“Hari ini apakah Miss Curcol banyak acara ya,” kataku melalui pesan singkat kepada Miss Curcol di sana. Waktu itu, kupikir kalau seandainya dia lagi tidak ada kegiatan, aku bisa mengajaknya jalan-jalan untuk menikmati hari libur kerja.
“Tidak juga, aku lagi beres-beres rumah. Nanti sore mau belanja barang-barang rumah. Sudah,” katanya beberapa menit kemudian membalas pesanku.
Ya ampun, batal lagi, pikirku. Tetapi aku masih penasaran, mungkin Miss Curcol masih ada waktu untuk jalan-jalan di sela-sela kegiatan di rumahnya. Lalu ku SMS lagi. “Beres-beres rumahmu akan kelar jam berapa ya Miss.”
Aku berharap dia memberi jawaban dan meluangkan waktu untuk jalan-jalan. Seperempat jam kemudian dia balas. “Ada apa to."
“Aku mau main ke Depok ketemu kowe. Jadi, maksudku, mau ngajak nonton atau makan di Negeri Depok, gitu lo,” balasku.
“Hwaha.. kirain ada apaan. Tapi, nanti sore aku mau belanja sama kakakku, sekarang masih beresin rumah dan mencuci.. hehe..” katanya.
“Itu penjelasan kalau kamu belum ada waktu ya.. hehe.. Berarti aku tidak jadi terbang dengan balonku ke Depok,” kataku lagi.
Miss Curcol bilang, “Hehe.. iya, maaf ya, mungkin terbang ke TIM lebih seru, like usual. Hehe…”
“Aku sudah di TIM. Ya wis tidak apa-apa. Lanjutkan pekerjaan rumahnya ya, hehehe..” kataku.
“Oke,” ujar Miss Curcol.
Setelah itu, rasanya keberuntungan belum ada pada kehidupanku. Miss Curcol sangat menyintai keluarganya. Dan aku sangat menghargai itu. Tetapi tidak mengapa, biarlah Miss Curcol bekerja, sementara aku masih bisa mencari hiburan lain sendirian.
TIM.
Waktu dia bilang main ke TIM lebih seru, aku jadi senang. Ternyata Miss Curcol mengetahui bahwa kawasan yang ini memang sangat menarik. Dia belum tahu kalau di tempat inilah aku menghabiskan sebagian besar liburan selama tinggal di Ibukota Jakarta.
Hampir setiap minggu, aku main di sana. Aku sudah familiar sekali di TIM. Bahkan, aku sampai kenal baik dengan pemilik rumah makan Venus yang letaknya di deretan pertama setelah mengambil karcis kendaraan bermotor di loket.
Rumah makan itulah yang kujadikan semacam markas pribadi untuk membangun ide dan menyusun rencana mengisi hari liburan yang produktif. Atau kalau sedang tidak ingin kemana-mana, aku duduk saja di rumah makan gayanya mirip sawung itu sambil minum kopi atau juice di depan televisi.
Biasanya kalau hari libur, Sabtu atau Minggu, aku memulai petualangan liburan dengan menonton wahana luar angkasa di Planetarium yang berada di kompleks TIM. Ini kusebut tempat yang ilmiah, tetapi murah, hanya bertarif Rp 7 ribu.
Kalau hari Sabtu, biasanya harus mengantri sampai dua jam lebih di depan loket. Maklum, ini tempat hiburan anak sekolah. Akhir pekan, pengunjungnya membludak. Jadi harus berkeringat berdesak-desakan dengan anak-anak kecil untuk mendapatkan tiket masuk.
Di Planetarium, aku bisa merenungi posisiku sebagai manusia yang dapat hidup di Bumi. Bumi hanyalah satu titik bintang di Galaksi Bima Sakti. Bumi ini satu dari 400 milyar bintang yang berada dalam galaksi Bima Sakti.
Dan di alam semesta yang tidak ada satupun manusia dan teknologi yang diciptakannya sanggup mengetahui batas pinggirnya, ada jutaan galaksi. Dan masing-masing galaksi memiliki antara 400 dan 800 milyar bintang. Luar biasa. Adakah alasan manusia bersikap tamak di alam semesta ini?
Itu salah satu tujuanku berminat nonton Planetarium rutin sebulan sekali. Wahana ini hanyalah satu hiburan yang dapat kunikmati di kompleks TIM. Masih banyak lagi hiburan bermutu lainnya di sini. Kalau pertunjukan simulasi di Planetarium selesai, biasanya aku nonton film di bioskop 21.
Aku hampir selalu menonton film-film yang baru yang diputar di sana. Aku suka sekali menonton film. Apapun filmnya aku menyukai, kecuali film-film tentang hantu atau yang judulnya jelek-jelek. Film merupakan lahan untuk belajar tentang kehidupan. Bagiku, film merupakan refleksi dari realitas.
Kalau tidak ada film baru, aku akan menonton film dokumenter yang diselenggarakan Kineforum, Dewan Kesenian Jakarta. Biasanya diputar di Studio 1 bioskop 21. Dan gratis. Malah kadang-kadang dapat stiker atau brosur-brosur informasi penting tentang kebudayaan.
Program film dari Kineforum ini rutin diadakan setiap hari setiap bulan. Keberadaannya di Ibukota Jakarta untuk menjelaskan bahwa ada juga film bermutu yang tidak dikomersialkan. Mereka biasanya bekerjasama dengan IKJ, kantor-kantor kebudayaan asing di Jakarta, dan lembaga-lembaga swasta lainnya.
Itu sebabnya, film-film yang diputar di sana selalu bagus. Tetapi, rasanya orang kurang berminat menonton di studio 1. Orang lebih senang menonton di bioskop 21 karena memang jauh lebih menegangkan pertunjukkan film-film keluaran baru dari barat.
Aku orang yang setia di Kineforum. Tiap film pasti kutonton. Tiap hari biasanya ada tiga judul yang diputar dan aku pasti menonton semuanya dengan setia dari siang hari sampai malam hari. Dari ramai orang sampai sepi orang di TIM.
Selain film, di TIM juga ada toko buku yang dikelola seniman bernama Jose Rizal Manua. Letaknya berderet dengan bioskop, tepatnya di ujung bangunan. Aku suka main ke sana. Kadang beli buku-buku cerita kuno. Tapi paling sering sih tidak membeli, hanya sekedar membaca di tempat. Hampir semua yang di jual di sana ialah buku-buku sastra.
Itu toko buku. Tempat belajar sekaligus memperhatikan orang-orang yang masuk ke sana. Aku paling senang menyelidiki orang-orang yang suka membaca buku di sana kalau kebetulan aku sedang sudah kelelahan membaca.
Aku selalu berpikir, orang-orang yang datang ke toko buku ini, pastilah mereka yang suka membaca. Orang-orang khusus. Orang yang ingin maju dan keluar dari kebodohan yang membelenggu. Orang-orang yang memilih meninggalkan jalan kemalasan.
Semua itu memacuku untuk tidak terlena dengan kesenangan dan membuang sisa hidup dengan sia-sia. Aku punya banyak teman yang sudah bekerja enak, tetapi mereka terlena dengan itu. Akhirnya malas membaca, malas berpikir maju, hidupnya selalu mengeluh dan ingin selalu lari dari masalah serta tidak produktif. Katak dalam tempurung.
Toko buku tua itu merupakan satu tempat pendidikan yang sangat baik. Tapi masih ada lagi hiburan berkualitas di TIM. Misalnya pameran lukisan, pertunjukan musik, pagelaran wayang, perlombaan kesenian daerah, teater, dan dakwah Emha Ainun Nadjib melalui kelompok Kenduri Cinta-nya.
Tapi pertunjukkan-pertunjukkan semacam itu tidaklah rutin diadakan setiap pekan. Akan tetapi hampir setiap bulan pasti digelar di kompleks Taman Ismail Marzuki tercinta.
Setelah capek dan lapar, aku menuju ke rumah makan langganan di sana. Makan sambil selonjoran dan menonton televisi. Kalau televisinya kebetulan sedang tidak dihidupkan, biasanya ada pemutaran musik-musik tradisional. Hehehhe.
Sambil leyeh-leyeh di rumah makan itu, aku buka laptop dan menulis cerita. Kalau sedang tidak ingat kesehatan jantung dan paru-paru, biasanya aku merokok sambil minum bir kaleng yang tidak memabukkan.
Pelayan rumah makin di sana biasanya sudah tahu kalau aku sedang begitu, berarti mesti segera digorengkan kentang untuk cemilan. Inilah hidup di perantauan Jakarta yang sesungguhnya, pikirku kemudian. Salah satu tempat petualangan itu ada di TIM.
Aku ingat Miss Curcol lagi. Aku tidak tahu apakah dia tahu dengan baik tempat semacam ini. Tapi, tentunya dia sudah familiar dengan TIM, karena Miss Curcol sudah lebih dulu mengenal baik Ibukota Jakarta.
No comments:
Post a Comment