Friday, September 10, 2010

Wartawan Gemetaran Ketemu Jubir Bos Judi

TAK SEMUA wartawan gemar mencari amplop. Ada juga yang menolaknya. Biasanya, juru warta model ini lurus pikirannya karena tetap memegang kode etik jurnalistik.

Salah satu contohnya si wartawan muda ini. Suatu hari, ia mendapat tugas dari redaksi untuk menulis soal judi di daerah liputannya. Setelah selesai mereportase sebuah tempat judi terkenal di sana, ia berencana untuk wawancara pengusaha judi. Ini penting untuk memenuhi keseimbangan informasi.

Ia sempat bingung untuk mencari pemilik usaha judi yang baru diliputnya. Karena sangat susah menemui bos judi itu, si wartawan minta bantuan teman yang juga wartawan. Wartawan yang diminta bantuan ini dikenal sangat dekat dengan bos judi. Lewat temannya itu, akhirnya ia bisa bertemu dengan tokoh masyarakat yang dikenal sering mewakili pengusaha judi untuk bicara kepada pers.

Setelah wawancara lengkap, si wartawan muda yang hanya dibayar redaksinya per berita yang dimuat itu undur diri. Tetapi sebelum pergi, si juru bicara bos judi masuk kamar dan keluar lagi membawa amplop tebal.

Si jubir berkepala botak itu hanya memberi amplop kepada si wartawan yang selama ini dikenal sering hutang uang kepada temannya untuk bayar kos itu. Sedangkan kepada si wartawan satu lagi -- teman si wartawan muda -- si jubir hanya bilang, jatah buatnya baru cair akhir bulan.

Si wartawan muda menolak amplop itu. Alasannya, hal itu tidak diperkenankan di kewartawanan. Ia bilang bahwa dengan jubir mau memberikan keterangan kepadanya, itu sudah lebih dari cukup.

Tapi, ternyata si jubir berperut buncit memaksanya menerima. Sebagai pertemanan, katanya. Karena tetap ditolak, si jubir pun tersinggung. Melihat perubahan sikap si jubir, si wartawan muda jadi gemetaran. Karena takut, akhirnya si wartawan menerima amplop. Setelah itu, ia cepat pergi.

Sesampai di tengah jalan, si wartawan mengajak temannya berhenti. Lalu, ia keluarkan amplop dan langsung menyerahkannya kepada temannya yang telah membantunya bertemu jubir tadi. Setelah itu, ia merasa ada kepuasan tersendiri.

Thursday, September 9, 2010

Akal Bos Media Lindungi Pemodal

ADA seorang wartawan yang lurus pikirannya pusing dengan bosnya. Masalah itu membikinnya paham, ternyata permainan redaksi level atas lebih ‘mengerikan’ dibanding yang biasa terjadi di kalangan wartawan kelas lapangan.

Kenyataan pahit itu ia ketahui setelah pada suatu kali ia membuat berita yang temanya menyangkut hajat hidup orang banyak. Tema berita yang ia kerjakan itu, selama ini selalu jadi berita utama di media-media baik lokal maupun nasional.

Awalnya, ia sangat bangga. Pertama, karena data yang dipunyainya jauh lebih lengkap dibandingkan dengan teman-temannya. Kedua, narasumbernya pun berkualitas dan sangat layak untuk bicara soal tema yang ia garap.

Pokoknya, waktu itu di hati sanubarinya mengatakan ia ingin ikut membela kepentingan kaum lemah dalam menemukan keadilan di negeri besar ini.

Ia sangat yakin atasan-atasannya akan senang dengan karya jurnalistiknya ini. Sisi human interest terpenuhi, sisi faktual pun terpenuhi. Pokok dan tokoh tulisan pun kuat.

Ia pun mengirimkan tulisan itu ke redaksi. Legaaaaaaa… Setelah beberapa hari mengumpulkan data, akhirnya kelar. Ada rasa puas secara bathin.

Tapi, ternyata tangan atasan berkehendak lain. Tulisan itu dinilai tidak layak muat. Alasannya, sangat bertolak belakang. Tulisan itu dianggap tidak memenuhi kode etik jurnalistik. Bahkan, ia menakut-nakuti si wartawan kalau sampai tulisan dimuat bisa kena gugat.

Si wartawan kecewa bukan main. Alasan bosnya dinilai mengada-ada alias dibuat-buat.

Wartawan itu tambah sesak karena media-media lainnya pun memuat berita itu besar-besar. Sementara, hasil kerjanya cuma dibuang ke tempat sampah oleh bosnya.

Lalu, si wartawan curhat ke temannya yang merupakan wartawan senior dan selama ini sering mendapat penghargaan di tingkat nasional atas karya-karya jurnalistiknya.

Si senior bisa memahami perasaan si wartawan temannya. “Aku tahu lah berita kau itu sebenarnya mantap dan sebenarnya juga layak muat karena sudah sesuai etika jurnalistik,” katanya.

Tapi, lanjutnya, “Sebenarnya kaulah yang tak punya etika.”

“Hah, bagaimana ceritanya aku yang tak punya etika, bang,” sahut si wartawan itu.

“Bah, kau tak tahu rupanya. Tentu saja bos kau tak mau ambil tulisan itu karena itu ibarat mengorek borok sendiri. Tulisan kau itu mengkritik pengusaha yang menghidupi kalian selama ini. Jadi, kaulah yang tak tahu etika.”

“Asu, kirik.”

Salah Ngomong, Dua Kali Keluar Amplop

LAGI-LAGI ini cerita tentang Pak Bronto, petinggi di bidang olah raga yang banci tampil di media. Hari itu, wajahnya sumringah setelah bisa bicara di depan wartawan. Ia bicara soal organisasi olah raga lagi dengan harapan besar dapat dimuat.

Seperti biasanya, wartawan mesti kerja dua kali kalau wawancara dengan dia. Soalnya, kalimatnya sama sekali tidak sistematis, kadang-kadang kata-katanya terbalik-balik. Jika diibaratkan tulisan, kalau ia menulis, tulisannya seperti ceker ayam dan tidak logis.

Setelah selesai memberi wawancara, seperti hari-hari sebelumnya, tanpa berat hati, Pak Bronto membagi-bagikan uang amplop. Kadang, wartawan menolakpun, ia paksa untuk menerimanya. Sebagai pertemanan, katanya.

Singkat cerita, keesokan hariinyaaaa. Datang-datang, ia panik bukan main. Wajah dan lehernya berkeringat. Kepada wartawan ia bilang begini, “Ah, aku kena tegur lagi dari atasan.”

Lalu, ia melanjutkan, “Maksud omonganku itu begini, bukan begitu seperti yang ada di media. Aduh, bagaimana ini ya.”

Rupanya dipernyataannya kemarin, ia bermaksud menyanjung organisasi. Tetapi, ia mengakui mungkin salah bicara sehingga tertangkap media secara lain. Sehingga ketika jadi berita, seolah-olah Pak Bronto sedang menghajar organisasinya. Pantas bosnya murka.

Begitu selesai bicara soal penyebab kegelisahannya, lantas Pak Bronto yang dikenal bicaranya belepotan itu mengajak wartawan untuk konferensi pers lagi. Intinya untuk meluruskan pernyataannya yang telah mengundang makian dari atasan.

Usai memberi keterangan, ia bilang, “Tolonglah, aturlah bahasaku jadi yang baik-baik ya. Maksudku begini, bukan begitu, ya.” Setelah itu, Pak Bronto membagi-bagikan amplop kepada wartawan.

HIKMAH: Jangan salah ngomong, biar tidak mengeluarkan amplop sampai dua kali.

Banci Tampil, Tapi Royal Amplop

ADA seorang petinggi di bidang olah raga yang oleh para wartawan dikenal banci tampil. Maksudnya banci tampil ialah orang yang paling senang diliput media massa. Orang itu kita sebut saja namanya Pak Bronto.

Di hari yang cerah, Pak Bronto memanggil-manggil juru warta yang biasa meliput di daerah kekuasannya. Ia bilang punya bahan berita yang sangat menarik dan layak untuk konsumsi media. Wartawan pun berkumpul dan mengerubunginya.

Pada waktu itu, ia bicara seputar manajemen organisasi olah raga. Seperti biasa, setelah cas cis cus, ia pun merogoh kantong dan membagi-bagikan uang kepada juru warta. Ada yang menerima, ada juga yang tidak mau menerima uang itu.

Satu wartawan, kira-kira dikasih uang Rp200 ribu oleh Bronto yang terkenal royal itu. Setelah semuanya kebagian jatah, bubarlah acara konferensi pers dadakan. Pak Bronto senang dirinya akan tampil di banyak media.

Keesokan harinya, seperti biasa, Pak Bronto mendatangi para wartawan. Tapi, air mukanya tidak secerah kemarin. Ia tampak panik. Lantas, curhatlah Pak Bronto kepada para juru warta. Katanya, ia habis kena semprot atasan.

Gara-garanya, pernyataan-pernyataannya kepada media massa dianggap atasan terlalu mendeskriditkan organisasi.

“Aduuuh, pusing aku. Gimana ini kawan-kawan. Kita buat lagi konferensi perslah ya. Buat meluruskan berita.”

Kemudian, mulailah Pak Bronto yang kalau bicara kalimatnya sama sekali tidak terstruktur itu cas cis cus lagi. Selesai itu, ia berharap agar tayangan maupun terbitan di media tak lagi segalak kemarin sehingga ia tak kena maki atasan.

Seperti kemarin, selesai bicara, ia rogoh kantong. Dibagikanlah uang kepada wartawan. Walau ia harus dua kali kuras dompet untuk satu kebodohannya saja, Pak Bronto tak nampak rugi. Soalnya, sepertinya yang terpenting baginya bisa tampil di media.

Wednesday, September 8, 2010

Petinggi Media Nyambi Jadi Broker Jabatan

KONON cerita, ada seorang petinggi media yang jadi broker jabatan. Ia menawarkan kepada seorang saudagar kaya raya kenalan agar masuk lingkaran kekuasaan. Istilahnya, ia membukakan jalan agar si saudagar bisa menjadi bagian dari panggung kekuasaan.

Berceritalah si petinggi media itu kepada pengusaha kenalannya. Manfaatnya besar sekali, kalau nanti saudagar bisa duduk di panggung kekuasaan. Di antaranya, untuk kelancaran dan keamanan bisnis. Lalu, lama-lama terpupuklah semangat sang saudagar.

Kepada pedagang besar itu, si petinggi media tadi juga berjanji akan ikut mengupayakanya lolos. Tapi, tentu saja tidak gratis.

Salah satu cara yang dipakai ialah si petinggi media itu akan menghembus-hembuskan profil si pengusaha kepada pengambil kebijakan yang punya otoritas untuk merekrut orang-orang baru untuk memperkuat lembaganya.

Di berbagai kesempatan pertemuan dengan petinggi lembaga, si orang media nakal itu selalu memuji-muji habis-habisan si saudagar yang dijagokannya.

Tujuannya ialah, agar si petinggi lembaga tertarik dan memasukan si pengusaha di jajarannya. Lewat kemasan berita dan lewat lobi-lobi kelas tinggi dilakukan.

Lama-lama si petinggi di panggung kekuasaan itu terpengaruh juga dengan strategi komunikasi yang dimainkan orang media tadi.

Mengapa kemudian ia tertarik, selain karena profil si pengusaha itu bagus, juga karena pengaruh yang dimiliki si petinggi media. Karena bagaimanapun juga level si orang media ini cukup berpengaruh.

Si petinggi lembaga itu berpikir, kalau suatu saat nanti si pengusaha itu ternyata bermasalah setelah masuk lingkaran kekuasaan, maka si orang media yang kuat ini diharapkan bisa ikut memback up.

Bukan cuma memback up si pengusaha tadi, melainkan juga lembaganya, terutama jika ada kasus menghadang. Biar aman. Atau paling tidak, semua kesalahan si pengusaha maupun jajarannya kelak tidak akan diungkap semuanya secara detail ke publik.

Petinggi Media Habis2an Dukung Si Jago

MENJELANG pemilihan wakil rakyat, seorang wartawan yang duduk di level menengah di redaksinya pun memutar otak. Bagaimana dapat proyek dari pemilihan itu. Karena dalam pikirannya, perputaran uang pasti tinggi. Dimana masing-masing calon wakil rakyat akan jor-joran keluarkan uang demi meraih kursi.

Suatu hari, ia kegirangan. Dapat! Akhirnya dapat ide! Pertama-tama ia merapat ke salah satu saudagar kaya yang begitu bersemangat jadi wakil rakyat. Tak sia-sia si salah satu petinggi itu menempuh banyak cara, akhirnya ia berhasil menempel saudagar incarannya. Lalu, direkrutlah ia anggota tim sukses.

Tapi, ia jadi tim anggota sukses terselubung. Soalnya, kalau sampai anak-anak redaksi tahu atau teman-teman yang lain di redaksi mengendus proyeknya itu, pastilah ia malu. Karena telah menggunakan pengaruhnya di media untuk menyukseskan salah saudagar itu untuk maju jadi wakil rakyat.

Nah, karena selama ini si petinggi media level menengah itu sudah banyak makan asam garam dunia amplop alias 86 alias jale, ia tahu bagaimana memainkan si saudagar itu. Ia tak perlu uang banyak untuk jadi tukang kampanye yang menonjol di antara tim sukses lainnya.

Dipakailah jejaring sosial facebook dan friendster untuk berkampanye. Facebook masih mending banyak pemakainya, sementara friendster sudah ditinggal fans, tapi, tetap saja ia pakai. Yah, hitung-hitung agar terlihat bekerja keras di mata saudagar.

Hampir setiap jam, ia bikin status baru di facebook. “Pilih abang A, cerdas dan tangkas.” Sejam berikutnya ia bikin lagi status “Abang A mantap, peduli rakyat.” Sejam kemudian muncul status lagi “Abang A pemimpin jelas segala-galanya, konkrit.”

Si petinggi media itu mungkin berpikir agar semua orang memilih si saudagar yang dijagokannya. Padahal, kalau saja ia jeli, pasti ia malu. Soalnya, orang-orang yang masuk dalam pertemanan di facabooknya, mayoritas adalah teman-teman wartawan. Mana mungkin akan pilih saudagar itu. Profil si saudagar yang disanjung-sanjung itu pun tak jelas.

Tak jarang, statusnya menjadi bahan tertawaan teman-teman wartawan di facebook. 86 ndaaaaan. Tapi, oleh si petinggi media di level menengah itu, tidak terlalu dipedulikan. Mungkin ia pikir, ini namanya pencitraan bos. Status baru tetap bermunculan sampai berhari-hari dan sampai hari H pemilihan.

Tak tahu apakah pada akhirnya si saudagar itu mendapat suara mayoritas dari daerah pemilihannya atau tidak. Yang jelas, setelah pemilihan, terjadi perubahan drastis pada penampilan si petinggi media tadi. Tampangnya yang sebelumnya seperti orang menderita, kini tampil lebih perlente.

Tuesday, September 7, 2010

Petinggi Media Pun Suka 86

DI AKHIR TAHUN ITU, pejabat tinggi yang baru menjabat ingin berkenalan dengan para petinggi media massa. Kalau tidak orang nomor satu di media, ya minimal level menengahlah.

Melalui sekretaris, disebarkanlah undangan kepada para petinggi media. Di undangan itu tema acaranya hanya ramah tamah, tidak ada isu penting yang akan dibicarakan.

Anehnya, di hari H-nya, banyak sekali dedengkot media yang datang ke acara ramah tamah. Padahal, untuk acara macam ini sebenarnya tak ada kewajiban bagi mereka untuk datang, apalagi sampai menyempat-nyempatkan diri datang.

Setelah acara dimulai, isi pembicaraannya cuma obrolan biasa. Ngalor ngidul, cekakak cekikik. Saling kenalan.

Nah, tibalah waktunya acara itu diakhiri. Ketika pulang satu persatu petinggi media itu diberi oleh-oleh berupa tas jinjing yang isinya komunikator dan amplop tebal.

Sebagian di antaranya menerima. Tidak ada yang kelihatan canggung pada waktu itu. Semua proses pembagian hadiah itu berjalan biasa saja tanpa ada persoalan.

Yang lebih aneh lagi, ternyata banyak juga petinggi media yang membawa teman. Dan tentu saja, masing-masing juga kebagian tas jinjing.

Nah, timbullah kecurigaan, mengapa mereka sampai menyempat-nyempatkan hadir di acara itu, padahal mestinya mereka mengurus deadline. Jangan-jangan sebelum mereka memutuskan datang, sudah ada informasi yang masuk ke kepala mereka bahwa di acara itu akan ada bingkisan-bingkisan mantap.

Sudah dikenal pejabat, pulang dapat hadiah pulak. Langkah kaki pun kian mantap keluar dari gedung.

Bos Media Elus-elus Calon di Pilkada. Cair...

BERLANGSUNGLAH pilkada di salah satu daerah di Tanah Air. Ada beberapa kandidat yang akan tampil menuju kursi pemimpin daerah setempat. Kesempatan ini tak disia-siakan oleh si petinggi media massa yang terkenal lihai itu.

Jauh hari sebelum kandidat resmi diluncurkan alias ditetapkan, si dedengkot media ini sudah mencermati profil satu persatu kandidat. Pilihannya jatuh ke kandidat yang berlatar belakang pengusaha yang tergolong sukses. Karena, dipikirannya sudah pasti basah alias banyak dananya.

Begitu nama kandidat ditetapkan KPUD, mulailah si wartawan kawakan itu melakukan serangan pendekatan kepada calon. Rupa-rupa cara dipakainya untuk dapat akses ke tim inti. Ungkapan kasarnya, si petinggi media menawarkan diri untuk ikut menjadi pendukung secara terselubung. Lebih tepatnya tim sukseslah, tetapi posisinya disamarkan.

Setelah dapat akses, mulailah ia mengelus-elus sang calon yang di matanya sangat potensial untuk menang pilkada itu. Mengapa ia akhirnya dapat akses ke tim inti sang calon, tentu saja karena ia petinggi media dan ia wartawan. Ia dianggap punya manfaat lewat kekuatan medianya.

Melalui kewenangannya di media, si dedengkot media ini pun mengatur sedemikian agar nama si calon bisa sering muncul di halaman-halaman medianya.

Hampir setiap hari, foto si calon diusahakan nampang di headline, entah di halaman depan atau dalam. Lalu, hampir semua kegiatan kampanyenya dimuat, mulai dari yang singkat sampai panjang.

Nah, agar perselingkuhan ini tidak mudah terbaca banyak orang, khususnya lawan politik si calon tadi, maka tulisan-tulisan tentang si calon potensial tadi dibuat sedemikian rupa sehingga memenuhi standar jurnalistik sebagaimana dipakai di media massa pada umumnya.

Bahkan, ia sampai tugaskan salah satu reporternya untuk mengekor si calon. Sehingga semua hal yang disampaikan si calon terekam jejaknya dan bisa dimuat di media.

Agar reporter tidak gampang curiga dengan proyek si petinggi, si petinggi itu bilang bahwa calon ini tokoh kuat dan figur publik, layak jadi berita. Kalau bos sudah perintah begitu, anak buah tentu manut, walau dalam hatinya kesal bukan main. Macam tak ada berita lain saja.

Terlepas dari gerundelan reporter, proyek si dedengkot media tetap jalan seolah-olah tidak ada masalah di tataran reporter. Soalnya, sebelum proyek ini berjalan, si petinggi media sudah melakukan deal-deal dengan tim pemenangan si calon.

So pastiiii, hanya petinggi dan tim sang calon yang tahu tentang keuntungan apa saja yang diperoleh si petinggi media dari deal-deal itu. Tapi, tentu saja, bukan amplop recehan.

Monday, September 6, 2010

Berita Duka Dimainkan Bos Media. Cair...

KALA ITU, ada seorang pejabat tinggi yang meninggal dunia. Info duka cita itu pun dengan cepat sampai ke telinga seorang wartawan yang posisinya sudah di level menengah di struktur redaksi tempatnya bekerja. Bisa dibilang petinggilah.

Sejurus kemudian, di kepalanya sudah tergambar keuntungan yang bakal di dapat dari berita duka itu. Begini modusnya. Ia pun segera meneruskan informasi itu ke salah satu pengusaha kenalannya. Pengusaha yang, yah, bisa dibilang tidak bersih-bersih amat.

Karena posisi si orang media ini cukup tinggi, maka ia punya kepercayaan diri untuk mengimbau pengusaha itu agar mengirimkan karangan bunga kepada keluarga almarhum. Ia pun menjelaskan manfaatnya. Yaitu, agar para tamu yang melayat -- tentu saja orang-orang besar -- menganggap si pengusaha dekat dengan almarhum atau keluarganya.

Karangan bunga hanyalah simbol. Simbol yang akan dengan sendirinya menjelaskan kepada para petinggi yang hadir di rumah duka tentang posisi si pengusaha. Ini penting. Kelak, bisa mempengaruhi roda bisnis si pengusaha itu. Namanya yang telah terpampang di karangan bunga almarhum pejabat berpengaruh itu, akan terekam di memori tamu-tamu penting.

Bisikan si petinggi media itu, rupanya mulai merangsang si pengusaha. Mimpi-mimpi yang ditawarkan si petinggi media tadi cukup ampuh mempengaruhinya. Sebelum ia menyatakan OK, si orang media menambahkan lagi. Bahkan, pengaruh yang akan didapat dari karangan bunga itu bisa lebih besar lagi.

Maksudnya, posisi karangan bunga pun ikut menentukan hasil. Makin dekat dengan pintu rumah duka, makin hebat pengaruhnya terhadap tamu yang datang. Namuuuun, tentu saja harga karangan bunga makin tinggi. Kalau berani membayar tinggi, si orang media menjanjikan bisa menaruh karangan itu dekat pintu rumah duka sehingga semua tamu yang hadir pasti menatapnya.

Daaaaaaan, satu lagi yang penting, si pengusaha tidak perlu capek-capek mencari karangan bunga sendiri, karena si petinggi media ini yang akan menyiapkannya. Pokoknya terima beres.

Dengan mempertimbangkan asas manfaat yang dijelaskan si orang media tadi, si pengusaha pun langsung sepakat. Cair.

Bos Media Mainkan Isu, Pejabat Pun Cair

WARTAWAN yang biasa nakal di lapangan rata-rata hanya menerima amplop berisi uang recehan. Di level petinggi media yang suka “selingkuh” tentu saja gengsi sekali bermain di kelas anak-anak lapangan. Coba perhatikan permainan salah satu orang penting di media satu ini.

Berawal dari ketidaksukaannya kepada seorang pejabat pengambil kebijakan. Karena, menurutnya, si pejabat itu pelit betul. Macam-macam cara dipakai, tidak bisa cair, paling tidak iklanlah. Bahkan, suatu kali sampai diundang datang ke acara kelahiran anaknya pun tidak mau datang. Sial.

Di akhir musim panas, habislah kesabaran si petinggi media ini terhadap si pejabat pengambil kebijakan. Timbullah niat untuk mengerjai si pejabat. Tentu saja, caranya menggunakan kekuasaan di media yang ia kelola.

Namanya juga orang yang punya kewenangan mengelola media, mudah sekali ia menjalankan strategi perang. Ia ambil suatu isu terkait proyek yang sedang digarap oleh si pengambil kebijakan itu. Si orang media ini memainkan isu itu untuk menghantam lawan.

Diundanglah orang-orang yang selama ini kritis dengan kebijakan si pejabat untuk menulis opini. Semua opini yang isinya menyoroti dan mengkritisi kebijakan si pejabat pasti akan dimuat oleh orang media tadi.

Satu kali, dua kali, tiga kali tulisan keras itu diterbitkan di media itu. Rupanya, belum ada respon dari pejabat. Lalu, tulisan pun terus mengalir hampir setiap hari selama seminggu berturut-turut.

Si pengelola media itu pikir, masa sih si pejabat itu tidak gerah setiap hari membaca tulisan-tulisan yang menyerang kebijakannya.

Rencana si pengelola media itu nampaknya mulai sukses. Orang-orang dekat si pejabat pun berkumpul. Mereka berembuk membahas salah satu media itu, mengapa selalu menghajar kelompoknya. Bisa berbahaya kalau dibiarkan. Lalu, mereka menghadap ke kantor si pejabat. Akhirnya dibuatlah kesepakatan untuk mengakhiri semua ini. Petinggi media itu harus diberi ‘perhatian.’

Kebetulan bulan itu adalah bulan puasa. Pas sekali untuk tema silaturahmi. Si pejabat lewat orang-orangnya menyusun acara. Nama acaranya, kunjungan media. Dikunjungilah kantor tempat si petinggi media tadi. Tak hanya itu, beberapa hari kemudian, si petinggi media diundanglah ke kantor si pejabat untuk acara buka bersama.

Setelah acara ‘ramah tamah’ itu, keesokan harinya, sudah tidak ada lagi tulisan opini yang isinya mengkritisi si pejabat. Rupanya, cair juga si pejabat.

Sunday, September 5, 2010

OB, Toilet, dan Amplop

BERIKUT INI cerita seorang office boy di sebuah kantor redaksi. Kebetulan, anak ini, selalu kebagian piket untuk bersih-bersih di toilet. Mengapa begitu, soalnya ia sering terlambat masuk kerja sehingga bosnya selalu menugaskannya di ruangan itu.

Aneh benar, suatu hari, ia datang pagi-pagi ke kantor. Satpam yang melihatnya sampai heran. Ia langsung ambil peralatan bersih-bersih seperti lap kaca dan ember. Masuklah ia ke toilet. Rajin sekali anak ini, biasanya ia merokok dulu baru mulai kerja.

Kemudian ia mengisi ember dan mencelupkan lap ke dalamnya. Ia ingin membersihkan kaca yang tampak buram dan berminyak. Wartawan memang jorok, masa kaca sampai berminyak. Ngapain saja di kamar mandi kok sampai jorok begini kacanya, kira-kira begitu pikirnya.

Untuk memudahkan pekerjaannya, ia menurunkan kaca itu. Untuk menurunkannya, ia pakai kursi agar posisinya seimbang. Begitu ia angkat kaca yang menempel di dinding, tiba-tiba jantungnya berdegub kencang.

Dari balik kaca itu, bertebaran puluhan amplop putih. Umumnya amplop-amplop itu sudah sobek. Amplop itu jatuh berantakan memenuhi permukaan wastafel.

Karena office boy ini sering bergaul dengan wartawan di redaksi, ia cepat tanggap. Ini pasti bekas amplop jalean alias hasil membodrek selama liputan.

Pantas saja, tiap kali sepulang liputan, sebelum mulai kerja, sebagian wartawan di redaksi pasti mampir dulu ke toilet. Pikir si office boy, ruangan toilet ini telah menjadi saksi bisu para wartawan amplop membuka hasil jalean. Sehabis mengambil isinya, amplop diselipkan lewat sela-sela dengan harapan tidak ada yang tahu soal amplop itu. Soalnya kalau dibuang ke tempat sampah, bisa-bisa muncul berbagai kecurigaan.

“Oper Doooong (Amplopnya)”

RUPANYA, sore itu di sebuah ruangan gedung wakil rakyat ada sekitar sepuluh wartawan. Tumben-tumbenan. Biasanya, jam-jam segitu, semua sudah pulang atau kembali ke redaksi masing-masing.

Macam sidang saja. Di ujung bangku, duduklah wartawan yang selama ini dikenal sebagai korlap alias koordinator lapangan. Korlap itu biasanya diperankan wartawan yang lihai membikin panitia acara atau humas cair alias bisa mengeluarkan uang amplop.

Sementara itu, teman-temannya duduk berderet mengelilingi meja kayu. Ada yang senyum-senyum, ada yang cekikikan, ada yang sepertinya tak sabaran. Entahlah.

Usut punya usut, ternyata di bawah meja, tangan korlap dengan cekatan menghitung amplop yang didapat tadi siang dari anggota dewan yang menggelar konferensi pers tentang program fraksi.

Walau para wartawan ini sudah sangat familiar dengan amplop, tetap saja kalau urusan hitung-menghitung atau pembagian jatah, masih malu-malu alias sok jaga image. Entah image apa yang sedang dijaga.

Begitu yakin jumlah amplop cukup untuk semua wartawan di ruangan itu, korlap mulai membagi-bagikan. Cara pembagian amplop mengingatkan pada pengawas ujian yang membagikan lembar soal kepada siswa.

Amplop di berikan ke teman terdekat, lalu dioper lagi ke teman sebelahnya sampai ke tangan wartawan yang duduk paling ujung. Begitu seterusnya sampai tinggal satu amplop di tangan korlap. Karena korlap sudah yakin seyakinnya bahwa semua kebagian rejeki, ia langsung memasukan amplop bagiannya ke kantong celana.

Ketika rapat rahasia dan tanpa suara itu hendak disudahi, tiba-tiba seorang wartawan yang duduk sebelah kiri ujung berteriak lirih. “Oper doooong.” Semua langsung kaget. Rupanya, wartawan itu belum kebagian operan.

Korlap Berteriak Tak Kebagian Amplop

SEPERTI BIASA, semua wajah kelompok wartawan ini ceria usai memenuhi undangan salah satu anggota dewan di salah satu kota Tanah Air. Wartawan yang selama ini dikenal sebagai koordinator lapangan alias korlap berjalan enerjik dengan wajah sumringah.

Sambil berjalan, tangannya masuk ke dalam tas. Semua teman-temannya sudah tahu kalau korlap ini sedang menghitung isi amplop. Pelan namun pasti, lembar demi lembar rupiah dihitung. Sebab, pembagian harus merata agar tidak muncul suara-suara sumbang di kemudian hari.

Dengan kode tertentu, ia panggil temannya. Begitu teman mendekat, tangan korlap masuk ke kantong celana teman yang baru dipanggilnya. Karena sudah tahu ada pencairan dana, teman-teman lain walau sebenarnya belum dipanggil, mereka mulai mendekat satu persatu ke korlap.

Proses pembagian uang amplop pun selesai dengan lancar. Korlap sudah bisa bernafas lega karena tugasnya selesai tanpa cek cok dengan temannya. Biasanya ada saja grundelan karena jatah kekecilan, mungkin setelah kena potong korlap.

Sesampai di luar gedung, keheningan suasana tiba-tiba terpecah oleh teriakan si korlap. Kontan teman-temannya yang tadi sudah mulai pergi, kaget dan berhenti begitu dengar korlap mereka histeris.

Sambil membuka-buka tas untuk meneliti isinya, si korlap bilang, ia tidak kebagian jatah. Agaknya, ia tidak akurat saat menghitung jatah tadi. Dipikirnya, sudah ambil jatah untuk diri sendiri. Tapi, ternyata belum.

Wednesday, September 1, 2010

Tak Dapat Parcel, Wartawan Minta Mentahan

CERITANYA begini, suatu siang, ada acara bagi-bagi parcel menjelang lebaran di salah satu kantor dinas pejabat. Ternyata wartawan yang hadir banyak sekali sehingga sebagian di antaranya tidak dapat bagian.

Nah, wartawan yang tidak dapat jatah, padahal sudah capek-capek datang ke sana, akhirnya memutuskan untuk menghadap ke panitia. Intinya, mereka minta dikondisikan alias diadakan lagi parcel untuk mereka. Paling tidak mentahannya alias uang tunai.

Salah satu petinggi di kantor itu yang sekaligus menjadi panitia acara bingung. Ia pikir semua sudah kebagian. Tapi apa mau dikata. Sekarang, semua parcel sudah ludes.

Tapi, karena ia tidak ingin membuat rekan-rekan wartawan kuciwa alias kecewa, akhirnya ia memutuskan untuk memberi hadiah wartawan berupa mentahan sesusai keinginan. Mungkin dipikirannya, kalau mitra wartawan sampai kuciwa, besok-besok instansinya kena hajar berita.

“Sorry bro, gue ga tau kalo lu pada kagak dapet, ya udah lu gue kasih mentahnya aja yah cepek satu orang,” ujarnya.

Walau harus menahan kecewa karena nilainya terhitung sedikit, para wartawan yang menghadap petinggi tadi akhirnya tetap menerima uang itu. Senyum mereka tidak begitu mengembang.

Begitu sampai di luar ruang, mereka merasa lega. Soalnya, kalau dihitung-hitung, nilai uang yang baru diterima dari si panitia tadi setara dengan harga parcel.

"Alhamdulilah masih dapet, daripada lu manyun," kata salah satu wartawan kepada temannya.

Cara Jitu Wartawan Menang Doorprize

DI SALAH satu gedung kapitalis Ibukota, berlangsunglah peluncuran konten sepak bola luar negeri. Acara ini diselenggarakan oleh salah satu provider telepon genggam.

Banyak sekali wartawan yang diundang ke sana. Namanya juga peluncuran produk. Dibutuhkan media komunikasi yang cepat dan efektif untuk memfamiliarkan produk itu di tengah masyarakat. Ya, lewat media massa salah satu jalannya.

Agar acara ini juga memberi penghiburan kepada wartawan, di salah satu bagian program peluncuran, panitia menyelinginya dengan doorprize.

Di antara puluhan orang yang hadir, hanya seorang wartawan bidang IT yang punya cara kelewat kreatif untuk jadi pemenang doorprize. Ketika ia mendaftarkan medianya ke panitia, ia sengaja secara diam-diam memasukkan banyak sekali kartu namanya ke box kaca. Maksud hati, agar kartunya potensial nongol saat pengocokan. Semuanya ia lakukan dengan rahasia. Cara model itu selama ini sangat ampuh, tidak ada yang tahu.

Tibalah waktu yang ditunggu-tunggu. Pengocokan kartu nama. Ternyata, apa yang jadi pengharapan wartawan IT itu terealisasi. Kartu namanya menang. Ia bangga sekali mendapatkan hadiah telepon genggam.

Pengocokan tahap pertama selesai. Kemudian, dilanjutkan pengocokan tahap kedua. Tuing… tuing, wartawan-wartawan yang hadir berharap-harap cemas. Akankah jadi pemenang.

Begitu tangan panitia keluar dari box kartu nama, ia membacakan nama yang tertera di kartu nama. Ternyata, nama si wartawan IT tadi lagi yang menang. Begitu namanya disebut, wartawan itu terlihat senyum-senyum. Ia sepertinya tidak enak hati, apalagi para wartawan lainnya menyorakinya dengan nada kesal.

Tetapi, karena si wartawan IT itu sudah dapat hadiah di tahap pertama tadi, maka ia tidak lagi punya hak mendapat hadiah di tahap kedua. Karena namanya dobel, maka pengocokan pun diulang lagi.

Kocok, kocok, kocok. Jrenggggggg. Tangan panitia mengambil satu kartu nama dan mengangkatnya. Lalu, ia membacakan nama pemenang. Nama si wartawan IT itu lagi yang menang.

Semua orang kaget lagi. Terutama para wartawan, mulailah mereka protes. Panitia acara sampai bercanda. “Mas ini kenapa bisa menang terus ya, berapa banyak kartu nama yang tadi dimasukkan ke box.”

Mendengar reaksi yang demikian riuhnya, si wartawan IT pelan-pelan bangkit dan meninggalkan arena pengocokan. Ia sepertinya sangat malu. Karena, rahasia menangnya diketahui oleh semua orang. Ia sama sekali tidak pernah menduga. Karena, di acara-acara doorprize sebelumnya, tidak pernah terjadi kasus seperti ini.