Sakit adalah fakta yang abstrak. Kukatakan abstrak karena sakit hanya dapat kurasakan, tetapi sakit tidak dapat kupegang-pegang, kubanting-banting, kutendang-tendang, kugambarkan, dan kuperagakan. Tetapi, kehadiran fakta itu nyata-nyata telah memicu kemarahanku.
Sakit datang tanpa kuundang dalam kehidupanku. Maka, kusimpulkan sakit adalah fakta yang tidak punya sopan santun sama sekali. Datang sekehendaknya. Kedatangannya tak sanggup kutolak. Bahkan, aku tidak mampu menutup pintu tubuhku rapat-rapat dan menguncinya dengan sepuluh anak kunci sekalipun untuk mencegahnya masuk.
Dia tetap mampu datang ke tubuhku kapanpun. Entah ketika aku sedang tidur, sedang sadar, sedang membaca buku, sedang bekerja. Sakit punya kekuatan yang manusia sulit mengalahkannya. Pelan-pelan, tapi pasti sakit datang. Menusuk badan. Terserah masuk dari pintu mana. Dia tetap masuk dengan kekuatan yang dimilikinya.
Aku memang dibekali kesadaran dan kecerdikan dalam mengantisipasi sakit. Akan tetapi ternyata sakit masih lebih cerdas dariku. Kucegah dari pintu sisi sana, dia mampu masuk dari pintu lain yang sebelumnya sama sekali tak kuduga. Sakit memang sangat pandai mengecoh.
Sakit. Kau memang sangat menyebalkan. Aku ingin menganggapmu tidak ada. Tapi kenyataannya kau ada di dunia ini, bahkan dapat tiba-tiba ada dalam diriku. Sakit kemudian berubah bencana bagi kebebasanku ketika dia telah berhasil merasukiku. Dia akan menjadi penguasa dan mengendalikan fisikku, bahkan mentalku.
Betapa tidak, ketika sakit ada dalam diriku, aku sudah tidak dapat mengerjakan hal-hal yang selama ini membahagiakanku. Aku tidak dapat mengerjakan lagi rupa-rupa kegiatan yang bermanfaat. Sakit tiba-tiba dapat melenyapkan kreativitasku.
Semua itu terjadi sepekan lalu. Aku benar-benar dikuasainya dari segala sisi. Tubuhku yang selama ini kuagung-agungkan sebagai fisik yang kuat dan menopang kehidupanku, ternyata ditaklukannya dengan mudah. Dan aku hanya lemas tak berdaya di kamar kos selama seminggu.
Sakit adalah penghalang besar bagi kebebasan manusia. Bahkan sakit adalah penghalang perkasa nomor kedua bagi kebebasan setelah realitas kematian. Jangankan membaca buku dengan baik, tidurpun sangat tidak nyaman karena sakit benar-benar menjadi raja yang lalim.
Baiklah. Secara fisik kau memang kuat. Fisikku, fisik manusia mampu kau kalahkan. Bahkan, perasaanku yang tidak berbentuk fisik pun, mampu kau lemahkan. Tapi tidak untuk pikiranku. Pikiranku jauh lebih berkuasa dari kekuasaan yang dimiliki sakit.
Melalui pikiranku, aku dapat menciptakan kebebasanku lagi. Kebebasan untuk memilih berobat agar kau lenyap. Kebebasan untuk mampu menganalisa cara kerja sakit. Dan kebebasan untuk menilaimu bahwa kau hanya dapat bekerja dalam fisikku saja, tapi tidak pada pikiranku.
Akan tetapi, harus tetap kuakui juga bahwa kau hebat. Kebebasanku untuk berobat dan melenyapkanmu itu bagaimanapun kuputuskan setelah kau ada di dalam tubuhku. Kau sudah ada, baru aku berpikir tentang bagaimana melawanmu. Kau sudah berhasil memasukiku, baru setelah itu aku bertindak.
Filsuf eksistensialis, Karl Jaspers, menyebut semua itu sebagai penderitaan. Penderitaan adalah salah satu situasi batas manusia. Manusia harus menghadapi penderitaan. Dia bisa menderita penyakit, kelaparan, kesengsaraan, kemurungan. Dan tidak ada jalan keluar dari kenyataan bahwa penderitaan adalah sesuatu yang harus ditanggung oleh manusia. Penderitaan tidak dapat dipertukarkan dengan orang lain.
No comments:
Post a Comment