Sunday, August 30, 2009

Berdebat dengan Ya dan Tidak

Ya dan tidak. Ya sekaligus tidak. Jawaban yang sangat abstrak. Jawaban itu muncul ketika aku bertanya kepada Miss Curcol tentang apakah dia sudah punya pacar. Pada waktu itu, posisiku tidak dapat mendesaknya untuk menjawab dengan jujur. Tetapi, aku akan menganalisa jawaban yang sangat membingungkan kehidupanku malam itu.

Menurutku. Boleh jadi, dia punya alasan sederhana mengapa mengungkapkan jawaban pendek itu. Mungkin, dia berpikir bahwa bukankah kami ini tidak terlalu mengenal kehidupan masing-masing. Aku datang dalam lingkungan hidupnya baru-baru ini saja. Baginya mungkin tidak ada kesan-kesan menarik. Kecuali membosankan.

Walaupun dalam beberapa kali kesempatan, aku sudah menjelaskan posisi hidupku, mungkin saja dia tidak terlalu peduli dengan perkenalan itu. Memang kehidupan di Ibukota Jakarta yang agak modern ini cenderung memaksa orang untuk tidak terlalu peduli. Lalu, dengan dasar itu dia berpikir, mengapa harus menjawab dengan jujur pertanyaanku. Lagipula, itu kan pertanyaan yang bersifat sangat pribadi.

Malahan, mungkin dia berpikir bahwa pertanyaanku itu terlalu kurang ajar. Tidak seharusnya aku menanyakan tema seperti itu. Sebab, kebebasan pribadinya terganggu. Tidak ada pentingnya buat masa depannya. Jadi, dia memilih dengan kesadarannya untuk tidak menjawab dengan tepat. Jadi lebih baik, ya dan tidak.

Iya. Memang itu pertanyaan pribadi sifatnya. Tapi, kupikir karena kami sudah saling mengenal, walau perkenalan kami terbilang lucu dan minim, jadi aku merasa tidak ada salahnya untuk bertanya tentang apakah dia sudah punya pacar. Toh, pertanyaan itu kukatakan dengan jujur dan dengan kesadaran bahwa dia tidak harus menjawabnya.

Baiklah. Kembali kepada upaya mengungkap misteri mengapa Miss Curcol idolaku itu menjawab seperti itu. Mungkinkah dia sedang mengujiku dengan jawaban mengambang semacam itu. Lalu, secara tidak langsung aku dimintanya untuk menemukan sendiri jawabannya.

Kalau begitu maksudnya, aku tidak akan putus asa. Akan kukerahkan kemampuanku untuk mencari jawabannya. Hanya saja, aku berpikir, apa dasarku mengatakan bahwa dia sedang mengujiku. Kalau dia mengujiku, tentu ada tujuan tertentu yang intinya dia mengharapkan sesuatu yang khusus dariku sehingga dia merencanakan dengan kesadarannya untuk mengujiku. Rasanya mustahil.

Timbul pertanyaan lagi dalam pikiranku. Apakah dia ini termasuk manusia yang menyukai cara berpikir filsafat sehingga jawabannya sangat abstrak semacam itu. Sebuah jawaban yang harus dijelaskan dengan melewati terlebih dahulu metode perenungan yang mendalam untuk menemukan penjelasannya.

Kalau itu alasannya, memang aku tidak salah telah mengaggumi sekaligus mengidolakannya. Kelak, aku akan memutuskan untuk belajar padanya tentang pemikiran-pemikirannya sehingga dia selalu menyukai untuk memilih jawaban-jawaban abstrak dan membutuhkan perenungan untuk menjelaskannya. Jawaban khas seorang pemikir yang dipenuhi pikiran.

Tapi, aku sudah menanyakan itu dan dia menjawab dia tidak suka berfilsafat. Tapi kalau dia tidak suka dunia pemikiran, mengapa menyukai inti pikiran Rene Descartes tentang cogito ergo sum, aku berpikir maka aku ada. Aku mampu meragukan, maka aku adalah manusia.

Atas dasar itu, aku sempat mencoba menyimpulkan jawabannya ya dan tidak itu, apakah dia bermaksud mengatakan iya. Iya, yang dimaksudkannya dalam konteks pertanyaanku tadi adalah tidak. Yang berarti dia tidak punya pacar. Atau sebaliknya.

Begini. Rasanya penjelasan itu belum memuaskanku. Masih tidak terjelaskan dengan jelas. Ya dan tidak. Ya sekaligus tidak. Apa maksudnya. Mmm. Jangan jangan sebenarnya dia sedang menyayangi seseorang. Tetapi dia masih diliputi keraguan tentang proses menjadi pacar. Dia sayang sama A. Tetapi dia tidak yakin apakah A akan atau telah menerimanya.

Atau dia meragukan tentang A. Ragu tentang apakah A ini sudah punya pacar atau belum. Ragu tentang apakah A ini sebenarnya sayang sama temanku ini ataukah tidak. Ragu apakah A ini nanti akan bisa memahaminya ini ataukah tidak. Ragu apakah A ini mau pindah agama seperti yang dipeluknya ataukah tidak.

Atau mungkin begini. Sebenarnya dia tahu sedang disukai sama si A. Tetapi dia masih ragu dengan ketulusan cinta si A itu. Dia masih menaruh curiga dengan alasan-alasan yang membuat hidupnya dipenuhi ketidakyakinan.

Kalau itu alasannya sehingga dia menjawab pertanyaanku dengan ya dan tidak, aku bisa memahaminya. Kehati-hatian untuk memutuskan atau memberikan cinta itu perlu, karena kehidupan orang Timur memang ditempa demikian.

Aku jadi ingat penjelasan tentang cinta dari guru filsafatku di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Perasaan cinta adalah hadiah khusus dari tuhan. Cinta lalu diberikan manusia ke manusia lain dengan gratis. Karena gratis, maka orang lain bebas menerimanya atau menolaknya. Kita tidak boleh marah karena ditolak. Karena memang itu gratis.

Sebab, kalau sampai timbul kemarahan, berarti dia tidak betul-betul memahami orang yang disayanginya. Karena selain gratis, cinta itu harus didasari rasa memahami. Memahami berarti menghormati. Memahami berarti berpikir bahwa dia tidak berhak memaksakan kehendak. Memahami berarti mengerti bahwa orang lain punya kebebasan pribadi yang tidak dapat dicampuri.

Tapi, ada juga guruku yang lain bilang dengan ganas, cinta itu adalah kehendak untuk menguasai orang lain agar mereka mengikuti kemauan dan cita-cita kita. Cinta adalah tuntutan. Orang yang saling jatuh cinta adalah orang yang sesungguhnya saling menuntut satu dengan yang lainnya. Baguslah kalau dua-duanya menyadari itu. Tapi kalau tidak itu bisa timbul masalah. Maka, ketika yang satu tidak meluluskan kehendak yang lain, timbulah persoalan.

Maka dengan itu, disadarkanlah manusia tentang makna kebebasan pribadi. Kalau cinta adalah memaksakan kehendak, maka betapa mengerikannya orang lain. Mereka hanya ingin memaksakan kehendak atas diriku, dan kebebasanku akan sirna oleh kehendak itu. Maka orang lain adalah neraka bagiku.

Ah, aku jagi ngelantur. Kembali ke persoalanku tentang ya dan tidak. Bisa jadi sebenarnya Miss Curcol sedang berpacaran sekarang ini. Tetapi, dalam situasi pertengkaran menuju jurang perpisahan. Dia berusaha memahami pacarnya, tetapi putus asa selalu melandanya. Hari-harinya diliputi dengan keraguan tentang apakah pacarnya itu serius atau tidak.

Dalam situasi seperti itu, dia berpikir, mengapa makin lama pacaran, pacar bukan tambah dewasa, tetapi tambah seperti anak kecil. Bukankah tanda-tanda keseriusan menjalin hubungan itu adalah ketika semakin lama, semakin menunjukan tanda kenyamanan, bukan sebaliknya siksaan.

Maka itu, Miss Curcol tidak terlalu fokus menjawab pertanyaanku. Yah, aku tahu, pertanyaan apakah sudah punya pacar atau belum, tentu sulit dijawab kalau orang sedang dalam suasana tidak bebas. Tidak bebas yang kumaksud adalah dia menganggap aku adalah orang lain yang tiba-tiba bertanya hal yang bersifat pribadi. Tentu saja kebebasannya akan sangat terusik.

Aku masih penasaran. Mengapa dia tidak menjawab secara tepat saja. Toh aku orang lain dan tidak penting. Atau dia membohongiku saja dengan mengatakan sudah punya pacar sehingga selesailah persoalah. Hmmm. Mungkinkah dia malu untuk jujur. Malu. Tapi mengapa harus malu. Toh dia tidak peduli denganku, apa dasarnya malu.

Ooohh. Sampai alenia ini, ternyata aku tidak mampu menjelaskan dengan tepat makna ya dan tidak. Tapi, aku yakin, ada penjelasan soal itu yang tepat. Mungkin aku harus meminta secara khusus kepada Miss Curcol untuk mengungkap misteri jawaban itu. Ah, Miss Curcol seperti main solitaire saja kau.

Tapi, seandainya waktu itu Miss Curcol mengatakan jawaban ya. Mungkin aku masih meragukan kebenarannya. Dan perlu diperdebatkan lagi. Karena bagiku jawaban ya dalam konteks kasus ini, pastinya dia belum menjawab dengan baik.

Kalau jawabanmu ya, yang berarti menyatakan setuju bahwa dia telah punya pacar, pasti aku masih akan bertanya lagi. Ya itu maksudnya, ya untuk yang di Jakarta. Ya untuk yang di Bandung, Ya untuk yang di Depok, atau Ya untuk yang di Bekasi. Kalau begitu, banyak sekali pacarmu di dunia ini. Kalau begitu, aku tidak percaya bahwa jawabannya diberikan secara jujur.

Atau seandainya kau katakan tidak. Tidak berarti adalah sebuah pengingkaran dari dari jawaban ya. Maka akan kutanyakan lagi, maksudnya tidak untuk yang di Jakarta, tapi ya untuk yang di Bekasi. Tidak untuk yang di Bekasi, tapi ya untuk yang di Depok dan seterusnya. Ya ampun. Miss Curcol, ternyata betapa rumitnya menjelaskan jawabanmu, ya dan tidak.

2 comments:

Anonymous said...

Maria Ann: Siswantooooo. kumat lagi kowe yo. tapi, bagus, aku suka itu... perjuangkan sobat

Anonymous said...

Siahaan: Sobat, Miss Curcol itu konsep apakah? hahaha... kau ini terlalu hati hati sobat..

Hey, kapan kau dapat beasiswa, seperti kami. hahaha... apakah sudah selesai hidupmu dengan bekerja seperti sekarang. Keluarlah dari Indonesia biar kau tau dunia itu begitu luas dan menantang sobat...