Friday, December 31, 2010

Refleksi Akhir Tahun Si Wartawan Amplop

KEMARIN, kita saling berbagi
Bila ada acara-acara jelas, kita saling memberi informasi
Kemarin, terkadang kita memang saling mendahului
Sampai sering bersaing di beberapa lokasi
Bahkan, hampir-hampir berkelahi
Tetapi, kita tidak pernah saling membenci
Karena kita satu hobi
Buktinya, kita tetap akur hingga akhir tahun ini

Pada kesempatan ini, Ketua redaksi blog amplop terpopuler Tanah Air ini, www.singkatcerita.blogspot.com, mengucapkan Selamat Tahun Baru 2011

Mari jadikan momentum pergantian tahun untuk perbaiki diri
Mulai ubah tradisi
Tingkatkan citra diri
Jadi seorang jurnalis yang punya reputasi tinggi
Tidak memalukan asosiasi
Menjadi kebanggaan redaksi
Demikian puisi ini diakhiri
Lebaiiiiii....

Wednesday, December 22, 2010

“Punya Gelar S2, Isi Amplopnya Podo Bae…”

DUO wartawan amplop terlibat obrolan di warung kopi. Sambil ngobrol ngalor ngidul, mereka juga menyinggung soal masa depan. Judulnya bagaimana meningkatkan sumber daya manusia agar karier pun membaik.

Wartawan A menceritakan rencananya untuk melanjutkan kuliah S2 di salah satu universitas ternama. Katanya, dengan kembali ke bangku kuliah, otak bisa segar lagi, pengetahuan nambah, dan tentu peluang dapat pekerjaan menarik plus gaji OK pun lebar.

Monday, December 20, 2010

“Goodbye Jumat Ceria”

BEBERAPA waktu setelah terjadi penangkapan seorang pejabat pemerintah oleh aparat penegak hukum, terasa ada yang berubah di kalangan sebagian wartawan setempat.

Beberapa wartawan itu masih tidak percaya dengan kejadian ini. Heran bukan main, bagaimana mungkin tokoh masyarakat yang selama ini sangat royal dengan mereka, bisa ditahan. Apalagi cuma karena kasus bantuan jengkol.

Wednesday, December 15, 2010

Isi Amplop Dibagi Rata, Berita Di-ACC

INI cerita tentang salah satu redaktur media yang lucu. Rupa-rupanya kelucuannya ini juga sudah menjadi kebiasaannya di tempat kerja. Seperti apakah ceritanya? Begini.

Seperti biasa, sore hari yang tegang. Dead line! Emailnya penuh dengan laporan reporter. Satu persatu email berita dari lapangan dia buka. Setelah itu mengeditnya.

Thursday, December 9, 2010

Redaktur Darah Tinggi & Koresponden Mumet

SIANG ITU, seorang koresponden media online melaporkan berita ke redaksi via telepon. Laporan lewat telepon sudah biasa dilakukan di media online karena redaksi butuh kecepatan berita.

Pada waktu itu, yang menerimanya langsung redaktur senior. Sang wartawan berusaha seruntut-runtutnya membacakan laporan agar tidak kena maki. bla bla bla......

Wartawan Muda Gemetaran Pegang Amplop

DI DUNIA kewartawanan, ada wartawan amplop, ada juga yang anti amplop. Kalau cerita sebelumnya kebanyakan wartawan yang gemar memburu amplop, berikut ini ada cerita tentang seorang wartawan muda yang berjuang menolak. Tapi, karena tidak ada pilihan lain, anak ini pun terpaksa menerima dan sampai gemetaran begitu memegangnya.

Singkat cerita, begini ceritanya. Suatu kali ada isu panas berkaitan dengan seorang tokoh bangsa. Selaku reporter, anak muda ini langsung siap-siap berangkat liputan begitu mendapat perintah redaksi untuk wawancara tokoh itu.

Wednesday, December 8, 2010

Saya Absen, Maka Saya Dapat Jale-an

SUATU hari di suatu kota yang dirahasiakan namanya. Para juru warta televisi tampak sangat sibuk meliput kedatangan pejabat negara.

Di tengah kesibukan, seorang wartawan setengah senior nampak baru datang. Bukannya langsung ikut meliput atau mengambil gambar dengan kamera, eh, dia malah duduk-duduk saja.

Tuesday, December 7, 2010

Pelajaran Dari Dua Wartawan Amplop Wkkwkw...

BEBERAPA wartawan yang duduk-duduk di balai dikejutkan dengan kedatangan seorang humas. Ternyata yang datang adalah humas perusahaan yang sedang menyelenggarakan acara bisnis.

Humas itu sudah tidak asing dengan para wartawan. Kepada mereka, kemudian si humas bercerita sedikit tentang acara yang akan digelarnya.

Pilkada Wartawan Amplop

MENJELANG tahun baru, ada pemilihan ketua kelompok kerja wartawan di salah satu kota. Modelnya mirip-mirip pemilihan kepala daerah. Dua wartawan yang mencalonkan diri, masing-masing menggalang dukungan dari teman-temannya yang jumlahnya juga cuma beberapa orang saja.

Tak hanya itu yang unik dari pemilihan ini, masing-masing calon juga punya semacam juru kampanye yang bertindak untuk melobi teman-temannya. Setelah berhari-hari sibuk persiapan pemilihan, tibalah detik-detik puncak acara.

Thursday, November 18, 2010

Korlap Amplop: Ini Eranya Main Saham

PERTENGAHAN November 2010 ini dunia pers Tanah Air ramai-ramai memberitakan pernyataan Dewan Pers yang menerima laporan adanya sejumlah wartawan yang diduga minta jatah saham perdana perusahaan baja raksasa.

Menurut laporan yang diterima dewan pers, para wartawan itu minta kemudahan-kemudahan mendapatkan banyak saham.

Wednesday, November 17, 2010

Si Wartawan Senior Kerjai Yunior

SORE-SORE, tiga wartawan muda sedang duduk-duduk di tangga kantor lembaga pemerintah. Kelepas-kelepus menghisap rokok. Tak lama kemudian, dari tangga terdengar bunyi sepatu. Ternyata, yang datang seorang wartawan senior. Agaknya, senior yang rambutnya beruban ini sangat buru-buru.

Begitu sampai di bawah, dia mendekati ketiga wartawan. Lalu, mengajak ketiganya naik ke lantai dua. Para wartawan muda yang baru liputan di kantor ini pun mengikuti si senior. Soalnya, si wartawan ubanan itu bilang pejabat A akan menyampaikan pernyataan penting terkait kebijakan pemerintah.

Tuesday, November 16, 2010

Ada-ada Saja Ulah Si Wartawan Senior Ini

ADA-ADA saja ulah wartawan senior yang hobi berburu amplop ini. Walau tidak diundang meliput acara seminar, dia nekad saja datang ke salah satu ruang aula hotel, tempat acara berlangsung.

Sebenarnya dia sudah tahu tema acara seminar ini sama sekali tidak nyambung dengan bidang liputannya.

Usut punya usut, ternyata si wartawan senior ini punya motivasi khusus sehingga berkeras hati untuk datang ke acara itu. Bukan untuk liputan, melainkan iseng-iseng ingin ikut makan siang gratis.

Acara seminar akhir tahun itu diliput banyak wartawan lokal maupun nasional. Di antara wartawan yang meliput merupakan teman-teman si wartawan senior tadi.

Usai acara, panitia seminar memanggil para wartawan yang sudah terdata dalam daftar undangan. Mayoritas wartawan sudah paham maksud si panitia. Jadi, wartawan yang tidak mau terima amplop, tentu saja tidak mau ketemu panitia. Tapi, mereka yang hobi amplop, dengan senang hati buru-buru datang ke panitia.

Si wartawan senior tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Karena dia tahu ada salah satu temannya yang tidak mau bertemu panitia karena menolak amplop, maka dia secara sembunyi-sembunyi menemui panitia.

Entah bagaimana caranya, akhirnya amplop jatah temannya itu berhasil dia ambil dari panitia. Bisa jadi dia mengaku mewakili temannya untuk menerima amplop itu.

Lalu, dia pulang bersama teman-temannya, termasuk wartawan muda yang amplopnya dia ambil tadi. Wajah si senior ceria sekali sambil memegangi kantong celana tempat dia menyimpan amplop.

Sunday, November 14, 2010

Korlap Amplop Sampai Ketinggalan Bus

INI cerita seorang wartawan yang selama ini dikenal sebagai koordinator amplop beken di kota setempat. Dia jadi beken karena kegigihannya untuk meraup amplop.

Hari itu, dia senang sekali. Soalnya, baru dapat undangan seorang pengusaha untuk meliput aksi bakti sosial di salah satu desa. Diajaklah semua teman-temannya berangkat ke TKP. Semuanya tentu saja bahagia. Mereka dijemput pakai bus.

Seperti biasa, acara semacam itu hanyalah seremonial belaka. Sambutan dari si ini, sambutan dari si itu. Sebagian wartawan sampai sempoyongan karena kelelahan.

Beberapa jam kemudian, acara selesai. Setelah itu, wartawan-wartawan mulai berjalan ke bus yang tadi mereka tumpangi. Sedangkan si korlap wartawan sibuk mencari si pengusaha yang mengundangnya. Tentu saja dia ingin mengurus jatah amplop.

Wartawan-wartawan sudah berada di mobil. Semuanya buru-buru ingin pulang karena sudah mendekati jam deadline pengiriman berita ke redaksi.

Karena mereka lupa kalau si korlap belum naik ke bus, para wartawan yang tengah diuber deadline ini langsung minta sopir bus untuk menjalankan bus.

Nah, ketika bus hampir sampai ke tempat biasa para wartawan kumpul, seorang wartawan baru ingat kalau si korlap ketinggalan.

Meski demikian, rombongan wartawan cuek saja dan menganggap si koordinator akan pulang bersama bos pabrik yang mengundang tadi.

Sesampai di tempat tongkrongan wartawan, para wartawan pun mengetik naskah berita di laptop masing-masing. Nah, dua jam kemudian sebagian wartawan mulai panik. Soalnya, si korlap belum nongol juga. Tapi, kepanikan itu hilang setelah, si abang korlap datang.

Begitu sampai, sang korlap marah-marah. "Asu, kalian tinggalin gua. Kirik. Gua naik angkot, keujanan dan kena macet, rik.”

Saking kesalnya si korlap langsung menunjukkan amplop yang tadi diberikan si pengusaha. Amplopnya sudah lecek dan basah karena kena air hujan.

Tapi, walau dia kesel, dia tetap membagi jatah amplop buat teman-temannya.

Saturday, November 13, 2010

Bos Media Bertekuk Lutut Dengan Pemodal

SUATU akhir pekan, berlangsunglah acara malam amal. Acara ini diselenggarakan oleh pengusaha yang memodali sejumlah media. Beberapa bos media juga diundang ke sana.

Seorang wartawan muda memperhatikan gerak-gerik bos media tempatnya bekerja yang juga hadir di sana. Dia heran, kenapa bosnya tidak duduk saja di kursi yang telah disediakan untuknya. Si bos, malah berdiri saja di depan pintu masuk.

Setengah jam kemudian, si wartawan muda itu baru tahu kalau si bosnya sedang menunggu pengusaha yang memodali redaksinya. Begitu si pemodal datang, si bos yang selama ini dikenal selalu bergaya jurnalis idealis itu, langsung menunduk-nunduk seperti kucing yang begitu nyaman berada di belaian pemiliknya.

Si bos media media kemudian menjabat tangannya erat-erat sambil diayun-ayunkan. Dia sampai mendekatkan kepalanya ke tangan si pemodal. Mungkin kalau tidak ada orang di sekitarnya, si bos menciumi tangan si pemilik modal media.

Sambil terus merendahkan badan dan bergaya tersipu-sipu malu, si bos mendampingi pemilik modal berjalan ke tempat duduk di deretan depan.

Si wartawan muda yang mengetahui kejadian itu, tidak habis pikir. Mengapa sih bosnya mesti bersikap seperti itu. Padahal, harusnya bisa biasa-biasa saja seperti orang lain yang hadir dalam acara malam dana.

Begitu si pemodal duduk di kursi, si bos media tidak segera pergi. Dia menemani si pemodal dulu. Dia duduk di bawah kursi, dekat kaki si pemodal sambil sesekali mengajak pemodal bicara. Di sana, dia seperti anak kecil yang menggelendot-nggelendot bapaknya untuk minta jajan.

Pemandangan yang aneh, pikir si wartawan muda. Bos yang hobi menang sendiri jika berpendapat di hadapan anak buah itu, bisa bertekuk lutut dengan pengusaha di tempat umum seperti itu.

Pikirnya, pantas saja, selama ini kebijakan redaksi selalu menguntungkan pemilik modal.

Saturday, October 30, 2010

Wartawan Amplop dan Bos Media

SEORANG wartawan senior bicara menggebu-gebu di sebuah warung kopi. Katanya, jika saja semua perusahaan media mengupah secara layak jurnalisnya, maka hal ini bisa mencegah wartawan menerima atau meminta amplop. Bahkan, bisa mengantisipasi mereka agar tidak nyambi jadi makelar kasus.

Wartawan yang menerima suap, amplop, makelar kasus, ataupun hal-hal yang diharamkan oleh kode etik profesi wartawan, pemicu utamanya ialah rendahnya upah yang mereka terima dari perusahaan, ujar si senior itu.

Ia semangat sekali bicara soal upah layak bagi para jurnalis. Bahkan, ia menyebutkan satu persatu media yang upahnya layak, kurang layak, tidak layak, sampai media yang tidak mengupah wartawannya sama sekali. Wartawan yang tidak diupah oleh kantornya, biasanya disuruh cari iklan, jual koran, atau cari uang dari narasumber.

Setelah si senior selesai bicara, temannya gantian bicara. Sepertinya ia tidak puas dengan apa-apa yang disampaikan oleh si senior. Menurutnya, menyoroti masalah kewartawanan harus lebih luas lagi.

Apakah kalau kemudian semua wartawan diberi upah layak, terus hal itu dapat menjamin mereka tidak melakukan pelanggaran kode etik lagi? Kenapa kode etik seolah-olah hanya menyoroti wartawan di lapangan?

Ia menyontohkan, bos media tempatnya bekerja. Bosnya bergaji besar. Tapi, masih saja cari proyek dengan memanfaatkan pengaruhnya sebagai wartawan, memanfaatkan medianya.

Lalu, si bos media yang juga wartawan itu ternyata punya semacam kesetiaaan khusus dengan pemodalnya. Yaitu, media ini tidak akan mengutak-atik kasus-kasus yang dilakukan pemodal, seburuk apapun, sepenting apapun.

Kalaupun suatu hari menulis kasus (karena media menulis terus di halaman utama) yang menjerat pemodal, tentu saja bos media ini memerintahkan awak redaksi agar menulis secara sopan atau berusaha mengangkat dari sisi baik dari perusahaan saja. Kalau perlu, data-data kasus yang menjerat sang pemodal tidak usah dituliskan. Bagaimana?

Beberapa wartawan yang sedang duduk-duduk di warung kopi terdiam ketika mendengar statement itu, terutama si wartawan senior tadi. Agaknya, si senior masih butuh perenungan untuk menjawabnya dengan baik.

Thursday, October 28, 2010

Korlap 86 Bosan di Kelas Amplop

SUDAH bosan di kelas amplop karena tidak ada tantangan lagi, wartawan senior ini pun beralih kelas. Ia menjadi semacam jembatan antara pejabat A dengan pejabat B.

Konon, si pewarta senior ini pernah sukses membantu melancarkan pengadaan anggaran untuk salah satu proyek vital.

Caranya, dia membantu mempertemukan pejabat daerah yang punya gawe itu dengan pejabat pusat untuk membicarakan pos anggaran yang ingin diamankan.

Pejabat pusat itu ditemui agar ikut membantu memback up nilai anggaran agar tidak diubah-ubah, apalagi dikurangi. Setelah hitung-hitung keuntungan, ditambah lagi orang yang menjadi jembatan pertemuan rahasia ini adalah wartawan yang selama ini dekat dengannya, akhirnya pejabat ini pun siap sedia mendukung rencana pengamanan.

Nah, ketika semuanya berjalan sukses dan nilai pos yang diamankan itu benar-benar tidak diutak-utik saat pengesahan anggaran, semuanya tersenyum. Semuanya dapat keuntungan.
Tentu saja si wartawan senior nakal ini kebagian rezeki yang berlimpah.

Tuesday, October 26, 2010

Rebutan Amplop Di Bawah Panggung

INI cerita yang tersisa dari musim kampanye lalu. Dimana pada waktu itu, salah satu partai menggelar kampanye hebat-hebatan di daerah yang selama ini menuntut kesejahteraan ekonomi.

Kampanye benar-benar meriah. Ada musik, ada puji-pijian, ada yel-yel segala. Semua orang tampak tabah walaupun lokasi tempat kampanye itu sangat panas. Sekitar tiga jam kampanye berlangsung.

Singkat cerita, usai gelar kampanye, sekelompok belasan orang yang mengenakan kartu pers berkumpul di bawah panggung yang tadi digunakan untuk joget dangdut.

Seru sekali di bawah panggung itu. Sepertinya lebih seru dari acara kampanye itu sendiri. Selidik punya selidik, ternyata para wartawan tengah rebutan amplop dengan panitia humas.

Benar-benar rebutan. Tak terkendali. Semua orang merangsek ke panitia. Security yang mengamankan kampanye sampai merapat untuk mengendalikan suasana.

Security berusaha mengamankan panitia yang dikerubuti wartawan. Karena security ingin melindungi bos panitia dari amuk masa, ia langsung merangsek ke dalam kerumunan. Seperti banteng.

Saking kuatnya tenaga security, sebagian wartawan yang rebutan amplop sampai terjengkang ke segala arah. Akhirnya, aksi security ini berhasil menghentikan uyel-uyelan di bawah panggung.

Ending sumpah serapah pun keluar dari orang-orang yang terlempar setelah kena seruduk.

Monday, October 25, 2010

Bos Media Sumringah Terima Oleh-oleh

ADA salah satu petinggi media yang selalu berteriak-teriak kepada para wartawan untuk selalu meningkatkan citra media. Kesannya, bos ini sangatlah idealis. Menjunjung tinggi kode etik jurnalistik dan lain sebagainya.

Para wartawan di redaksi media pada awalnya sangat segan kepadanya. Mereka berpikir, inilah sosok wartawan ‘sejati’ yang patut jadi cermin. Seorang senior.

Belakangan, kantor redaksi silih berganti kedatangan orang. Pengamat, pejabat, pengusaha, dan lain sebagainya, datang untuk kepentingan masing-masing.

Salah satunya yang menarik terjadi di musim penghujan itu. Datanglah beberapa orang ke kantor redaksi. Ternyata, orang-orang ini datang dari salah satu perusahaan swasta.

Mereka datang untuk silaturahmi sekaligus mempromosikan produk. Mungkin, persahabatan semacam itu juga merupakan strategi cantik perusahaan agar jika kelak mereka kena bermasalah, media ini tidak terlalu banyak mengungkit-ungkitnya.

Usai, ngobrol dan cekakak-cekikik di salah satu ruangan, tamu-tamu itu pamit. Sambil salaman dengan salah satu bos media itu, salah seorang yang kemungkinan besar adalah marketing menyerahkan bungkusan mirip kado seukuran televisi 14 inchi.

Di salah satu kado itu, ada tulisan nama produk-nya. Sumringah betul petinggi media itu setelah menerimanya oleh-oleh. Setelah mengantar tamu keluar pintu, dia buru-buru menyembunyikan kado ke bawah meja kerja.

Para wartawan yang menyaksikan pemandangan itu cuma bisa saling pandang sambil bisik-bisik. “Apa bedanya amplop yang diterima wartawan di lapangan dengan oleh-oleh yang diterima buat bos kita ini yak.”

Kejadian semacam itu di kantor redaksi ternyata tidak hanya sekali itu terjadi.

Saturday, October 23, 2010

Obat Bodrex dan Wartawan Bodrex

SEORANG wartawan resmi yang selalu mengaku idealis protes keras dengan istilah bodrex (atau kadang-kadang ditulis bodrek) untuk menyebut orang yang mengaku wartawan untuk memeras narasumber.

Katanya, bodrex ialah obat yang bisa meringankan gejala sakit kepala, sakit gigi, dan menurunkan demam. Itu tuh, yang memakai Dede Yusuf yang sekarang jadi Wakil Gubernur Jawa Barat sebagai bintang iklannya.

Sementara bodrex yang satu ini, bikin pejabat negara, pengusaha, guru dan anggota masyarakat lainnya pusing tujuh keliling. Bukan cuma menimbulkan sakit kepala, tapi juga membikin asam urat kumat. Dan tentu saja, bisa membuat nama baik wartawan-wartawan resmi menjadi tercoreng.

Lagi pula, katanya, kalau sering-sering menyebut nama bodrex, sama juga seperti mempromosikan obat yang diproduksi oleh PT Tempo Scan Pacific ini secara gratis.

Menurut wartawan yang protes dengan sebutan wartawan bodrex itu, lebih tepat kalau mereka dinamai wartawan gadungan saja.

NB: terus apa dong sebutan bagi wartawan resmi, baik yang di lapangan maupaun di redaksi, yang punya perilaku seperti wartawan bodrek itu?

Humas Stres Berat Didatangi 30 Wartawan

BARU-BARU ini, salah satu perusahaan swasta menyelenggarakan pesta ulang tahun ke 10. Banyak tamu yang hadir, baik dari pemerintahan, legislatif, pengusaha, bahkan jumlah wartawan yang datang tak kalah banyak dengan jumlah tamu.

Acara hari jadi perusahaan swasta ini berjalan lancar. Makanan enak, doorprize menarik, live music, semua menjadi hiburan tersendiri bagi yang hadir di acara ini.

Usai acara, petugas hubungan masyarakat perusahaan pusing tujuh keliling, padahal harusnya sumringah karena acara berjalan lancar. Mengapa pusing? Di depan ruang humas, ternyata ditongkrongi banyak orang yang mengaku wartawan. Tidak tanggung-tanggung, jumlah mereka mencapai sekitar 30 orang.

Petugas humas sampai keringetan. Padahal, waktu itu, panitia hanya mengundang lima wartawan dari media yang mereka anggap bagus untuk pencitraan bisnis.

Puluhan wartawan itu nampak agak kesal karena mereka ditanya-tanya panitia mengenai bagaimana mereka bisa tahu ada acara ini, padahal tidak diundang. Ada yang bilang, mengatahui informasi acara ulang tahun ini dari spanduk di depan gedung.

Setelah bicara bicara bicara bicara, petugas humas mengerti alasan meliput acara ini memang menjadi hak wartawan. Tapi, yang membuat petugas humas stres berat ialah karena para wartawan itu minta uang transportasi atau amplop.

Semula petugas tidak mau meluluskan permintaan itu. Tapi, melihat gelagat orang-orang yang mengarah ke anarkis, akhirnya petugas humas mengalah. Mereka kemudian membagikan uang kepada satu persatu wartawan.

Setelah pembagian selesai, puluhan wartawan itu pergi.

Amplop Bikin Persahabatan Dua Korlap Retak

DI salah satu lembaga pilar pemerintahan, ada dua wartawan, si A dan si B, yang sangat klop. Maksudnya, klop dalam hal mencari ide untuk mendapatkan amplop dari narasumber.

Suatu hari, si A bertemu dengan wartawan C. Ternyata si C ini termasuk rajanya amplop juga di kalangan pers. Banyak ide dan banyak suksesnya. Makanya, si A sangat-sangat klop dengan si C ini. (Kalau dengan si B, sangatnya klopnya cuma sekali).

Akhirnya, si A dan si C sering jalan bareng untuk mencari amplop atau proyek dari narasumber. Sejak itu, A dan B jadi makin jarang ketemu dan jarang berduet lagi.

Karena merasa ditinggal mencari jale, 86, atau amplop, terus oleh A dan C, lama-lama si pun B menjadi uring-uringan. Ia menjadi kesal bukan main.

Saking tidak tahan menahan kegundahan hati, si B pun curhat. Dia menuliskan isi hatinya di status Blackberry Messenger dan status Facebook-nya.

“PERSAHABATAN YANG TELAH LAMA TERJALIN, TERNYATA DAPAT DIBELI OLEH AMPLOP"

Maksudnya, ternyata amplop pun bisa membikin hubungan pertemanan retak.

Korlap Amplop Curhat di FB

BELAKANGAN ini, wartawan yang biasa menjadi koordinator acara-acara ‘basah’ alias yang ada jatah amplopnya ini kerap kali terlihat mengeluh.

Bahkan, korlap senior ini sampai menumpahkan isi hatinya lewat status facebook dengan huruf kapital semua. “DISKRIMINATIF BETUL, SIH.”

Fenomena ini benar-benar tidak biasa. Hal ini menarik perhatian salah satu temannya. Karena selama ini si korlap tidak pernah bersikap demikian. Teman yang penasaran itu pun mencari tahu sebab musabab yang membuat si senior ini gundah gulana.

Usut punya usut, perubahan perilaku yang terjadi pada wartawan senior ini ternyata dipicu oleh amplop. Tepatnya, nilai jatah amplop yang dari panitia suatu acara.

Korlap ini merasa panitia di salah satu lembaga yang selama ini sering dia liput, tidak adil terhadap kelompoknya. Yaitu wartawan cetak.

Dia tidak bisa terima begitu saja kalau wartawan cetak kelompoknya hanya dijatah amplop yang isinya Rp50 ribu. Sementara wartawan elektronik Rp100 ribu.

Menurutnya, harusnya semua wartawan mendapatkan hak yang sama rata. Karena semua yang hadir ikut mempublikasikan acara yang diselenggarakan panitia itu.

“KOK SEKARANG DIBIKIN JARAK SEPERTI INI ANTARA SESAMA WARTAWAN.” Begitu statusnya di FB di lain hari.

Seperti halnya status-status FB sebelumnya, status yang terakhir ini juga mendapat reaksi yang cukup heboh dari para wartawan teman-teman si korlap. Komentar saling bersahutan. Ada yang bercanda, tapi ada juga yang serius. Intinya, mereka tidak terima kalau sampai jatah antar media dibeda-bedakan.

Wartawan Nakal & Kandang Kerbau

KONON, ada seorang wartawan di salah satu daerah yang nakal sekali. Dia jadi konsultan korban kasus.

Begini ceritanya. Tepatnya kasus ini terjadi di musim penghujan tahun lalu. Waktu itu, terjadilah kasus yang menimpa salah satu keluarga di daerah itu. Perkara ini membuat keluarga ini benar-benar tak berdaya. Dia tak punya pilihan lain selain memberikan sejumlah uang kepada oknum yang mengaku bisa mengamankan kasusnya.

Uang yang diserahkan keluarga itu jumlahnya besar sekali, sampai-sampai mereka harus menjual rumah segala. Benar-benar membikinnya makin jatuh miskin.

Nah, saat kasus ini masih hangat, ada seorang wartawan yang mengetahuinya. Mungkin pada waktu itu si wartawan ini iba melihat kondisi ibu itu sekaligus dia menangkap ada kesempatan yang bisa dimanfaatkan untuk mengeruk keuntungan pribadi.

Si wartawan ini memberi saran kepada keluarga itu. Dia menawarkan skenario yang bertujuan untuk menarik simpati publik dan tentu saja untuk mendapatkan keuntungan lain lagi. Keluarga ini harus tinggal di kandang kerbau. Lalu diliput. Dengan begitu, masyarakat akan iba melihatnya nongol di media.

Keluarga yang sedang terjepit ini pun menuruti saja saran itu. Mereka bermalam di kandang kerbau. Dan si wartawan pun meliputnya.

Tidak lama kemudian, peristiwa ini nongol di media. Dalam sekejab, menjadi berita besar. Ada keluarga yang tinggal berbulan-bulan bersama hewan piaraan karena uangnya habis setelah diperas oknum.

Efek berita itu ternyata ampuh. Ada gambar, ada artikel, segala sisi diungkapkan. Benar-benar membuat khalayak ramai teraduk-aduk emosi ibanya. ternyata strategi itu berhasil.

Tak lama kemudian, banyak orang yang menghubungi kantor pemberitaan tempat si wartawan bekerja. Umumnya, mereka minta informasi dimana keluarga itu tinggal. Mereka merasa kasihan. Ingin membantu.

Beberapa hari kemudian, tokoh masyarakat, pengusaha, sampai pejabat secara bergilir menjenguk keluarga itu. Tiap kali orang-orang datang untuk menyumbang uang, keluarga itu segera ke kandang. Tapi, begitu orang-orang pergi, mereka masuk rumah lagi. Pokoknya, sesuai saran si wartawan tadi.

Usut punya usut, uang yang terkumpul dari sumbangan pun banyak sekali. Kalau ditotal-total, jumlahnya melebihi uang yang pernah diserahkan ke oknum yang membikinnya jatuh miskin. Bahkan, belakangan, ada pejabat yang sampai membelikan keluarga itu rumah.

Usut punya usut, ternyata wartawan yang tadi memberi ide juga kebagian rejeki nomplok itu. Karena memang inilah yang diimpikan si wartawan nakal.

Tidak ada yang tahu akal-akalan ini. Tapi, berita tentang keluarga yang di kandang kerbau tadi terus meluas, bahkan sampai berhari-hari menjadi berita utama.

Friday, October 22, 2010

Dulu Tolak Amplop, Sekarang Bagi-bagi Amplop

SELAMA jadi wartawan di lapangan, cewek satu ini dikenal oleh teman-temannya selalu tidak mau terima amplop dari narasumber. Karena menurutnya, hadiah apapun dari narasumber itu tidak boleh diterima karena bisa membuatnya tidak bebas sebagai jurnalis.

Kadang-kadang, narasumber sampai menitipkan amplop lewat teman-temannya, tapi cewek ini tetap saja tidak mau terima. Dan terkadang, ia sampai mengembalikan sendiri hadiah itu ke humas panitia acara yang pernah mengundangnya.

Dia sangat menjaga reputasi sebagai wartawan di lapangan. Menerima hadiah dari narasumber, berarti mengurangi harga dirinya, kira-kira begitu.

Beberapa tahun kemudian, dia keluar dari media massa tempatnya bekerja. Dia pindah kerja ke bagian hubungan masyarakat / public relation di salah satu company.

Karena perusahaannya tempat bekerja si cewek ini bergerak di bidang layanan publik, jadi hampir setiap bulan menyelenggarakan konferensi pers untuk mengumumkan pencapaian layanan atau peluncuran layanan baru.

Bulan itu adalah bulan pertama dimana cewek yang sekarang jadi public relation perusahaan ini harus mengundang para wartawan agar meliput konferensi pers.

Dia stres. Apa yang membuatnya pusing tujuh keliling? Soalnya, sekarang dia harus mendata wartawan dan tentu saja menyiapkan anggaran untuk mereka.

Anggaran ini nantinya diperuntukkan untuk kebutuhan pengadaan souvenir yang akan dibagi-bagikan kepada wartawan. Atau bisa untuk anggaran amplop.

Nah, kalau dulu cewek ini selalu menolak pembagian amplop, sekarang dia mau tidak mau dia harus mengurusi amplop. Bahkan, dialah yang bertugas membagi-bagikannya.

Thursday, October 21, 2010

Korlap 86 Pusing Ditagih Korlap2 Lainnya

DI salah satu warung kopi kota industri, tempat biasa para wartawan nongkrong, bertemulah dua wartawan. Wartawan cetak bernama A dan wartawan elektronik bernama B. Mereka sudah lama tak berjumpa.

“Apa kabar bro,” kata si A.

“Baik selalu,” jawab si B.

Si A menambahkan, “Sepertinya ente kurang sehat,”

“Iya sih,” ujar si B.

“Gue lagi didera banyak problem ni. Beraaat,” ujar si B lagi.

“Ah, ente. Bisa saja kalau mendramatisir masalah, kayak bikin berita saja,” kata si A sambil tertawa ngakak.

“Ya ampun, lu enggak percayaan amat sih,” kata si B dengan wajah susah.

“Beneran ye. Kalau gitu tenang bro. berdoa dan bersabar, pasti ada jalan keluarnya,” ucap si A. “Percaya deh.”

“Nah, kalau perlu ente istirahat atau cuti beberapa hari gitu, pasti lega deh. Gue sudah membuktikannya coy. Hayo, cepet izin cuti ke kantor ente,” saran si A.

Si B mendengarkan saja saran si B. Wajahnya makin terlihat susah saja.

Si A bicara lagi. “Tapi, Ngomong-ngomong, sebenarnya apa yang bikin ente susah sih.”

Setelah itu, si wartawan B minta wartawan A mendengarkan persoalan yang membikinnya stres setengah mati. Tapi, sebelum curhat, dia minta si A benar-benar merahasiakannya.

“Gini bro, temen-temen tadi pada nagih jatah (amplop) ke gue. Ternyata, kemarin, mereka konfirmasi ke panitia acara konferensi pers. Dari situ, teman-teman tahu kalau amplopnya di gue semua. Mana udah gue pakai semua lagi.”

Si wartawan A cuma bisa mengelus dada.

Monday, October 18, 2010

Amanah Pak Lurah Kecewakan Korlap 86

LIMA orang wartawan datang bersamaan ke kantor kelurahan, siang itu. Mereka ingin konfirmasi terkait dampak proyek pengelolaan sampah yang tidak bagus bagi kesehatan penduduk di sekitarnya.

Tak lama kemudian, mereka pun sampai tempat kejadian perkara. Karena wartawan yang datang banyak, pegawai kelurahan langsung mempertemukan dengan pak lurah.

Karena judulnya cuma konfirmasi, maka jalannya wawancara itu tidak berlangsung lama. Selesai wawancara, mereka pamit. Lalu, satu persatu keluar dari kantor lurah.

Sampai di tempat parkir, ternyata salah satu wartawan masih di dalam kantor lurah. Teman-temannya mengiranya karena masih ada sesuatu yang perlu diperjelas. Mungkin jawaban lurah masih kurang, sehingga dia minta keterangan lagi.

Tapi, rasanya kok mustahil si wartawan itu sebegitu rincinya minta jawaban dari pak lurah. Karena biasanya, dia tidak pernah mau bertanya ke narasumber. Menelan mentah-mentah apapun yang disampaikan narasumber.

Tidak lama kemudian, si wartawan itu keluar. Wajahnya yang tadi kelelahan, sekarang tampak begitu cerah dan sumringah. Jalannya pun tegap.

Kemudian, lima wartawan ini pun pergi dengan mengendarai sepeda motor. Sekitar dua ratus meter dari kantor lurah, wartawan yang tadi terlambat keluar ruangan kantor lurah tiba-tiba berteriak dan mengajak teman-teman lain berhenti.

Setelah berhenti. “Coy, ada ni titipan. Ini buat dibagi-bagi, kata pak lurah tadi.”

“Wah, mantap banget lu. Gak nyangka lu pinter juga,” sahut temannya.

Tanpa panjang kata, si wartawan itu langsung mengeluarkan satu amplop di hadapan teman-temannya. Ia pun dengan penuh kebanggaan menyobek.

Tiba-tiba, wartawan yang mendapat amanah dari pak lurah menjerit. Disusul wartawan lainnya berteriak. Lainnya lagi histeris.

“Gila, isinya Rp10 ribu.”

“Kacau nih pak lurah, segini suruh bagi-bagi.”

“Ayo balikin sajalah.”

“Ayo, ayo.”

Sunday, October 17, 2010

Amplop Senior Dipotong 99,9 %

DI salah satu departemen, ada seorang wartawan senior yang gemar mencari amplop. Suatu Senin, ia mengajak dua wartawan yang baru liputan di pos itu kumpul di kantin. Sambil makan nasi rawon, mas pewarta senior tiba-tiba pamer.

"Coy, tadi gua dapat titipan dari abang kita," katanya.

"Mantap nih mas, waaah kebetulan banget," kata wartawan lain yang lebih yunior.

Selesai makan, si senior mengeluarkan amplop. Lalu ia memperhatikan amplop sebentar. Lalu, "Nih bagianmu."

"Makasih mas."

Kemudian si senior menyerahkan amplop ke wartawan muda lainnya. "Nih coy."

Si wartawan muda wajahnya agak kemerahan. Malu. Setelah menyimpan amplop, ia tersenyum sendiri sambil melengos.

Setelah acara seremonial yang diselenggarakan oleh wartawan senior itu selesai, mereka pun bubar.

***

Sore harinya, dua wartawan yunior itu misuh-misuh sesampai di warung yang biasa dijadikan basecamp wartawan. "Monyet juga tuh orang, amplop kosong dikasih orang."

"Besok kita gantian kerjain ajalah. Mentang-mentang kita masih baru di pos itu, dikerjain. Sial."

"Gue pikir isinya mantap."

***

Tibalah waktunya pembalasan. Kebetulan sebulan setelah bulan puasa, ada acara konferensi pers yang diadakan oleh pejabat baru. Nah, kebetulan pada saat itu, si senior datang terlambat karena dapat tugas lain dari redaksi. Dia baru datang setelah acara sudah bubar.

Dua wartawan yunior itu, walau masih baru bertugas meliput di kantor itu, ternyata mereka korlap juga. Alias, menjadi koordinator amplop.

"Kayaknya jelas (ada amplopnya) nih ya," kata senior kepada yunior.

"Mas tahu aja kalau ada acara yang jelas-jelas," kata si yunior.

Si senior hanya senyum-senyum. Senyuman penuh arti. Maksudnya, dia minta bagiannya.

"Ini mas."

Walau si senior itu sudah sangat biasa menerima amplop. Tetap saja ia agak malu-malu kalau menerimanya dari teman. Setelah amplop masuk kantong, dia pun bergegas pergi ke toilet.

Sesampai di toilet. "Asu, seribu rupiah."

Buru-buru si senior keluar. Maksud hati ingin menemui yuniornya. Tapi, ternyata mereka sudah tidak di tempat. "Keong."

Ia kena pembalasan. Isi amplopnya dipotong sampai 99,9 persen oleh yunior.

Saturday, October 16, 2010

Si Amplop Protes Si Bantal

TIBA-TIBA si wartawan muda ini mencak-mencak begitu membaca blog yang isinya melulu soal wartawan amplop. Katanya, ini ada ketikdakadilan. Seolah-olah yang 'main' hanya wartawan di lapangan. Padahal, level atasan di redaksi juga ada yang gemar terima 'guyuran' dari narasumber atau pihak tertentu.

"Bos-bos tuh macan-nya, mereka terima bantal, coy, bukan lagi amplop."

Bantal yang dimaksud si wartawan muda ini adalah permainan bos di redaksi bukan lagi kelas amplop. Tapi, main rekening, proyek, jabatan, ataupun jenis hadiah lain yang nilainya tentu membuat orang yang biasa main di kelas amplop terperangah.

"Amplop sih cuma recehan. Ibaratnya masih kasta kasta sudra," katanya.

Permainan bos, menurutnya lebih sadis. Terkadang mereka memainkan isu untuk mencitrakan pihak tertentu atau menggulingkan pihak tertentu. Kongkalingkong dengan pihak yang punya otoritas. Ujung-ujungnya uang.

Oleh karena itu, si wartawan muda ini tidak mau terima jika hanya wartawan lapangan kelas amplop saja yang dituntut paling bertanggung jawab terhadap pelanggaran etika jurnalistik.

"Yang terima bantal itu yang lebih parah."

Tapi terlepas dari amplop atau bantal, si wartawan muda ini mengakui kalau kebiasaan semacam itulah yang kemudian menjadi pandangan umum bahwa penghasilan utama wartawan itu ya dari 'suap' narasumber.

Friday, October 15, 2010

Si ‘Idealis’ Pun Jadi Pemburu Amplop

ADA seorang wartawan senior yang selalu mengaku anti amplop setiap kali bertemu dengan teman-temannya. Bahkan, dia pernah tega mengadukan teman lain yang terima amplop ke redaksi.

Singkat cerita, begitu ia pindah kerja ke media lain, ada perubahan dengannya sedikit demi sedikit. Mengapa demikian, ternyata karena dia sudah tahu permainan bos-bosnya di redaksi.

Kalau dulu si wartawan ini anti bergabung dengan teman-teman yang gemar menerima amplop, kini, ia senang berkumpul dengan mereka. Bahkan, dia mulai sering bergerilya sendiri untuk mencari acara-acara yang ‘basah.’

Setelah malang melintang ke dunia amplop, jale, atau sering dikenal 86, ia kerap menjadi korlap.

Suatu hari, ia bertemu dengan teman-teman yang dulu diejeknya karena suka menerima amplop. Kebetulan, mereka sama-sama akan pergi liputan ke acara konferensi pers salah satu calon anggota DPR RI.

“Cuk, jelas gak ni. Malas gue kalau gak jelas,” katanya. Yang dimaksud ‘jelas’ ialah ada amplopnya.

“Lu doyan juga lu sekarang,” kata temannya.

“Diem lu,” jawabnya sambil melengos.

“Gila lu coy. Dulu lu galak banget sama amplop.”

“Ah, bos gue di kantor aja pemain semua. Kelas berat. Permainan mereka bukan lagi amplop macam anak lapangan, tapi isu dan opini. Kita mah dikandalin sama bos-bos cuk. Mereka rapi mainnya, gayanya aja sok idealis. Padahal sering melenceng dari kode etik.”

Lalu, semua tertawa.

Dari wajah si wartawan yang dulu idealis ini terlihat ada kekesalan yang begitu mendalam. Dia kesal karena banyak bos-bosnya di kantornya yang gemar main ‘proyek,’ tapi selalu menuntut anak buah idealis demi menjaga citra redaksi.

“Mana ada bos yang benar-benar konsisten idealis, cuk. Modus semua.”

Thursday, October 14, 2010

Cerita Wartawan Muda & Korlap 86

INI KISAH seorang wartawan muda. Waktu itu, anak muda ini baru beberapa bulan mengenal dunia kewartawanan. Sekali waktu, ia ikut kumpul dengan teman-temannya yang bisa dibilang agak seniorlah. Mereka standby di salah satu tempat yang biasa dijadikan basecamp wartawan.

Di saat para wartawan sedang duduk untuk menunggu datangnya informasi berita, ada salah wartawan yang woro-woro. Ia bilang ada liputan yang sungguh menarik. Lalu, dia mengajak wartawan-wartawan lain untuk merapat ke sana.

Ramai-ramailah para juru warta ini ke sana tempat kejadian perkara - hotel - yang disebutkan oleh si wartawan agak senior itu. Sesampai di lobi hotel tempat penyelenggaraan acara yang diadakan oleh seorang tokoh, para wartawan pun langsung tanda tangan di daftar kehadiran yang disediakan panitia.

Si wartawan muda yang belum tahu banyak tentang seluk beluk acara-acara semacam itu pun ikut tanda tangan.

Singkat cerita, setelah acara yang sebenarnya tidak penting-penting amat itu usai, si wartawan agak senior yang tadi mengkoordinir untuk datang ke hotel itu, tiba-tiba mengajak salaman. Belakangan, si wartawan muda itu sadar, ternyata dia seorang korlap.

Begitu si korlap menjabat tangan, telapak tangan si wartawan muda merasakan ada kertas di sana. Ia kemudian menyadari kalau ternyata si korlap memberi amplop. Jabat tangan itu ternyata cuma cara agak acara bagi-bagi amplop tidak menjadi perhatian.

Si wartawan muda sampai merah mukanya dan berkeringat tubuhnya ketika disodori amplop oleh si korlap. Ia bingung setengah mati. Ini untuk pertama kalinya ia dengan mata kepala sendiri menyaksikan kalau amplop untuk wartawan itu memang ada di dunia.

“Siapa yang kasih, bang,” kata wartawan muda agak gemetar.

“Adalah. Ini jatah lo nih,” jawab si korlap.

"Gak bisa bang, gue kagak terima beginian. Pulangin dong," tambah wartawan muda dengan lugu.

"Sudah ada jatahnya masing-masing, ini buat lo!" balas si korlap.

Si wartawan muda itu idealis. Ia menganggap pemberian amplop dari narasumber merupakan pelanggaran terhadap kode etik profesi wartawan.

Waktu itu, si korlap sampai menyodor-nyodorkan amplop kepadanya, tapi dia tetap tidak mau terima.

Akhirnya si korlap menarik lagi amplop itu. Ia memasukkan ke kantongnya sendiri. Mukanya pun langsung cerah karena waktu itu jatah 86 buat dirinya jadi dobel.

*HIKMAH yang bisa diambil: Jadilah korlap biar dapat jatah dobel.

Wednesday, October 13, 2010

Senior Amplop Terpaksa Kembalikan Amplop

SUDAH lama wartawan ini menggeluti bidang amplop. Kalau ada liputan-liputan ‘basah’ sudah pasti ia hadir. Setiap harinya ia menajamkan telinga untuk mendapatkan informasi acara-acara yang ‘basah.”

Ia selalu mengutamakan acara ‘basah' dibanding mengejar good news untuk konsumsi redaksinya. Ini jaman new media coy, katanya. Untuk berita-berita yang sifatnya peristiwa, biasanya ia copy paste dari media online. Itu sebabnya, dia tidak khawatir kebobolan oleh media lain.

Di antara teman-teman sesame jurnalis, sepak terjang wartawan satu ini di dunia amplop tidak disangsikan lagi. Idenya banyak. Dia juga menyandang julukan korlap wartawan. Maksudnya, suka jadi koordinator saat menghadiri undangan pihak tertentu.

Tapi, ia tidak disukai oleh rekan-rekannya. Soalnya, beberapa kali ketahuan mencatut nama media lain demi amplop.

Nah, suatu saat si wartawan ini kena batunya. Di salah satu kafe ada gelar konferensi pers. Kepada panitia, dia bilang bahwa semuanya beres. Artinya, banyak wartawan yang bisa didatangkan ke acara untuk menghadiri acara.

Ditunggu. Ditunggu. Ditunggu. Sampai sejam lebih. Ternyata jumlah wartawan yang hadir hanya beberapa orang. Padahal, tadi dia bilang ke panitia semua wartawan dari media cetak dan elektronik akan hadir.

Karena yang hadir tidak banyak, panitia pun sampai menelepon media-media perwakilan di daerah itu agar merapat ke acara. Entah bagaimana dia mempromosikan acara itu ke media, eh ternyata ada beberapa wartawan lagi akhirnya ikut kumpul.

Singkat cerita, setelah jumpa pers selesai, si panitia berkata kepada beberapa wartawan yang hendak pulang. “Kapan ya tayangnya.”

“Wah kami wartawan lapangan bu. Semuanya yang memutuskan untuk tayang ya redaksi. Kami nggak tahu pasti.”

“Loh kok nggak pasti tayang gimana dong. Kan saya sudah kasih uang. Tadi saya titip ke si C####.”

Merasa tidak terima uang, sejumlah wartawan elektronik bergegas mencari-cari wartawan korlap amplop itu.

Setelah ketemu, terjadilah pembicaraan. Tanya sana. tanya sini. Akhirnya si wartawan korlap itu mengakui kalau telah mencantumkan sepuluh nama wartawan. Tapi, katanya, semua dari media cetak. Sambil gemetaran dia janji kalau uang itu nanti tidak akan ‘dimakan’ sendirian, melainkan akan diserahkan ke nama-nama wartawan yang masuk daftar absen panitia.

Karena percaya nama-namanya tidak dicatut, akhirnya sejumlah wartawan elektronik itu pergi.

Setelah wartawan elektronik pergi, si ibu panitia datang menemui si wartawan korlap yang masih berada di sekitar kafe. Ibu itu merasa dibohongi. Soalnya, tadi si korlap bilang bisa mengkondisikan para wartawan agar menayangkan berita. Dan dia sudah menyerahkan segeplok uang untuk mengakomodasi wartawan.

Setelah terjadi percakapan yang agak menegangkan, akhirnya, tiga buah amplop dikembalikan ke ibu panitia.

Dosen Pun Di-86-kan

MINGGU itu memang minggu yang kering. Mana tagihan sudah menumpuk. Hari-hari tidak ada amplop yang bisa dibawa pulang. Tapi dasar wartawan hobi amplop, idenya selaaaalu muncul di saat krisis seperti masa itu.

Datanglah si wartawan ini ke rumah seorang dosen. Sampai di rumah yang asri itu, disambutlah dia oleh dosen. Pengajar ini, dulunya adalah dosen si wartawan itu. Dosen ini terkenal suka jahil dan genit dengan mahasiswi.

Kemudian, mereka duduk di teras. Benar-benar mereka langsung akrab. Si wartawan pun tanya sana tanya sini sambil sesekali menyelingi obrolan dengan kelakar garing.

“Bapak ini ngetop, lho,” kata si wartawan yang selama ini dikenal sebagai korlap amplop.

Mendengar pujian itu, si dosen setengah kaget. Untung tidak sampai menjerit.

“Bidang yang bapak geluti sangat menyentuh kemanusiaan dan strategis,” tambah wartawan.

Si dosen tersipu-sipu malu. Lalu ia minum teh manis untuk mengusir perasaan yang bergejolak karena dapat perhatian dari mantan mahasiswanya.

“Sayangnya cuma satu yang kurang saja. Padahal nama bapak bisa melejit,” kata wartawan lagi.

“Ah, adik bisa aja,” kata dosen yang makin termakan rayuan gombal si korlap amplop.

“Betul, pak. Bapak ini kalau sering muncul di koran. Mantaplah nama bapak. Coba lihat abang A, abang B, abang C, mereka sering nongol di koran, namanya besar banget sekarang. Saya sering tukar pikiran dengan beliau-beliau.”

“Aduuuh, apalah bapak ini dik. Sudah cukuplah bapak seperti sekarang.”

“Coba lihat putra putri bapak, pasti bangga sekali kalau bapaknya terkenal,” kata wartawan yang kebetulan melihat foto keluarga lewat kaca jendela.

“Bapak mesti diprofilkan. Atau bapak nanti diwawancara saja biar bisa masuk koran.”

Lalu, sambil kelimpungan dosen bilang, “Ah adik. Silahkan lho, dicicipi dulu masakan ibu dan diminum teh angetnya.”

Posisi si wartawan memang berada di atas angin. Ia memonopoli suasana terus. Singkat cerita, setelah semua pujian dilemparkan ke si dosen sampai dosen serasa terbang, si wartawan pun hendak pamit.

Tapi, sebelum si wartawan pergi, si dosen memanggil-manggil istri yang berada di dapur. “Bu, bu, tadi yang bapak kasih ke ibu mana. Kesinikan dulu, bu.”

Dari dalam rumah, si istri dosen dengan suara agak keras menjawab. “Bukannya untuk belanja ibu, pak. Ini ibu baru mau ke supermarket.”

“Kesinikan dululah, bu, bapak lagi perlu sekali.”

Karena si ibu tak juga keluar dari dapur, si dosen pun segera masuk. Tidak lama kemudian keluar lagi.

“Dik, makasih atas kedatangannya ya. Bapak senang lho dikunjungi,” kata si dosen sambil menyelipkan uang ke kantong celana si wartawan.

Setelah itu, si wartawan pun pergi. Idenya berhasil. Dan si dosen senyum-senyum sendiri. Mungkin dia membayangkan, dalam waktu dekat namanya akan ditulis oleh bekas mahasiswanya itu.

Tuesday, October 12, 2010

Tak Absen, Tak Ada Amplop

CERITANYA ITU, ada seorang wartawati yang selama ini dikenal sebagai seorang pemburu amplop handal. Ia liputan di pulau yang terkenal dengan keelokan tempat wisatanya. Hari itu, dia ikut datang ke acara penyambutan pejabat dari ibukota.

Singkat cerita, acara seremonial yang cenderung hura-hura itu pun selesai dan berjalan lancar.

Sudah bukan rahasia lagi, khususnya wartawan pencari amplop, selesai acara, mereka menunggu pembagian amplop dari panitia. Tibalah waktu yang ditunggu-tunggu.

Nah, ternyata wartawan yang dapat jatah amplop hanyalah mereka yang sebelumnya telah konfirmasi ke panitia. Maksudnya, hanya wartawan yang diundang dan namanya tertera dalam daftar absen.

Tiba giliran si pemburu amplop. Lama ia menunggu, tapi panitia tidak juga menanggil namanya. Pas acara pembagian akan bubar, dia bilang, "Mana uang transportnya?"

"Namanya embak siapa?" jawab salah satu panitia.

“R.......“ kata wartawati.

Setelah melihat daftar, panitia lantas bilang begini: "Tidak ada dalam daftar kami. Yang dibagi uang transpor hanya wartawan yang sudah konfirmasi saja mbak,” kata panitia.

"Tapi saya sudah isi absen kok." Si wartawan pemburu amplop pun bercerita. Ia sudah absen di daftar kehadiran wartawan, tapi karena namanya tidak tertera di kolomnya, ia tulis sendiri pakai pulpen di bagian paling bawah.

"Maap mbak, tetep tidak bisa, sebenarnya yang dikasih yang transport itu cuma teman-teman yang diundang."

Setelah panitia menjelaskan seperti itu, si pemburu amplop agak ngotot. Dan ia tetap minta bagian. Ia mencoba menarik map yang dipegang panitia yang tetap tidak mau memberi uang.

Wartawan lain yang kebetulan masih di sekitar ruangan itu heran semua. Mereka buru-buru keluar karena takut chaos.

Si 86 Main Saham

KONON, di salah satu provinsi kaya ada salah satu perusahaan yang akan go public. Karena itu, perusahaan ini harus menjual sahamnya ke publik.

Nah supaya harga saham perusahaan ini bagus, dibutuhkanlah suatu promosi sekaligus pencitraan terhadap nama perusahaan. Kalau semuanya OK, tentu saja nasib perusahaan ini akan semakin mantap saja.

Bagaimana caranya, tentu saja dibutuhkan strategi-strategi khusus. Rupanya, pemilik perusahaan yang sedang naik daun ini tahu betul strateginya. Promosi dan pencitraan tentu saja harus dibangun lewat media massa.

Singkatcerita, agar semuanya mulus, perusahaan memudahkan penjualan sebagian saham kepada wartawan. ,

Pada waktu proses penjualan saham, ada wartawan yang dengan senang hati memanfaatkannya, ada yang malu-malu, ada yang sembunyi-sembunyi, tapi tidak sedikit juru warta yang menolaknya dengan alasan dilarang oleh kode etik.

Perusahaan itu tentu saja tidak secara gamblang minta timbal balik agar selalu mempublikasikan segala sesuatu tentang perusahaan dari segi positif saja. Dalam dunia wartawan nakal, amplopan alias hobi 86, dengan sendirinya, mereka tahu harus bersikap bagaimana setelah menerima kemudahan seperti itu.

Semula, cerita bagi-bagi saham ini rapi tersimpan. Terkubur berminggu-minggu. Sampai suatu hari, kasus ini terungkap dan menjadi cerita terkenal di kalangan wartawan provinsi itu.

Jadi begini. Gara-garanya ada salah satu wartawan yang bisa dikatakan agak senior datang ke salah satu bagian di perusahaan. Ia minta bagian saham karena selama ini sudah sering meliput segala sesuatu terkait dengan bidang yang digeluti perusahaan.

Tapi, juru bicara perusahaan terpaksa tidak meluluskan permintaan si oknum wartawan itu. Ia bilang kalau semua sudah dibagi rata. Dan semua sudah tersenyum.

Si wartawan agak senior itu kaget bukan kepalang. Selidik punya selidik, ternyata jatah yang harusnya ia terima sudah jatuh ke rekan satu kantor yang lebih gesit.

---Hatinya pun misuh---

Sukses Proyek, Sukses 86 Cash

ADA enam atau tujuh wartawan ingin menghadap ke salah satu pejabat daerah di suatu siang. Karena wajah para juru warta sudah cukup dikenal, ajudan pejabat langsung mempersilahkan mereka masuk ke ruang tamu.

Tak lama setelah para wartawan duduk di sofa, pejabat daerah ‘basah’ keluar dari ruangan. Ia habis mandi.

Setelah salam-salaman, bahkan ada wartawan yang sampai mencium telapak tangan segala, si pejabat daerah meminta para ajudan menghidangkan berbagai menu makanan ke meja tamu. Kebetulan, saat itu ia ingin makan siang.

Pejabat yang juga wajahnya kelihatan sudah letih karena mungkin hari itu banyak menerima berbagai laporan kasus dari anak buahnya, agaknya terhibur dengan kedatangan wartawan. Ia mengajak semua pewarta yang hadir ikut makan.

Sambil makan, salah wartawan yang selama ini dikenal sebagai korlap terus memancing-mancing pejabat itu agar tertawa. Ia bikin lelucon-lelucon yang kadang terdengar tidak wajar.

“Coba lihat sepatu saya, mirip sepatu antik.” “Coba bandingin sama sepatu bapak, jauh kan.”

Meski lelucon yang disampaikan si korlap sering tidak lucu sama sekali, si pejabat tetap saja tertawa. Mungkin ia butuh pelepasan.

Usai makan siang, acara ngobrol-ngobrol tetap berlanjut. Si korlap agaknya sudah mulai bosan dengan bikin lucu-lucuan. Sampailah pada tujuan utama. Ketika suasana benar-benar cair, ia bilang begini kepada pejabat itu.

“Bapak, kalau ada proyek pengerjaan jalan, kami dikasih lah ya. Beberapa meter juga tidak apa-apa, yang penting ada,” katanya.

“Hmmm. Coba nanti bapak lihat-lihat dululah ya,” sahut pimpinan daerah agak tidak peduli.

Tapi, pembicaraan itu agaknya telah mengubah suasana. Lama-lama karena didesak terus, si pejabat jadi agak serius.

Menyadari hal itu, si korlap tak ingin si pejabat tersinggung. Dan ia memang jago memonopoli suasana. Ia pun bikin lelucon lagi supaya si pejabat tertawa dan cair. Dengan suasana yang cair, ia berharap rencananya sukses.

Setelah si pejabat berhasil dibikin tertawa, si korlap tanya lagi soal jatah proyek pengerjaan jalan. Kejadiannya seperti itu berulang ulang sampai sekitar dua jam lamanya. Pokoknya bolak-balik si korlap melucu dan minta proyek.

Singkatcerita, entah karena sudah pusing atau karena mabuk kepayang oleh gombalan si korlap, akhirnya si pejabat bilang. “Besoklah bapak sampaikan kepastian soal proyek itu ya.”

Begitu mendapatkan pernyataan yang dianggap si korlap ‘mencerahkan,’ ia mengajak teman-temannya pamit. Setelah berjabat tangan, semua wartawan keluar ruangan, kecuali si korlap. Entah apa yang terjadi padanya, tiba-tiba ia meminta yang lainnya keluar duluan.

Tapi, tak lama kemudian, ia menyusul teman-temannya sambil tersenyum. Belakangan diketahui, rupanya, selain bisa membikin si pejabat mabuk kepayang, iapun sukses membuat si pejabat keluar uang cash.

Tuesday, October 5, 2010

Hari Apes Si 86

SUATU HARI, ada sejumlah wartawan datang ke pemilik sawmill - tempat penyimpanan kayu atau pabrik kayu – di salah satu kecamatan di Kalimantan. Si pemilik pabrik kayu bermasalah itu endingnya di -86-kan oleh juru warta nakal itu.

Itulah yang mengakibatkan si JJ, pemilik sawmill marah betul. Sampai suatu hari ketika salah satu wartawan itu – DD - datang ke sebuah salon. Dimana, pada waktu itu ada pula si JJ di sana.

Saat itu, si DD yang selama ini sering dikenal suka me-86-kan orang, rupanya datang ke salon hendak mencuci muke jak.

Setibanye di sana JJ lagi bermain kartu dengan beberape temannye. Ia kaget melihat si DD.
Ia pun curiga, jangan-jangan akan kena ancam lagi dan diminta uang oleh si DD. Ia takut juga, soalnya oknum wartawan ini pintar betul mencecar kasus, macam polisi saja.

Lalu, ketika posisi DD mulai dekat, JJ langsung berdiri dan membentak. “Kau ke ye yang membawe wartawan elektronik ke sawmill saye tuh.”

Singkat cerita, seusai membentak, JJ langsung memukul DD dengan kursi yang ada di salon. Make seketika itu pula pukulan bertubi-tubi mengenai DD. Akhirnya DD tergeletak.

Teman DD yang kebetulan ade di lokasi tak berani melawan. Soalnya, malulah kalau kasus ini membesar. Soal 86 pulak. Ia segera melarikannya ke rumah sakit terdekat untuk mendapat pertolongan.

“Ini emang sial lah, ngape pula tak dapat duet, eh malah benyai di pukule. Terpaksalah kite tiarap lah lok dan cari-cari sopoi yang lebih besak agek,” kata DD.

Friday, September 10, 2010

Wartawan Gemetaran Ketemu Jubir Bos Judi

TAK SEMUA wartawan gemar mencari amplop. Ada juga yang menolaknya. Biasanya, juru warta model ini lurus pikirannya karena tetap memegang kode etik jurnalistik.

Salah satu contohnya si wartawan muda ini. Suatu hari, ia mendapat tugas dari redaksi untuk menulis soal judi di daerah liputannya. Setelah selesai mereportase sebuah tempat judi terkenal di sana, ia berencana untuk wawancara pengusaha judi. Ini penting untuk memenuhi keseimbangan informasi.

Ia sempat bingung untuk mencari pemilik usaha judi yang baru diliputnya. Karena sangat susah menemui bos judi itu, si wartawan minta bantuan teman yang juga wartawan. Wartawan yang diminta bantuan ini dikenal sangat dekat dengan bos judi. Lewat temannya itu, akhirnya ia bisa bertemu dengan tokoh masyarakat yang dikenal sering mewakili pengusaha judi untuk bicara kepada pers.

Setelah wawancara lengkap, si wartawan muda yang hanya dibayar redaksinya per berita yang dimuat itu undur diri. Tetapi sebelum pergi, si juru bicara bos judi masuk kamar dan keluar lagi membawa amplop tebal.

Si jubir berkepala botak itu hanya memberi amplop kepada si wartawan yang selama ini dikenal sering hutang uang kepada temannya untuk bayar kos itu. Sedangkan kepada si wartawan satu lagi -- teman si wartawan muda -- si jubir hanya bilang, jatah buatnya baru cair akhir bulan.

Si wartawan muda menolak amplop itu. Alasannya, hal itu tidak diperkenankan di kewartawanan. Ia bilang bahwa dengan jubir mau memberikan keterangan kepadanya, itu sudah lebih dari cukup.

Tapi, ternyata si jubir berperut buncit memaksanya menerima. Sebagai pertemanan, katanya. Karena tetap ditolak, si jubir pun tersinggung. Melihat perubahan sikap si jubir, si wartawan muda jadi gemetaran. Karena takut, akhirnya si wartawan menerima amplop. Setelah itu, ia cepat pergi.

Sesampai di tengah jalan, si wartawan mengajak temannya berhenti. Lalu, ia keluarkan amplop dan langsung menyerahkannya kepada temannya yang telah membantunya bertemu jubir tadi. Setelah itu, ia merasa ada kepuasan tersendiri.

Thursday, September 9, 2010

Akal Bos Media Lindungi Pemodal

ADA seorang wartawan yang lurus pikirannya pusing dengan bosnya. Masalah itu membikinnya paham, ternyata permainan redaksi level atas lebih ‘mengerikan’ dibanding yang biasa terjadi di kalangan wartawan kelas lapangan.

Kenyataan pahit itu ia ketahui setelah pada suatu kali ia membuat berita yang temanya menyangkut hajat hidup orang banyak. Tema berita yang ia kerjakan itu, selama ini selalu jadi berita utama di media-media baik lokal maupun nasional.

Awalnya, ia sangat bangga. Pertama, karena data yang dipunyainya jauh lebih lengkap dibandingkan dengan teman-temannya. Kedua, narasumbernya pun berkualitas dan sangat layak untuk bicara soal tema yang ia garap.

Pokoknya, waktu itu di hati sanubarinya mengatakan ia ingin ikut membela kepentingan kaum lemah dalam menemukan keadilan di negeri besar ini.

Ia sangat yakin atasan-atasannya akan senang dengan karya jurnalistiknya ini. Sisi human interest terpenuhi, sisi faktual pun terpenuhi. Pokok dan tokoh tulisan pun kuat.

Ia pun mengirimkan tulisan itu ke redaksi. Legaaaaaaa… Setelah beberapa hari mengumpulkan data, akhirnya kelar. Ada rasa puas secara bathin.

Tapi, ternyata tangan atasan berkehendak lain. Tulisan itu dinilai tidak layak muat. Alasannya, sangat bertolak belakang. Tulisan itu dianggap tidak memenuhi kode etik jurnalistik. Bahkan, ia menakut-nakuti si wartawan kalau sampai tulisan dimuat bisa kena gugat.

Si wartawan kecewa bukan main. Alasan bosnya dinilai mengada-ada alias dibuat-buat.

Wartawan itu tambah sesak karena media-media lainnya pun memuat berita itu besar-besar. Sementara, hasil kerjanya cuma dibuang ke tempat sampah oleh bosnya.

Lalu, si wartawan curhat ke temannya yang merupakan wartawan senior dan selama ini sering mendapat penghargaan di tingkat nasional atas karya-karya jurnalistiknya.

Si senior bisa memahami perasaan si wartawan temannya. “Aku tahu lah berita kau itu sebenarnya mantap dan sebenarnya juga layak muat karena sudah sesuai etika jurnalistik,” katanya.

Tapi, lanjutnya, “Sebenarnya kaulah yang tak punya etika.”

“Hah, bagaimana ceritanya aku yang tak punya etika, bang,” sahut si wartawan itu.

“Bah, kau tak tahu rupanya. Tentu saja bos kau tak mau ambil tulisan itu karena itu ibarat mengorek borok sendiri. Tulisan kau itu mengkritik pengusaha yang menghidupi kalian selama ini. Jadi, kaulah yang tak tahu etika.”

“Asu, kirik.”

Salah Ngomong, Dua Kali Keluar Amplop

LAGI-LAGI ini cerita tentang Pak Bronto, petinggi di bidang olah raga yang banci tampil di media. Hari itu, wajahnya sumringah setelah bisa bicara di depan wartawan. Ia bicara soal organisasi olah raga lagi dengan harapan besar dapat dimuat.

Seperti biasanya, wartawan mesti kerja dua kali kalau wawancara dengan dia. Soalnya, kalimatnya sama sekali tidak sistematis, kadang-kadang kata-katanya terbalik-balik. Jika diibaratkan tulisan, kalau ia menulis, tulisannya seperti ceker ayam dan tidak logis.

Setelah selesai memberi wawancara, seperti hari-hari sebelumnya, tanpa berat hati, Pak Bronto membagi-bagikan uang amplop. Kadang, wartawan menolakpun, ia paksa untuk menerimanya. Sebagai pertemanan, katanya.

Singkat cerita, keesokan hariinyaaaa. Datang-datang, ia panik bukan main. Wajah dan lehernya berkeringat. Kepada wartawan ia bilang begini, “Ah, aku kena tegur lagi dari atasan.”

Lalu, ia melanjutkan, “Maksud omonganku itu begini, bukan begitu seperti yang ada di media. Aduh, bagaimana ini ya.”

Rupanya dipernyataannya kemarin, ia bermaksud menyanjung organisasi. Tetapi, ia mengakui mungkin salah bicara sehingga tertangkap media secara lain. Sehingga ketika jadi berita, seolah-olah Pak Bronto sedang menghajar organisasinya. Pantas bosnya murka.

Begitu selesai bicara soal penyebab kegelisahannya, lantas Pak Bronto yang dikenal bicaranya belepotan itu mengajak wartawan untuk konferensi pers lagi. Intinya untuk meluruskan pernyataannya yang telah mengundang makian dari atasan.

Usai memberi keterangan, ia bilang, “Tolonglah, aturlah bahasaku jadi yang baik-baik ya. Maksudku begini, bukan begitu, ya.” Setelah itu, Pak Bronto membagi-bagikan amplop kepada wartawan.

HIKMAH: Jangan salah ngomong, biar tidak mengeluarkan amplop sampai dua kali.

Banci Tampil, Tapi Royal Amplop

ADA seorang petinggi di bidang olah raga yang oleh para wartawan dikenal banci tampil. Maksudnya banci tampil ialah orang yang paling senang diliput media massa. Orang itu kita sebut saja namanya Pak Bronto.

Di hari yang cerah, Pak Bronto memanggil-manggil juru warta yang biasa meliput di daerah kekuasannya. Ia bilang punya bahan berita yang sangat menarik dan layak untuk konsumsi media. Wartawan pun berkumpul dan mengerubunginya.

Pada waktu itu, ia bicara seputar manajemen organisasi olah raga. Seperti biasa, setelah cas cis cus, ia pun merogoh kantong dan membagi-bagikan uang kepada juru warta. Ada yang menerima, ada juga yang tidak mau menerima uang itu.

Satu wartawan, kira-kira dikasih uang Rp200 ribu oleh Bronto yang terkenal royal itu. Setelah semuanya kebagian jatah, bubarlah acara konferensi pers dadakan. Pak Bronto senang dirinya akan tampil di banyak media.

Keesokan harinya, seperti biasa, Pak Bronto mendatangi para wartawan. Tapi, air mukanya tidak secerah kemarin. Ia tampak panik. Lantas, curhatlah Pak Bronto kepada para juru warta. Katanya, ia habis kena semprot atasan.

Gara-garanya, pernyataan-pernyataannya kepada media massa dianggap atasan terlalu mendeskriditkan organisasi.

“Aduuuh, pusing aku. Gimana ini kawan-kawan. Kita buat lagi konferensi perslah ya. Buat meluruskan berita.”

Kemudian, mulailah Pak Bronto yang kalau bicara kalimatnya sama sekali tidak terstruktur itu cas cis cus lagi. Selesai itu, ia berharap agar tayangan maupun terbitan di media tak lagi segalak kemarin sehingga ia tak kena maki atasan.

Seperti kemarin, selesai bicara, ia rogoh kantong. Dibagikanlah uang kepada wartawan. Walau ia harus dua kali kuras dompet untuk satu kebodohannya saja, Pak Bronto tak nampak rugi. Soalnya, sepertinya yang terpenting baginya bisa tampil di media.

Wednesday, September 8, 2010

Petinggi Media Nyambi Jadi Broker Jabatan

KONON cerita, ada seorang petinggi media yang jadi broker jabatan. Ia menawarkan kepada seorang saudagar kaya raya kenalan agar masuk lingkaran kekuasaan. Istilahnya, ia membukakan jalan agar si saudagar bisa menjadi bagian dari panggung kekuasaan.

Berceritalah si petinggi media itu kepada pengusaha kenalannya. Manfaatnya besar sekali, kalau nanti saudagar bisa duduk di panggung kekuasaan. Di antaranya, untuk kelancaran dan keamanan bisnis. Lalu, lama-lama terpupuklah semangat sang saudagar.

Kepada pedagang besar itu, si petinggi media tadi juga berjanji akan ikut mengupayakanya lolos. Tapi, tentu saja tidak gratis.

Salah satu cara yang dipakai ialah si petinggi media itu akan menghembus-hembuskan profil si pengusaha kepada pengambil kebijakan yang punya otoritas untuk merekrut orang-orang baru untuk memperkuat lembaganya.

Di berbagai kesempatan pertemuan dengan petinggi lembaga, si orang media nakal itu selalu memuji-muji habis-habisan si saudagar yang dijagokannya.

Tujuannya ialah, agar si petinggi lembaga tertarik dan memasukan si pengusaha di jajarannya. Lewat kemasan berita dan lewat lobi-lobi kelas tinggi dilakukan.

Lama-lama si petinggi di panggung kekuasaan itu terpengaruh juga dengan strategi komunikasi yang dimainkan orang media tadi.

Mengapa kemudian ia tertarik, selain karena profil si pengusaha itu bagus, juga karena pengaruh yang dimiliki si petinggi media. Karena bagaimanapun juga level si orang media ini cukup berpengaruh.

Si petinggi lembaga itu berpikir, kalau suatu saat nanti si pengusaha itu ternyata bermasalah setelah masuk lingkaran kekuasaan, maka si orang media yang kuat ini diharapkan bisa ikut memback up.

Bukan cuma memback up si pengusaha tadi, melainkan juga lembaganya, terutama jika ada kasus menghadang. Biar aman. Atau paling tidak, semua kesalahan si pengusaha maupun jajarannya kelak tidak akan diungkap semuanya secara detail ke publik.

Petinggi Media Habis2an Dukung Si Jago

MENJELANG pemilihan wakil rakyat, seorang wartawan yang duduk di level menengah di redaksinya pun memutar otak. Bagaimana dapat proyek dari pemilihan itu. Karena dalam pikirannya, perputaran uang pasti tinggi. Dimana masing-masing calon wakil rakyat akan jor-joran keluarkan uang demi meraih kursi.

Suatu hari, ia kegirangan. Dapat! Akhirnya dapat ide! Pertama-tama ia merapat ke salah satu saudagar kaya yang begitu bersemangat jadi wakil rakyat. Tak sia-sia si salah satu petinggi itu menempuh banyak cara, akhirnya ia berhasil menempel saudagar incarannya. Lalu, direkrutlah ia anggota tim sukses.

Tapi, ia jadi tim anggota sukses terselubung. Soalnya, kalau sampai anak-anak redaksi tahu atau teman-teman yang lain di redaksi mengendus proyeknya itu, pastilah ia malu. Karena telah menggunakan pengaruhnya di media untuk menyukseskan salah saudagar itu untuk maju jadi wakil rakyat.

Nah, karena selama ini si petinggi media level menengah itu sudah banyak makan asam garam dunia amplop alias 86 alias jale, ia tahu bagaimana memainkan si saudagar itu. Ia tak perlu uang banyak untuk jadi tukang kampanye yang menonjol di antara tim sukses lainnya.

Dipakailah jejaring sosial facebook dan friendster untuk berkampanye. Facebook masih mending banyak pemakainya, sementara friendster sudah ditinggal fans, tapi, tetap saja ia pakai. Yah, hitung-hitung agar terlihat bekerja keras di mata saudagar.

Hampir setiap jam, ia bikin status baru di facebook. “Pilih abang A, cerdas dan tangkas.” Sejam berikutnya ia bikin lagi status “Abang A mantap, peduli rakyat.” Sejam kemudian muncul status lagi “Abang A pemimpin jelas segala-galanya, konkrit.”

Si petinggi media itu mungkin berpikir agar semua orang memilih si saudagar yang dijagokannya. Padahal, kalau saja ia jeli, pasti ia malu. Soalnya, orang-orang yang masuk dalam pertemanan di facabooknya, mayoritas adalah teman-teman wartawan. Mana mungkin akan pilih saudagar itu. Profil si saudagar yang disanjung-sanjung itu pun tak jelas.

Tak jarang, statusnya menjadi bahan tertawaan teman-teman wartawan di facebook. 86 ndaaaaan. Tapi, oleh si petinggi media di level menengah itu, tidak terlalu dipedulikan. Mungkin ia pikir, ini namanya pencitraan bos. Status baru tetap bermunculan sampai berhari-hari dan sampai hari H pemilihan.

Tak tahu apakah pada akhirnya si saudagar itu mendapat suara mayoritas dari daerah pemilihannya atau tidak. Yang jelas, setelah pemilihan, terjadi perubahan drastis pada penampilan si petinggi media tadi. Tampangnya yang sebelumnya seperti orang menderita, kini tampil lebih perlente.

Tuesday, September 7, 2010

Petinggi Media Pun Suka 86

DI AKHIR TAHUN ITU, pejabat tinggi yang baru menjabat ingin berkenalan dengan para petinggi media massa. Kalau tidak orang nomor satu di media, ya minimal level menengahlah.

Melalui sekretaris, disebarkanlah undangan kepada para petinggi media. Di undangan itu tema acaranya hanya ramah tamah, tidak ada isu penting yang akan dibicarakan.

Anehnya, di hari H-nya, banyak sekali dedengkot media yang datang ke acara ramah tamah. Padahal, untuk acara macam ini sebenarnya tak ada kewajiban bagi mereka untuk datang, apalagi sampai menyempat-nyempatkan diri datang.

Setelah acara dimulai, isi pembicaraannya cuma obrolan biasa. Ngalor ngidul, cekakak cekikik. Saling kenalan.

Nah, tibalah waktunya acara itu diakhiri. Ketika pulang satu persatu petinggi media itu diberi oleh-oleh berupa tas jinjing yang isinya komunikator dan amplop tebal.

Sebagian di antaranya menerima. Tidak ada yang kelihatan canggung pada waktu itu. Semua proses pembagian hadiah itu berjalan biasa saja tanpa ada persoalan.

Yang lebih aneh lagi, ternyata banyak juga petinggi media yang membawa teman. Dan tentu saja, masing-masing juga kebagian tas jinjing.

Nah, timbullah kecurigaan, mengapa mereka sampai menyempat-nyempatkan hadir di acara itu, padahal mestinya mereka mengurus deadline. Jangan-jangan sebelum mereka memutuskan datang, sudah ada informasi yang masuk ke kepala mereka bahwa di acara itu akan ada bingkisan-bingkisan mantap.

Sudah dikenal pejabat, pulang dapat hadiah pulak. Langkah kaki pun kian mantap keluar dari gedung.

Bos Media Elus-elus Calon di Pilkada. Cair...

BERLANGSUNGLAH pilkada di salah satu daerah di Tanah Air. Ada beberapa kandidat yang akan tampil menuju kursi pemimpin daerah setempat. Kesempatan ini tak disia-siakan oleh si petinggi media massa yang terkenal lihai itu.

Jauh hari sebelum kandidat resmi diluncurkan alias ditetapkan, si dedengkot media ini sudah mencermati profil satu persatu kandidat. Pilihannya jatuh ke kandidat yang berlatar belakang pengusaha yang tergolong sukses. Karena, dipikirannya sudah pasti basah alias banyak dananya.

Begitu nama kandidat ditetapkan KPUD, mulailah si wartawan kawakan itu melakukan serangan pendekatan kepada calon. Rupa-rupa cara dipakainya untuk dapat akses ke tim inti. Ungkapan kasarnya, si petinggi media menawarkan diri untuk ikut menjadi pendukung secara terselubung. Lebih tepatnya tim sukseslah, tetapi posisinya disamarkan.

Setelah dapat akses, mulailah ia mengelus-elus sang calon yang di matanya sangat potensial untuk menang pilkada itu. Mengapa ia akhirnya dapat akses ke tim inti sang calon, tentu saja karena ia petinggi media dan ia wartawan. Ia dianggap punya manfaat lewat kekuatan medianya.

Melalui kewenangannya di media, si dedengkot media ini pun mengatur sedemikian agar nama si calon bisa sering muncul di halaman-halaman medianya.

Hampir setiap hari, foto si calon diusahakan nampang di headline, entah di halaman depan atau dalam. Lalu, hampir semua kegiatan kampanyenya dimuat, mulai dari yang singkat sampai panjang.

Nah, agar perselingkuhan ini tidak mudah terbaca banyak orang, khususnya lawan politik si calon tadi, maka tulisan-tulisan tentang si calon potensial tadi dibuat sedemikian rupa sehingga memenuhi standar jurnalistik sebagaimana dipakai di media massa pada umumnya.

Bahkan, ia sampai tugaskan salah satu reporternya untuk mengekor si calon. Sehingga semua hal yang disampaikan si calon terekam jejaknya dan bisa dimuat di media.

Agar reporter tidak gampang curiga dengan proyek si petinggi, si petinggi itu bilang bahwa calon ini tokoh kuat dan figur publik, layak jadi berita. Kalau bos sudah perintah begitu, anak buah tentu manut, walau dalam hatinya kesal bukan main. Macam tak ada berita lain saja.

Terlepas dari gerundelan reporter, proyek si dedengkot media tetap jalan seolah-olah tidak ada masalah di tataran reporter. Soalnya, sebelum proyek ini berjalan, si petinggi media sudah melakukan deal-deal dengan tim pemenangan si calon.

So pastiiii, hanya petinggi dan tim sang calon yang tahu tentang keuntungan apa saja yang diperoleh si petinggi media dari deal-deal itu. Tapi, tentu saja, bukan amplop recehan.

Monday, September 6, 2010

Berita Duka Dimainkan Bos Media. Cair...

KALA ITU, ada seorang pejabat tinggi yang meninggal dunia. Info duka cita itu pun dengan cepat sampai ke telinga seorang wartawan yang posisinya sudah di level menengah di struktur redaksi tempatnya bekerja. Bisa dibilang petinggilah.

Sejurus kemudian, di kepalanya sudah tergambar keuntungan yang bakal di dapat dari berita duka itu. Begini modusnya. Ia pun segera meneruskan informasi itu ke salah satu pengusaha kenalannya. Pengusaha yang, yah, bisa dibilang tidak bersih-bersih amat.

Karena posisi si orang media ini cukup tinggi, maka ia punya kepercayaan diri untuk mengimbau pengusaha itu agar mengirimkan karangan bunga kepada keluarga almarhum. Ia pun menjelaskan manfaatnya. Yaitu, agar para tamu yang melayat -- tentu saja orang-orang besar -- menganggap si pengusaha dekat dengan almarhum atau keluarganya.

Karangan bunga hanyalah simbol. Simbol yang akan dengan sendirinya menjelaskan kepada para petinggi yang hadir di rumah duka tentang posisi si pengusaha. Ini penting. Kelak, bisa mempengaruhi roda bisnis si pengusaha itu. Namanya yang telah terpampang di karangan bunga almarhum pejabat berpengaruh itu, akan terekam di memori tamu-tamu penting.

Bisikan si petinggi media itu, rupanya mulai merangsang si pengusaha. Mimpi-mimpi yang ditawarkan si petinggi media tadi cukup ampuh mempengaruhinya. Sebelum ia menyatakan OK, si orang media menambahkan lagi. Bahkan, pengaruh yang akan didapat dari karangan bunga itu bisa lebih besar lagi.

Maksudnya, posisi karangan bunga pun ikut menentukan hasil. Makin dekat dengan pintu rumah duka, makin hebat pengaruhnya terhadap tamu yang datang. Namuuuun, tentu saja harga karangan bunga makin tinggi. Kalau berani membayar tinggi, si orang media menjanjikan bisa menaruh karangan itu dekat pintu rumah duka sehingga semua tamu yang hadir pasti menatapnya.

Daaaaaaan, satu lagi yang penting, si pengusaha tidak perlu capek-capek mencari karangan bunga sendiri, karena si petinggi media ini yang akan menyiapkannya. Pokoknya terima beres.

Dengan mempertimbangkan asas manfaat yang dijelaskan si orang media tadi, si pengusaha pun langsung sepakat. Cair.

Bos Media Mainkan Isu, Pejabat Pun Cair

WARTAWAN yang biasa nakal di lapangan rata-rata hanya menerima amplop berisi uang recehan. Di level petinggi media yang suka “selingkuh” tentu saja gengsi sekali bermain di kelas anak-anak lapangan. Coba perhatikan permainan salah satu orang penting di media satu ini.

Berawal dari ketidaksukaannya kepada seorang pejabat pengambil kebijakan. Karena, menurutnya, si pejabat itu pelit betul. Macam-macam cara dipakai, tidak bisa cair, paling tidak iklanlah. Bahkan, suatu kali sampai diundang datang ke acara kelahiran anaknya pun tidak mau datang. Sial.

Di akhir musim panas, habislah kesabaran si petinggi media ini terhadap si pejabat pengambil kebijakan. Timbullah niat untuk mengerjai si pejabat. Tentu saja, caranya menggunakan kekuasaan di media yang ia kelola.

Namanya juga orang yang punya kewenangan mengelola media, mudah sekali ia menjalankan strategi perang. Ia ambil suatu isu terkait proyek yang sedang digarap oleh si pengambil kebijakan itu. Si orang media ini memainkan isu itu untuk menghantam lawan.

Diundanglah orang-orang yang selama ini kritis dengan kebijakan si pejabat untuk menulis opini. Semua opini yang isinya menyoroti dan mengkritisi kebijakan si pejabat pasti akan dimuat oleh orang media tadi.

Satu kali, dua kali, tiga kali tulisan keras itu diterbitkan di media itu. Rupanya, belum ada respon dari pejabat. Lalu, tulisan pun terus mengalir hampir setiap hari selama seminggu berturut-turut.

Si pengelola media itu pikir, masa sih si pejabat itu tidak gerah setiap hari membaca tulisan-tulisan yang menyerang kebijakannya.

Rencana si pengelola media itu nampaknya mulai sukses. Orang-orang dekat si pejabat pun berkumpul. Mereka berembuk membahas salah satu media itu, mengapa selalu menghajar kelompoknya. Bisa berbahaya kalau dibiarkan. Lalu, mereka menghadap ke kantor si pejabat. Akhirnya dibuatlah kesepakatan untuk mengakhiri semua ini. Petinggi media itu harus diberi ‘perhatian.’

Kebetulan bulan itu adalah bulan puasa. Pas sekali untuk tema silaturahmi. Si pejabat lewat orang-orangnya menyusun acara. Nama acaranya, kunjungan media. Dikunjungilah kantor tempat si petinggi media tadi. Tak hanya itu, beberapa hari kemudian, si petinggi media diundanglah ke kantor si pejabat untuk acara buka bersama.

Setelah acara ‘ramah tamah’ itu, keesokan harinya, sudah tidak ada lagi tulisan opini yang isinya mengkritisi si pejabat. Rupanya, cair juga si pejabat.

Sunday, September 5, 2010

OB, Toilet, dan Amplop

BERIKUT INI cerita seorang office boy di sebuah kantor redaksi. Kebetulan, anak ini, selalu kebagian piket untuk bersih-bersih di toilet. Mengapa begitu, soalnya ia sering terlambat masuk kerja sehingga bosnya selalu menugaskannya di ruangan itu.

Aneh benar, suatu hari, ia datang pagi-pagi ke kantor. Satpam yang melihatnya sampai heran. Ia langsung ambil peralatan bersih-bersih seperti lap kaca dan ember. Masuklah ia ke toilet. Rajin sekali anak ini, biasanya ia merokok dulu baru mulai kerja.

Kemudian ia mengisi ember dan mencelupkan lap ke dalamnya. Ia ingin membersihkan kaca yang tampak buram dan berminyak. Wartawan memang jorok, masa kaca sampai berminyak. Ngapain saja di kamar mandi kok sampai jorok begini kacanya, kira-kira begitu pikirnya.

Untuk memudahkan pekerjaannya, ia menurunkan kaca itu. Untuk menurunkannya, ia pakai kursi agar posisinya seimbang. Begitu ia angkat kaca yang menempel di dinding, tiba-tiba jantungnya berdegub kencang.

Dari balik kaca itu, bertebaran puluhan amplop putih. Umumnya amplop-amplop itu sudah sobek. Amplop itu jatuh berantakan memenuhi permukaan wastafel.

Karena office boy ini sering bergaul dengan wartawan di redaksi, ia cepat tanggap. Ini pasti bekas amplop jalean alias hasil membodrek selama liputan.

Pantas saja, tiap kali sepulang liputan, sebelum mulai kerja, sebagian wartawan di redaksi pasti mampir dulu ke toilet. Pikir si office boy, ruangan toilet ini telah menjadi saksi bisu para wartawan amplop membuka hasil jalean. Sehabis mengambil isinya, amplop diselipkan lewat sela-sela dengan harapan tidak ada yang tahu soal amplop itu. Soalnya kalau dibuang ke tempat sampah, bisa-bisa muncul berbagai kecurigaan.

“Oper Doooong (Amplopnya)”

RUPANYA, sore itu di sebuah ruangan gedung wakil rakyat ada sekitar sepuluh wartawan. Tumben-tumbenan. Biasanya, jam-jam segitu, semua sudah pulang atau kembali ke redaksi masing-masing.

Macam sidang saja. Di ujung bangku, duduklah wartawan yang selama ini dikenal sebagai korlap alias koordinator lapangan. Korlap itu biasanya diperankan wartawan yang lihai membikin panitia acara atau humas cair alias bisa mengeluarkan uang amplop.

Sementara itu, teman-temannya duduk berderet mengelilingi meja kayu. Ada yang senyum-senyum, ada yang cekikikan, ada yang sepertinya tak sabaran. Entahlah.

Usut punya usut, ternyata di bawah meja, tangan korlap dengan cekatan menghitung amplop yang didapat tadi siang dari anggota dewan yang menggelar konferensi pers tentang program fraksi.

Walau para wartawan ini sudah sangat familiar dengan amplop, tetap saja kalau urusan hitung-menghitung atau pembagian jatah, masih malu-malu alias sok jaga image. Entah image apa yang sedang dijaga.

Begitu yakin jumlah amplop cukup untuk semua wartawan di ruangan itu, korlap mulai membagi-bagikan. Cara pembagian amplop mengingatkan pada pengawas ujian yang membagikan lembar soal kepada siswa.

Amplop di berikan ke teman terdekat, lalu dioper lagi ke teman sebelahnya sampai ke tangan wartawan yang duduk paling ujung. Begitu seterusnya sampai tinggal satu amplop di tangan korlap. Karena korlap sudah yakin seyakinnya bahwa semua kebagian rejeki, ia langsung memasukan amplop bagiannya ke kantong celana.

Ketika rapat rahasia dan tanpa suara itu hendak disudahi, tiba-tiba seorang wartawan yang duduk sebelah kiri ujung berteriak lirih. “Oper doooong.” Semua langsung kaget. Rupanya, wartawan itu belum kebagian operan.

Korlap Berteriak Tak Kebagian Amplop

SEPERTI BIASA, semua wajah kelompok wartawan ini ceria usai memenuhi undangan salah satu anggota dewan di salah satu kota Tanah Air. Wartawan yang selama ini dikenal sebagai koordinator lapangan alias korlap berjalan enerjik dengan wajah sumringah.

Sambil berjalan, tangannya masuk ke dalam tas. Semua teman-temannya sudah tahu kalau korlap ini sedang menghitung isi amplop. Pelan namun pasti, lembar demi lembar rupiah dihitung. Sebab, pembagian harus merata agar tidak muncul suara-suara sumbang di kemudian hari.

Dengan kode tertentu, ia panggil temannya. Begitu teman mendekat, tangan korlap masuk ke kantong celana teman yang baru dipanggilnya. Karena sudah tahu ada pencairan dana, teman-teman lain walau sebenarnya belum dipanggil, mereka mulai mendekat satu persatu ke korlap.

Proses pembagian uang amplop pun selesai dengan lancar. Korlap sudah bisa bernafas lega karena tugasnya selesai tanpa cek cok dengan temannya. Biasanya ada saja grundelan karena jatah kekecilan, mungkin setelah kena potong korlap.

Sesampai di luar gedung, keheningan suasana tiba-tiba terpecah oleh teriakan si korlap. Kontan teman-temannya yang tadi sudah mulai pergi, kaget dan berhenti begitu dengar korlap mereka histeris.

Sambil membuka-buka tas untuk meneliti isinya, si korlap bilang, ia tidak kebagian jatah. Agaknya, ia tidak akurat saat menghitung jatah tadi. Dipikirnya, sudah ambil jatah untuk diri sendiri. Tapi, ternyata belum.

Wednesday, September 1, 2010

Tak Dapat Parcel, Wartawan Minta Mentahan

CERITANYA begini, suatu siang, ada acara bagi-bagi parcel menjelang lebaran di salah satu kantor dinas pejabat. Ternyata wartawan yang hadir banyak sekali sehingga sebagian di antaranya tidak dapat bagian.

Nah, wartawan yang tidak dapat jatah, padahal sudah capek-capek datang ke sana, akhirnya memutuskan untuk menghadap ke panitia. Intinya, mereka minta dikondisikan alias diadakan lagi parcel untuk mereka. Paling tidak mentahannya alias uang tunai.

Salah satu petinggi di kantor itu yang sekaligus menjadi panitia acara bingung. Ia pikir semua sudah kebagian. Tapi apa mau dikata. Sekarang, semua parcel sudah ludes.

Tapi, karena ia tidak ingin membuat rekan-rekan wartawan kuciwa alias kecewa, akhirnya ia memutuskan untuk memberi hadiah wartawan berupa mentahan sesusai keinginan. Mungkin dipikirannya, kalau mitra wartawan sampai kuciwa, besok-besok instansinya kena hajar berita.

“Sorry bro, gue ga tau kalo lu pada kagak dapet, ya udah lu gue kasih mentahnya aja yah cepek satu orang,” ujarnya.

Walau harus menahan kecewa karena nilainya terhitung sedikit, para wartawan yang menghadap petinggi tadi akhirnya tetap menerima uang itu. Senyum mereka tidak begitu mengembang.

Begitu sampai di luar ruang, mereka merasa lega. Soalnya, kalau dihitung-hitung, nilai uang yang baru diterima dari si panitia tadi setara dengan harga parcel.

"Alhamdulilah masih dapet, daripada lu manyun," kata salah satu wartawan kepada temannya.

Cara Jitu Wartawan Menang Doorprize

DI SALAH satu gedung kapitalis Ibukota, berlangsunglah peluncuran konten sepak bola luar negeri. Acara ini diselenggarakan oleh salah satu provider telepon genggam.

Banyak sekali wartawan yang diundang ke sana. Namanya juga peluncuran produk. Dibutuhkan media komunikasi yang cepat dan efektif untuk memfamiliarkan produk itu di tengah masyarakat. Ya, lewat media massa salah satu jalannya.

Agar acara ini juga memberi penghiburan kepada wartawan, di salah satu bagian program peluncuran, panitia menyelinginya dengan doorprize.

Di antara puluhan orang yang hadir, hanya seorang wartawan bidang IT yang punya cara kelewat kreatif untuk jadi pemenang doorprize. Ketika ia mendaftarkan medianya ke panitia, ia sengaja secara diam-diam memasukkan banyak sekali kartu namanya ke box kaca. Maksud hati, agar kartunya potensial nongol saat pengocokan. Semuanya ia lakukan dengan rahasia. Cara model itu selama ini sangat ampuh, tidak ada yang tahu.

Tibalah waktu yang ditunggu-tunggu. Pengocokan kartu nama. Ternyata, apa yang jadi pengharapan wartawan IT itu terealisasi. Kartu namanya menang. Ia bangga sekali mendapatkan hadiah telepon genggam.

Pengocokan tahap pertama selesai. Kemudian, dilanjutkan pengocokan tahap kedua. Tuing… tuing, wartawan-wartawan yang hadir berharap-harap cemas. Akankah jadi pemenang.

Begitu tangan panitia keluar dari box kartu nama, ia membacakan nama yang tertera di kartu nama. Ternyata, nama si wartawan IT tadi lagi yang menang. Begitu namanya disebut, wartawan itu terlihat senyum-senyum. Ia sepertinya tidak enak hati, apalagi para wartawan lainnya menyorakinya dengan nada kesal.

Tetapi, karena si wartawan IT itu sudah dapat hadiah di tahap pertama tadi, maka ia tidak lagi punya hak mendapat hadiah di tahap kedua. Karena namanya dobel, maka pengocokan pun diulang lagi.

Kocok, kocok, kocok. Jrenggggggg. Tangan panitia mengambil satu kartu nama dan mengangkatnya. Lalu, ia membacakan nama pemenang. Nama si wartawan IT itu lagi yang menang.

Semua orang kaget lagi. Terutama para wartawan, mulailah mereka protes. Panitia acara sampai bercanda. “Mas ini kenapa bisa menang terus ya, berapa banyak kartu nama yang tadi dimasukkan ke box.”

Mendengar reaksi yang demikian riuhnya, si wartawan IT pelan-pelan bangkit dan meninggalkan arena pengocokan. Ia sepertinya sangat malu. Karena, rahasia menangnya diketahui oleh semua orang. Ia sama sekali tidak pernah menduga. Karena, di acara-acara doorprize sebelumnya, tidak pernah terjadi kasus seperti ini.

Monday, August 30, 2010

Eta Teh Wawartawanan

DI DUNIA kewartawanan, ada wartawan bodrek yang baik. Biasanya, ia tidak suka memaksa pejabat untuk memberi uang. Hanya meminta, kalau diberi ya bilang terima kasih, kalau tidak diberi, ia cari lagi sasaran pejabat lain. Tapi, ada juga di antara mereka yang bertindak keterlaluan. Suka mengancam.

Model wartawan yang terakhir itu tak lain adalah si wartawan bernama XXL yang ada di Jawa Barat. Kemana-mana ia mengaku sebagai salah satu wartawan koran kriminal. Kemana-mana, ia mengenakan id card bertuliskan nama media, entah medianya ini terbit penjuru dunia mana, tidak ada yang tahu, kecuali dia sendiri. Misterius.

Mengapa dibilang medianya misterius, soalnya para wartawan di daerah itu tidak ada satupun yang pernah menemukannya, apalagi sampai membaca media tempat si wartawan bernama XXL ini bekerja.

Tapi, biarpun keadaannya seperti itu, nama si XXL ini cukup mencorong di dunia kewartawanan setempat. Sayangnya, bukan karena karyanya, melainkan karena sepak terjangnya di tengah masyarakat.

Banyak pejabat, baik di pemerintahan, swasta, maupun kepolisian yang sudah tidak asing lagi dengan XXL. Orangnya memang agak supel dan selalu hadir dimana-mana. Tapi, ia juga dikenal cepat naik pitam kalau sudah menyangkut uang amplop.

Para kepala sekolah dan kepala dinas paling tidak mau berurusan dengannya si XXL. Tetapi, anehnya, para pejabat itu selalu merasa ketakutan kepadanya. Apalagi kalau mereka didatangi si XXL dengan berbagai isu, lalu diancaman akan dipublikasikan ke medianya.

Nah, suatu hari, si XXL mendatangi seorang PNS. Ia mengancam akan memberitakan kasus pemalsuan identitas si PNS itu saat daftar jadi pegawai beberapa tahun lalu. Kecuali, si PNS mau memberikan uang beberapa juta rupiah kepadanya.

Saat mendatangi tempat tinggal PNS tadi, si XXL mengaku membawa semua berkas pemalsuan itu. Tapi, pada waktu itu, si PNS tidak mau cek-cok. Ia bilang minta waktu, tujuannya agar si XXL tidak berbuat sesuatu yang tidak diinginkan.

Keesokan harinya, si PNS datang ke polisi. Ia melaporkan si XXL dengan tuduhan pemerasan.

“Eta teh wawartawanan alias wartawan gadungan, pak,” kata PNS.

“Lebok tah, ngaririweuh wae. Ngabalaan dunya eta teh.”

Siang harinya, si PNS bersama polisi langsung mendatangi kantor kelurahan, tempat biasa si XXL nongkrong. Petugas pun langsung menangkapnya.

“Puas tah rasakeun ku sia wartawan. Eta teh ngarana teu nyaho di temah wadi.”

Thursday, August 26, 2010

Wartawan Amplop Kena Tipu

BIAR DIKATA masih yunior, kenekadan wartawan satu ini di dunia peramplopan boleh dibilang tiada tanding. Makanya, untuk urusan satu itu, rekan-rekan lain angkat topi deh.

Hampir semua acara konferensi pers yang berada dalam jangkauan liputannya akan ia sambangi. Terutama acara-acara rilis kebijakan yang diselenggarakan oleh departemen-departemen.

Karena, berdasarkan pengalaman selama malang melintang di dunia peramplopan Tanah Air, sudah barang tentu acara-acara semacam itu ber-ending dengan membahagiakan hati. Amplop.

Kehebatannya bukan hanya di bidang ketahanan dalam bergerilya amplop dari satu acara ke acara lain. Tapi, ia juga dikenal pandai membaca bahasa tubuh humas atau korlap wartawan saat akan membagi-bagikan amplop kepada wartawan yang hadir ke acara.

Dengan bangga ia bercerita. Katanya, kalau di departemen A, bahasa tubuh humas atau korlap saat akan membagikan amplop ialah dengan menggerak-gerakkan wajah ke arah tertentu mirip orang lagi sakit leher. Artinya, wartawan disuruh berkumpul di salah satu sudut ruang.

Sedangkan di departemen lainnya, kata dia, biasanya humas dan korlap akan mencolek tangan atau perut wartawan. Maksudnya, agar bersiaga karena amplop akan segera dibagi.

Pokoknya, dari pengalamannya, bahasa tubuh pegawai humas atau korlap selalu berbeda-beda di tiap acara.

***

Nah, suatu hari, si wartawan pembaca gerak tubuh ini menghadiri suatu acara rilis di salah satu kantor di bawah departemen A. Kebetulan, isi acaranya memang bagus untuk konsumsi media tempatnya bekerja.

Setelah acara seminar selesai, seperti biasa, ia akan duduk diam dulu. Ia telah memprediksi panitia pasti sedang mempersiapkan amplop. Ia perhatikan orang-orang sambil berharap-harap menemukan humas.

Tiba-tiba, matanya tertuju kepada seorang ibu-ibu yang sejak awal acara sampai akhir acara duduk di salah satu kursi. Ia langsung riang gembira begitu melihat ibu itu menggerak-gerakkan kepalanya mirip orang sakit leher. Arah gerakannya ke atas. Berarti ia minta wartawan naik ke atas, kebetulan kantor humas departemen itu memang di lantai dua.

Buru-buru ia melangkah. Ia menyusuri tangga yang berbentuk melingkar menuju ke lantai dua. Sesampai di atas, ia menunggu sebentar. Ia mencari ibu tadi yang ternyata masih berdiri di bawah. Sabaaaar.

Seperempat jam ia di atas, tapi belum ada tanda-tanda pegawai humas menemuinya. Lalu, ia melongok ke bawah lagi. Sudah sepi. Lalu matanya memandang jauh ke pintu keluar, ternyata si ibu yang gerak-gerak kepala tadi di sana.

Lalu, ia turun. Ia mendekati ibu itu. Lho, ibu itu ternyata masih saja menggerak-gerakkan kepala. Kemudian, ia perhatikan ibu itu terus menerus.

Ternyata, sial benar, ibu itu agaknya memang punya semacam kelainan di organ tubuhnya. Sehingga setiap beberapa menit, pasti menggerakan kepala ke samping. Dengan penuh duka cita, lalu si wartawan tadi pergi meninggalkan tempat itu.

(GoVlog-Ramadan) Jelang Lebaran, Wartawan Tambah Banyak

INI CURHATAN dari seorang pejabat di pemerintahan XXL menjelang lebaran tahun ini. Belakangan, ia bilang kalau dirinya sangat capek. Kalau pulang kerja, pinggangnya ibarat sudah mau patah saja.

Apa gerangan yang membuat pejabat bagian hubungan masyarakat ini kelenger. Ternyata karena para wartawan. “Jumlah wartawan di sini sekarang banyak banget, berlipat ganda,” katanya. "Terus, tiap hari menemui kita."

Ia tahu jumlahnya berlipat-lipat karena setiap hari memang selalu berjumpa dengan wartawan. Hari-hari terakhir ini, setiap kali jalan ke luar dari ruangan, ia pasti jumpa orang-orang baru yang di lehernya tergantung kartu pers.

Pak pejabat itu mengira-ira, ada lebih dari dua ratus wartawan yang sekarang ini beredar di kompleks pemerintahannya. Padahal, jumlah normal wartawan meliput di kantor pemerintahan ini jauh sebelum bulan puasa hanya sekitar 30 orang.

Entah itu wartawan resmi atau bukan, yang jelas, dari pagi sampai sore mereka hampir dapat ditemukan di setiap lorong kantor dinas dalam kompleks pemerintahan itu. “Ini suasana mendadak.”

Terus apa sebenarnya yang membikin pak pejabat ini merasa pusing tujuh keliling. Kan, memang setiap hari ia berjumpa wartawan dan melayaninya.

“Soalnya, sekarang ini, makin banyak proposal yang diajukan ke kita. Umumnya proposal untuk THR. Gimana kagak puyeng nih kepala.”

***

Dipersembahkan untuk GoVlog- Ramadan  VIVAnews



Wednesday, August 25, 2010

Wartawan Gahar Hobi Minum Bodrex

SEORANG wartawan bertampang gahar senang betul mendapat julukan bodrek. Sampai-sampai, entah mengapa, tiap kali memperkenalkan diri dengan wartawan yang baru dikenalnya, ia hampir pasti, bilang seorang wartawan bodrek.

Tentu saja, wartawan-wartawan yang baru berkenalan dengannya kaget mendengar pengakuannya di berbagai tempat liputan itu. Soalnya, langka sekali ada wartawan bodrek memperkenalkan diri, yang ada malah sebaliknya.

Usut punya usut, ternyata ada yang melatar belakang kasus unik ini. Ceritanya begini :

Mungkin karena banyaknya persoalan hidup yang mendera, wartawan senior yang suka tertawa selebar-lebarnya ini jadi sering mengeluh sakit kepala jika sedang liputan di lapangan.

Tapi, ia sangat takut ke rumah sakit untuk memeriksakan sakit menahunnya itu. Padahal, tampangnya bisa dikatakan membikin anak-anak kecil yang melihatnya gemetaran. Ditambah lagi, rambutnya diberi warna merah-merah dan agak panjang. Akhirnya, ia cuma membeli obat di apotik atau super market terdekat untuk mengobati.

Obat yang sering ia beli bermerk Bodrex. Soalnya, di ingatan wartawan senior ini sudah terekam betul wajah bintang iklan Dede Yusuf. Maka dari dulu sampai sekarang, ia hanya setia pada obat yang dikampanyekan Dede yang kini jadi Wakil Gubernur Jawa Barat itu.

Nah, suatu hari, ketika liputan di salah satu departemen, sakit kepalanya kumat. Ia tiba-tiba pergi begitu saja ke arah petugas humas yang berdiri di dekat tangga. Beberapa wartawan yang tidak kenal dengannya sempat berpikir, jangan ia akan me-86-kan petugas humas.

Sesampai di dekat tangga, kebetulan di sana ada kursi kosong, ia langsung duduk. Lalu, tangannya merogoh tas untuk mengambil si Bodrex. Lalu menelannya dengan bantuan pisang matang yang selalu ada di tasnya.

“Wartawan bodrek kok minumnya Bodrex,” katanya lirih kepada temannya yang kebetulan sejak tadi duduk di dekat situ.

Tuesday, August 24, 2010

Si Madona Dapat Amplop di Pedalaman

SUATU HARI, wartawati yang suka dipanggil Madona ini mendapat tugas liputan ke Indonesia bagian Timur. Ia diundang oleh salah satu departemen pemerintah yang humasnya sok bossy. Sebut saja nama Mr Boshek.

Nah, hari pertama di tempat kejadian perkara, wartawan dan wartawati yang diundang departemen itu, diajak ke pedalaman. Mereka diminta meliput acara seremonial berupa pemberian bantuan untuk keluarga miskin yang menetap di sana.

Sesampai di pedalaman, setelah puas disambut dengan tari-tarian suku pedalaman yang unik, para wartawan dan wartawati disuruh bikin berita oleh Mr Boshek tadi.

Pokoknya, waktu itu, semua juru warta disuruh menulis sore itu juga biar beritanya muncul menjadi headline gede-gede di koran masing-masing, termasuk koran si Madona van Java.

Setelah memberi pengarahan, Mr Boshek tiba-tiba mendekati satu persatu para pewarta. Dengan sigap tangannya menyelipkan amplop putih ke ketek setiap wartawan.

Si Madona cuma tertawa geli setelah mendapat bagian. Begitu suasana cair setelah tegang sejak tadi, si Madona berdiri. Lalu, pelan-pelan dan pasti, ia pergi ke kamar mandi.

Di sana, sambil sembunyi, di balik pintu kamar mandi, si Madona membuka amplop. Tentu saja, ia akan malu sekali kalau sampai membuka amplop di depan wartawan lainnya. Gengsi coy.

Sekejap, mata si Madona berbinar-binar terang, bahkan warna matanya boleh dibilang berubah menjadi hijau, padahal biasanya berwarna biru. Isi amplopnya cukup membuat hatinya menyanyi kegirangan. Isinya Rp1 juta.

Di pikiran si Madona, lumayan. Uangnya bisa menambah hobi fashion-nya. Pokoknya, nanti duit itu akan dibuat jalan dan beli baju ke mal.

Sehabis membuka amplop, si Madona langsung keluar dari kamar mandi. Lalu, ia membikin berita, biar beritanya tidak basi dan menyesaki otak.

Eh, rupanya karena ia berada di pedalaman, sinyal internet jelek sekali. Singkat cerita, deadline pun terlewati tanpa bisa mengirim berita ke redaksi untuk koran. Malam harinya, baru ia berhasil mengirim berita, tapi beritanya tidak masuk ke koran, melainkan di internet saja.

Dalam hati, ia kesal. Padahal untuk membuat berita itu, ia harus bersusah payah, bahkan sempat kebelet pipis, sementara toilet di pedalaman tidak memadai.

****

Setibanya di Jakarta kembali, ternyata urusan berita belum kelar. Mr Boshek marah-marah kepada Madona lewat telepon. Pokoknya, ia tidak terima kalau beritanya hanya masuk di internet. Ia maunya jadi headline super gede di koran. Dan parahnya ia minta ketemu pemimpin redaksi kalau sampai keinginan itu tidak dituruti.

Lalu, otak si Madoona pun encer. Ia keluarkan jurus. Ia bilang ke Mr Boshek, begini; "Pak, kamu pikir saya suka pergi ke pedalaman itu, banyak nyamuk, kamar mandi parah, banyak cacingnya, terus penginapannya payah. Duh, sebenarnya saya tak suka pergi ke sana. Saya mah terpaksa saja, karena menghormati undangan anda. Jadi, bapak seharusnya bersyukur dong sudah saya liput. Lagian saya tidak pernah minta uang kan?"

Pada saat berkata demikian, dalam hati, si Madona sebenarnya merasa senang karena akhirnya bisa liputan ke Indonesia bagian Timur. Cuma agar si Mr Boshek tidak macam-macam, ia berkata sebaliknya.

Sudah digertak begitu, ternyata Mr Boshek tetap tidak mau terima. Akhirnya si Madona bilang lagi. "Pak, hitung saja berapa duit yang anda keluarkan buat saya, besok saya ke kantor bapak buat bayar semuanya! termasuk amplop itu!”

Dalam hati, si Madona van Java deg-degan juga. Bagaimana kalau Mr Boshek mencak-mencak lagi. Eh, tapi rupanya, gertakan itu membuahkan hasil. Agaknya, nyali si Boshek menciut juga. Akhirnya ia bilang begini, "Ya jangan galak-galak gitu mbak, maaf deh kalau begitu, makasih ya."

Begitu selesai telepon. Si Madona menjerit lirih. Horaaaaaay. Lega hatinya. “Mentang-mentang ngasih amplop trus mau semena-mena, enggak bisa dong kalo sama gua, enak aja, huh!”

Akhirnya, si Madona pun bisa beli baju ke mal dengan lega. Wajah si Mr Boshek pun sirna.