Thursday, September 3, 2009

Sensasi Menjelang Kematian di Lantai 31

Langit di Ibukota Jakarta berawan. Awannya seolah ingin memeluk erat gedung-gedung pencakar langit yang berdiri tegak di segala penjuru pusat peradaban Indonesia ini.

Di kantor redaksiku, vivanews.com, lantai 31. Teman-temanku asyik menulis berita. Sesekali kami bercanda. Mbak-mbak di ujung sana sibuk mengerjakan keuangan kantor. Sedangkan mbak-mbak di sebelah sana lagi terdengar tertawa-tawa sambil membicarakan buka puasa yang tinggal tiga jam lagi.

Ketenteraman hilang ketika memasuki pukul 14.55 WIB. Aku merasakan tempat dudukku bergoyang pelan sekali. Tapi, goyangannya terus-terusan. Aku sadar gempa sedang terjadi. Lama-lama getarannya makin terasa. Badanku sampai ikut goyang sana-goyang sini seperti sedang berayun-ayunan di taman.

Penutup dinding kaca seperti dihempas angin ke sana kemari. Gemeretak plafon dan kaca-kaca dinding kantorku terdengar makin keras. Tidak lama kemudian, puluhan karyawan, baik dari vivanews dan antv, bergerak buru-buru menuju pintu darurat. Pintu darurat itu tepat berada di belakang meja kerjaku.

Kepanikan mulai terjadi ketika pengelola gedung melalui pengeras suara mengingatkan gempa sedang menghajar gedung ini. Kami dipandu untuk tenang dan bergerak menyelamatkan diri melalui tangga darurat. Wajah-wajah pegawai-pegawai kulihat pucat-pucat.

Suasana tiba-tiba berubah menjadi tegang ketika sirine tanda bahaya dibunyikan pengelola gedung. Ada yang lari tunggang langgang. Ada yang berjalan cepat-cepat menuju pintu darurat. Ada yang berteriak agar berjalan lebih cepat karena gedung berlantai 35 ini benar-benar sedang bergetar hebat.

Aku berdiri dan aku mencoba jalan. Hampir-hampir terjatuh. Kulihat gedung-gedung pencakar langit di luar sana, masih tetap kokoh. Tidak ada yang roboh. Berarti gempa ini pasti tidak akan merobohkan gedung tempat kerjaku.

Aku memutuskan tidak ikut turun lewat tangga darurat. Aku kembali duduk di kursi kerjaku. Sirine membikin suasana menjadi panik. Apalagi peringatan dari pengelola gedung yang disampaikan berkali-kali bahwa lift sudah dimatikan.

Waktu itu, beberapa temanku ikut memutuskan untuk tidak ikut turun. Kami memutuskan untuk membikin berita peristiwa gempa ini. Kami media online, tentu kami tidak boleh kehilangan momentum. Walau ini merupakan keputusan yang sangat konyol.

Ya ampun. goyangan ini tidak juga berhenti. Malah terasa makin menghebat. Ayunannya makin jauh. Gemeretak gedung yang seluruhnya berdinding kaca ini sangat keras. Makin keras. Aku menekan meja kerjaku agar tidak pusing.

“Hayo, berhentilah gempa. Berhentilah. Pasti ini tidak akan lama. Tidak akan lama dan semuanya akan baik-baik saja,” pikirku. Aku melihat wajah teman-temanku mulai pucat pasi di depanku.

Radio pemberitaan Elshinta mulai menyiarkan peristiwa alam ini. Televisi tvone juga mulai membuat siaran langsung tentang gempa ini. Gempa berkekuatan 7,3 SR mengguncang. Gempa ini tergolong sangat kuat. Pusat gempa berada di Tasikmalaya. Dan berpotensi tsunami.

Aku makin panik ketika radio menyiarkan gempa yang masih kurasakan ini ternyata membuat kerusakan infrastruktur publik di Tasikmalaya dan Garut. Gempa juga dirasakan di Jabodetabek, bahkan Yogyakarta dan Bali ikut merasakannya. Aku mulai membayangkan, sebentar lagi gedung tempatku duduk ini akan rusak. Akan pecah dan kami tumpah ke permukaan bumi dari lantai 31.

Getaran terasa kuat pada waktu aku mendengar siaran radio itu. Sial. Gempa ini tidak juga berhenti. Kalau ini tidak berhenti, sebentar lagi aku pasti mati. Pengelola gedung kembali mengingatkan penghuni gedung ini yang masih bertahan di lantai masing-masing agar bersembunyi di bawah meja dan menjauh dari dinding kaca.

Brengsek. Sebentar lagi pasti gedung ini akan miring atau ambles. Kalaupun aku memutuskan lari lewat tangga darurat, pasti aku tidak akan berhasil mencapai tanah. Aku akan mati terjepit reruntuhan gedung. Kemudian, aku memutuskan untuk tenang dan bertahan di depan komputer.

Pada titik itu, kemudian aku memilih untuk disana agar dapat merasakan fantasi menjelang kematian. Aku ingin membuat sebuah penjelasan tentang proses menjelang tutup usia lewat cerita. Itu kalau aku berhasil hidup dengan melewati gempa ini. Tapi, kalau sore ini aku harus mati, sudahlah, ini pasti memang jalan hidupku.

Kemudian, aku membayangkan tentang batas akhir kehidupanku. Inilah detik-detik menuju penjemputan jiwaku. Dinding beton. Konstruksi baja gedung ini akan segera menimpaku. Akan menjepitku sampai remuk. Tulang-tulangku hancur. Kemudian darahku keluar semua.

Tidak ada yang tahu proses kematianku, kecuali aku sendiri yang merasakannya. Kepanikan, ketegangan, sekaligus rasa penasaran untuk merasakan sensasi menjelang kematian kuresapi benar. Nenekku, ibukku, adikku di Jawa Tengah, kemungkinan juga merasakan gempa ini. Dan mungkin saja mereka sempat berpikir tentangku di Jakarta.

Mungkin mereka akan segera tahu kabarku setelah aku mati. Dan mereka tidak akan bertemu denganku lagi karena aku sudah mati. Mereka tentu merindukanku. Aku juga demikian. Aku akan melihat mereka dari duniaku yang lain. Aku hanya bisa melihat, tapi tidak bisa berjabat tangan atau berbicara.

Aku mengatakan kepada diriku, beruntunglah pegawai-pegawai tadi yang berhasil mencapai tanah di bawah sana. Mereka pasti akan melihat dengan sangat jelas proses runtuhnya gedung 35 lantai ini dari kejauhan. Mereka mungkin akan histeris. Kaca-kaca berhamburan. Baja mencuat kemana-mana dan terlontar ke tanah. Tapi kalian berhasil mempertahankan hidup.

Kukatakan pada diriku lagi, sekarang ini, aku masih berada di lantai 31. Waktu gedung yang kalian lihat sedang hancur itu, aku meregang nyawa dengan teman-temanku di sini. Mau lompat seperti seorang pegawai yang loncat dari gedung WTC yang dibom teroris itu. Mustahil. Tentu aku tidak akan melakukan aksi konyol itu. Karena sama akan mati.

Tiba-tiba aku disadarkan dari bayangan akan kematian itu oleh suara radio dan televisi yang dengan ramai menginformasikan kepanikan yang penduduk di sejumlah tempat akibat gempa yang pada saat bersamaan sedang kurasakan ini.

Ya ampun. Aku sudah tidak rasional. Tidak. Aku tidak mau terjebak pada imajinasi. Sekarang ini aku masih hidup. Aku berusaha berpikir rasional. Aku masih di lantai 31. Memang ratusan pegawai gedung ini sekarang ini tentu sudah di bawah sana. Mereka melihat ke arah gedung yang sedang dihajar gempa ini.

Ketidakrasionalanku ini hanya karena melihat suasana yang sama sekali baru. Dua orang temanku yang masih bertahan di lantai 31 ini terlihat sangat tidak bahagia. Panik. Tapi mereka pasti sedang hidup dalam dunia kepasrahan di tengah-tengah gempa yang menggoyang gedung.

Tapi pintu kematian itu rasanya telah mengalahkan rasionalitasku. Yang ada adalah ketegangan luar biasa. Getaran hebat di gedung ini seperti meruntuhkan kesadaranku. Gempa ini benar-benar menghancurkan kebebasanku sebagai manusia.

Aku sepertinya tidak diberi pilihan untuk meneruskan kehidupanku. Aku hanya punya satu pilihan. Duduk di kursiku. Menanti kehancuran dan kematian. Sementara orang-orang menonton gedung ini yang bergoyang-goyang dari tanah di kejauhan sana.

Kekosongan sepertinya sudah di depan mataku. Tidak ada kehidupan. Aku seperti akan segera terlepas dari dunia tempatku bertahan sejak aku dikeluarkan dari rahim ibuku. Sepertinya aku sedang tersedot ke dalam dunia gelap. Getaran di lantai 31 seperti ingin mendorong kesadaranku ke sebuah gua yang sangat dalam, tanpa batas, dan tanpa dasar. Mati.

Detik-detik puncak gempa membuatku sangat pusing. Mulas. Tapi aku tidak pingsan. Inilah situasi ketika kebebasan manusia untuk mendapatkan kebahagiaan direnggut. Kebebasan untuk bisa berjalan-jalan dengan rasa aman, kebebasan untuk tersenyum bahagia direnggut. Kebebasan untuk bertemu lagi dengan orang-orang yang dicintai dihabisi.

Kesadaranku atas kebebasanku sekarang ini hanya tinggal untuk melihat, mendengar, dan merasakan gemeretak gedung kaca ini. Betapa tidak. Apa lagi yang dapat kuperbuat lagi selain itu. Aku berpikir untuk menuliskan kata-kata cinta terakhir kepada orang-orang yang kusayangi dalam hidupku lewat facebook, yahoo messanger, email, dari jaringan internet yang masih aktif ini. Jaringan teleponku sekarang ini sudah mati.

Di perbatasan antara kehidupan dan kematian, aku sempat berpikir. Yah, internet ini merupakan jalan satu-satunya yang diberikan oleh teknologi ciptaan manusia untuk berkomunikasi yang terakhir kalinya dengan dunia di luar gedung yang segera roboh ini.

Lewat YM, aku juga kepikiran ingin menulis kata-kata terakhir kepada Miss Curcol. Aku ingin mengakui bahwa selama ini sesungguhnya aku sangat menyukainya. Tetapi, karena aku berpikir bahwa dia sedang menyayangi orang lain, maka aku mengurungkan niat untuk menulis pesan itu kepada Miss Curcol.

Aku berkata pada diriku, Miss Curcol beruntunglah kau sekarang ini berada di luar lantai 31 gedung yang sedang berayun-ayun ini. Gedung yang sekarang ini ingin mengantarkanku ke suatu suasana yang berada di luar duniamu. Gedung yang penuh suara gemeretak dan jendelanya bergerak seperti dihempas angin keras.

Rasanya aku ingin melihat foto Miss Curcol. Aku membuka facebooknya sebentar. Aku berkata kepada diriku sendiri, beruntunglah aku ketika sedang berangkat ke kematian, aku masih berkesempatan melihat orang yang kusukai.

Aku berpikir bahwa beruntunglah aku bahwa aku masih sadar sedang berjalan meninggalkan dunia manusia, dunia yang memberikan Miss Curcol kehidupan. Dunia tempat di mana manusia bisa berpikir dan bebas berkreasi serta mencari eksistensinya.

Aku tersadar kembali dari imajinasiku. Aku berusaha tetap rasional. Aku pasti hidup. Adakah bukti bahwa gempa sialan ini akan mengantarkanku ke kematian. Bukankah imajinasiku ini hanya dilandasi suatu kesadaran tertentu yang sama sekali baru. Tapi aku harus sadar juga bahwa kesadaran akan kematian bukan berarti aku segera akan mati.

Seiring dengan kembalinya rasionalitasku, getaran gempa melemah. Melemah dan akhirnya berhenti. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika mengumumkan bahwa meski masih ada gempa susulan, tapi kekuatannya makin rendah. Akhirnya gedung kantorku berhenti bergetar. Semuanya masih utuh.

Pintu kematian tiba-tiba tertutup rapat. Aku dilarang untuk mengetahui dibalik pintu kematian itu. Aku hanya diberi kesempatan sedikit mendekatinya, dan tidak mampu mengetahui lebih banyak.

Gempa itu hanya terjadi sekitar 3-5 menit. Tapi rasanya seperti berjam-jam. Ketegangan dan penasaran terhadap bagaimana rasanya menghadapi detik-detik membuat ketakutan bercampur kebanggaan. Ketakutan membuat waktu seakan-akan molor.

Sebab, takut adalah sesuatu masih akan terjadi di masa depan, tetapi dibayangkan sedang terjadi sekarang. Ketakutan yang menakutkan membuat orang ingin segera keluar dari lingkaran itu, makanya waktu terasa lama sekali.

Sedangkan kebanggaanku karena telah berhasil merasakan sensasi kematian yang kucari itu, membikinku memiliki suatu kekuatan keberanian. Keberanian untuk secara bebas menyadari bahwa aku sedang berjalan menuju batas kehidupan. Aku memutuskan untuk tetap bertahan di lantai 31 dengan kesadaran.

Aku membiarkan diriku diliputi berbagai macam perasaan. Kengerian, kekawatiran, kekesalan, kerinduan, dan penyesalan. Semua itu membangun sebuah pengetahuan baru yang selama ini tidak kudapati dalam hidupku. Rasa detik-detik menjelang kematian.

2 comments:

Anonymous said...

Maria Ann: Sis, apakah Miss Curcolmu sudah baca ini? Aku suka penceritaanmu. nanti tak terjemahin ke bahasa Prancis ya bro... Sukses buatmu.

Anonymous said...

Frank: Pengalaman menarik dan cerita menarik nih sis. Oh ya, buka blogku ya