Wednesday, December 2, 2009

Hai, Panggil Aku Mo

Suatu sore aku dan temanku Vira main di Taman Ismail Marzuki. Sehabis membeli buku tentang tokoh filsafat, Freud, Sartre, dan ilmu tentang Kosmologi, di toko buku milik Pak Jose Rizal Manua, kami nongkrong di salah satu kafe.

Di sana, tiba-tiba calon dokter gigi dari UI ini mengeluarkan sesuatu yang terbungkus plastik dari dalam tas trendinya. Lalu, dia memberikan sesuatu itu kepadaku. Setelah kuambil dan kulihat, ternyata seekor monyet. Wow lucunyaaa. Eh, tentu saja ini bukan monyet sungguhan, melainkan sebuah boneka.

Bulunya coklat dan sangat tebal. Dan kalau dilihat dari depan, kepala teman baruku ini tampak botak. Dan justru menurutku itulah salah satu letak kelucuannya. Ditambah lagi dia selaaaaaaalu menyunggingkan senyum kepadaku dan tentu saja kepada siapapun yang berjumpa dengannya.

Vira bilang boneka lucu ini mirip seorang fisikawan bernama Albert Einstein. Kok bisa, pikirku. Oh, rupanya karena kepala boneka monyet ini botak, lalu dia membayangkan monyet ini sebagai Einstein. Hahahhaha.

Selesai makan di kafe itu, aku dan Vira nonton film New Moon. Film yang lagi disukai banyak orang sekarang ini. Film yang menjelaskan tentang hakikat cinta. Cinta berarti memahami. Memahami ciri-cirinya ialah memberi kebebasan kepada pasangan. Cinta bukanlah sesuatu yang sudah tersedia dan mereka tinggal menjalaninya. Bukan seperti itu. Menyintai berati kita bekerja. Bertindak untuk mewujudkannya. Dan itu berlangsung sepanjang hidup. Oh cinta. hahaha.. Eh, monyet temanku ikut nonton. Hehehe.

Dia duduk di tengah, di antara kami para manusia. Mungkin dia satu-satunya monyet yang beruntung malam itu. Beberapa orang sepertinya keheranan padaku. Soalnya, aku duduk jejer boneka. Orang melihat ini seperti langsung memikirkan sesuatu. Ya ya ya ya… Tidak mengapa.

Usai nonton film, kami makan, lalu pulang. Vira bilang monyet ini mesti dikasih nama. Mmm. Betul juga, pikirku. Tapi siapa namanya. Vira bilang ya namanya monyet saja. Masa sih namanya monyet saja. Tapi lama-lama kupikir bener juga. Kenapa monyet harus dikasih nama yang aneh-aneh, paijo, paimin, macan, dan lain-lain.

Sepanjang perjalanan pulang, aku mikir-mikir. Kuberi nama apa ya si teman lucuku ini. Ada beberapa pilihan. Tapi lama menentukannya. Sesampai di kos, aku baru memutuskannya. Yah, kuberi dia nama Mo saja. Dua huruf yang kuambil dari kata monyet. Singkat dan lucu.

Yoi, malam itu akhirnya aku punya teman baru di kamar kos. Pada waktu Vira memberiku hadiah boneka ini, dia bilang supaya temanku bukan cuma buku-buku saja. Mesti ada sesuatu yang lain atau yang baru. Hahahah. Sesuatu itu mungkin maksudnya sesuatu yang menawarkan semacam pengetahuan atau pemandangan yang baru sama sekali.

Memang selama ini sama sekali tak pernah terpikir olehku untuk membeli boneka untuk hiburan di kamar kos. Pasti aneh menurut sudut pandang teman-temanku yang main ke tempatku. Mereka akan pikir, wow Sis sudah menjadi pria gemulai. Haghaghag.

Nah, aku juga berpikir bahwa di situlah letak menariknya. Mungkin saja Vira berpikir demikian. Dia sengaja menghadiahiku sebuah boneka sekaligus untuk menantang konsep yang menyebut mainan semacam ini hanyalah untuk anak perempuan. Vira mungkin mau menjelaskan bahwa Boneka adalah mainan yang universal. Benda ini bisa menjadi teman bagi siapapun, pria dan wanita, besar dan kecil.

Bisa jadi Vira juga berpikir begini. Boneka monyet ini hanyalah cara bagi dia untuk berkomunikasi dengan orang lain agar masyarakat lebih tergugah hatinya dan menyayangi satwa. Mungkin Vira termasuk pengagum Ahimsa, ajaran Buddhisme dan Hinduisme, yang berarti manusia tidak boleh melukai, apalagi membunuh makluk hidup. Ajaran itupula yang diikuti oleh Mahatma Gandhi. Gandhi menempuh jalan hidup pelayanan.

Wokay, si Mo. Kau sudah jadi temanku sekarang. Kini kau telah kuberi jiwa. Kau kumonyetkan atau dalam bahasa manusia kau telah dimanusiakan. Aneh kedengarannya. Diberi jiwa. Maksudku, kau kuberi makna sebagai teman.

Mo, kini kau perlu tahu. Viralah yang telah menyelamatkanmu dari pertokoan di Taman Safari, Cisarua, Bogor. Waktu kau masih di sana, pastilah kau hanyalah seonggokan benda yang hanya dimaknai sebagai barang dagangan. Kini, kau dikeluarkan dari sana ketika Vira dan keluarganya berekreasi di tempat asalmu.

Dan kini kau tinggal di tempat yang jauh lebih terhormat yaitu di kosku. Kau kutempatkan di dekat buku-bukuku. Kau tau, bagi manusia, buku adalah salah satu jalan untuk membuka pikiran dan membuka kecerdasan. Walau kau tak membaca, setidaknya kau berada di dekat buku-buku kelas beratku. Hehhe.

Hmmmm… Ngomong-ngomong soal monyet. Ternyata bukan aku saja yang suka monyet. Si Vira pun agaknya suka sekali. Hahaha… Jepret.. jepret… jepret… beberapa foto berhasil diambilnya di Taman Safari sore itu. Bahkan, mungkin saking bangganya, dia memampangnya di facebook.

Dia bercerita telah berhasil menjepret salah satu monyet yang agak kurus ketika mobil yang ditumpanginya dicegat. Ada lagi satu monyet diambil fotonya ketika sedang meminta-minta kepada para pengunjung taman. Okeh.

Kembali pada Si Mo yang manis. Si bulu coklat yang tebal. Kepalanya agak plontos bergaya Einstein. Dia adalah makluk yang kusebut sebagai pemilik senyum abadi. Kusebut demikian karena struktur mukanya memang akan selalu membikin dia tetap ngguyu terhadap apapun yang terjadi.

2 comments:

Anonymom Indonesia said...

Jaga Mo baik2 ya... mandiin klo udah dekil... hehehe

Siswanto said...

hahaha.. hai mamaknya Mo...