Monday, September 28, 2009

Hidup Monoton

Hidup di Jakarta dewasa ini mau tidak mau harus ikut sistem bisnis yang terjadi. Tanpa itu, manusia akan tergilas dan mati. Sistem itu kemudian menciptakan manusia-manusia di ibukota ini hidup berdasarkan hitungan jam.

Manusia di ibukota yang tidak sadar dengan betapa mengerikannya dampak sistem bisnis kemudian memilih hidup mengikuti saja putaran bisnis yang dikembangkan pemodal. Tidak terlampau peduli eksistensi diri. Yang penting hidup bekelebihan.

Kuperhatikan orang-orang di sekelilingku monoton hidupnya. Tidak menarik. Seperti kubilang tadi, cara hidupnya seperti sudah terkunci dengan jam. Bangun tidur. Berangkat bekerja. Sibuk bekerja di kantor. Tidak mampu bicara, selain soal kerjaan. Pulang bekerja. Tidur. Dan seterusnya.

Menurutku, pola hidup semacam itu sangatlah mengerikan betul. Yah, tapi apa mau dikata. Tentu orang-orang macam ini punya argumentasi sendiri. Mungkin saja mereka, aku sendiri, sesungguhnya telah menikmati itu semua. Sistem bisnis. Sistem bisnis.

Lalu aku berpikir cari cara agar tidak terjebak dengan pergulatan dunia semacam itu. Rasanya, sekarang ini aku sudah menemukannya. Caranya, aku harus mampu memahami secara utuh pola hidup yang ditekuni manusia-manusia yang menetap di ibukota ini.

Aku harus mengambil posisi seolah-olah naik helikopter. Ibarat menonton permainan sepak bola. Jadi, kalau aku menyaksikannya dari ketinggian tertentu di atas lapangan, aku dapat mencermati permainan secara utuh dan jelas.

Begitu juga dalam menjalani kehidupan di ibukota ini. Manusia harus mampu memahami berbagai pergulatan dalam posisi itu tadi. Dengan begitu, kita akan lebih menyadari diri kita dan obyek di depan kita. Obyeknya ialah pergulatan manusia-manusia dalam sistem bisnis itu.

Kupikir kenapa orang kemudian orang monoton hidupnya. Kemudian mereka tidak bahagia karena selalu tidak puas dengan jalan hidupnya. Masalahnya ialah mereka tidak mampu mengambil posisi hidup seperti posisi dalam helikopter itu.

Mereka terlalu terikat sistem dan tidak menyadari eksistensinya. Mereka ikut nonton bola, tetapi tidak mampu menikmati permainan secara keseluruhan dan detailnya karena posisi menontonnya berada di pinggir lapangan sepak.

Aku juga berpikir ada baiknya menjadi orang yang mampu menertawakan diri. Menertawakan lingkungan. Dan menertawakan sistem bisnis. Konteks yang kutawarkan ini bukan bermaksud oportunis. Maksudku lebih pada agar kita tidak terjebak.

Yah, aku harus tertawa. Kutertawakan saja manusia-manusia yang tidak mau merenungkan hidupnya itu. Terutama mereka-mereka yang selalu merasa tiada arti dan tiada puasnya dengan pekerjaan. Dan hidupnya monoton. Kutertawakan mereka karena tidak mau menyadari kebebasan pribadinya.

Kebebasan pribadi dalam konteks ini ialah bersedia meluangkan waktu dan merenungkan kehidupan. Lalu memutuskan untuk meningkatkan sumber daya pribadi supaya menjadi luas pikiran dan budinya. Bahwa manusia tidak harus terjebak dalam sistem bisnis.

Manusia tentu saja harus bekerja dalam sistem. Tetapi alangkah menyenangkannya ketika manusia dalam sistem pekerjaan itu mampu mengambil sikap dan menyadari posisinya di dunia. Memahami bahwa kita punya kebebasan pribadi. Misalnya, kebebasan untuk memilih untuk mencapai hidup bahagia.

Orang pada posisi ini, aku yakin mereka tidak akan mudah mengeluh dan menganggap hidupnya tiada arti karena selalu punya pikiran tidak puas. Kalaupun dia tidak puas dengan pekerjaannya dan memang sudah betul-betul mentok, menurutku pilihan mereka kemungkinan besar mengambil studi.

Studi ini terkait erat dengan pengembangan sumber daya pribadi. Manusia akan menjadi lebih percaya diri ketika dengan kebebasannya dia memutuskan untuk keluar dari pekerjaan dan studi. Dalam pikiran mereka, tidak puas dari satu pekerjaan dan memilih pindah ke pekerjaan lain, tentu saja hal itu bukan mencari solusi. Sebab, problem yang sama akan ditemui lagi di tempat baru.

Thursday, September 24, 2009

Cerita Lebaran 2009

Hiruk pikuk orang-orang bicara tentang libur lebaran. Ramai merencanakan pulang kampung. Hingar bingar pusat-pusat belanja oleh orang-orang yang tengah membelanjakan uang sepuas-puasnya. Semua itu atas nama merayakan pesta lebaran.

Aku berpikir, mengapa orang begitu reaksioner. Bahkan, kadang-kadang kusebut tidak rasional. Cenderung foya-foya. Aku membayangkan mereka menabung uang setahun hanya untuk pesta satu hari. Setelah itu barulah tersadar uang telah habis. Lalu bekerja lagi untuk mengumpulkan uang untuk pesta berikutnya. Dan seterusnya.

Aku memutuskan tidak ikut-ikutan reaksioner seperti itu. Lebih baik libur lebaran ini kugunakan dengan caraku. Merenungkan pencapaian-pencapaianku, kegagalanku. Dan merencanakan masa depanku menjadi lebih baik. Caranya, aku tidak ikut pulang kampung untuk mendapatkan rasa sunyi di Jakarta.

Ibu dan adikku tentu merindukan kedatanganku di hari lebaran ini. Tapi, aku bisa menjelaskan kepada mereka tentang keputusanku untuk tidak ikut reaksioner. Lebih baik komunikasi kami lakukan lewat telepon, toh semangat silaturahmi keluarga tetap bisa didapatkan dengan cara itu. Walaupun memang sensasinya berbeda karena tidak bertatap muka dan bertemu fisik.

Selama tidak pulang kampung, aku bertemu dengan teman-teman lama. Dan mendapatkan teman-teman baru. Sambil minum teh panas bersama, kami membuat fenomena mudik lebaran ini menjadi bahan lelucon. Temanku bilang, Jakarta menjadi tenteram karena orang-orang yang selama ini menjadi biang kesemrawutan kini telah pulang ke daerah asal masing-masing.

Jakarta menjadi damai dan tenang selama masa libur lebaran ini. Suasana seperti itu juga yang ingin kurasai. Menikmati Ibukota tanpa kekacauan di mana-mana. Aman dan serasa menjadi pemilik Jakarta. Kemanapun pergi, rasanya lega dan damai.

Memang ada perasaan sepi ketika tiba-tiba Jakarta menjadi lengang. Tapi rasa sepi itu justru membuatku optimis. Bersemangat karena aku bisa menikmati apa yang tidak dipilih mayoritas orang. Mereka lebih memilih reaksioner dengan hiruk pikuk pulang, sementara aku bisa menikmati kesunyian.

Kadang kami nakal juga pada waktu membicarakan soal orang-orang yang pulang kampung. Kami menertawakan mereka sebagai manusia yang paling aneh di dunia ini. Berjubel dengan kendaraan masing-masing di jalan raya untuk pulang. Rebutan jalan untuk saling mendahului agar cepat-cepat pulang. Mengular berkilo-kilo demi pulang.

Dari fenomena itu, temanku berpikir mengapa begitu mengandalkan Jakarta untuk melanjutkan hidup. Mengapa Jakarta kemudian menjadi simbol dan tujuan akhir hidup. Ya, sekarang ini Jakarta sudah terlampau kecil. Maka, kemudian dia berpikir, ketika sudah selesai menempuh studi dan punya modal, kelak secepatnya pulang dan menetap di daerah kelahirannya. Dia akan menerapkan ilmu yang pelajari selama ini untuk memajukan daerah.

Jakarta memang pusat peradaban di Indonesia. Setelah ilmu pengetahuan dari ibukota dirampok semua, setelah itu dibawa pulang ke kampung dan mengembangkan daerah kelahirannya. Lalu, tidak balik-balik lagi ke Jakarta. Karena daerahnya sebenarnya sangat potensial. Sangat menarik.

Sedangkan aku sendiri berpikir, sekarang ini aku belum akan merasa puas merampas ilmu pengetahuan dari Jakarta. Tapi, setelah cukup belajar dari ibukota ini, aku akan merantau lagi ke luar negeri. Aku akan sekolah di luar sana supaya ilmu pengetahuanku bertambah luas cakupannya. Setelah itu, barulah aku pulang kampung mengikuti jejak kawanku tadi.

Aku berpikir kelak menjadi pengajar di daerahku. Akan kubikin anak-anak daerahku sadar dengan kebebasan pribadinya. Sadar akan betapa pentingnya pendidikan. Dan sadar akan potensi daerahnya. Pendidikan dan potensi daerah. Potensi daerah membutuhkan orang-orang yang terampil agar berkembang. Misalnya terampil mengembangkan peternakan, pertanian, irigasi. Dan kami sama-sama akan menciptakan dunia baru di daerah kami.

Dengan begitu, setelah daerah kami maju. Kami tidak perlu ke Jakarta. Tidak perlu pulang kampung setiap tahun. Cukuplah kami menetap di daerah kami yang maju, tenteram, dan lingkungan hidup terjaga dengan baik. Orang tidak perlu menganggap Jakarta sebagai simbol prestasi hidup lagi.

Sebenarnya aku juga lebih setuju kalau orang-orang daerah yang mudik tadi tidak perlu lagi kembali ke Jakarta. Toh selama menetap di Jakarta mereka sudah cukup punya banyak ilmu dan pengalaman. Mengapa tidak dikembangkan saja di daerah. Mulai dari yang sederhana dulu. Kalau semua berpikir seperti itu, tentu akan maju. Aku jadi berpikir, reaksioner boleh saja, tapi harus reaksioner yang kreatif.

Selama kami reunian, banyak sekali obrolan-obrolan menarik tentang fenomena mudik. Permasalahan dan pemecahannya. Memang intinya adalah modal untuk bisa berkembang di daerah. Tapi aku berpikir, toh, umumnya mereka ke Jakarta juga tidak banyak modal. Mereka, termasuk aku sendiri, berangkat ke Jakarta dengan modal semangat saja.

Aku membayangkan, kalau kemudian semangat seperti itu dibalik. Yaitu semangat untuk memajukan daerah masing-masing.

Yah, kembali pada kebebasan pribadi. Semua orang punya jalan pikiran masing-masing. Dan berhak menentukan akan dikemanakan hidupnya. Apakah hanya diabdikan sepenuh-penuhnya untuk para pemilik modal di Jakarta tanpa mau menyadari eksistensinya.

Hmmm. Tidak ada kesimpulan apapun dalam obrolanku dengan teman-temanku pada waktu libur lebaran ini. Tapi yang menarik ialah eksistensi. Orang mesti sadar dengan keberadannya di dunia. Tanpa kesadaran itu, orang hanya akan hidup mengalir mengikuti apapun yang terjadi saja. Ikut arus kemanapun arus menerjang.

Di salah satu hari lebaran, aku diajak temanku pergi ke Bandung. Tempatnya di Cigeunding. Lingkungannya enak. Posisinya di lereng gunung. Jadi kalau malam, aku bisa melihat kerlap-kerlip lampu rumah penduduk yang terletak di kaki bukit. Dingin sepanjang waktu. Sampai-sampai aku takut mandi.

Kalau malam aku betul-betul menyadari sedang berada di bawah galaksi Bimasakti. Milyaran bintang seperti mengambang di atas kepalaku. Jernih sekali sinarnya. Kejernihan galaksi tempat planet bumi ini mengapung, sama sekali tak dapat kutemukan kalau berada di Jakarta.

Jakarta sudah menjadi kota polusi udara dan cahaya. Dengan begitu, orang tidak dapat menyaksikan alam semesta di sekitar bumi. Orang tidak lagi di posisikan menyadari bahwa manusia ini tinggal di salah satu bongkahan bernama bumi dan di luar bumi ada milyaran bintang. Bayangkan, betapa kecilnya bumi. Betapa tidak berartinya fisik manusia.

Bepergian ke rumah temanku ini memberikan suasana kesunyian. Suasana yang serasa menyadarkan posisiku. Betapa hidup di Jakarta itu manusia hanya ditempatkan pada situasi kesepian. Kesepian di tengah keramaian. Orang ditempatkan pada situasi rutin sehari-hari. Orang tidak lagi menyadari eksistensinya di bumi. Yang ada di kepala hanyalah bekerja, menerima gaji, berbelanja, bermasalah dengan manusia lain. Hanya semacam itulah.

Hidup di Jakarta orang tidak lagi berpikir tentang kebebasan pribadinya. Karena orang sudah dipaksa hidup dalam sistem bisnis. Hidup hanyalah untuk mencari uang, menabung, dan belanja. Pesta-pesta dan pesta. Orang tidak lagi tertarik menyadari dirinya. Misalnya mencoba berhenti dan memikirkan siapa aku, mengapa aku ini, dan apa sih aku di dunia ini.

Ah, mengapa aku jadi menulis yang berat-berat di teks ini. Aku hanya ingin bercerita tentang kesadaran baru bagiku selama aku tidak ikut reaksioner mudik lebaran. Di keluarga temanku di Bandung ini sangat bersahaja. Selama aku di sana, aku selalu bangun siang. Mungkin dalam hati mereka, aku ini anak pemalas. Tapi memang benar, lingkungan yang sangat enak membikin orang malas bangun tidur. Rasanya ingin tidur terus.

Setiap kali bangun tidur, sudah ada teh manis panas di meja makan. Ada makanan yang baru selesai dimasak oleh ibunya temanku. Aku selalu dipaksa untuk ikut makan sebanyak-banyaknya. Mungkin itulah cara mereka menghormati tamu. Mungkin itu cara menunjukkan bahwa keluarga ini keluarga yang bahagia. Atau mungkin mereka kasihan sama aku yang badannya kurus sehingga harus makan yang banyak.

Biasanya setiap kali makan bersama, kami diskusi. Bapaknya temanku itu pensiunan tentara dan beliau taat beragama. Pasti dia bicara soal pengalamannya, mulai dari dipaksanya para tentara untuk mendukung Partai Golkar sewaktu Orde Baru masih berkuasa. Beliau paling suka bicara soal pendidikan.

Bapak itu memang sangat sadar tentang peningkatan sumber daya manusia. Dan sepertinya beliau ini sangat memahami tentang kebebasan pribadi. Buktinya, anaknya boleh kawin sama temanku yang beda agama. Aku bahagia bersama mereka. Aku merasa bebas dan bisa ikut mendebat apapun pendapat bapak temanku itu.

Suatu pagi ibunya temanku menggorengkan buah Sukun. Buah ini tidak dibeli di pasar, melainkan tinggal memetik dari kebun di sebelah rumah. Rasanya enak sewaktu masih panas. Aku bisa makan satu piring buah Sukun yang sudah digoreng itu. Makan gorengan sambil minum teh manis dan diskusi bersama bapaknya temanku yang baik itu.

Dalam hati, aku sangat salut kepada keluarga ini. Mereka ini telaten. Aku mengatakan telaten karena melihat bagaimana mereka memperlakukan air minum teh. Teh itu ditempatkan di teko atau orang di daerahku menyebutnya porong.

Untuk menjaga agar air teh selalu panas, mereka menutupinya dengan alat yang terbuat dari kain tebal. Seharian pun, air teh itu akan selalu dalam keadaan panas. Kami minum teh menggunakan cangkir kecil. Aku mengambil gula sendiri dan menuangkan air teh sendiri. Kami menikmati betul kebersamaan itu. Kami juga diskusi tentang asal muasal teh sampai upacara minum teh di Jepang.

Ini benar-benar lebaran yang sangat menarik dan berhaga bagi kehidupanku. Aku mendapatkan keluarga baru yang sangat bersahaja. Penyuka diskusi, menghargai cara memasak dan makanan, sampai menghormati cara menyajikan air teh. Hal-hal yang sudah tidak terlalu dipedulikan orang-orang yang tinggal di Jakarta.

Selamat Bergabung di Bumi Adik Kecil

Aku senang juga mendengar kabar kakak dari Miss Curcol sukses melahirkan. Katanya, dia melahirkan di salah satu rumah sakit di Jakarta. Walau tidak berada di sana, aku sudah bisa membayangkan betapa bahagianya mereka pada waktu itu, hari-hari ini, dan masa mendatang.

Kehadiran manusia baru di tengah keluarga. Betapa tidak senang. Sembilan bulan lamanya hidup menunggu-nunggu dan pada akhirnya yang mereka nantikan itu lahir juga. Mungkin tangisan pertama anak itu bagi mereka seperti gelegar suara yang menggetarkan hati lalu menjelma menjadi kebahagiaan tiada tara.

Selamat ya Miss Curcol. Aku ikut senang mendengar kamu mengabarkan berita kegembiraan itu. Apalagi ini masih hari lebaran. Hari dimana bagi umat muslim dianggap sebagai hari kemenangan. Hari penuh kesenangan. Kemudian disusul lagi kehadiran si kecil yang tiba-tiba dimunculkan di antara keluargamu.

Ini sudah pasti kado istimewa. Aku punya beberapa teman baik. Yang satu kakaknya Yosephine, mantan pacarku. Kemudian Suska-Blues, teman wartawan di Suara Merdeka. Ketiga, Mbak Yuli, teman wartawan Pos Kota yang sudah kuanggap sebagai kakakku sendiri.

Mereka sudah berkeluarga cukup lama. Bahkan Mbak Yuli itu sudah bertahun-tahun lamanya, mereka mendambakan kelahiran anak. Tapi hingga sekarang, mereka belum juga bisa mengandung bayi. Rupa-rupa cara mereka tempuh supaya bisa punya anak. Tapi belum juga dikaruniai apa yang mereka sangat inginkan di dunia ini.

Aku ingat usaha Mbak Yuli yang pernah diceritakannya secara khusus kepadaku beberapa tahun silam. Dia mengadopsi bayi dari seorang ibu dari keluarga miskin. Dia hampir gagal. Tapi akhirnya berhasil juga. Dia sangat bahagia. Sangat-sangat bergembira. Dan hidupnya penuh warna setelah bisa menggendong dan menyayangi bayinya.

Bayi itu kemudian sakit. Mbak Yuli tentu tidak tinggal diam. Dia ingin bayi ini sehat dan apapun dia lakukan untuk itu. Tapi cerita berkata lain. Bayi itu meninggal dalam pelukannya. Padahal, belum genap setahun dia merawat bayinya.

Dia sangat sedih. Dia sampai mengalami semacam luka jiwa dan penyelasan. Kehilangan yang amat sangat. Foto bayi itu dia bawa kemana-mana. Bahkan pada waktu dia menceritakan pengalaman kejatuhan jiwanya, dia memperlihatkan foto jenazah bayi yang sangat sangat dia sayangi itu padaku.

Maka itu, aku senang dengan kabar Miss Curcol. Adikmu harus dijaga baik-baik. Diberikan sarana kehidupan yang baik sehingga pertumbuhan fisik dan jiwanya kuat. Dalam masa pertumbuhan, berikanlah anak itu kebebasan dan janganlah dikekang dengan banyak aturan main manusia dewasa.

Aku setuju dengan pemberian pendidikan dan pengawalan etika kepada anak. Tapi, aku tidak setuju ketika anak terlalu dikotak-kotakkan dengan pengalaman-pengalaman orang tuanya. Aku lebih setuju, biarkanlah anak berkembang dengan kebebasan pribadinya. Sepanjang kebebasan itu merupakan kebebasan yang mempertimbangkan kebebasan orang lain di dunia ini.

Bayi lahir dengan kekosongan. Tuhan tidak bekerja lagi setelah itu. Misalnya Tuhan mentakdirkannya ini itu. Menurutku itu tidak betul. Bayitu kelak akan bertanggung jawab dengan kehidupannya sendiri. Dan dia akan mengisi kekosongan itu dengan kemampuannya. Orang dewasa tugasnya mendukung, bukan memberi aturan main yang dapat menghambat kebebasan anak.

Tentu saja akan ada orang yang protes tentang cara berpikirku tentang kebebasan anak. Tapi aku punya pengalaman di masa kecil yang buruk soal itu. Aku pernah jadi anak kecil yang hidup penuh kesunyian dan kesepian. Itu semua karena aturan main orang dewasa yang sebenarnya kutolak. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa karena aku kecil.

Miss Curcol tidak banya cerita soal adik kesayangannya ini. Dia hanya bilang adiknya lahir dengan selamat dan sehat. Itu juga karena kutanya. Tapi aku paham, mungkin dia lagi senang atau lagi sibuk sekali di rumah sakit sehingga tidak punya waktu bercerita lebih banyak sehingga aku punya gambaran utuh tentang adiknya.

Selamat bergabung dengan kami adik kecil. Adik akan menetap di bumi. Kita akan tinggal di salah satu planet dalam galaksi Bimasakti ini. Adik perlu tahu, posisi bumi kita ini ibarat sebutir pasir di pesisir pantai. Bumi kita ini hanyalah satu benda di antara miliyaran benda yang berada di Bimasakti.

Dan di alam semesta yang sampai sekarang ini belum ada manusia yang tahu batasannya itu, ada jutaan galaksi semacam galaksi tempat bumi kita ini mengambang. Membayangkan betapa sangat kecilnya manusia kita ini di galaksi ini, maka adik harus menjadi manusia yang bijaksana. Betapa kecil dan tidak banyak daya yang kita miliki, maka kita harus pintar dan menyintai alam.

Friday, September 11, 2009

Kesendirian

Aku berpikir momentum terbaik untuk meningkatkan hidupku di dunia ialah ketika sedang sendiri. Ketika sadar sedang menyendiri dibalik hiruk pikuk manusia, aku menemukan kebebasan. Bebas untuk berpikir. Berpikir tentang apapun yang sudah kucapai, sedang kucapai, dan apa yang sedang ingin kucapai.

Sendirian berarti aku bebas menempatkan posisiku. Apakah aku berfungsi sebagai manusia ataukah sama sekali tidak mampu berfungsi. Aku juga bebas menilai bagaimana pencapaian kehidupanku selama ini. Aku benar-benar dalam situasi bebas untuk apakah membuang masa lalu atau tidak.

Dalam kesendirian itu, aku bebas menentukan bagaimana posisiku sebagai manusia di sekarang atau masa depan. Aku juga bebas untuk malas. Karena malas adalah hakku. Malas untuk meningkatkan kualitasku posisi hidupku sekarang atau masa depan.

Tentu saja hal yang paling menarik ialah ketika aku sadar bahwa aku harus merancang masa depanku. Masa depan yang tidak sebatas hidup hidupan. Tidak sekedar mengalir seperti air sungai. Tetapi punya sikap hidup yang tegas.

Menyendiri itu nikmat sekali. Senikmat orang-orang yang berdiskusi sambil minum kopi di sebuah kafe. Aku dapat mengekpresikan jiwaku sesuai kehendakku. Kehedak untuk mengarahkan bagaimana bersikap dan bertindak.

Melalui sendirian, aku dapat melenyapkan orang lain dari kehidupanku. Dan tinggalah aku sendiri dalam dunia ini. Dunia dimana tidak ada lagi campur tangan orang lain. Tanpa mata orang lain. Tanpa suara orang lain. Tanpa penilaian-penilaian orang lain.

Atau sebaliknya, aku bisa menghadirkan orang lain dalam kehidupanku. Dan dapat menulis tentang mereka sekehendak hatiku. Karena sendirian adalah kebebasan, maka aku bisa membentuk orang lain, mempermainkan orang lain, dalam imajinasiku.
Sendiri dalam konteks kebebasan pribadi adalah kesempatan yang paling mahal dalam kehidupan di Jakarta.

Sunday, September 6, 2009

Mengapa Berkerudung

Phasmina putih. Itu Miss Curcol kenakan hari itu. Kainnya dia gunakan untuk menutup pundak sampai lengan. Tadinya kupikir phasmina yang dia pakai itu adalah kerudung. Kain yang biasa dipakai untuk menunjukkan identitas sebagai seorang muslimah.

Pada waktu masih berpikir bahwa kain putih itu adalah kerudung, aku bertanya-tanya dalam hati sambil bekerja sore itu. Mengapa dia tidak mengenakan kerudung itu. Bukankah dengan berkerudung, dia akan menciptakan kondisi dimana timbul perasaan sangat dekat dengan tuhan. Bukankah dia taat beragama.

Ataukah dia menganggap kerudung merupakan benda yang bakal membatasi kebebasan berekspresi. Kerudung tidak penting karena hanya mengurangi mode dan identitas sebagai perempuan modern jaman ini. Mungkinkah dia punya alasan semacam itu sehingga memutuskan tidak mengenakan kerudung itu.

Kupikir-pikir daripada aku sibuk mempertanyakan dalam hati, lebih baik kutanyakan langsung kepada Miss Curcol. Tapi dia masih sibuk sekali bekerja. Berjalan ke sana, berjalan ke sini. Aku jadi ingat waktu aku menjuluki dia sebagai Miss Setrika. Sebab, cara bekerjanya seperti alat penghalus pakaian.

Begitu dia duduk di depan komputer, entah waktu itu dia sedang menghitung angka-angka atau tidak, aku pertanyakan soal kerudung itu lewat YM. Dia menjawab dan barulah kuketahui bahwa yang dikenakannya itu sesungguhnya phasmina.

Dia mengenakan phasmina untuk membantunya mendapatkan suasana kehangatan di waktu kedinginan akibat air conditioner yang sangat dingin di kantor kami. Phasmina memang bentuknya mirip kerudung. Kain ini memang lebih tepat dipakai untuk bergaya atau meningkatkan estetika pemakainya. Jaman sekarang ini, penampilan memang menjadi tolak ukur kesuksesan. Miss Curcol ini termasuk penyuka penampilan trendi. Sehari-hari dia selalu tampil modis. Menarik sekali.

Kalau begitu tidak perlu kuperdebatkan lagi mengenai alasan dia tidak memakai phasmina cantik itu di rambut berukir Miss Curcol. Sebab, tentu saja tidak tepat. Tidak sesuai asas fungsi. Phasmina bukan untuk alat berkerudung.

Tapi, bagaimana tentang ide berkerudung. Kutanyakan itu kepadanya. Dan dia mengakui bahwa berjilbab bukanlah sekedar cara menunjukkan identitas sebagai muslimah. Nilainya labih dari itu. Berkerudung punya tujuan untuk mendekatkan diri kepada suasana religious dalam kehidupan Islam. Selain itu, memang ada anjuran bagi muslimah untuk mengenakannya. Ini dicontohkan oleh kehidupan para istri nabi dan sahabat-sahabatnya.

Memilih jalan hidup dengan mengenakan kerudung bukanlah suatu keputusan yang mudah. boleh dibilang sangatlah serius. Sebab, ketika seseorang menetapkan untuk berkerudung, maka dia harus menemukan kesadaran akan kebebasannya untuk berjalan di rel rohani.

Tetapi, pengetahuan soal makna berkudung saja tidak cukup. Sebab keputusan mengenakan jilbab juga membutuhkan suatu keikhlasan dan komitmen lahir dan batin. Kira-kira begitu pemikiran Miss Curcol yang diungkapkan kepadaku.

Aku masih penasaran dengan pikirannya. Dia bilang kesadaran saja belum cukup, sebab masih dibutuhkan keikhlasan dan komitmen. Apa maksudnya. Menurutku, ketika orang sudah mencapai tahap kesadaran untuk berkerudung, berarti sesungguhnya sudah final.
Bukankah pengertian kesadaran itu sebagai keadaan dimana seseorang sudah sampai tingkat mengerti dan memahami hal-hal yang dialaminya. Dalam konteks berkerudung ini, berarti keiklasan dan komitmen berada di dalam kesadaran itu sendiri.

Miss Curcol menjelaskan tentang komitmen dan keikhlasan. Memutuskan hidup berkerudung berarti harus rela meninggalkan sebagian kenikmatan dan keindahan duniawi. Contoh sederhananya bercelana dan berkaus ketat yang sedang digandrungi sebagian perempuan-perempuan pada jaman ini.

Selain itu, banyak jebakan prilaku sehari-hari yang kemudian tidak mencerminkan lagi kekerudungannya. Seperti merokok dan lain sebagainya.

Dia takut, kalau orang belum sampai tahap kerelaan meninggalkan hal-hal semacam itu, maka di tengah jalan akan menyesal seumur hidup telah mengenakan kerudung. Itulah inti pikiran Miss Curcol tentang keikhlasan dan komitmen itu.

Kutanya lagi. Miss Curcol sudah tahu makna dan tujuan sekaligus resiko-resikonya. Dan Miss Curcol adalah muslim yang taat. Mengapa tidak berjilbab. Dia menegaskan bahwa memegang komitmen itu super berat. Mengapa orang harus memaksa, kalau memang secara sadar dia belum siap.

Baiklah. Aku mulai memahami bahwa memutuskan mengenakan kerudung yang sederhana itu, memang membutuhkan niat yang sungguh-sungguh. Membutuhkan perenungan yang mendalam. Membutuhkan niat lahir dan bathin. Keiklasan dan komitmen.

Sebab, dewasa ini banyak orang tidak menaruh rasa simpati kepada sebagian perempuan berkerudung. Sebab, motivasi mereka mengenakan kerudung dinilai hanyalah untuk gaya-gayaan dan tidak konsisten. Bahkan tidak tahu tujuan awal dari berkerudung.

Misalnya, kerudung didesain sedemikian rupa mengikui mode yang sedang panas dewasa ini. rambutnya berkerudung, tetapi pakaian padanannya sangat ketat. Fisiknya menyembul ke sana dan ke sini. Itu memang ekspresi dari rasa seni dan kebebasan. Tidak ada yang bisa melarang dan membatasi.

Hmmm, tapi menurutku, realitas itu sama sekali berlawanan dengan pikiran Miss Curcol yang mengatakan bahwa tujuannya berkedurung ialah untuk menutupi aurat. Selain itu, meningkatkan kualitas keimanan di mata tuhan.

Thursday, September 3, 2009

Sensasi Menjelang Kematian di Lantai 31

Langit di Ibukota Jakarta berawan. Awannya seolah ingin memeluk erat gedung-gedung pencakar langit yang berdiri tegak di segala penjuru pusat peradaban Indonesia ini.

Di kantor redaksiku, vivanews.com, lantai 31. Teman-temanku asyik menulis berita. Sesekali kami bercanda. Mbak-mbak di ujung sana sibuk mengerjakan keuangan kantor. Sedangkan mbak-mbak di sebelah sana lagi terdengar tertawa-tawa sambil membicarakan buka puasa yang tinggal tiga jam lagi.

Ketenteraman hilang ketika memasuki pukul 14.55 WIB. Aku merasakan tempat dudukku bergoyang pelan sekali. Tapi, goyangannya terus-terusan. Aku sadar gempa sedang terjadi. Lama-lama getarannya makin terasa. Badanku sampai ikut goyang sana-goyang sini seperti sedang berayun-ayunan di taman.

Penutup dinding kaca seperti dihempas angin ke sana kemari. Gemeretak plafon dan kaca-kaca dinding kantorku terdengar makin keras. Tidak lama kemudian, puluhan karyawan, baik dari vivanews dan antv, bergerak buru-buru menuju pintu darurat. Pintu darurat itu tepat berada di belakang meja kerjaku.

Kepanikan mulai terjadi ketika pengelola gedung melalui pengeras suara mengingatkan gempa sedang menghajar gedung ini. Kami dipandu untuk tenang dan bergerak menyelamatkan diri melalui tangga darurat. Wajah-wajah pegawai-pegawai kulihat pucat-pucat.

Suasana tiba-tiba berubah menjadi tegang ketika sirine tanda bahaya dibunyikan pengelola gedung. Ada yang lari tunggang langgang. Ada yang berjalan cepat-cepat menuju pintu darurat. Ada yang berteriak agar berjalan lebih cepat karena gedung berlantai 35 ini benar-benar sedang bergetar hebat.

Aku berdiri dan aku mencoba jalan. Hampir-hampir terjatuh. Kulihat gedung-gedung pencakar langit di luar sana, masih tetap kokoh. Tidak ada yang roboh. Berarti gempa ini pasti tidak akan merobohkan gedung tempat kerjaku.

Aku memutuskan tidak ikut turun lewat tangga darurat. Aku kembali duduk di kursi kerjaku. Sirine membikin suasana menjadi panik. Apalagi peringatan dari pengelola gedung yang disampaikan berkali-kali bahwa lift sudah dimatikan.

Waktu itu, beberapa temanku ikut memutuskan untuk tidak ikut turun. Kami memutuskan untuk membikin berita peristiwa gempa ini. Kami media online, tentu kami tidak boleh kehilangan momentum. Walau ini merupakan keputusan yang sangat konyol.

Ya ampun. goyangan ini tidak juga berhenti. Malah terasa makin menghebat. Ayunannya makin jauh. Gemeretak gedung yang seluruhnya berdinding kaca ini sangat keras. Makin keras. Aku menekan meja kerjaku agar tidak pusing.

“Hayo, berhentilah gempa. Berhentilah. Pasti ini tidak akan lama. Tidak akan lama dan semuanya akan baik-baik saja,” pikirku. Aku melihat wajah teman-temanku mulai pucat pasi di depanku.

Radio pemberitaan Elshinta mulai menyiarkan peristiwa alam ini. Televisi tvone juga mulai membuat siaran langsung tentang gempa ini. Gempa berkekuatan 7,3 SR mengguncang. Gempa ini tergolong sangat kuat. Pusat gempa berada di Tasikmalaya. Dan berpotensi tsunami.

Aku makin panik ketika radio menyiarkan gempa yang masih kurasakan ini ternyata membuat kerusakan infrastruktur publik di Tasikmalaya dan Garut. Gempa juga dirasakan di Jabodetabek, bahkan Yogyakarta dan Bali ikut merasakannya. Aku mulai membayangkan, sebentar lagi gedung tempatku duduk ini akan rusak. Akan pecah dan kami tumpah ke permukaan bumi dari lantai 31.

Getaran terasa kuat pada waktu aku mendengar siaran radio itu. Sial. Gempa ini tidak juga berhenti. Kalau ini tidak berhenti, sebentar lagi aku pasti mati. Pengelola gedung kembali mengingatkan penghuni gedung ini yang masih bertahan di lantai masing-masing agar bersembunyi di bawah meja dan menjauh dari dinding kaca.

Brengsek. Sebentar lagi pasti gedung ini akan miring atau ambles. Kalaupun aku memutuskan lari lewat tangga darurat, pasti aku tidak akan berhasil mencapai tanah. Aku akan mati terjepit reruntuhan gedung. Kemudian, aku memutuskan untuk tenang dan bertahan di depan komputer.

Pada titik itu, kemudian aku memilih untuk disana agar dapat merasakan fantasi menjelang kematian. Aku ingin membuat sebuah penjelasan tentang proses menjelang tutup usia lewat cerita. Itu kalau aku berhasil hidup dengan melewati gempa ini. Tapi, kalau sore ini aku harus mati, sudahlah, ini pasti memang jalan hidupku.

Kemudian, aku membayangkan tentang batas akhir kehidupanku. Inilah detik-detik menuju penjemputan jiwaku. Dinding beton. Konstruksi baja gedung ini akan segera menimpaku. Akan menjepitku sampai remuk. Tulang-tulangku hancur. Kemudian darahku keluar semua.

Tidak ada yang tahu proses kematianku, kecuali aku sendiri yang merasakannya. Kepanikan, ketegangan, sekaligus rasa penasaran untuk merasakan sensasi menjelang kematian kuresapi benar. Nenekku, ibukku, adikku di Jawa Tengah, kemungkinan juga merasakan gempa ini. Dan mungkin saja mereka sempat berpikir tentangku di Jakarta.

Mungkin mereka akan segera tahu kabarku setelah aku mati. Dan mereka tidak akan bertemu denganku lagi karena aku sudah mati. Mereka tentu merindukanku. Aku juga demikian. Aku akan melihat mereka dari duniaku yang lain. Aku hanya bisa melihat, tapi tidak bisa berjabat tangan atau berbicara.

Aku mengatakan kepada diriku, beruntunglah pegawai-pegawai tadi yang berhasil mencapai tanah di bawah sana. Mereka pasti akan melihat dengan sangat jelas proses runtuhnya gedung 35 lantai ini dari kejauhan. Mereka mungkin akan histeris. Kaca-kaca berhamburan. Baja mencuat kemana-mana dan terlontar ke tanah. Tapi kalian berhasil mempertahankan hidup.

Kukatakan pada diriku lagi, sekarang ini, aku masih berada di lantai 31. Waktu gedung yang kalian lihat sedang hancur itu, aku meregang nyawa dengan teman-temanku di sini. Mau lompat seperti seorang pegawai yang loncat dari gedung WTC yang dibom teroris itu. Mustahil. Tentu aku tidak akan melakukan aksi konyol itu. Karena sama akan mati.

Tiba-tiba aku disadarkan dari bayangan akan kematian itu oleh suara radio dan televisi yang dengan ramai menginformasikan kepanikan yang penduduk di sejumlah tempat akibat gempa yang pada saat bersamaan sedang kurasakan ini.

Ya ampun. Aku sudah tidak rasional. Tidak. Aku tidak mau terjebak pada imajinasi. Sekarang ini aku masih hidup. Aku berusaha berpikir rasional. Aku masih di lantai 31. Memang ratusan pegawai gedung ini sekarang ini tentu sudah di bawah sana. Mereka melihat ke arah gedung yang sedang dihajar gempa ini.

Ketidakrasionalanku ini hanya karena melihat suasana yang sama sekali baru. Dua orang temanku yang masih bertahan di lantai 31 ini terlihat sangat tidak bahagia. Panik. Tapi mereka pasti sedang hidup dalam dunia kepasrahan di tengah-tengah gempa yang menggoyang gedung.

Tapi pintu kematian itu rasanya telah mengalahkan rasionalitasku. Yang ada adalah ketegangan luar biasa. Getaran hebat di gedung ini seperti meruntuhkan kesadaranku. Gempa ini benar-benar menghancurkan kebebasanku sebagai manusia.

Aku sepertinya tidak diberi pilihan untuk meneruskan kehidupanku. Aku hanya punya satu pilihan. Duduk di kursiku. Menanti kehancuran dan kematian. Sementara orang-orang menonton gedung ini yang bergoyang-goyang dari tanah di kejauhan sana.

Kekosongan sepertinya sudah di depan mataku. Tidak ada kehidupan. Aku seperti akan segera terlepas dari dunia tempatku bertahan sejak aku dikeluarkan dari rahim ibuku. Sepertinya aku sedang tersedot ke dalam dunia gelap. Getaran di lantai 31 seperti ingin mendorong kesadaranku ke sebuah gua yang sangat dalam, tanpa batas, dan tanpa dasar. Mati.

Detik-detik puncak gempa membuatku sangat pusing. Mulas. Tapi aku tidak pingsan. Inilah situasi ketika kebebasan manusia untuk mendapatkan kebahagiaan direnggut. Kebebasan untuk bisa berjalan-jalan dengan rasa aman, kebebasan untuk tersenyum bahagia direnggut. Kebebasan untuk bertemu lagi dengan orang-orang yang dicintai dihabisi.

Kesadaranku atas kebebasanku sekarang ini hanya tinggal untuk melihat, mendengar, dan merasakan gemeretak gedung kaca ini. Betapa tidak. Apa lagi yang dapat kuperbuat lagi selain itu. Aku berpikir untuk menuliskan kata-kata cinta terakhir kepada orang-orang yang kusayangi dalam hidupku lewat facebook, yahoo messanger, email, dari jaringan internet yang masih aktif ini. Jaringan teleponku sekarang ini sudah mati.

Di perbatasan antara kehidupan dan kematian, aku sempat berpikir. Yah, internet ini merupakan jalan satu-satunya yang diberikan oleh teknologi ciptaan manusia untuk berkomunikasi yang terakhir kalinya dengan dunia di luar gedung yang segera roboh ini.

Lewat YM, aku juga kepikiran ingin menulis kata-kata terakhir kepada Miss Curcol. Aku ingin mengakui bahwa selama ini sesungguhnya aku sangat menyukainya. Tetapi, karena aku berpikir bahwa dia sedang menyayangi orang lain, maka aku mengurungkan niat untuk menulis pesan itu kepada Miss Curcol.

Aku berkata pada diriku, Miss Curcol beruntunglah kau sekarang ini berada di luar lantai 31 gedung yang sedang berayun-ayun ini. Gedung yang sekarang ini ingin mengantarkanku ke suatu suasana yang berada di luar duniamu. Gedung yang penuh suara gemeretak dan jendelanya bergerak seperti dihempas angin keras.

Rasanya aku ingin melihat foto Miss Curcol. Aku membuka facebooknya sebentar. Aku berkata kepada diriku sendiri, beruntunglah aku ketika sedang berangkat ke kematian, aku masih berkesempatan melihat orang yang kusukai.

Aku berpikir bahwa beruntunglah aku bahwa aku masih sadar sedang berjalan meninggalkan dunia manusia, dunia yang memberikan Miss Curcol kehidupan. Dunia tempat di mana manusia bisa berpikir dan bebas berkreasi serta mencari eksistensinya.

Aku tersadar kembali dari imajinasiku. Aku berusaha tetap rasional. Aku pasti hidup. Adakah bukti bahwa gempa sialan ini akan mengantarkanku ke kematian. Bukankah imajinasiku ini hanya dilandasi suatu kesadaran tertentu yang sama sekali baru. Tapi aku harus sadar juga bahwa kesadaran akan kematian bukan berarti aku segera akan mati.

Seiring dengan kembalinya rasionalitasku, getaran gempa melemah. Melemah dan akhirnya berhenti. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika mengumumkan bahwa meski masih ada gempa susulan, tapi kekuatannya makin rendah. Akhirnya gedung kantorku berhenti bergetar. Semuanya masih utuh.

Pintu kematian tiba-tiba tertutup rapat. Aku dilarang untuk mengetahui dibalik pintu kematian itu. Aku hanya diberi kesempatan sedikit mendekatinya, dan tidak mampu mengetahui lebih banyak.

Gempa itu hanya terjadi sekitar 3-5 menit. Tapi rasanya seperti berjam-jam. Ketegangan dan penasaran terhadap bagaimana rasanya menghadapi detik-detik membuat ketakutan bercampur kebanggaan. Ketakutan membuat waktu seakan-akan molor.

Sebab, takut adalah sesuatu masih akan terjadi di masa depan, tetapi dibayangkan sedang terjadi sekarang. Ketakutan yang menakutkan membuat orang ingin segera keluar dari lingkaran itu, makanya waktu terasa lama sekali.

Sedangkan kebanggaanku karena telah berhasil merasakan sensasi kematian yang kucari itu, membikinku memiliki suatu kekuatan keberanian. Keberanian untuk secara bebas menyadari bahwa aku sedang berjalan menuju batas kehidupan. Aku memutuskan untuk tetap bertahan di lantai 31 dengan kesadaran.

Aku membiarkan diriku diliputi berbagai macam perasaan. Kengerian, kekawatiran, kekesalan, kerinduan, dan penyesalan. Semua itu membangun sebuah pengetahuan baru yang selama ini tidak kudapati dalam hidupku. Rasa detik-detik menjelang kematian.