Puasa ialah disiplin hidup beragama tertinggi dalam Islam. Bukan hanya lapar dan haus, melainkan segala emosi keduniawian harus dapat dikendalikan oleh mereka yang berkomitmen untuk menjalani puasa. Itu sebabnya, betapa seriusnya berpuasa itu. Kesanku adalah keangkeran.
Tapi, aku senang, teman-teman di kantorku ternyata lucu-lucu dalam menjalani hidup berpuasa ini. Mereka berhasil menjelaskan kepadaku bahwa puasa itu tidak angker dan tidak harus membuat jarak pemisah dengan orang yang tidak berpuasa agar suci.
Teknologi facebook memungkinkanku mengetahui isi pikiran dan hati mereka. Karena mereka bisa menuliskan kata singkat yang biasanya mewakili suasana hati dan pikiran si pemilik facebook yang mempublikasikan tulisannya itu. Dan tema yang mereka tuliskan biasanya mengikuti apa yang berkembang di masyarakat.
Nah, karena ini bulan puasa, status facebook yang kuamati selalu seputar pernak-pernik mereka dalam menjalani puasa. Tiba-tiba ada temanku memasang status deskripsi tentang makanan pada jam makan siang. Isinya begini, es jeruk yang dingin, nasi anget dan sambal trasi, ditambah lalapan.
Status itu ingin menjelaskan dalam keadaan lapar dan haus seperti ini, betapa enaknya makan dan minum yang segar. Tentu saja status itu menuai banyak respon dari pemilik facebook lain. Mereka ramai-ramai komentar temanku tadi itu.
Status semacam itu tidak satu dua saja kutemui. Tapi banyak betul yang memasangnya untuk memancing emosi teman-teman lainnya agar berkomentar di bawahnya. Dalam hati, ini bercanda yang keterlaluan. Tentu saja semua orang jadi berimajinasi kepada makanan kalau dalam keadaan kelaparan seperti ini. Kadang-kadang mungkin saking tidak tahannya, temanku yang memasang status itu dianggap makanan dan diserang melalui komentar-komentar pedas.
Ada lagi beberapa temanku yang selalu memasang status soal pengalamannya yang katanya selama puasa ini selalu membaca kitab suci dan rajin salat di tempat ibadah. Padahal aku tahu betul, dia ini tidak pernah ke masjid, sebelum masuk bulan puasa ini. Salat lima waktu pun, dia tidak pernah.
Aku terpancing juga ikut berkomentar di facebooknya. Kukatakan, memang bulan puasa ini malaikat pembantu Tuhan pasti sibuk sekali mendata hamba-hambanya. Karena jumlah amal yang masuk ke data para malaikat tiba-tiba membludak tajam. Bagaimana tidak, tiba-tiba semua orang jadi religious.
Tapi setelah puasa berlalu, biasanya data amal merosot tajam. Karena hamba-hamba yang tadinya tiba-tiba religious, akan sadar dan mereka kembali ke jalan yang salah. Jadi, kubilang, religious dadakan. Hanya di bulan puasa saja menjadi ustad, kalau di luar bulan puasa, jadi pendosa lagi.
Tiba-tiba beberapa temanku yang tidak pernah salat menulis pengalamannya gagal ikut salat ke masjid karena masjidnya penuh. Karena dia yakin Tuhan pasti memahami alasannya itu, maka dia memilih lebih baik pulang dan tidur.
Ada sejumlah teman lainnya yang kemudian berkomentar agar jangan membawa-bawa nama Tuhan untuk alasan kemalasan datang ke masjid. Lebih baik mengaku malas, karena Tuhan lebih menyenangi hamba-hambanya yang berlaku jujur dalam bulan suci ini daripada mencari-cari alasan untuk membenarkan kesalahannya.
Komentar langsung meluncur terus. Katanya, paling-paling hanya sepekan saja masjid penuh, setelah itu akan jadi sepi lagi karena pada dasarnya hamba-hamba ini malas. Pergi ke masjid hanya menjadi tradisi setahun sekali dan hanya menjadi syarat saja.
Setelah itu, semuanya tertawa-tawa saling mengejek. Dan aku tambahi, lebih baik tidak usah ke masjid kalau hanya terpaksa. Daripada Tuhan murka karena merasa dipermainkan umatnya, lebih baik jujur kepada Tuhan, malas ya mengaku malas saja.
Biasanya tidak pernah ada perdebatan lebih serius lagi, walau tema-tema yang diangkat dalam facebook itu kadang menarik untuk diperdebatkan. Tapi dasar, teman-temanku memang tujuannya bukan ke arah itu, melainkan hanya untuk bergembira, jadi semuanya mengalir begitu saja.
Aku sendiri kemudian memasang status. Kutulis begini, aku sedang merencanakan untuk memberikan penghargaan kepada teman-temanku yang sukses menjalani puasa sepekan tanpa bolong. Tujuanku tidak lain hanya memotivasi temanku, meningatkannya, sekaligus menghibur mereka.
Aku malah kena hajar. Katanya, mereka lebih memilih mengharapkan pahala dan percaya kepada yang di atas sana, ketimbang menerima penghargaanku. Penghargaan dari orang yang tidak berpuasa. Lalu kujawab lagi, nah, itulah tujuanku membuat status, supaya temanku ini introspeksi dan agak serius untuk menyempurnakan ibadahnya.
Teman lainnya malah membalik logika statusku. Kata dia, lebih baik hadiahnya diberikan kepadaku kalau aku bisa ikut berpuasa sepekan penuh. Teman-temanku mengangkat soal statusku ini sebagai tema terfavorit hari itu. Bagaimana tidak, kata mereka, tiba-tiba aku peduli orang berpuasa.
Temanku yang satu ini memang unik. Kalau tidak di bulan puasa biasanya status facebooknya pasti yang selalu bernada seks dan perselingkuhan. Tapi tiba-tiba, statusnya selalu religious semenjak memasuki puasa. Hanya saja, seringkali dia sepertinya lupa, kalau dia sedang puasa, seks dan perselingkuhan sering lolos di facebooknya.
Walau begitu, umumnya status yang dia pasang telah berubah menjadi lebih alim dan rohani. Misalnya, dia menulis begini, sore ini menunggu buka puasa bersama siapa lagi ya… Hari ini, ingin makan bersama lagi di suatu tempat. Temanku ini sesungguhnya sudah beristri, tetapi dia selalu mengarah-arah ke perempuan yang buka istrinya.
Maka itu, aku sering iseng dengan memberinya komentar yang membuatnya tidak enak hati. Kadang-kadang, dia sampai menelponku agar tidak lagi mengganggu statusnya yang mengarah ke perempuan-perempuan untuk diajaknya bertemu itu. Aku tertawa karena dia merasa terganggu begitu.
Tetapi aku tahu, teman-temanku ini sebenarnya termasuk manusia yang agak bertanggung jawab dengan ibadahnya. Yang mereka ungkapkan dalam status itu bagiku hanya sebagai keinginan menertawakan rasa lapar mereka dan menjelaskan bahwa mereka tidak fanatic dengan agamanya.
Kalau mereka tidak bertanggung jawab, tentu saja tidak berubah seperti itu. Aku beberapa kali mengingatkan kepada teman-temanku agar puasa yang dilakukan ini bukan sekedar tradisi, melainkan didasarkan atas kesadaran dan kebebasan untuk memilih menjalankan hidup berupasa.
Dengan demikian, kuharap makna puasa yang mereka lakukan betul-betul melekat dalam kehidupan di masa mendatang. Saling memaafkan, saling memahami, dan lebih dalam sifat-sifat kemanusiaannya di masyarakat yang makin terlindas modernitas seperti sekarang ini.
No comments:
Post a Comment