DI DUNIA kewartawanan, ada wartawan amplop, ada juga yang anti amplop. Kalau cerita sebelumnya kebanyakan wartawan yang gemar memburu amplop, berikut ini ada cerita tentang seorang wartawan muda yang berjuang menolak. Tapi, karena tidak ada pilihan lain, anak ini pun terpaksa menerima dan sampai gemetaran begitu memegangnya.
Singkat cerita, begini ceritanya. Suatu kali ada isu panas berkaitan dengan seorang tokoh bangsa. Selaku reporter, anak muda ini langsung siap-siap berangkat liputan begitu mendapat perintah redaksi untuk wawancara tokoh itu.
Sebelum berangkat wartawan muda ini terlebih dulu menelepon humas tempat si tokoh mengantor. Tujuannya untuk memastikan posisi si tokoh. Kebetulan sekali, kata humas yang punya inisial B, pada waktu itu si tokoh bangsa sedang berada di kantor. Si B juga bilang, tokoh bangsa sangat berkenan untuk diwawancara.
Girang bukan main si wartawan muda. Dengan sigap, dia berangkat menuju kantor tokoh itu. Tapi, pada waktu dia sampai di sana, ternyata si tokoh bangsa belum datang. Wartawan muda hanya diterima oleh si B.
Sejam kemudian, datanglah orang yang akan diwawancara wartawan muda. Saking hormatnya kepada tokoh bangsa yang bersahaja ini, wartawan muda itu pun cium tangan setelah memperkenalkan dirinya.
Wawancara. Wawancara. Wawancara. Setelah semua pertanyaan dijawab, akhirnya wawancara selesai, walaupun sebagian pernyataan si tokoh susah dimengerti. Maklumlah tokoh ini memang terkenal suka membuat ucapan yang nyeleneh.
Karena sudah selesai, wartawan muda ini pun mohon diri. Lalu dia balik kanan ke kantor redaksi. Belum sampai meninggalkan kantor, si B mendekat. Dia langsung menyodorkan amplop ke tangan si wartawan muda.
Si wartawan muda ini terkejut bukan main. Dia tahu etika jurnalistik. Menerima apapun dari orang yang berkaitan dengan berita dilarang. Si muda ini berusaha keras menolaknya.
Namun, humas yang rupanya sudah terbiasa menghadapi wartawan ini terus saja menyodor-nyodorkan uang. Dia ngotot. "Terima saja, kalau nggak, tak saya bantu lagi," ujarnya.
Mendengar ucapan tidak akan dibantu lagi dalam tugas jurnalistik (mendapatkan wawancara tokoh bangsa) bila tetap tidak mau menerima uang itu, si wartawan mudah jadi berpikir. Setelah mempertimbangkan semuanya, akhirnya dia memutuskan untuk menerima saja. Dengan hati berdebar-debar, dipeganglah uang itu.
Sepanjang jalan dari kantor partai sampai kantor redaksi, si wartawan muda kepikiran terus uang amplop itu. Dia merasa bersalah. Dalam hatinya, kalau uang ini dibalikin ke Sekretaris Redaksi untuk dikirim lagi ke si B, tentu B tersinggung juga. Dan kalau tersinggung, dia tidak akan dibantu untuk mendapatkan wawancara-wawancara ekseklusif. Bagaimana ini ya?
Tetapi kemudian dia punya ide. Sampai di parkiran kantor, terlihatlah tukang parkir, bapak tua yang lama dikenalnya. Amplop yang ternyata berisi uang Rp200 ribu itu langsung diserahkan kepadanya.
Mata tukang parkir pun berbinar, senyumnya cemerlang. "Wah, harusnya sering-sering begini, Mas," katanya.
Dalam hati si wartawan muda, "Matamu suwek, batinku berkecamuk nih."
Begitulah kisah si wartawan muda yang terpaksa menerima uang jale. Setidaknya, setelah uang itu dikasihkan ke tukang parkir, hatinya menjadi lebih lega.
No comments:
Post a Comment