Sunday, June 3, 2007

DPRD Kota Bekasi Undang Penulisan Budaya

Seni dan budaya tradisional Bekasi akan punah jika tidak ada upaya untuk melestarikannya dengan cara mempublikasikan dengan tulisan, demikian diungkapkan Wakil Dewan Perwakilan Kota Bekasi, Ahmad Syaikhu.

Karena itu, Ahmad mendorong kalangan seniman dan budayawan di Bekasi untuk menggarap Bekasi dengan cara menulis nilai tradisinya secara utuh. “Saya belum menemukan sebuah tulisan yang menggarap profil kebudayaan yang utuh,” kata dia.

Padahal, sejumlah daerah lain, seperti pemerintah daerah Solo dan Banjarmasin sudah melakukan upaya publikasi budaya asli daerahnya melalui penulisan. Dia melihat, ketika suatu daerah menuliskan kebudayaannya, rasa memiliki tanah lahir, terutama remaja akan selalu terjaga.

Sebaliknya, jika tidak ada upaya penulisan kebudayaan, maka di masa mendatang kebudayaan itu akan terlupakan dan lambat laun akan punah.

Mengenai persoalan pembiayaan selama proses penulisan sampai percetakan, Ahmad mengatakan, akan berupaya membantu dengan mengajak peran serta kalangan legislatif dan ekskutif. “Nanti bisa dicetak oleh pemerintah daerah dan dapat dibagikan ke masyarakat secara gratis,” kata dia.

Menanggapi hal ini, penulis dan wartawan Ali Anwar, karyanya antara lain “Bekasi di Bom Sekutu,” “Biografi KH Noer Alie,” “Konflik Sampah Kota,” yang selama ini menjadi kendala menulis buku adalah persoalan sulitnya mengadakan dana penelitian sampai pencetakan. Mengenai sumber daya manusia penulis, kata kata dia, sebenarnya jumlahnya banyak.

Menurut Ali, dukungan parlemen untuk upaya pelestarian seni dan budaya daerah merupakan langkah yang luar biasa maju.

Ketua Dewan Kesenian Kota Bekasi Ridwan Marzuki Hidaya menambahkan, langkah selanjutnya bisa lebih dipertajam. Misalnya menggunakan hak paten untuk melindungi cagar budaya Bekasi.

Langkah ini diharapkan dapat mengikis kata-kata kuota dari Provinsi Jawa Barat bahwa Kota dan Kabupaten Bekasi, masing-masing hanya mendapat satu kuota cagar budaya. Pemberian kuota ini sangat mengecewakan karena, membuka pintu bagi daerah lain, seperti DKI Jakarta untuk mengklaim seni asli Bekasi yang jumlahnya banyak.

“Tari Topeng Bekasi sudah diklaim DKI Jakarta jadi Tari Topeng Betawi,” kata dia.

Lima Seniman dan Budayawan Terima Penghargaan

Lima penggiat seni dan budaya memperoleh penghargaan dari Dewan Kesenian Kota Bekasi //Award// tahun ini. Mereka dinilai berjasa dalam menjaga kelangsungan seni dan budaya di daerah ini.

Kelima seniman dan budayawan itu masing-masing Chairil Anwar untuk karya sastra “Karawang Bekasi.” Budayawan Mukana Haryanto. Mukana dikenal sebagai pria yang konsisten terhadap pelestarian budaya. Selain itu, dia pernah bekerja di lembaha pendidkan dan kebudayaan dari tahun 1973-1985.

Seniman Bletet yang dikenal konsisten dalam pelestarian kesenian tradisional wayang kulit. Wahyu atau Yuhwa dinilai berjasa dalam kategori seni bermusik. Kemudian, Sani’in untuk kategori pelestarian kesenian teater.

Menurut Ketua Dewan Kesenian Kota Bekasi, Ridwan Marzuki Hidayat, penganugerahan penghargaan ini bertujuan untuk memberikan apresiasi terhadap para pelaku seni dan budaya yang dinilai konsisten dalam upaya pelestarian.

Selain itu, untuk memotivasi seniman-seniman muda untuk terus berkarya, bertambah kreatif dan inovatif. Menurut Ridwan, merekalah yang akan menjadi ujung tombak menjaga seni dan budaya tradisional Bekasi. “Kita mengapresiasi mereka,” kata Ridwan.

Acara semacam ini, menurut Ridwan, juga bertujuan untuk mendorong masyarakat, dunia pendidikan, dan pemerintah untuk saling bersinergi menanamkan nilai seni ke dalam kehidupan.

Dewan Kesenian yang berusia 10 tahun, sudah dua kali mengadakan acara penganugerahan kepada seniman dan budayawan. Sebelumnya, 2005 lalu, memberikan penganugerahan untuk kategori pelestari kesenian tradisional.

Pers Kurang Soroti Pendidikan Toleransi

Kalangan media massa dinilai kurang giat menyoroti persoalan pendidikan dasar terhadap toleransi dan kerukunan kepada anak-anak, demikian diungkapkan Dosen Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Samsul Ma'arif M.

Arief mengungkapkan, saat ini terdapat tempat-tempat pendidikan terpadu, yang secara tidak langsung ikut menanamkan kebencian dan kekafiran kepada agama lain. Padahal, menurut dia, keadaan ini sangat kontraproduktif terhadap kondisi Indonesia yang multikultur.

“Mestinya pendidikan dasar berkepentingan untuk memberikan pemahaman dasar pentingnya hidup berdampingan, bukan malah memperlebar perbedaan,” kata dia.

Arief mencontohkan, ada seorang anak yang disekolahkan pada sebuah lembaga pendidikan, ketika pulang sekolah, si anak tidak mau bermain dengan tetangganya yang kebetulan berbeda agama.

“Gara-gara dibilang sama gurunya, orang dari agama ini itu, masuk neraka. Dia bilang, kasihan kamu nanti masuk neraka. Lalu timbul cekcok antara keduanya,” kata dia seraya mengatakan, itu contoh kecil yang telah terjadi dan diduga di mana-mana memiliki trend pendidikan yang sama.

Dampak terjauh bagi anak-anak nanti, kata Arief, akan memiliki sifat kurang toleran terhadap perbedaan. Padahal, lanjut dia, fakta sosial di Indonesia penuh dengan perbedaan.

“Mestinya pendidikan justru meng-//encourage// bagaimana hidup berdampingan dalam masyarakat yang plural,” ujar Arief

Diskusi Bencana dan Karya Seni

Karya seni berangkat dari sebuah ide. Ide itu mengalami proses pengolahan dan hasilnya berwujud karya. Bentuk fisik karya itu bisa cerpen, puisi, novel, teater, dan film. Gagasan tersebut bisa dari hal sederhana, seperti pengalaman pergaulan sehari-hari, misalnya perasaan cinta. Bahkan bencana yang tidak dikehendaki mampu melejitkan karya sastra luar biasa.

Demikian diungkapkan Mustafa Ismail, penulis cerita pendek dan puisi di acara bertema "Memaknai Bencana dalam Karya Seni" di Komunitas Budaya Pangkalan Bambu, Jalan Letnan Sarbini, Kampung Pangkalan Bambu, Margajaya, Bekasi Selatan, Kota Bekasi, Sabtu lalu.

Bagi redaktur budaya Koran Tempo itu, yang terpenting dalam proses mencipta adalah terus menjaga sikap disiplin diri, ketelatenan, dan kepekaan pada sekeliling sehingga akan mampu menyimak sesuatu keadaan atau perubahan. Alhasil, ide yang setiap saat bermunculan itu tidak lenyap begitu saja, tapi bisa ditangkap dan diolah.

Hal itu dilakukan Mustafa ketika menyaksikan malapetaka tsunami di tanah kelahirannya, Nanggroe Aceh Darussalam. Juga ketika bencana gempa terjadi di Yogyakarta. "Bencana menjadi sebuah lecutan untuk karya. Dan segala sesuatu yang menarik dan menyentuh itu bisa menjadi ide," kata Mustafa.

Baca

Baca

Baca

Baca

Baca

Baca

Baca

Baca

Baca

Baca

Baca

Baca

Bekasi, 3 Juni 2007

Diantara

Diantara


Kubuka-buka lembar berita

Kubolak-balik lembar tulisan

Kubaca-baca naskah

Kuberharap ada yang terbersit


Aku bingung

Aku kacau

Aku diantara teka-teki

Diantara kelebatan ide


Rp 2000, Rp 3000, Rp 5000 dan seterusnya

Berjam-jam ku habiskan di warnet

Kupelototi tulisan

Kukerahkan dayaku yang ada saat ini

Kelebatan itu tidak juga kuat

Tetap bingung

Kacau

Misteri

Bekasi, 3 Juni 2007