini cerita pas penerimaan wartawan di redaksi salah satu media online. Setelah seleksi, seleksi, seleksi. Dan macam-macam seleksi akhirnya memasuki tahap akhir, tibalah tahapan interview para kandidat dalam bahasa Inggris.

Hari itu pewawancara dan kandidat sudah berada di salah satu ruangan. Mulailah pewawancara pidato yang intinya meminta calon nanti menjawabnyaan dengan tenang dan berbahasa Inggris yang kinclong. Soalnya, tahapan ini yang bakal menentukan lolos dan tidak lolosnya calon wartawan.

Satu dua pertanyaan dijawab dengan singkat singkat. Dengan penuh wibawa pewawancara menunjukkan kefasihannya terus bertanya dalam bahasa londo. Suasananya serius cenderung menegangkan. Pewawancawa ingin menunjukan image
perusahaan.

Mungkin saking tersiksanya kebebasan si calon, lalu dia bilang kepada pewawancara, "Wislah.. ngomong boso jowo wae (sudahlah bicara dengan Bahasa Jawa saja."

Tiba-tiba pecahlah tawa si pewawancara yang tadinya begitu serius. "Walah, sampeyan bisa bahasa Jawa juga, mas," katanya.

Singkat cerita, diterimalah calon pegawai itu menjadi karyawan di redaksi itu. Ternyata dia diterima karena kelucuan itu.

Wednesday, October 28, 2009

Buku Novel dan Sulap

Aku agak kagum dengan perempuan ini. Itu dulu. Soalnya Mempesona dari beberapa sisi. Dari bincang-bincang singkat kami, aku tahu dia suka membaca novel atau karya-karya fiksi lainnya.

Timbullah niatku untuk mendukungnya. Aku ingin meminjami buku novel kesukaanku. Perfume. Kisah yang memikat tentang pembunuhan dan kegeniusan yang menyimpang. Kuharap dia suka. Agar surprise, akan kuserahkan buku itu secara khusus.

Semalaman aku mencari cara tentang bagaimana meminjami buku sekaligus menghibur. Aku sampai tidak bisa tidur memikirkannya. Menjelang fajar, barulah kutemukan. Pasti dia mau menerima dan senang.

Singkat cerita, esok harinya, kutaruh buku itu di laci meja kerjanya. Akhirnya orang yang kutunggu-tunggu itu datang. Kubukalah YM-ku. Ku katakan kepadanya. “Sulap, magic. Lihatlah sesuatu di lacimu.”

“Oke,” kata dia. Tidak lama kemudian dia menulis di YM kepadaku. “Terima kasih. Tapi aku sudah pernah membaca buku ini.”

Hmmm… Aku garuk-garuk kepala. Gagal sudah.



Shalat Menghadap ke Timur

Anwar nama temanku. Lengkapnya Anwar Khumaini. Dia wartawan Detik. Semasa kecil dia adalah anak pesantren. Walau setelah dewasa dia tidak nyantri banget, dia tetap shalat lima waktu walau kadang bolong juga.

Kami lelah sekali setelah nonton beberapa film kontemporer dan ngobrol rupa-rupa pengalaman di TIM. Maka, malam menginaplah dia di kamar kosku Kemayoran, Jakarta Pusat.

Sebelum tidur, Anwar shalat dulu. Rupanya, dia belum shalat Isya. Lalu, kutunjukkan tempat mengambil air wudlu. Kupinjami sajadahku yang belum pernah sekalipun kupakai untuk shalat.

Setelah itu Anwar bertanya kepadaku, “Di mana arah barat (kiblat).” Aku bingung. Aku tidak pernah salat dan aku juga bingung soal arah di Ibukota Jakarta ini. Kutunjuk arah, walau aku sebenarnya tidak yakin.

“Niat sajalah War. Pasti Tuhan memaklumi hambanya yang bingung seperti kita. Mungkin lebih tepatnya posisi kita ini musafir,” kataku. Lalu Anwar mengikuti saranku.

Keesokan harinya, kutanya arah kiblat kepada ibu kos. Dia menunjukan kepadaku. Ya ampun, ternyata si Anwar semalam sembahyang menghadap ke arah timur. Maafkan aku ya War.


Bingung Menerima Roti Atau Tidak

Aku dibesarkan di keluarga muslim, kejawen, kristen, dan katolik. Dan aku tidak pernah serius mempelajari salah satu agama-agama itu. Tapi karena waktu kecil aku tinggal sama nenekku yang agak Islam, maka aku juga agak tahu tentang agama ini dibandingkan yang lainnya. Maka orang menganggapku muslim.

Pada suatu hari aku diundang frater Yan ke Jogja. Dia akan ditahbiskan jadi imam katholik atau pastur. Tapi sebelum ke acara itu, aku ikut teman-temanku yang semuanya katholik ke gereja untuk ibadah Minggu pagi.

Karena mereka mengajakku yang seorang agak kemuslim-musliman ke gereja, maka kami duduknya berderet di kursi bagian belakang. Semua proses ibadah selesai. Setelah pastur selesai khotbah, tiba saatnya berkomuni. Aku tidak terlalu paham komuni.

Yang jelas pada waktu itu semua jamaah maju berderet untuk menerima roti dan pemberkatan pastur yang berdiri di depan. Aku ikut maju. Aku bingung sekali karena ini untuk pertama kalinya aku masuk gereja dan mengikuti proses semacam ini.

Semua orang di depanku selesai mengambil roti dan diberkati. Lalu tiba giliranku. Wadoh. Aku bingung karena tidak tahu apa yang harus kulakukan. Tapi rasanya tidak mungkin aku mundur dan pergi di saat seperti itu.

Di hadapan pastur, beliau pasti menyangka aku akan menerima roti itu. Dia memberikan roti dan matanya melihatku dengan sangat teduh dan damai. “Maaf romo, terima kasih,” kataku sambil langsung berjalan mengikuti jemaah di depanku. Aku tidak bahagia betul karena malu.

Romo itu nampaknya agak bingung melihatku. Karena tadinya, aku hampir menerima roti itu, tapi tiba-tiba membatalkannya. Lalu aku kembali ke tempat duduk di belakang dan menceritakan pengalamanku kepada teman-temanku. Teman-teman menertawakanku dengan terpingkal-pingkal. "Tidak ikut komunipun, tidak apa-apa," kata temanku.

Thursday, October 15, 2009

Cara Berbeda Memahami Aborsi

Tulisan Gadis Arivia berjudul Memahami Aborsi sebagai Isu Sosial (Kompas 29 September 2009) sebagai tanggapan terhadap ulasan Benny Phang mengenai legalisasi aborsi dalam pasal 84-85 UU Kesehatan RI tidak membuat masalah aborsi menjadi lebih jelas. Kedua tulisan itu jelas berangkat dari pendekatan etika yang berbeda.

Pertama, Benny Phang berpihak pada etika deontologis yang menentang tindakan aborsi karena alasan apapun. Dalam tradisi pemikiran deontologis, sebuah tindakan disebut bermoral jika dilakukan demi sebuah kewajiban. Bahwa sebuah tindakan akan menjadi kewajiban yang bersifat imparsial jika prinsip yang menjadi dasar tindakan dapat berlaku universal. Dan bahwa manusia tidak diperlakukan hanya sebagai alat atau sarana, tetapi sebagai tujuan pada dirinya sendiri. Di sini menggugurkan kandungan tidak dibenarkan secara moral karena justifikasi tindakan tersebut tidak pernah bisa diberlakukan secara universal.

Kedua, bertumpu pada pendekatan etika teleologis, Gadis Arivia berargumentasi bahwa menolak aborsi seharusnya bukan demi hak hidup janin, tetapi demi alasan-alasan sosial seperti tingginya angka kematian ibu, buruknya kesehatan ibu dan anak, atau rendahnya kualitas hidup karena kemiskinan. Belum lagi masalah kehamilan yang tidak diinginkan perempuan, misalnya karena diperkosa, dipaksa suami, inses, dan sebagainya. Bagaimana perdebatan ini bisa dipahami secara proporsional?

Tidak Sekadar Beda Pendekatan

Meskipun keduanya menolak legalisasi aborsi, pemikiran Gadis Arivia yang menolak mengatributkan individu sebagai janin justru menimbulkan masalah etis yang serius. Kritik Gadis Arivia terhadap Benny Phang seharusnya tidak terjadi jika dia membaca pemikiran anggota Centro Internazionale San Alberto, Roma ini dari perspektif etika deontologis, atau mungkin tepatnya pandangan moral Gereja Katolik mengenai aborsi. Dalam tradisi moral yang dianut Benny, janin adalah invidu, karena itu menggugurkan janin sama dengan membunuh individu. Begitu pula penggunaan alat kontrasepsi atau tindakan-tindakan medis lain yang menghalangi atau mencegah terjadinya pembuahan.

Justru pandangan moral yang dianut Gadis Arivia mengandung dua kelemahan serius. Pertama, menolak aborsi karena alasan-alasan sosial seperti tingginya angka kematian ibu atau buruknya keadaan ekonomi secara tidak langsung melegalisasi aborsi itu sendiri. Cara berpikir ini mengandung pengertian bahwa aborsi boleh dilakukan jika kondisi sosial telah mendukung, misalnya telah adanya perbaikan kesehatan ibu, membaiknya keadaan ekonomi, atau ketika teknologi kesehatan mengalami kemajuan sebegitu rupa sehingga aborsi tidak lagi membahayakan kesehatan ibu. Menolak aborsi karena alasan semacam ini justru merendahkan martabat perempuan itu sendiri.

Kedua, bagi Gadis Arivia, janin bukanlah individu. Lagi-lagi ini dilakukan demi membela hak para ibu, bahwa para ibu memiliki hak untuk menentukan, termasuk memutuskan untuk menggugurkan kandungannya. Pendekatan ini memang khas milik kaum utilitarian yang melegalisasi tindakan tertentu jika tindakan tersebut mendatangkan keuntungan lebih banyak orang (greatest good for greatest number). Karena janin bukanlah individu, maka menggugurkannya tidak akan memiliki dampak yang besar bagi komunitas jika dibandingkan dengan kebahagiaan dan keselamatan seorang ibu yang jelas-jelas mempengaruhi anak-anaknya yang lain, suaminya, keluarga besarnya, atau bahkan masyarakat di sekitarnya.

Pertanyaannya, apakah hak hidup janin tidak perlu dipertimbangkan hanya karena janin bukan individu? Etikawan utilitaris seperti Peter Singer, misalnya, berpendapat bahwa janin bukanlah individu karena tidak memiliki “self-awareness, self-control, a sense of future, a sense of past, the capacity to relate to others, concern for others, communication, and curiosity” (Peter Singer, Practical Ethics, 1979: 75). Cara berpikir seperti ini membolehkan pembunuhan terhadap janin—bahkan orang cacat—karena mereka bukanlah individu.

Kaum utilitaris biasanya tidak konsisten dengan pandangan etika mereka. Selain individu, mereka juga berpendapat bahwa makhluk-berperasaan (sentient being) harus menjadi moral consent (pihak yang kepentingan-kepentingannya ikut dipertimbangkan dalam setiap tindakan moral). Demikianlah, kaum utilitaris membela hak-hak hidup binatang atau tumbuh-tumbuhan, karena status mereka sebagai sentient being. Bagi kaum utilitaris, hak dan kepentingan makhluk-berperasaan harus dibela, diperjuangkan, dan ditegakkan—bahkan melalui perjuangan legislasi—persis karena makhluk-berperasaan (sentient-being) memiliki kemampuan merasa sakit dan berpotensi mengalami kebahagiaan di masa depan (entitled to happiness).

Seharusnya paradigma pemikiran seperti ini dioperasikan juga dalam memahami masalah aborsi. Etikawan deontologis memiliki pandangan yang jelas dan tak tergantikan, bahwa janin—apapun kondisinya—tidak boleh dibunuh karena mereka adalah manusia. Kaum utilitaris seharusnya juga menolak aborsi, paling kurang jika mereka memahami janin sebagai makhluk-berperasaan. Lain soal jika bagi mereka janin adalah bukan makhluk-berperasaan (non-sentient-being).

Jika Gadis Arivia menolak janin sebagai individu, apakah dia juga menolak janin sebagai makluk-berperasaan (sentient-being)?

Sumber: http://jeremiasjena.wordpress.com/

Wednesday, October 14, 2009

Kotoran Gorila Selamatkan Bumi

Tahi Gorilla bisa jadi ialah jalan keluar bagi planet ini. Pakar lingkungan dan alam liar terkemuka di Inggris, Rabu (14/10) mengatakan, melindungi primata besar tersebut dapat memberi cara mudah perbaikan pemanasan global, yang dikampanyekan program internasional yakni penghijauan kembali hutan

Amerika dan negara industri lain tengah mencari program penghijauan hutan di Afrika, Asia Tenggara dan Amerika Selatan demi menghadang efek perubahan iklim. Namun Ian Redmond, duta besar PBB untuk gorila, mengatakan, negara industri akan membuat kesalahan jika tak berkomitmen pada pelindungan gorila, sebagai bagian diskusi upaya penghijauan kembali hutan pada negosiasi perubahan iklim di Kopenhagen, Desember nanti.

"Jika kita menyelamatkan pohon namun hewan tidak, maka kita akan menyaksikan kematian lambat hutan-hutan tersebut," ujar Ian seperti yang dilansir Guardian. "Yang saya desakkan kepada pengambil keputusan di Kopenhagen, ialah mempertimbangkan gorila bukanlah barang mewah. Jika ingin kesehatan jangka panjang hutan terpelihara, anda harus melindungi mereka pula,".

Gorila, atau yang Ian sebut "tukang kebun milik hutan," adalah penting untuk melawan perubahan iklim. Hewan herbivora itu menyantap buah dan tumbuhan sebagai makanan utama. Hasil buangan pencernaan, ketika melewati sistem tubuh mereka, membantu bibit atau tumbuhan muda untuk tumbuh.

Peran besar nyata para gorila memang tak cukup jelas. Namun Ian meyakinkan, sejumlah besar spesies tumbuhan tidak dapat hidup dan berkembang tanpa hewan tersebut, atau gajah liar dan mamalia besar lain yang penting dalam pertumbuhan tanaman.

Gorila--yang terbunuh di area konflik perang sipil, menjadi korban pemburu ilegal dan tersingkir dari habitat gara-gara rumah mereka dijadikan tambang dan industri kayu--mulai terancam punah di penjuru Afrika. Bisa jadi, argumen Ian Redmond dapat membantu hewan tersebut dengan bentuk perlindungan beru.

Hutan-hutan dunia memang terbukt beraksi sebagai perangkap emisi karbon, menyedot sekitar 4,8 milyar ton karbon per tahun. Dalam perjalanan menuju pertemuan perubahan iklim di Kopenhagen, berkembang fokus terhadap program penghijauan kembali hutan di Afrika, Asia Tenggara dan Amerika Selatan.

Hanya, selama ini tidak ada perhatian langsung terhadap peran hewan mamalia besar--seperti gorila--dalam proses alami pertumbuhan tanaman atau lantai hutan.

Ian mengatakan, gorila sangat penting dalam pemeliharaan siklus hidup hutan tropis di kawasan bejana Kongo. Hutan di kawasan itu telah menyedot 1 milyar ton karbon setiap tahun. "Inilah manfaat sepesies tersebut. Mereka bukan ornamen. Mereka bukan sekedar hal menarik untuk dikaji, melainkan bagian dari ekosistem besar," tegas dia.

Semua spesies kera besar dianggap terancam punah. Dalam perang sipil selama hampir 20 tahun di wilayah Great Lakes, Afrika menjadi saksi perusakan lingkungan. Peledakkan tambang dan penebangan kayu ilegal dilakukan para militan demi mendapat uang untuk senjata.

Dua gorila dibunuh di Republik Demokrasi Kongo saban pekan dan tubuh mereka dijual sebagai daging ilegal. Fakta itu terungkap dari temuan investigasi oleh Spesies Terancam Punah Internasional.

Masih banyak gorila tinggal di luar dengan perlindungan relatif kecil dari taman nasional. Makhluk tersebut kehilangan habitat asli mereka karena urbanisasi yang kian cepat. Penduduk desa menjelajah semakin dalam ke hutan, menebang pohon untuk memproduksi arang.

By Republika Newsroom
Rabu, 14 Oktober 2009 pukul 16:33:00
Penerjemah: itz

Tuesday, October 13, 2009

Memahami Aborsi sebagai Isu Sosial

Kelompok perempuan yang bergiat di bidang kesehatan perempuan dan Benny Phang sama-sama sedang jengkel dengan Undang- Undang Kesehatan yang memuat pasal aborsi.

Kejengkelan mereka diungkap di media. Kejengkelan kelompok perempuan terletak pada aturan aborsi yang belum melihat persoalan kesehatan reproduksi secara menyeluruh, yakni penekanan pada keamanan aborsi diabaikan. Mereka berargumen, pengecualian aborsi yang tertuang pada pasal 84-85 tidak cukup. Aborsi harus dibolehkan secara aman sebab kasus-kasus yang ditemukan bukan hanya kasus pemerkosaan dan kondisi darurat medis, tetapi ada kasus-kasus nyata lain seperti inses, remaja hamil di luar nikah, dan aneka tekanan ekonomi yang membuat seorang perempuan dengan berat hati memutuskan untuk aborsi. Kelompok perempuan bertumpu pada argumentasi sosial, mengemukakan fakta-fakta sosial.

Janin, seorang individu?

Berbeda dari pandangan kelompok perempuan, Benny Phang menekankan argumentasi moral dan menolak aborsi. Ia berpendapat, eksistensi manusia dimulai dari tahap embrionik, tak jelas apakah embrio yang dibekukan untuk kepentingan penelitian dan medis juga masuk dalam pengertian ”manusia”. Ia pun tak sependapat dengan opini medis yang menyatakan aborsi dapat dilakukan dengan aman di bawah 16 minggu. Dari argumen moral itu Benny meloncat ke argumen Deklarasi HAM yang bersifat sosial, soal hak atas hidup. Ada kejanggalan atas pola pikir Benny.

Bagi saya, Benny Phang ingin menyamakan konsep ”janin” dengan konsep ”individu”. Pertanyaannya, ”apakah janin seorang individu?” Bila janin adalah seorang individu, lalu apakah ia berwarga negara? Bila ia seorang warga negara, apakah ia disebut di dalam Konstitusi? Di dalam Konstitusi disebutkan ”setiap orang” atau ”setiap warga negara” berhak atas hak-haknya, apakah maksud Konstitusi juga termasuk janin? Lalu, bagaimana dengan hak-hak seorang ibu yang jelas-jelas sudah berwujud manusia dan seorang warga negara? Tidakkah seorang ibu memiliki hak untuk memilih?

Konsekuensi dari pemikiran bahwa janin sebagai seorang individu mengarah pada argumentasi lain bahwa melakukan intervensi untuk pembuahan merupakan tindakan menghentikan proses kehidupan. Jadi, menurut alur pemikiran ini, penggunaan alat kontrasepsi pun dapat dipermasalahkan.

Jelas, argumentasi konservatif seperti ini sama sekali tidak menghargai hak-hak reproduksi perempuan dan tidak membantu kesehatan perempuan. Bagaimanapun perempuan yang dipaksa memiliki anak banyak bukan saja membahayakan kesehatan ibu, tetapi memberatkan ekonomi dan menghambat kesejahteraan keluarga serta pencapaian kualitas hidup yang optimal.

Jaminan hak

Aborsi bukan sebuah hobi. Pengalaman perempuan menunjukkan, pilihan perempuan untuk melakukan aborsi merupakan pilihan berat dan bersifat amat pribadi. Tidak ada perempuan yang bergembira ria melakukan aborsi, justru sering mempertaruhkan nyawa.

Penelitian menunjukkan aborsi tidak aman merupakan salah satu penyebab kematian ibu dan negara-negara yang menyediakan akses aborsi aman justru bisa menekan angka kematian ibu.

Kita tahu, Indonesia masih menghadapi angka kematian ibu yang tinggi. Begitu banyak perempuan Indonesia miskin terpaksa pergi ke dukun atau orang-orang yang tidak memiliki keahlian medis, melakukannya di gang-gang sempit, di ruang-ruang gelap tanpa jaminan kebersihan, atau ke dokter-dokter tak bertanggung jawab yang menguras uang mereka.

Berbagai penelitian juga menunjukkan, keputusan melakukan aborsi sering karena desakan kekasih, suami tidak sanggup membiayai, atau suami kawin lagi. Ironisnya, di dalam Undang-Undang Kesehatan justru yang dikenai hukuman adalah pelaku aborsi. Mereka terjerat hukuman berat dan denda hingga miliaran rupiah. Perempuan lagi-lagi menjadi korban. Di manakah tanggung jawab laki-laki? Para dokter dan hakim? Bukankah negara seharusnya menyediakan akses pelayanan kesehatan perempuan yang memadai? Termasuk hak perempuan untuk melakukan aborsi dengan aman.

Oleh: Gadis Arivia
Pendiri Jurnal Perempuan dan Pengajar Tetap di Departemen Filsafat, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia
Selasa, 29 September 2009

Masalah Aborsi pada UU Kesehatan

Meski tidak dengan suara bulat, Undang-Undang Kesehatan disetujui DPR 14 September lalu. Persoalan muncul pada klausul aborsi. Pasal 84-85 berlogika, pada prinsipnya aborsi dilarang, tetapi ada perkecualian.

Ihwal perkecualian ini juga perlu dikritisi lagi, terutama Pasal 85 tentang sahnya aborsi sebelum kehamilan berusia enam minggu, dihitung dari hari pertama setelah menstruasi terakhir. Awal hidup manusia Pertanyaannya, apakah sebelum enam minggu pertama janin (embrio) itu bukan manusia? Apakah dia memiliki martabat seperti kita manusia, dan mempunyai hak asasi paling dasar, yaitu hak untuk hidup? Mengacu embriologi, hidup manusia dimulai sejak pembuahan, sejak sperma dan ovum bertemu. ”Sejak pembuahan, kehidupan manusia baru sudah dimulai. Inilah awal hidup setiap kita sebagai pribadi unik” (Moore and Persaud, The Developing Human: Clinically Oriented Embryology, 2007).

Biologi juga menjelaskan, manusia berkembang dari tahap embrionik hingga saat kematian alamiahnya (bandingkan N Austriaco, On Static Eggs and Dynamic Embryos: A Systems Perspective, NCBQ 2002). Jadi, dari sudut ilmiah, janin tidak perlu menanti berminggu-minggu untuk ”menjadi manusia”. Ia adalah manusia sejak pembuahan. Janin pun sudah merupakan manusia dalam proses bertumbuh kembang. Memang saat melihat penampilan janin muda, kita akan terkejut karena yang tampak ”hanya” seperti sel, tidak serupa dengan kita sehingga dengan ”aman” kita melegitimasi aborsi selagi janin masih muda.

Inilah sebenarnya pola pikir di balik klausul UU Kesehatan 2009 yang berargumen bahwa sah melakukan aborsi. Perumusan klausul ini diakibatkan ketidakkritisan terhadap perkembangan teknologi, terutama terkait reproduksi manusia. Klausul ini mengandung pemikiran yang amat materialistis terhadap hakikat manusia. Janin dianggap sebagai sekumpulan molekul tak bermartabat.

Dengan demikian, apakah kita sedang mendefinisi ulang eksistensi kita sebagai manusia? Like begets like, prinsip ini yang akan selalu valid. Spesies yang satu tidak mungkin menurunkan spesies lain. Apa yang bukan manusia tidak bisa menjadi manusia dalam perkembangannya. Manusia menurunkan manusia. Awalnya, kita semua berupa sama seperti janin. Jadi, meski berbeda rupa, janin adalah manusia, sesama kita.

Hak untuk hidup

Dalam Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia (PBB) disebutkan, ”Martabat yang tertera dalam pribadi manusia dan hak-hak yang sama dan mutlak dari semua anggota keluarga manusia menjadi dasar kemerdekaan, keadilan, dan perdamaian di dunia.” Kita juga tegas mengakui martabat dan hak asasi manusia ini. Mengingat janin adalah manusia, maka ia memiliki martabat dan mengemban hak-hak asasi yang sama dengan kita, terutama hak untuk hidup.

Menyerang janin dengan aborsi berarti menyerang martabat yang melekat pada kemanusiaan sesama. Kita tidak bisa tinggal diam saat martabat sesama dirampas orang lain. Kita harus menjadi suara bagi janin yang belum dapat bersuara. Dilaporkan, terjadi 30 juta-50 juta praktik aborsi per tahun di 56 negara yang melegalisasi hal itu. Ini merupakan serangan kemanusiaan karena manusia membunuh sesamanya yang lemah. Jika kita melegitimasi serangan ini, tidak ada alasan lagi bagi kita untuk menolak perang, pembunuhan, perbudakan, penindasan, dan masalah etika sosial lainnya.

Karena itu, kehidupan manusia baru dalam rupa janin dalam rahim ibu patut disambut dengan hormat. Jika gagal menghormati martabat manusia dalam rupa janin, kita juga pasti akan gagal menghormati martabat orang lain. Semoga tidak.

Benny Phang Dosen Etika; Anggota Centro Internazionale San Alberto, Roma
Kompas.com, Sabtu, 26 September 2009

Monday, September 28, 2009

Hidup Monoton

Hidup di Jakarta dewasa ini mau tidak mau harus ikut sistem bisnis yang terjadi. Tanpa itu, manusia akan tergilas dan mati. Sistem itu kemudian menciptakan manusia-manusia di ibukota ini hidup berdasarkan hitungan jam.

Manusia di ibukota yang tidak sadar dengan betapa mengerikannya dampak sistem bisnis kemudian memilih hidup mengikuti saja putaran bisnis yang dikembangkan pemodal. Tidak terlampau peduli eksistensi diri. Yang penting hidup bekelebihan.

Kuperhatikan orang-orang di sekelilingku monoton hidupnya. Tidak menarik. Seperti kubilang tadi, cara hidupnya seperti sudah terkunci dengan jam. Bangun tidur. Berangkat bekerja. Sibuk bekerja di kantor. Tidak mampu bicara, selain soal kerjaan. Pulang bekerja. Tidur. Dan seterusnya.

Menurutku, pola hidup semacam itu sangatlah mengerikan betul. Yah, tapi apa mau dikata. Tentu orang-orang macam ini punya argumentasi sendiri. Mungkin saja mereka, aku sendiri, sesungguhnya telah menikmati itu semua. Sistem bisnis. Sistem bisnis.

Lalu aku berpikir cari cara agar tidak terjebak dengan pergulatan dunia semacam itu. Rasanya, sekarang ini aku sudah menemukannya. Caranya, aku harus mampu memahami secara utuh pola hidup yang ditekuni manusia-manusia yang menetap di ibukota ini.

Aku harus mengambil posisi seolah-olah naik helikopter. Ibarat menonton permainan sepak bola. Jadi, kalau aku menyaksikannya dari ketinggian tertentu di atas lapangan, aku dapat mencermati permainan secara utuh dan jelas.

Begitu juga dalam menjalani kehidupan di ibukota ini. Manusia harus mampu memahami berbagai pergulatan dalam posisi itu tadi. Dengan begitu, kita akan lebih menyadari diri kita dan obyek di depan kita. Obyeknya ialah pergulatan manusia-manusia dalam sistem bisnis itu.

Kupikir kenapa orang kemudian orang monoton hidupnya. Kemudian mereka tidak bahagia karena selalu tidak puas dengan jalan hidupnya. Masalahnya ialah mereka tidak mampu mengambil posisi hidup seperti posisi dalam helikopter itu.

Mereka terlalu terikat sistem dan tidak menyadari eksistensinya. Mereka ikut nonton bola, tetapi tidak mampu menikmati permainan secara keseluruhan dan detailnya karena posisi menontonnya berada di pinggir lapangan sepak.

Aku juga berpikir ada baiknya menjadi orang yang mampu menertawakan diri. Menertawakan lingkungan. Dan menertawakan sistem bisnis. Konteks yang kutawarkan ini bukan bermaksud oportunis. Maksudku lebih pada agar kita tidak terjebak.

Yah, aku harus tertawa. Kutertawakan saja manusia-manusia yang tidak mau merenungkan hidupnya itu. Terutama mereka-mereka yang selalu merasa tiada arti dan tiada puasnya dengan pekerjaan. Dan hidupnya monoton. Kutertawakan mereka karena tidak mau menyadari kebebasan pribadinya.

Kebebasan pribadi dalam konteks ini ialah bersedia meluangkan waktu dan merenungkan kehidupan. Lalu memutuskan untuk meningkatkan sumber daya pribadi supaya menjadi luas pikiran dan budinya. Bahwa manusia tidak harus terjebak dalam sistem bisnis.

Manusia tentu saja harus bekerja dalam sistem. Tetapi alangkah menyenangkannya ketika manusia dalam sistem pekerjaan itu mampu mengambil sikap dan menyadari posisinya di dunia. Memahami bahwa kita punya kebebasan pribadi. Misalnya, kebebasan untuk memilih untuk mencapai hidup bahagia.

Orang pada posisi ini, aku yakin mereka tidak akan mudah mengeluh dan menganggap hidupnya tiada arti karena selalu punya pikiran tidak puas. Kalaupun dia tidak puas dengan pekerjaannya dan memang sudah betul-betul mentok, menurutku pilihan mereka kemungkinan besar mengambil studi.

Studi ini terkait erat dengan pengembangan sumber daya pribadi. Manusia akan menjadi lebih percaya diri ketika dengan kebebasannya dia memutuskan untuk keluar dari pekerjaan dan studi. Dalam pikiran mereka, tidak puas dari satu pekerjaan dan memilih pindah ke pekerjaan lain, tentu saja hal itu bukan mencari solusi. Sebab, problem yang sama akan ditemui lagi di tempat baru.

Thursday, September 24, 2009

Cerita Lebaran 2009

Hiruk pikuk orang-orang bicara tentang libur lebaran. Ramai merencanakan pulang kampung. Hingar bingar pusat-pusat belanja oleh orang-orang yang tengah membelanjakan uang sepuas-puasnya. Semua itu atas nama merayakan pesta lebaran.

Aku berpikir, mengapa orang begitu reaksioner. Bahkan, kadang-kadang kusebut tidak rasional. Cenderung foya-foya. Aku membayangkan mereka menabung uang setahun hanya untuk pesta satu hari. Setelah itu barulah tersadar uang telah habis. Lalu bekerja lagi untuk mengumpulkan uang untuk pesta berikutnya. Dan seterusnya.

Aku memutuskan tidak ikut-ikutan reaksioner seperti itu. Lebih baik libur lebaran ini kugunakan dengan caraku. Merenungkan pencapaian-pencapaianku, kegagalanku. Dan merencanakan masa depanku menjadi lebih baik. Caranya, aku tidak ikut pulang kampung untuk mendapatkan rasa sunyi di Jakarta.

Ibu dan adikku tentu merindukan kedatanganku di hari lebaran ini. Tapi, aku bisa menjelaskan kepada mereka tentang keputusanku untuk tidak ikut reaksioner. Lebih baik komunikasi kami lakukan lewat telepon, toh semangat silaturahmi keluarga tetap bisa didapatkan dengan cara itu. Walaupun memang sensasinya berbeda karena tidak bertatap muka dan bertemu fisik.

Selama tidak pulang kampung, aku bertemu dengan teman-teman lama. Dan mendapatkan teman-teman baru. Sambil minum teh panas bersama, kami membuat fenomena mudik lebaran ini menjadi bahan lelucon. Temanku bilang, Jakarta menjadi tenteram karena orang-orang yang selama ini menjadi biang kesemrawutan kini telah pulang ke daerah asal masing-masing.

Jakarta menjadi damai dan tenang selama masa libur lebaran ini. Suasana seperti itu juga yang ingin kurasai. Menikmati Ibukota tanpa kekacauan di mana-mana. Aman dan serasa menjadi pemilik Jakarta. Kemanapun pergi, rasanya lega dan damai.

Memang ada perasaan sepi ketika tiba-tiba Jakarta menjadi lengang. Tapi rasa sepi itu justru membuatku optimis. Bersemangat karena aku bisa menikmati apa yang tidak dipilih mayoritas orang. Mereka lebih memilih reaksioner dengan hiruk pikuk pulang, sementara aku bisa menikmati kesunyian.

Kadang kami nakal juga pada waktu membicarakan soal orang-orang yang pulang kampung. Kami menertawakan mereka sebagai manusia yang paling aneh di dunia ini. Berjubel dengan kendaraan masing-masing di jalan raya untuk pulang. Rebutan jalan untuk saling mendahului agar cepat-cepat pulang. Mengular berkilo-kilo demi pulang.

Dari fenomena itu, temanku berpikir mengapa begitu mengandalkan Jakarta untuk melanjutkan hidup. Mengapa Jakarta kemudian menjadi simbol dan tujuan akhir hidup. Ya, sekarang ini Jakarta sudah terlampau kecil. Maka, kemudian dia berpikir, ketika sudah selesai menempuh studi dan punya modal, kelak secepatnya pulang dan menetap di daerah kelahirannya. Dia akan menerapkan ilmu yang pelajari selama ini untuk memajukan daerah.

Jakarta memang pusat peradaban di Indonesia. Setelah ilmu pengetahuan dari ibukota dirampok semua, setelah itu dibawa pulang ke kampung dan mengembangkan daerah kelahirannya. Lalu, tidak balik-balik lagi ke Jakarta. Karena daerahnya sebenarnya sangat potensial. Sangat menarik.

Sedangkan aku sendiri berpikir, sekarang ini aku belum akan merasa puas merampas ilmu pengetahuan dari Jakarta. Tapi, setelah cukup belajar dari ibukota ini, aku akan merantau lagi ke luar negeri. Aku akan sekolah di luar sana supaya ilmu pengetahuanku bertambah luas cakupannya. Setelah itu, barulah aku pulang kampung mengikuti jejak kawanku tadi.

Aku berpikir kelak menjadi pengajar di daerahku. Akan kubikin anak-anak daerahku sadar dengan kebebasan pribadinya. Sadar akan betapa pentingnya pendidikan. Dan sadar akan potensi daerahnya. Pendidikan dan potensi daerah. Potensi daerah membutuhkan orang-orang yang terampil agar berkembang. Misalnya terampil mengembangkan peternakan, pertanian, irigasi. Dan kami sama-sama akan menciptakan dunia baru di daerah kami.

Dengan begitu, setelah daerah kami maju. Kami tidak perlu ke Jakarta. Tidak perlu pulang kampung setiap tahun. Cukuplah kami menetap di daerah kami yang maju, tenteram, dan lingkungan hidup terjaga dengan baik. Orang tidak perlu menganggap Jakarta sebagai simbol prestasi hidup lagi.

Sebenarnya aku juga lebih setuju kalau orang-orang daerah yang mudik tadi tidak perlu lagi kembali ke Jakarta. Toh selama menetap di Jakarta mereka sudah cukup punya banyak ilmu dan pengalaman. Mengapa tidak dikembangkan saja di daerah. Mulai dari yang sederhana dulu. Kalau semua berpikir seperti itu, tentu akan maju. Aku jadi berpikir, reaksioner boleh saja, tapi harus reaksioner yang kreatif.

Selama kami reunian, banyak sekali obrolan-obrolan menarik tentang fenomena mudik. Permasalahan dan pemecahannya. Memang intinya adalah modal untuk bisa berkembang di daerah. Tapi aku berpikir, toh, umumnya mereka ke Jakarta juga tidak banyak modal. Mereka, termasuk aku sendiri, berangkat ke Jakarta dengan modal semangat saja.

Aku membayangkan, kalau kemudian semangat seperti itu dibalik. Yaitu semangat untuk memajukan daerah masing-masing.

Yah, kembali pada kebebasan pribadi. Semua orang punya jalan pikiran masing-masing. Dan berhak menentukan akan dikemanakan hidupnya. Apakah hanya diabdikan sepenuh-penuhnya untuk para pemilik modal di Jakarta tanpa mau menyadari eksistensinya.

Hmmm. Tidak ada kesimpulan apapun dalam obrolanku dengan teman-temanku pada waktu libur lebaran ini. Tapi yang menarik ialah eksistensi. Orang mesti sadar dengan keberadannya di dunia. Tanpa kesadaran itu, orang hanya akan hidup mengalir mengikuti apapun yang terjadi saja. Ikut arus kemanapun arus menerjang.

Di salah satu hari lebaran, aku diajak temanku pergi ke Bandung. Tempatnya di Cigeunding. Lingkungannya enak. Posisinya di lereng gunung. Jadi kalau malam, aku bisa melihat kerlap-kerlip lampu rumah penduduk yang terletak di kaki bukit. Dingin sepanjang waktu. Sampai-sampai aku takut mandi.

Kalau malam aku betul-betul menyadari sedang berada di bawah galaksi Bimasakti. Milyaran bintang seperti mengambang di atas kepalaku. Jernih sekali sinarnya. Kejernihan galaksi tempat planet bumi ini mengapung, sama sekali tak dapat kutemukan kalau berada di Jakarta.

Jakarta sudah menjadi kota polusi udara dan cahaya. Dengan begitu, orang tidak dapat menyaksikan alam semesta di sekitar bumi. Orang tidak lagi di posisikan menyadari bahwa manusia ini tinggal di salah satu bongkahan bernama bumi dan di luar bumi ada milyaran bintang. Bayangkan, betapa kecilnya bumi. Betapa tidak berartinya fisik manusia.

Bepergian ke rumah temanku ini memberikan suasana kesunyian. Suasana yang serasa menyadarkan posisiku. Betapa hidup di Jakarta itu manusia hanya ditempatkan pada situasi kesepian. Kesepian di tengah keramaian. Orang ditempatkan pada situasi rutin sehari-hari. Orang tidak lagi menyadari eksistensinya di bumi. Yang ada di kepala hanyalah bekerja, menerima gaji, berbelanja, bermasalah dengan manusia lain. Hanya semacam itulah.

Hidup di Jakarta orang tidak lagi berpikir tentang kebebasan pribadinya. Karena orang sudah dipaksa hidup dalam sistem bisnis. Hidup hanyalah untuk mencari uang, menabung, dan belanja. Pesta-pesta dan pesta. Orang tidak lagi tertarik menyadari dirinya. Misalnya mencoba berhenti dan memikirkan siapa aku, mengapa aku ini, dan apa sih aku di dunia ini.

Ah, mengapa aku jadi menulis yang berat-berat di teks ini. Aku hanya ingin bercerita tentang kesadaran baru bagiku selama aku tidak ikut reaksioner mudik lebaran. Di keluarga temanku di Bandung ini sangat bersahaja. Selama aku di sana, aku selalu bangun siang. Mungkin dalam hati mereka, aku ini anak pemalas. Tapi memang benar, lingkungan yang sangat enak membikin orang malas bangun tidur. Rasanya ingin tidur terus.

Setiap kali bangun tidur, sudah ada teh manis panas di meja makan. Ada makanan yang baru selesai dimasak oleh ibunya temanku. Aku selalu dipaksa untuk ikut makan sebanyak-banyaknya. Mungkin itulah cara mereka menghormati tamu. Mungkin itu cara menunjukkan bahwa keluarga ini keluarga yang bahagia. Atau mungkin mereka kasihan sama aku yang badannya kurus sehingga harus makan yang banyak.

Biasanya setiap kali makan bersama, kami diskusi. Bapaknya temanku itu pensiunan tentara dan beliau taat beragama. Pasti dia bicara soal pengalamannya, mulai dari dipaksanya para tentara untuk mendukung Partai Golkar sewaktu Orde Baru masih berkuasa. Beliau paling suka bicara soal pendidikan.

Bapak itu memang sangat sadar tentang peningkatan sumber daya manusia. Dan sepertinya beliau ini sangat memahami tentang kebebasan pribadi. Buktinya, anaknya boleh kawin sama temanku yang beda agama. Aku bahagia bersama mereka. Aku merasa bebas dan bisa ikut mendebat apapun pendapat bapak temanku itu.

Suatu pagi ibunya temanku menggorengkan buah Sukun. Buah ini tidak dibeli di pasar, melainkan tinggal memetik dari kebun di sebelah rumah. Rasanya enak sewaktu masih panas. Aku bisa makan satu piring buah Sukun yang sudah digoreng itu. Makan gorengan sambil minum teh manis dan diskusi bersama bapaknya temanku yang baik itu.

Dalam hati, aku sangat salut kepada keluarga ini. Mereka ini telaten. Aku mengatakan telaten karena melihat bagaimana mereka memperlakukan air minum teh. Teh itu ditempatkan di teko atau orang di daerahku menyebutnya porong.

Untuk menjaga agar air teh selalu panas, mereka menutupinya dengan alat yang terbuat dari kain tebal. Seharian pun, air teh itu akan selalu dalam keadaan panas. Kami minum teh menggunakan cangkir kecil. Aku mengambil gula sendiri dan menuangkan air teh sendiri. Kami menikmati betul kebersamaan itu. Kami juga diskusi tentang asal muasal teh sampai upacara minum teh di Jepang.

Ini benar-benar lebaran yang sangat menarik dan berhaga bagi kehidupanku. Aku mendapatkan keluarga baru yang sangat bersahaja. Penyuka diskusi, menghargai cara memasak dan makanan, sampai menghormati cara menyajikan air teh. Hal-hal yang sudah tidak terlalu dipedulikan orang-orang yang tinggal di Jakarta.