Thursday, July 17, 2008

Wartawan Jarang Membaca

Ibarat rumput yang tumbuh subur di pekarangan dan tidak menyadari adanya pohon-pohon besar yang juga tumbuh di sekitarnya dan siap untuk mendesak tanah yang ditumbuhi rumput. Inilah sebagian besar wartawan Indonesia. Sudah cukup puas dengan bisa meliput kegiatan presiden dan doorstop para anggota dewan.

############

Membaca buku sangat penting untuk menunjang profesi jurnalis. Bukan hanya itu saja, untuk meningkatkan sumber daya manusia. Tanpa meningkatkan diri dengan cara membaca, mustahil ilmu dan pengetahuan dapat tercapai dengan baik. Membaca ialah gudangnya ilmu.

Pada umumnya, wartawan sudah kendur minat untuk membaca bahan-bahan bacaan ilmiah atau analisa para pakar. wartawan cenderung membatasi diri dengan bacaan tertentu yang sumbernya dari koran atau media online. Misalnya dia tugas di DPR, biasanya hanya mau membaca berita terkait dengan isu-isu anggota dewan.

Atau wartawan kriminal, dia tidak tertarik membaca berita internasional atau politik, misalnya. apalagi membaca tulisannya Budi Hardiman tentang Filsafat Fragmentaris. kecuali mengikuti dengan intens berita-berita tentang kasus kriminal di daerah liputannya.

Ini merupakan kemunduran luar biasa. profesi wartawan mestinya makin banyak meluangkan waktu untuk membaca buku atau jurnal ilmiah. Tujuannya selain berhubungan dengan kedalaman wawasan, juga menambah perbendaharaan kata. tanpa cara ini, pasti wartawan akan kering kerontang.

2003 lalu, Muhammad Akbar seorang wartawan Republika mengkritik dirinya sendiri. Sejak menjadi wartawan, jarang membaca lagi. Padahal semasa kuliah, ibaratnya ingin makan manusia kalau tidak ada bahan bacaan. Dia tidak banyak membaca karena sudah terjebak pada sistem yang diciptakan pemilik modal. Waktu adalah untuk meliput berita, selesai itu istirahat dan tidur buat kerja besok hari.

Awal-awalnya aku percaya bahwa memang wartawan tidak memiliki waktu untuk membaca karena tiap pulang, badan sudah lelah. bangun selalu kesiangan. tapi, kemudian aku membuat kesimpulan bahwa wartawan memang malas tidak disiplin. misalnya bangun pagi dan membaca atau sebelum tidur membuka buku dulu. kalau libur, sebenarnya masih bisa membaca.

Ibarat rumput yang subur di pekarangan dan tidak menyadari adanya pohon-pohon besar yang juga tumbuh di sekitarnya dan siap untuk mendesak tanah yang ditumbuhi rumput. Inilah sebagian besar wartawan Indonesia. Sudah cukup puas dengan bisa meliput kegiatan presiden dan doorstop para anggota dewan.

Awal 2008 lalu, saat mengikuti kuliah filsafat ilmu pengetahuan oleh Karlina Supeli dijelaskan betapa terkecohnya orang apabila hanya membiarkan dirinya mendapatkan informasi dari media massa belaka, koran misalnya. Informasi yang diberikan media massa hanya bersifat spontanitas. Berdasarkan yang sedang hangat pada saat itu, lalu meninggalkan kasus itu setelah ada kasus baru lagi. Dan seperti itu seterusnya. Ini satu hal.

Kemudian, belum lagi berbicara mengenai kepentingan pemilik modal media, mungkin bisnis, pemerintah atau tentara. Karena itu, Karlina mengatakan bahwa mendapatkan informasi melalui tulisan ilmiah atau membaca buku-buku sangat penting untuk mendapatkan informasi secara mendalam dan tentunya utuh.

Penulis menambahi, tulisan media bisa jadi sudah mengalami penyusutan substansi beberapa kali, baik oleh reporter dan redaktur serta pembaca sendiri. Jadi, yang disajikan hanya sepotong sampah yang bisa jadi berguna atau tidak berguna untuk dibaca.

Ada pendapat menarik dari romo Hendra Sutedja, pengajar filsafat China, media seringnya menyajikan tulisan deskripsi atau permukaan saja. Tidak ada yang mengupas secara tuntas sebuah masalah. Ini terjadi karena media tidak melihat realita realita. hanya melihat satu realita.

Apabila demikian kenyataannya, akan dapat manfaat apa para pembaca media. Inilah pentingnya membaca sumber informasi melalui banyak bacaan, selain media massa. wartawan, tentunya orang yang paling bertanggung jawab untuk itu. maka dari itu, tidak bisa lagi membatasi diri pada bacaan seputar berita yang diliputnya saja.

4 comments:

Anonymous said...

Sampai saat ini aku masih sangat suka membaca. Banyak inspirasi yang kita dapatkan di sana, meski hanya dari sebuah novel. Bukulah pendobrak segala sekat yang ada dalam kehidupan manusia. Mengutip pendapat seorang kawan. Wartawan adalah sumber informasi. Semakin pintar wartawan, semakin baik informasi yang diberikan, semakin bermanfaat bagi masyarakat, semakin terbebas masyarakat dari pembodohan. Jadi baca, baca, dan tulis.

Anonymous said...

terkecuali rena. dari sekian banyak, hanya beberapa yang peduli membaca lagi.

Insaf Albert Tarigan said...

lek soal baca dan belajar menulis, aku ingin suatu hari nanti membaca namamu atau namaku dalam salah satu nominasi ini, bagaimanapun caranya, betapapun sempitnya kesempatan yang dimiliki media online:

Finalis Mochtar Lubis Award:
Kategori Public Service

Finalis (judul disusun berdasarkan urutan abjad)
Hancurnya Infrastruktur di Sulawesi Barat oleh Sidik Pramono dari Harian Kompas, Jakarta, 10 Mei 2008.

Krisis Air Bersih Ancam Bandung oleh Zaky Yamani dari Harian Pikiran Rakyat, Bandung, 17 Maret 2008.

Mencari Angka dalam Jerami oleh Daspriani Y. Zamzami dari Majalah Aceh Kini, Januari 2008.

Politik Pendidikan Penebus Dosa oleh Asrori S. Karni dari Majalah Gatra, Jakarta, 23 Januari 2008.

Save Our Airport oleh Gatot Rahardjo dari Majalah Angkasa, Jakarta, Maret 2008


Kategori Feature

Finalis (judul disusun berdasarkan urutan abjad)
Frederick Sitaung: Guru Sejati Papua oleh Ahmad Arif dan Luki Aulia dari Harian Kompas, Jakarta, 1 September 2008.

Hari Kembang oleh Agus Sopian dari Majalah Arti, Jakarta, Mei 2008.

Mbak Suko: Simbol Perlawanan Petani oleh Ahmad Arif dan Sri Hartati Samhadi dari Harian Kompas, Jakarta, 10 April 2008.

Meno Kaya Tidur di Selokan oleh Ahmad Arif, Luki Aulia dan Aryo Wisanggeni Genthong dari Harian Kompas, Jakarta, 13 September 2007.

Ya Ampun, Sulitnya Sekolah oleh Indira Permanasari dari Harian Kompas, Jakarta, 31 Juli 2007.


Kategori Investigasi

Finalis (judul disusun berdasarkan urutan abjad)

The Lost Generation oleh Muhlis Suhaeri dari Harian Borneo Tribune, Pontianak, 10-28 Februari 2008.

Menguak Tabir Dosa Ekologi di Balik Proyek PLTP Sibayak oleh Erwinsyah dari Surat Kabar Harian Ekonomi Medan Bisnis, Medan, 31 Maret-5 April 2008.

Muslihat Cukong di Lahan Cepu oleh Bagja Hidajat dkk dari Majalah Tempo, Jakarta, 7 Januari 2008.

Roger... Roger... Intel Sudah Terkepung, oleh Budi Setyarso dari Majalah Tempo, Jakarta, 26 Agustus 2007.

Zatapi dengan Sejumlah Tapi oleh Yosep Suprayogi, Philipus SMS Parera dkk dari Majalah Tempo, Jakarta, 30 Maret 2008.




Kategori Fotojurnalistik

Finalis (judul disusun berdasarkan urutan abjad)

Dag Dig Dug di Bukit Segambut (Operasi TKI) oleh Arie Basuki dari Koran Tempo, Jakarta, 9 Maret 2008.

Jalan Tol Sedyatmo Km 26 Terputus oleh Agus Susanto dari Harian Kompas, Jakarta, 3 Februari 2008.

Limbah di Banjir Kanal oleh Lasti Kurnia dari Harian Kompas, Jakarta, 5 September 2007.

Mengungsi di Rel Kereta Api oleh Yuniadhi Agung dari Harian Kompas, Jakarta, 4 Februari
2008.

Sepak Bola Rusuh oleh Ignatius Danu Kusworo dari Harian Kompas, Jakarta, 17 Januari 2008.


Kategori In-Depth TV Reporting

Finalis (judul disusun berdasarkan urutan abjad)

Kartini yang Terdampar di Negeri Orang oleh Widyaningsih dkk dari SCTV, Jakarta, 20 April 2008.

Mengeruk Laba dari Bangkai Sapi Darussalam Burnahan dkk dari ANTV, Jakarta, 19
September 2007.

Pengoplosan di Balik Kisruh Minyak Tanah oleh Darussalam Burnahan dkk dari ANTV,
Jakarta, 5 September 2007.

Perburuan Ilegal Gading Gajah oleh Andi Azril dkk dari SCTV, Jakarta, 9 Maret 2008

Pintu Harapan untuk Si Miskin oleh Endah Saptorini dkk dari Astro Awani, Jakarta, 27 Oktober 2007.


Kategori Fellowship

Finalis (judul disusun berdasarkan urutan abjad)

Proposal Investigasi Korupsi Dana Rekonstruksi Pasca Gempa Bumi di Yogyakarta 27 Mei
2006 oleh Bambang Muryanto dari The Jakarta Post, Masjidi dari MQ Radio dan Gigin W
Utomo dari Majalah Swasembada, Yogyakarta.

Proposal Divestasi KPC: Menggerus Batu Meninggalkan Bara oleh I Gusti Gede Maha Adi,
Majalah Tempo, Jakarta.

Anonymous said...

Lek, menurutku, prestasi jurnalistik tidak diukur dengan award.

tapi, untuk penyemangat, ayo kita target dalam dua tahun ini dapat award.