Saturday, October 30, 2010

Wartawan Amplop dan Bos Media

SEORANG wartawan senior bicara menggebu-gebu di sebuah warung kopi. Katanya, jika saja semua perusahaan media mengupah secara layak jurnalisnya, maka hal ini bisa mencegah wartawan menerima atau meminta amplop. Bahkan, bisa mengantisipasi mereka agar tidak nyambi jadi makelar kasus.

Wartawan yang menerima suap, amplop, makelar kasus, ataupun hal-hal yang diharamkan oleh kode etik profesi wartawan, pemicu utamanya ialah rendahnya upah yang mereka terima dari perusahaan, ujar si senior itu.

Ia semangat sekali bicara soal upah layak bagi para jurnalis. Bahkan, ia menyebutkan satu persatu media yang upahnya layak, kurang layak, tidak layak, sampai media yang tidak mengupah wartawannya sama sekali. Wartawan yang tidak diupah oleh kantornya, biasanya disuruh cari iklan, jual koran, atau cari uang dari narasumber.

Setelah si senior selesai bicara, temannya gantian bicara. Sepertinya ia tidak puas dengan apa-apa yang disampaikan oleh si senior. Menurutnya, menyoroti masalah kewartawanan harus lebih luas lagi.

Apakah kalau kemudian semua wartawan diberi upah layak, terus hal itu dapat menjamin mereka tidak melakukan pelanggaran kode etik lagi? Kenapa kode etik seolah-olah hanya menyoroti wartawan di lapangan?

Ia menyontohkan, bos media tempatnya bekerja. Bosnya bergaji besar. Tapi, masih saja cari proyek dengan memanfaatkan pengaruhnya sebagai wartawan, memanfaatkan medianya.

Lalu, si bos media yang juga wartawan itu ternyata punya semacam kesetiaaan khusus dengan pemodalnya. Yaitu, media ini tidak akan mengutak-atik kasus-kasus yang dilakukan pemodal, seburuk apapun, sepenting apapun.

Kalaupun suatu hari menulis kasus (karena media menulis terus di halaman utama) yang menjerat pemodal, tentu saja bos media ini memerintahkan awak redaksi agar menulis secara sopan atau berusaha mengangkat dari sisi baik dari perusahaan saja. Kalau perlu, data-data kasus yang menjerat sang pemodal tidak usah dituliskan. Bagaimana?

Beberapa wartawan yang sedang duduk-duduk di warung kopi terdiam ketika mendengar statement itu, terutama si wartawan senior tadi. Agaknya, si senior masih butuh perenungan untuk menjawabnya dengan baik.

3 comments:

ReBorn said...

wah, memang harus ati-ati ngomong di lingkungan jurnalis.

Nova Miladyarti said...

mas, ada award untuk mas di blog saya.diambil ya kalau berkenan^^

Siswanto said...

Makasih ya Nov. Seneng lhooooo