SUATU akhir pekan, berlangsunglah acara malam amal. Acara ini diselenggarakan oleh pengusaha yang memodali sejumlah media. Beberapa bos media juga diundang ke sana.
Seorang wartawan muda memperhatikan gerak-gerik bos media tempatnya bekerja yang juga hadir di sana. Dia heran, kenapa bosnya tidak duduk saja di kursi yang telah disediakan untuknya. Si bos, malah berdiri saja di depan pintu masuk.
Setengah jam kemudian, si wartawan muda itu baru tahu kalau si bosnya sedang menunggu pengusaha yang memodali redaksinya. Begitu si pemodal datang, si bos yang selama ini dikenal selalu bergaya jurnalis idealis itu, langsung menunduk-nunduk seperti kucing yang begitu nyaman berada di belaian pemiliknya.
Si bos media media kemudian menjabat tangannya erat-erat sambil diayun-ayunkan. Dia sampai mendekatkan kepalanya ke tangan si pemodal. Mungkin kalau tidak ada orang di sekitarnya, si bos menciumi tangan si pemilik modal media.
Sambil terus merendahkan badan dan bergaya tersipu-sipu malu, si bos mendampingi pemilik modal berjalan ke tempat duduk di deretan depan.
Si wartawan muda yang mengetahui kejadian itu, tidak habis pikir. Mengapa sih bosnya mesti bersikap seperti itu. Padahal, harusnya bisa biasa-biasa saja seperti orang lain yang hadir dalam acara malam dana.
Begitu si pemodal duduk di kursi, si bos media tidak segera pergi. Dia menemani si pemodal dulu. Dia duduk di bawah kursi, dekat kaki si pemodal sambil sesekali mengajak pemodal bicara. Di sana, dia seperti anak kecil yang menggelendot-nggelendot bapaknya untuk minta jajan.
Pemandangan yang aneh, pikir si wartawan muda. Bos yang hobi menang sendiri jika berpendapat di hadapan anak buah itu, bisa bertekuk lutut dengan pengusaha di tempat umum seperti itu.
Pikirnya, pantas saja, selama ini kebijakan redaksi selalu menguntungkan pemilik modal.
1 comment:
Uhuk!wahaha..lucu..
Bos tnyata babu juga kalo di depan super-bos
Post a Comment