Thursday, December 17, 2009

Gemarkah Kita Hanya Dengan Satu Sudut Pandang

Begitu hari mulai gelap, arus lalu lintas menuju ke Puncak Bogor mengalami kepadatan kendaraan. Rata-rata kecepatan bus yang kutumpangi hanya mencapai 0-5 kilometer perjam. Mungkin hati pengemudi kendaraan ini kesal karena kondisi ini tentu menguras energi yang besar.

Kemacetan arus lalu lintas menjelang akhir pekan yang panjang ini merupakan realitas yang terjadi di depanku. Realitas ini begitu nampak dan sangat terasa. Yakni kendaraan mengantri sangat panjang. Dan waktu yang kami butuhkan untuk mencapai hotel tempat acara menjadi sangat lama.

Kudengar ada teman-teman yang mengeluhkan situasi ini. Mereka bilang ini semua karena banyaknya kendaraan milik orang Jakarta yang masuk ke Puncak. Mereka telah menjadi biang keladi atas kesemrawutan lalu lintas sore ini. Dalam hati, aku setuju dengan umpatannya. Tetapi betulkah kemacetan hanya karena tingginya volume kendaraan.

Banyaknya kendaraan yang ikut memicu macet memang realitas yang tak terbantahkan. Tetapi fakta ini pasti bukanlah satu-satunya kebenaran. Karena di dunia ini tidak ada realitas satu-satunya. Selalu ada kenyataan lain yang berda dalam realitas yang nampak di depan sana. Apakah itu.

Dalam konteks realitas kemacetan sore ini, ternyata ada realitas lain yakni seperti yang telah terurai secara singkat di atas, tingginya volume kendaraan. Realitas lainnya ialah infrastruktur jalan. Kalau memperhatikan kemacetan yang terjadi ini, ternyata jalus jalan yang dilewati bus yang kutumpangi memang sempit. Hanya terdiri dari dua jalur. Dan ini merupakan jalur satu-satunya di kawasan ini menuju ke Puncak.

Volume kendaraan yang tinggi tanpa diimbangi dengan infrastruktur yang memadai tentu saja sangat tidak tepat. Jadinya setiap hari menjelang libur, daerah ini akan selalu menjadi rute yang mengalami kemacetan arus lalu lintas.

Ada lagi realitas lain yang membangun realitas kemacetan yakni perilaku para pengemudi mobil dan pengendara sepeda motor. Sebagian di antara mereka tidak tertib berlalu lintas seperti saling serobot untuk mendahului kendaraan lainnya. Keadaan ini secara langsung mengakibatkan makin semrawutnya lalu lintas.

Ketiadaan aparat kepolisian di jalur macet di daerah ini juga merupakan realitas. Kebijakan direktorat lalu lintas terhadap pengaturan arus kendaraan di Indonesia juga kenyataan yang ikut menentukan bagaimana kondisi lalu lintas.

Singkat cerita, dengan mendasarkan pada realitas-realitas yang diuraikan di atas, beralasan kuatkah kita kalau dengan mudah membuat satu kesimpulan bahwa macet hanya karena banyaknya jumlah kendaraan. Atau macet karena ulah ugal-ugalan sopir angkot. Apakah kita sudah berusaha melihat kenyataan secara menyeluruh sebelum membuat keputusan. Gemarkah kita melihat sesuatu hanya dengan satu sudut pandang.

Perjalanan Jakarta-Bogor 17 Desember 2009

4 comments:

Galuh Parantri said...

:)
Coba lihat dari sisi AKU...(kata si BUS)

so, how's the gathering???

Siswanto said...

menarik juga ngeliat dari sisi lain. bus iku sopo toh..
---gatheringnya menyenangkan luh hehehe..

Galuh Parantri said...

Bus si benda mati yang bergerak dan berjasa :D

Huweee bikin sirik :(

Siswanto said...

si bus bilang kalau dia tidak bisa berbuat apa2. dia diciptakan kecerdasan manusia untuk memproduksi polusi.