Modus operandinya begini. Tiap hari dia baca koran, media online, dengar radio, dan nonton TV. Dia saring isu yang paling ramai dibahas media.
Setelah dapat ide, mulailah dia merancang rencana berikutnya. Dia akan meminta tokoh yang sedang ramai dibahas media untuk bicara: menangkis atau mengklarifikasi isu. Kemudian, dia menjanjikan suaranya dimuat di banyak media.
Tapi sebelum itu, langkah pertama yang dilakukannya ialah wawancara untuk medianya sendiri. Usai wawancara, baru dia menawarkan jasa untuk menyebarkan berita ke lebih banyak media, juga bayaran tiap berita yang dimuat.
"Okelah kalau begitu. Atur bos," kata narasumber.
Mulailah wartawan tadi bekerja. Berita yang dibuatnya dia sebar ke milis atau grup-grup wartawan.
Dari sekian puluh anggota milis atau grup, pasti ada sebagian yang tertarik memuat berita. Biasanya yang tertarik karena isunya pas dengan apa yang sedang ramai.
Anggota grup yang tidak mau memuat, biasanya karena curiga kontennya bau-bau 86 atau memang menganggap isinya gak bagus.
Beberapa jam kemudian, Mukidi masuk Google. Dengan pakai kata kunci nama narasumber, dia bisa dengan mudah menemukan media yang memuat berita sebarannya tadi.
Dia berbunga-bunga kalau ternyata ada minimal lima media yang memuat. Satu berita Rp200 ribu. Lumayan bos.
PENGUMUMAN-PENGUMUMAN!
Klik kategori Etika dan Moral di bar sebelah kanan blog. Di sana ada kumpulan cerita-cerita lucu seputar wartawan amplop, bodrek, juga wartawan yang mencoba tetap idealis.
Kamus Besar Wartawan Amplop
PENGUMUMAN-PENGUMUMAN!
Klik kategori Etika dan Moral di bar sebelah kanan blog. Di sana ada kumpulan cerita-cerita lucu seputar wartawan amplop, bodrek, juga wartawan yang mencoba tetap idealis.
Kamus Besar Wartawan Amplop
No comments:
Post a Comment