Monday, July 14, 2008

Head to Head

Selasa malam, 8 april 2008, berita-berita di situs kami tidak ada yang luar biasa. Luar biasa dalam pengertian berita besar dan seksi. Begitu juga dengan media kompetitor kami, Detik. Tidak ada berita terbaru yang bombastis. Tenang dan aku bisa mengerjakan pengeditan laporan wartawan daerah untuk stok penerbitan besok dini hari.

Setelah selesai mengedit, aku pantau kembali media kompetitor. Siapa tahu ada berita terkini. Aku yakin, Detik juga memantau media kami setiap saat karena sama-sama tidak menginginkan kebobolan. Dan jalannya media online memang seperti itu, saling mengintip satu sama lainnya.

Pendaki RI Tewas di Alaska. Judul berita Detikcom ini membikin jantungan saat itu. Aku dan Sutarmi, teman piket redaksi malam sama-sama kaget sekaligus penasaran dengan berita itu. Tidak lama kemudian, muncul berita lanjutan. Kalau yang pertama narasumbernya ibu pendaki itu, berikutnya adalah bapaknya.

Mulailah ketegangan itu menyelimuti kepala kami. Mamik bilang Okezone kebobolan berkali-kali. Dan aku juga mengakuinya. Aku membayangkan, berita ini akan menjadi berita yang sangat besar besok pagi, bahkan hingga beberapa hari ke depan. Pendaki mahasiswa Mercu Buana bernama Pungkas Tri Baruno tewas di gunung Alaska Amerika.

Panik, bingung, heran, dan marah sekaligus. Panik karena Detik sudah menurunkan berita itu beberapa kali, sementara aku belum satupun. Bingung karena tidak punya gambaran narasumber yang bisa dikontak pada tengah malam itu. Bingung karena besok bisa menjadi bahan olok-olokan di kantor apabila tidak ada beritanya sama sekali. Sekaligus heran, darimana Detik mendapat info dan bagaimana bisa punya kontak dengan keluarga korban.

Belasan menit aku tidak dapat memutuskan. Mamik juga tertekan. Siapa narasumber yang mendekati sasaran yang dapat dimintai keterangan. Aku tidak mempunyai gambaran karena sangat tegang. Ketegangan sudah membuat logika tidak aktif. Duh, sekalinya piket, dapat kasus yang sangat besar. Mi, kira-kira siapa yang bisa dihubungi, yang mendekatilah.

Tidak diperoleh jawaban yang memuaskan. Kami memutar otak dengan sangat keras. Kutelpon redaktur pelaksana Fajri. Ternyata Fajri juga tidak mempunyai orang yang dekat dengan narasumber. Tapi dia menyarankan untuk bertanya dengan Wanandri.

Cukup memakan waktu lama untuk mendapatkan nomor telepon Wanandri. Aku browsing sana-sini di google misalnya, tapi hanya mendapatkan nomor kantor pusat lembaga itu yang tidak dapat dihubungi. Mungkin karena sudah larut malam sehingga pengurusnya tidak ada di sana.

Sutarmi kusuruh menelepon juru bicara Deplu. Dia sempat ragu. Tengah malam begini menelpon pejabat pemerintah. Pengamat politik dari LIPI saja ada yang marah apabila dihubungi malam begini. Bagaimana mungkin PNS mau menerima telpon. Tapi, keraguan itu tidak menjadi nyata. Kenyataannya dia mau memberikan keterangan, meskipun sangat terbas. Deplu membenarkan kejadian itu.

Akhirnya kami bisa menulis satu laporan. Ternyata kami tidak bisa cukup puas dengan laporan itu. Situs tetangga rupanya terus menerus me running kejadian itu. Wartawan yang menggarap banyak, makanya beritanya banyak. Mungkin karena malam pesta pergantian layout Detik, makanya malam itu banyak yang begadang malam.

Detik bikin laporan banyak, meskipun narasumbernya itu-itu saja. Meskipun begitu, cukup membuat kami harus bekerja ekstra keras. Tidak. Aku dan Mamik tidak akan menyerah. Kami juga harus menggarap berita ini dengan baik.

Aku browsing dan mencari terus alamat dan kegiatan yang berkaitan dengan ekspedisi. Sangat tidak menyangka, aku menemukan publikasi pramuka.com terbitan lama yang membahas soal tim ini. Ini sangat luar biasa pada malam panik itu. Awal bacaan di teks yang kutemukan di tengah-tengah rasa putus asa itu, hanya membahas soal abstraksi kegiatan ekspedisi yang diselenggarakan kwarnas gerakan pramuka untuk memperingati kepanduan dunia.

Temuan itu sudah cukup membantu. Paling tidak nama tim ekspedisi yang berangkat ke Alaska lengkap. Jauh lebih lengkap daripada detikcom. Karena tegang sekali, waktu itu aku tidak sadar bahwa teks itu jauh lebih lengkap dan rinci dari yang kuperkirakan.

Di bagian bawah teks, sangat mengejutkan. ternyata ada nama anggota yang berjumlah tujuh orang yang tergabung dalam tim ekspedisi itu. Diantaranya remaja yang tewas dalam perjalanan di gunung salju kutub utara. sangat-sangat di luar dugaan. Data diri masing- masing anggota tim lengkap tertulis di sana. dari bahan-bahan yang kuperoleh dari riset data, laporanku jauh lebih lengkap dan akurat dibandingkan situs Detikcom.

Yang sangat menggembirakan dari pengalaman riset data ialah, nomor telepon keluarga korban juga tercantum. Bahkan seluruh anggota tim juga ada. Lengkap semua. Aku bisa langsung membuat laporan jauh lebih lengkap dan maju dibanding yang dikerjakan kompetitor yang hanya membikin laporan-laporan standar kesusahan keluarga.

Mamik bekerja secara sistematis dengan terus melakukan kontak dengan pihak keluarga. Dia bisa melakukan wawancara dengan ibu dan kakak korban dini hari itu. Saat itu, kami sudah memperhitungkan bahwa kami pasti tidak mengganggu jam tidur mereka karena keluarga ini juga sedang mengumpulkan informasi seperti yang kami lakukan.

Kami tidak lagi tertinggal dengan Detikcom. Bahkan, kami sedang mengajari mereka bagaimana memaksimalkan teknologi internet untuk riset data. Bagaimana mengoperasikan ide di saat situasi panik seperti itu. Laporan kami jauh lebih lengkap. Di satu sisi memang harus diakui pula bahwa informasi peristiwa ini mula-mula dari Detik. Tapi tidak mengapa, karena memang seperti ini bekerja di media online atau media lainnya, yaitu informasi awal bisa datang dari manapun.

Aku perhatikan betul perkembangan data yang dipunyai Detikcom. Lama-lama mereka bisa juga menemukan data-data tentang tim ekspedisi seperti yang kami tulis. Mulai cerdas wartawan Detik yang piket malam itu. Mungkin juga idenya muncul setelah melihat okezonecom. Head to head betul betul malam itu. Aku dan mamik bersaing dengan beberapa wartawan Detik yang jumlahnya lebih banyak. Karena, malam itu, Detik sedang pesta peresmian wajah baru sehingga kebetulan banyak orang.

Belakangan, aku juga dapat memperhatikan, mereka mulai mengolah data-data tertulis yang didapat dari pramukacom itu menjadi bahan berita. Penulisnya mulai cerdas. Tidak mau kalah denganku. Puncak persaingan menyajikan laporan-laporan dini hari itu rasanya masih lama sekali. Ada saja sudut pandang baru, ada saja yang diolah menjadi laporan. Kami juga tidak stagnan. Kami berusaha lebih bagus dan variatif.

Pukul 04.00 WIB, mungkin puncaknya. Detikcom dan kami sama-sama tidak lagi posting berita baru. Mungkin kehabisan data, dan kami kehabisan tenaga.

Pagi harinya, kami tidak mau ketinggalan lagi. aku menyadari betul, berkompetisi dalam membuat laporan berita peristiwa semacam ini, bukan pada seringnya membuat berita-berita sedih atau diada-adakan. Melainkan, keuletan dan jago mencari sudut pandang. setelah jam 5, aku menelepon keluarga korban dan aku berhasil membuat feature yang agak panjang.

Apabila narasumbernya hanya dari orang tua korban, sama saja dengan detikcom. monoton dan tidak ada kemajuan. aku memutar otak. Harus mendapatkan narasumber dari pihak panitia penyelenggara ekspedisi. Tapi, bagaimana caranya. ide itu muncul seketika di saat badanku sangat capek karena malam itu tidak tidur sama sekali. Aku tanya ke ibunya, siapa orang yang selama ini memberi informasi tentang perkembangan korban di Alaska.

Aku berhasil mendapat nomor telepon pihak kwarnas. Langsung dengan sekretaris panitianya. Luar biasa. Aku bisa wawancara banyak dan lebih detail melaporkan identitas tim yang diberangkatkan dan juga perkembangan terakhir proses evakuasi di puncak gunung salju tertinggi di kutub utara itu.

Aku bisa mendapatkan apa yang diperoleh detikcom, saat itu. Malah lebih banyak narasumber kami. tapi wartawan detikcom tidak mendapatkan yang kami dapatkan. narsis memang. Tapi dalam jurnalistik, tidak mengenal narsis. yang ada adalah kebanggaan bisa menembus narasumber-narasumber inti.

Apa yang kami lakukan malam itu tidak sia-sia. laporan kasus ini mendapat peringkat tertinggi yang dibaca orang pada hari itu. Dari kasus ini, aku belajar bahwa tidak ada yang benar-benar buntu dalam jurnalistik. semua hal yang digarap, pasti ada alternatifnya. Jangan menganut paham antialternatif. Jangan pernah putus asa karena semuanya ada jalan keluarnya.

4 comments:

Insaf Albert Tarigan said...

Aku sudah mendengar ceritamu dari Sutarmi. Aku juga salut pada kerja keras kalian dan menyampaikan apresiasi. Pagi itu aku juga agak kaget karena berita sudah sebanyak itu, tidak seperti yang piket sebelumnya yang sangat luar biasa santai sekali.

Sutarmi sempat kecewa dan mencak2. Dia merasa kerja kerasnya tak mendapat apresiasi sepantasnya dari redaktur maupun korlip dalam rapat hari jumat lalu yang disingung hanya kesalahan dan kelemahan.

"Padahal lawan kita lebih banyak dan kualifikasinya sekelas mereka (redaktur dan korlip okz) semua," kata Sutarmi padaku.

Aku bilang, aku salut pada kalian dan pengalaman itu jadi berharga juga buatku.

Anonymous said...

di malam yang mencengangkan, datanglah hujan badai: "Pungkas Tri Baruno meninggal di Mount Mckinley", saat itu jantung terus terpacu, pikiran tersu memutar, rasa takut, jengkel.. jadi satu. kulihat jam menunjukan pukul 12.30.. untung deplunya orang aceh tapi jiwanya Jogja.. akhirnya ketjutan itu berubah menjadi kebanggaan kekita aku dan romo sis berjuang mengatasi takut. Romo, terimakasih, saat itu waktu yang tidak akan pernah terlupakan. romo mengajari aku untuk tidak putus asa saat detik yang paling menegagangkan dalam pertempuran. yang ada hanya ada, bagaimana bertahan, supaya tidak tertindas, terkikis. Romo, meski nanti kita jadi kompetitor..saya sudah siap romo. romo, dihalaman depan itu ada rumput yag terasa subur, tapi saya melihat padag rumput itu sebuah apu yang membera, setiap waktu terbakar.
Maaf, romo, saya masih saya saya taman dan rumput yang aku tanam dengan keringatku, bukan darah orang.. romo selamat berjuang. saya senang sekali bisa bekerjasama dengan romo...
aku berjanji akan lebih bagus dari yang kemarin dan aku yakin aku akan lebih bagus.

Insaf Albert Tarigan said...

Aku senang dengan komentar mamik. Bahwa banyak pelajaran yang dipetik dari Siswanto sebagai seorang teman, tapi aku membayangkan betapa asyiknya juga kita berkompetisi nanti, aku akan sangat senang jika tulisanku terus dipantau dibaca dikritisi karena dari situlah aku belajar. Untuk urusan bobol membobol aku kira sekedar dinamika yang akan terus terjadi di media online.

Selamat bekerja di tempat yang baru bung.

Anonymous said...

sama sama belajar lek. aku yakin kalian akan jauh lebih maju. ingin selalu beda dengan menjadi lebih baik