Jurnalis disuruh-suruh mendampingi marketing buat melancarkan usaha cari uang untuk perusahaan.
Seperti yang terjadi di salah satu redaksi.
"Komandan, siapa yang lagi liputan di instansi Q?" kata seorang marketing kepada pimpinan media.
"Si anu pak," jawab pimpinan media.
"Tolong kirim ya buat dampingi saya ketemu si A, sekarang," kata si marketing yang nampaknya disegani di media itu.
"Siap pak," kata pimpinan media.
Pimpinan media kemudian meneruskan permintaan marketing tadi ke awak redaksi. Dia minta redaktur supaya segera merapat ke kantor Q untuk mendampingi marketing yang sedang PDKT calon klien.
"Siap," kata redaktur.
Setelah pesan itu diteruskan ke reporter yang tugas di instansi Q, terjadi kepanikan luar biasa. Si reporter yang tidak biasa disuruh wawancara khusus itu panik. Dia panik karena tidak tahu mau tanya apa nanti ke narasumber yang sedang diincar marketing kantornya.
Singkat cerita, bertemulah si reporter dengan narasumber. Dia kelimpungan karena gak ada persiapan. Marketing matanya melirik karena tadinya ngarep reporter itu melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang bisa mengangkat narasumber atau istilahnya negatifnya: menjilat.
Tak puas dengan dengan pertanyaan-pertanyaan reporter, si marketing turun tangan. Bak seorang reporter, dia ikut-ikutan tanya-tanya. Tapi pertanyaannya isinya mengangkat-angkat pribadi calon klien dengan harapan dapat iklan dari dia.
"Wow, abang sekarang ini sukses luar biasa, lho. Gimana rahasianya bang," kata marketing.
"Abang ini menginspirasi sekali lho, banyak wartawan wawancara lho. Sekolah dimana dulu bang?" katanya.
Jadilah si reporter pendengar saja. Dalam hati, asyuuu, kalau cuma tanya-tanya buat ngangkat-ngangkat narsum sih gampang.
PENGUMUMAN-PENGUMUMAN!
Klik kategori Etika dan Moral di bar sebelah kanan blog. Di sana ada kumpulan cerita-cerita lucu seputar wartawan amplop, bodrek, juga wartawan yang mencoba tetap idealis.
No comments:
Post a Comment