Friday, December 18, 2009

Hoi Manusia, Kata Orangutan

"Hoi hoi hoi," seru adik kecilku. Di ragunan, di kandang di bawah sana, dua ekor orangutan Kalimantan hanya melirik ke arah kami, lalu kembali pada keasyikannya mengunyah rumput. Lagi adikku memanggilnya. Tapi kedua satwa ini tak peduli. Dan begitu seterusnya.

"Mas, kenapa dia tidak mau mendengar lagi panggilanku," kata adik. Kubilang, buat apa orangutan ini harus capek-capek menanggapimu. Dan apa gunanya pula kamu memanggil-manggil dia. Jadi, mari kita melihat saja dan mengetahui kehidupan kedua makluk yang sama dengan kita yaitu diciptakan oleh tuhan.

Lihatlah dik, dia begitu asyik di sana, di cekungan kolam, walaupun sebenarnya dia sedang dipenjara dan diperalat oleh makluk yang bernama manusia. Aku yakin sebenarnya dia sadar tentang kondisinya sekarang ini. Kalau kebetulan dia melirik ke arahmu ketika dipanggil, boleh jadi dia sebenarnya menganggap kita sebagai makluk aneh. Makluk jahat karena memaksa makluk lain untuk dikomersilkan atas nama penyelamatan satwa.

Sangat beralasan kalau orangutan ini menganggap manusia sebagai makluk asing dan aneh. Karena sejatinya manusia memang telah mencuci sistem hidup satwa dengan mengondisikan sedemikian rupa secara sepihak agar para orangutan ini bersedia bertahan di penjara yang diberi status kebun binatang.

Kebun binatang merupakan terjemahan dari bentuk penjajahan hak hidup bebas yang dipunyai para satwa. Manusia beralasan bahwa pembangunan kebun ini sebagai upaya nyata untuk menjaga, melestarikan, dan mengingatkan masyarakat bahwa ini lho, ada satwa yang harus dijaga. Maka mereka dipamerkan di kebun.

Tahukah kita bahwa alasan-alasan yang dikampanyekan manusia ini sesungguhya adalah untuk menjelaskan ada pelegalan di luar sana, di hutan-hutan sana, bahwa manusia sah-sah saja mengeksploitasi hutan secara besar-besaran dan semuanya atas nama perekonomian nasional.

Ketika hutan makin habis, seiring dengan tingkat kesadaran sebagian anggota masyarakat bahwa hutan harus tetap ada dan satwa tidak boleh punah, tetapi di sisi lain sistem bisnis harus tetap jalan, lalu dimunculkan kebun binatang. Jadi kebun ini sebenarnya dapat dikatakan sebagai kedok atas nama penyelamatan ekosistem.

Jujurkah manusia dalam menghormati makluk lain. Bisakah secara iklas menganggap mereka ada di dunia ini. Menempatkan mereka sebagai sesama makluk tuhan yang mempunyai hak atas atmosfir planet ini. Bisa berhentikah manusia menguasai makluk hidup yang lainnya yakni membiarkan mereka hidup dengan sistemnya di alam bebas.

Jadi dik, mari kita belajar. Kita harus jadi orang pintar dan punya hati untuk menyadari bahwa di bumi ini, manusia bukanlah penguasa tunggal atas kehidupan. Ada satwa dan tumbuhan.

Dalam kerangka berpikir kita ini dik, haruslah tertanam bahwa bumi hanyalah satu benda di antara dari milyaran benda berbentuk bulat mirip bumi di galaksi Bimasakti. Bumi ini posisinya mengapung. Dan di sanalah kita, manusia, satwa, dan tumbuhan bertahan hidup.

Ragunan 18 Desember 2009

3 comments:

Galuh Parantri said...
This comment has been removed by the author.
Galuh Parantri said...

Dan si Adik menjawab: "Iya Kak Sis...." :)

Siswanto said...

hehe... sehari bersama monyet luh. menyenangkan