Thursday, September 24, 2009

Cerita Lebaran 2009

Hiruk pikuk orang-orang bicara tentang libur lebaran. Ramai merencanakan pulang kampung. Hingar bingar pusat-pusat belanja oleh orang-orang yang tengah membelanjakan uang sepuas-puasnya. Semua itu atas nama merayakan pesta lebaran.

Aku berpikir, mengapa orang begitu reaksioner. Bahkan, kadang-kadang kusebut tidak rasional. Cenderung foya-foya. Aku membayangkan mereka menabung uang setahun hanya untuk pesta satu hari. Setelah itu barulah tersadar uang telah habis. Lalu bekerja lagi untuk mengumpulkan uang untuk pesta berikutnya. Dan seterusnya.

Aku memutuskan tidak ikut-ikutan reaksioner seperti itu. Lebih baik libur lebaran ini kugunakan dengan caraku. Merenungkan pencapaian-pencapaianku, kegagalanku. Dan merencanakan masa depanku menjadi lebih baik. Caranya, aku tidak ikut pulang kampung untuk mendapatkan rasa sunyi di Jakarta.

Ibu dan adikku tentu merindukan kedatanganku di hari lebaran ini. Tapi, aku bisa menjelaskan kepada mereka tentang keputusanku untuk tidak ikut reaksioner. Lebih baik komunikasi kami lakukan lewat telepon, toh semangat silaturahmi keluarga tetap bisa didapatkan dengan cara itu. Walaupun memang sensasinya berbeda karena tidak bertatap muka dan bertemu fisik.

Selama tidak pulang kampung, aku bertemu dengan teman-teman lama. Dan mendapatkan teman-teman baru. Sambil minum teh panas bersama, kami membuat fenomena mudik lebaran ini menjadi bahan lelucon. Temanku bilang, Jakarta menjadi tenteram karena orang-orang yang selama ini menjadi biang kesemrawutan kini telah pulang ke daerah asal masing-masing.

Jakarta menjadi damai dan tenang selama masa libur lebaran ini. Suasana seperti itu juga yang ingin kurasai. Menikmati Ibukota tanpa kekacauan di mana-mana. Aman dan serasa menjadi pemilik Jakarta. Kemanapun pergi, rasanya lega dan damai.

Memang ada perasaan sepi ketika tiba-tiba Jakarta menjadi lengang. Tapi rasa sepi itu justru membuatku optimis. Bersemangat karena aku bisa menikmati apa yang tidak dipilih mayoritas orang. Mereka lebih memilih reaksioner dengan hiruk pikuk pulang, sementara aku bisa menikmati kesunyian.

Kadang kami nakal juga pada waktu membicarakan soal orang-orang yang pulang kampung. Kami menertawakan mereka sebagai manusia yang paling aneh di dunia ini. Berjubel dengan kendaraan masing-masing di jalan raya untuk pulang. Rebutan jalan untuk saling mendahului agar cepat-cepat pulang. Mengular berkilo-kilo demi pulang.

Dari fenomena itu, temanku berpikir mengapa begitu mengandalkan Jakarta untuk melanjutkan hidup. Mengapa Jakarta kemudian menjadi simbol dan tujuan akhir hidup. Ya, sekarang ini Jakarta sudah terlampau kecil. Maka, kemudian dia berpikir, ketika sudah selesai menempuh studi dan punya modal, kelak secepatnya pulang dan menetap di daerah kelahirannya. Dia akan menerapkan ilmu yang pelajari selama ini untuk memajukan daerah.

Jakarta memang pusat peradaban di Indonesia. Setelah ilmu pengetahuan dari ibukota dirampok semua, setelah itu dibawa pulang ke kampung dan mengembangkan daerah kelahirannya. Lalu, tidak balik-balik lagi ke Jakarta. Karena daerahnya sebenarnya sangat potensial. Sangat menarik.

Sedangkan aku sendiri berpikir, sekarang ini aku belum akan merasa puas merampas ilmu pengetahuan dari Jakarta. Tapi, setelah cukup belajar dari ibukota ini, aku akan merantau lagi ke luar negeri. Aku akan sekolah di luar sana supaya ilmu pengetahuanku bertambah luas cakupannya. Setelah itu, barulah aku pulang kampung mengikuti jejak kawanku tadi.

Aku berpikir kelak menjadi pengajar di daerahku. Akan kubikin anak-anak daerahku sadar dengan kebebasan pribadinya. Sadar akan betapa pentingnya pendidikan. Dan sadar akan potensi daerahnya. Pendidikan dan potensi daerah. Potensi daerah membutuhkan orang-orang yang terampil agar berkembang. Misalnya terampil mengembangkan peternakan, pertanian, irigasi. Dan kami sama-sama akan menciptakan dunia baru di daerah kami.

Dengan begitu, setelah daerah kami maju. Kami tidak perlu ke Jakarta. Tidak perlu pulang kampung setiap tahun. Cukuplah kami menetap di daerah kami yang maju, tenteram, dan lingkungan hidup terjaga dengan baik. Orang tidak perlu menganggap Jakarta sebagai simbol prestasi hidup lagi.

Sebenarnya aku juga lebih setuju kalau orang-orang daerah yang mudik tadi tidak perlu lagi kembali ke Jakarta. Toh selama menetap di Jakarta mereka sudah cukup punya banyak ilmu dan pengalaman. Mengapa tidak dikembangkan saja di daerah. Mulai dari yang sederhana dulu. Kalau semua berpikir seperti itu, tentu akan maju. Aku jadi berpikir, reaksioner boleh saja, tapi harus reaksioner yang kreatif.

Selama kami reunian, banyak sekali obrolan-obrolan menarik tentang fenomena mudik. Permasalahan dan pemecahannya. Memang intinya adalah modal untuk bisa berkembang di daerah. Tapi aku berpikir, toh, umumnya mereka ke Jakarta juga tidak banyak modal. Mereka, termasuk aku sendiri, berangkat ke Jakarta dengan modal semangat saja.

Aku membayangkan, kalau kemudian semangat seperti itu dibalik. Yaitu semangat untuk memajukan daerah masing-masing.

Yah, kembali pada kebebasan pribadi. Semua orang punya jalan pikiran masing-masing. Dan berhak menentukan akan dikemanakan hidupnya. Apakah hanya diabdikan sepenuh-penuhnya untuk para pemilik modal di Jakarta tanpa mau menyadari eksistensinya.

Hmmm. Tidak ada kesimpulan apapun dalam obrolanku dengan teman-temanku pada waktu libur lebaran ini. Tapi yang menarik ialah eksistensi. Orang mesti sadar dengan keberadannya di dunia. Tanpa kesadaran itu, orang hanya akan hidup mengalir mengikuti apapun yang terjadi saja. Ikut arus kemanapun arus menerjang.

Di salah satu hari lebaran, aku diajak temanku pergi ke Bandung. Tempatnya di Cigeunding. Lingkungannya enak. Posisinya di lereng gunung. Jadi kalau malam, aku bisa melihat kerlap-kerlip lampu rumah penduduk yang terletak di kaki bukit. Dingin sepanjang waktu. Sampai-sampai aku takut mandi.

Kalau malam aku betul-betul menyadari sedang berada di bawah galaksi Bimasakti. Milyaran bintang seperti mengambang di atas kepalaku. Jernih sekali sinarnya. Kejernihan galaksi tempat planet bumi ini mengapung, sama sekali tak dapat kutemukan kalau berada di Jakarta.

Jakarta sudah menjadi kota polusi udara dan cahaya. Dengan begitu, orang tidak dapat menyaksikan alam semesta di sekitar bumi. Orang tidak lagi di posisikan menyadari bahwa manusia ini tinggal di salah satu bongkahan bernama bumi dan di luar bumi ada milyaran bintang. Bayangkan, betapa kecilnya bumi. Betapa tidak berartinya fisik manusia.

Bepergian ke rumah temanku ini memberikan suasana kesunyian. Suasana yang serasa menyadarkan posisiku. Betapa hidup di Jakarta itu manusia hanya ditempatkan pada situasi kesepian. Kesepian di tengah keramaian. Orang ditempatkan pada situasi rutin sehari-hari. Orang tidak lagi menyadari eksistensinya di bumi. Yang ada di kepala hanyalah bekerja, menerima gaji, berbelanja, bermasalah dengan manusia lain. Hanya semacam itulah.

Hidup di Jakarta orang tidak lagi berpikir tentang kebebasan pribadinya. Karena orang sudah dipaksa hidup dalam sistem bisnis. Hidup hanyalah untuk mencari uang, menabung, dan belanja. Pesta-pesta dan pesta. Orang tidak lagi tertarik menyadari dirinya. Misalnya mencoba berhenti dan memikirkan siapa aku, mengapa aku ini, dan apa sih aku di dunia ini.

Ah, mengapa aku jadi menulis yang berat-berat di teks ini. Aku hanya ingin bercerita tentang kesadaran baru bagiku selama aku tidak ikut reaksioner mudik lebaran. Di keluarga temanku di Bandung ini sangat bersahaja. Selama aku di sana, aku selalu bangun siang. Mungkin dalam hati mereka, aku ini anak pemalas. Tapi memang benar, lingkungan yang sangat enak membikin orang malas bangun tidur. Rasanya ingin tidur terus.

Setiap kali bangun tidur, sudah ada teh manis panas di meja makan. Ada makanan yang baru selesai dimasak oleh ibunya temanku. Aku selalu dipaksa untuk ikut makan sebanyak-banyaknya. Mungkin itulah cara mereka menghormati tamu. Mungkin itu cara menunjukkan bahwa keluarga ini keluarga yang bahagia. Atau mungkin mereka kasihan sama aku yang badannya kurus sehingga harus makan yang banyak.

Biasanya setiap kali makan bersama, kami diskusi. Bapaknya temanku itu pensiunan tentara dan beliau taat beragama. Pasti dia bicara soal pengalamannya, mulai dari dipaksanya para tentara untuk mendukung Partai Golkar sewaktu Orde Baru masih berkuasa. Beliau paling suka bicara soal pendidikan.

Bapak itu memang sangat sadar tentang peningkatan sumber daya manusia. Dan sepertinya beliau ini sangat memahami tentang kebebasan pribadi. Buktinya, anaknya boleh kawin sama temanku yang beda agama. Aku bahagia bersama mereka. Aku merasa bebas dan bisa ikut mendebat apapun pendapat bapak temanku itu.

Suatu pagi ibunya temanku menggorengkan buah Sukun. Buah ini tidak dibeli di pasar, melainkan tinggal memetik dari kebun di sebelah rumah. Rasanya enak sewaktu masih panas. Aku bisa makan satu piring buah Sukun yang sudah digoreng itu. Makan gorengan sambil minum teh manis dan diskusi bersama bapaknya temanku yang baik itu.

Dalam hati, aku sangat salut kepada keluarga ini. Mereka ini telaten. Aku mengatakan telaten karena melihat bagaimana mereka memperlakukan air minum teh. Teh itu ditempatkan di teko atau orang di daerahku menyebutnya porong.

Untuk menjaga agar air teh selalu panas, mereka menutupinya dengan alat yang terbuat dari kain tebal. Seharian pun, air teh itu akan selalu dalam keadaan panas. Kami minum teh menggunakan cangkir kecil. Aku mengambil gula sendiri dan menuangkan air teh sendiri. Kami menikmati betul kebersamaan itu. Kami juga diskusi tentang asal muasal teh sampai upacara minum teh di Jepang.

Ini benar-benar lebaran yang sangat menarik dan berhaga bagi kehidupanku. Aku mendapatkan keluarga baru yang sangat bersahaja. Penyuka diskusi, menghargai cara memasak dan makanan, sampai menghormati cara menyajikan air teh. Hal-hal yang sudah tidak terlalu dipedulikan orang-orang yang tinggal di Jakarta.

2 comments:

Hadi Wijaya said...

Bagus banget mas ceritanya.. benar-benar memberi inspirasi dan ikut menyadarkanku akan pentingnya perenungan makna dan tujuan hidup kita di dunia ini..

Sekali lagi bravo.. semoga sukses untuk keinginannya melanjutkan pendidikan di luar negeri. Anda memiliki cita-cita yang sama dengan saya..

Siswanto said...

hehehe. makasih. semoga kamu sukses ya. sama sama sukses selamanya..