Monday, April 7, 2008

Masihkah Kita Merasa Besar?

Masihkah kita merasa besar? Kalimat itu tertulis di layar monitor elektronoik berukuran besar yang terpasang di gedung Planetarium TIM, Jakarta Pusat. Dalam media itu diceritakan perbandingan ukuran planet bumi dengan tata surya lainnya.

Pernahkah membayangkan? Betapa kecilnya bumi dibandingkan tata surya lainnya. Lalu manusia? Betapa sangat mungilnya ukuran manusia di alam semesta ini. Seperti debu yang jatuh di planet bumi. Dan bumi sendiri Nampak seperti sebuah titik, jika disandingkan dengan matahari.

Setelah membaca beberapa kali tulisan yang terpasang di dinding bangunan Planetarium itu, saya menjadi merenung. Ada pesan yang sangat mendasar di sana. Sesungguhnya ada benang merah yang sangat tegas antara pesan planetarium dengan film yang pernah diputar di studio 21 TIM berjudul “Dr Horton Seuss Hears A Who.”

Saya ingin bercerita sedikit tentang film menarik itu. Dr Horton adalah seekor gajah. hewan itu hidup di sebuah hutan. Tempat dimana bangsa hewan dipimpin oleh seekor kanguru. Berbeda bukan, sejak kecil, sebagian diantara kita selalu dijejali bahwa penguasa hutan itu adalah singa. Tapi, bangsanya Dr Horton, bukan lagi singa. Ini pemandangan yang baru, terutama buat saya.

Pola pikir bangsa hewan yang diceritakan itu, dalam bahasa filsafatnya, masih hidup pada alam pemikiran yang mempercayai mitos. Ketika ada sudut pandang baru atau pengetahuan baru, hal itu lantas dianggap sebagai sebuah penyesatan.

Sebab, pikiran yang baru tidak sama dengan pandangan umum yang terjadi pada saat itu. Kanguru yang memimpin bangsa itu sangat menolak adanya pemikiran-pemikiran berbeda.

Ini juga yang mengingatkan pada kehidupan saya semasa masih tinggal di desa. Dimana, lingkungan begitu ketat mengajarkan bahwa kebenaran adalah yang sudah menjadi kepercayaan orang tua.

Mereka mendoktrin anak-anak untuk tidak membantah. Pengajaran yang tidak mendidik anak dengan cara hidup diskusi.

Dr Horton adalah hewan yang punya perhatian khusus pada pengetahuan baru. Satu kali, ia menemukan benda bernama debu. Debu disimpannya karena dirinya sangat tertarik dengan keunikannya. Ia merasakan ada satu dunia lain di dalam debu itu.

Namun, ketertarikan Dr Horton pada benda itu ditentang keras oleh pemimin para hewan. Kanguru tidak bersedia menerima itu.

Dan dia memerintahkan masyarakatnya untuk memusuhi Horton. Seluruh binatang sangat mengikuti kehendak Kanguru. Horton dimusuhi bersama. Dan ia dianggap menyesatkan anak-anak pada bangsa hewan

Horton tetap pada pendiriannya. Ia merasa harus menyelamatkan debu itu. Ketika seluruh hewan memaksa untuk membuat debut itu. Horton justru makin yakin untuk menempatkan debu itu di sebuah tempat yang aman.

Debu yang ukurannya kecil, sangat kecil dari apapun yang ada di lingkungan bangsa hewan.

Debu yang dibawa-bawa Horton diujung belalai itu adalah bumi. Diceritakan dalam film, debu itu dihuni oleh manusia. Kondisinya sebagaimana daratan dan lautan yang kita diami sekarang. Di dalam debu itu ada bangunan, industri, sekolah, laboratorium dan lainnya.

Pemimpin penduduk di bumi itu sangat otoriter. Ia tidak bersedia mendengarkan pendapat masyarkat. Ia penganut kapitalis.

Diantara bawahannya, ada seorang walikota yang berpikir obyektif. Ia peka dengan dampak perubahan iklim dunia. Ia percaya bahwa jika pembangunan bumi tidak terkendali, maka satu hari nanti manusia akan hancur bersama bumi.Ia sudah menganalisa bahwa keadaan bumi belakangan ini sering terjadi perubahan iklim yang tidak menentu. Sering terjadi gempa dan bencana lainnya. Ia telah menyampaikan aspirasi kepada pemimpin agar ada upaya penyelmaatan.

Tapi atasannya justru menertawakannya. Ia dianggap gila. Bumi dikatakan pemimpin lalim itu tetap dalam keadaan baik. Dalam pemikirannya, bumi tidak pernah berubah. Dan masyarakat diajak untuk terus berpesta setiap hari.

Pada suatu hari terjadi gempa dahsyat di sana. Ketenangan manusia di bumi sebesar debu itu tergoncang.

Gempa itu sebenarnya terjadi karena Horton hampir menjatuhkan debu di belalainya dalam suatu perjalanan untuk menyelamatkan bumi.

Satu kali, ada fenomena yang baru akibat perubahan bumi. Walikota dapat berkomunikasi dengan Horton. Mereka dihubungkan dengan sebuah pipa. Dari benda itu mereka berkomunikasi.

Horton sangat takjub. Di dalam debu itu ada umat manusia. Di tangannya, nasib mereka ditentukan. Kalau debu sampai jatuh, maka akan terjadi gempa dahsyat. Gempa yang akan merusak hasil karya manusia di sana.

Sebaliknya, walikota juga sulit percaya bahwa ada alam lain yang lebih besar. Sebab, bangsa manusia selama ini merasa sudah paling besar dan cerdas. Kebesaran manusia sudah melebihi segalanya.

Maka dalam satu komunikasi, walikota meminta Horton untuk berhati-hati. Ia menyerahkan nasib debu itu kepada Horton.

Sampai pada cerita itu, tertangkap bahwa itulah penggambaran tentang tindakan manusia dewasa ini. Betapa sangat kecilnya makluk manusia di bumi ini. Betapa kecilnya kita di alam semesta ini. Kita bukan apa-apa.

Pantaskah kita semaunya sendiri di planet ini. Apakah kita konyol.

Horton sangat sedih ketika suatu hari saat sulit berkomunikasi dengan pemimpin penduduk di debu itu. Betapa ingin Horton menyadarkan manusia agar mengetahui dirinya begitu kecil dan rapuh. Manusia tinggal di bumi yang kecil dan mengambang.

No comments: