“Pengen nonton film UP,” kata Miss Curcol di status Yahoo Messengernya siang hari itu. Kuperhatikan status yang sepertinya menegaskan penasaran betul untuk menyaksikan film di bioskop 21 itu terpampang seharian.
Dalam hati kecilku bilang, betul Miss Curcol, kamu sebaiknya segera menonton film animasi itu di layar lebar. Sebab kalau tidak, pasti akan penuh penyesalan. Ini memang film untuk segala umur, tetapi aku yakin Miss Curcol akan betul-betul menikmati isinya.
Kemudian keesokan harinya, aku mengirim pesan kepada Miss Curcol lewat YM. “Kamu sudah menonton UP,” kataku. Aku ingin bertukar pengalaman tentang film itu dengan dia. Soalnya, aku paling suka mendengar refleksi orang lain atas film-film yang baru mereka tonton.
Tujuanku agar referensi pengetahuan tentang makna yang disampaikan cerita film akan menjadi kaya raya oleh pengalaman-pengalaman yang orang lain bagikan padaku.
“Belum, baru malam ini mau nonton,” jawab Miss Curcol. Aiiih, kupikir tadinya beliau sudah menonton. Rupanya belum. Mungkin dia tidak punya teman yang diajak melihat film sehingga ketunda. Sebenarnya pada waktu dia pasang status itu, aku mau menawarkan diri untuk ikut. Tapi karena malu, terpaksa kuurungkan niat menemaninya ke bioskop.
Kubilang ke Miss Curcol bahwa aku sudah menonton di bioskop Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, pada malam sebelumnya. Setelah kukatakan itu rasa penasarannya untuk melihat film seperti menjadi-jadi. “Bagus ya,” kata dia.
“Aku yakin kamu akan menangis sambil menonton film ini,” kataku.
Kuceritakan sedikit soal UP. Ini bukan sembarang cerita. Film UP ini, antara lain, ingin menjelaskan kepada orang dewasa bahwa mereka haruslah memahami betul dunia anak-anaknya. Semasa kecil menuju pertumbuhan dewasa, anak-anak itu punya mimpi-mimpi, cita-cita, yang diolah melalui sudut pandang anak kecil.
Anak-anak adalah identik dengan kepolosan, keluguan, rasa tidak berdosa, dan juga keras kepala. Dan dunia mereka senantiasa penuh semangat hidup dan berwarna sehingga mengalahkan logika orang dewasa. Nah, di situlah sering bentrok dengan orang tua.
Sepanjang film ini, kataku kepada Miss Curcol, penuh dengan warna kelucuan, kesetikawanan, konsistensi, perdebatan, dan konflik ketika manusia harus membuat sebuah keputusan di antara dua pilihan yang sama-sama menyentuh kemanusiaannya.
Aku tidak mau cerita detail-detail kepada Miss Curcol. Soalnya kalau diceritakan, aku khawatir kejutan-kejutan dan emosi dalam film ini tidak lagi dirasakan Miss Curcol nanti ketika menonton film sepulang dari tempat kerja.
Tapi aku bisa menangkap dia sangat ingin segera pulang dan pergi ke bioskop. Lalu membuktikan apakah betul pengaruh dongeng anak yang difilmkan itu bisa membuat orang berurai air mata karena haru dan diliputi kesedihan. “Kata teman-temanku, ini film itu bagus,” katanya.
Aku membiarkan Miss Curcol diliputi penasaran silih berganti. Karena di situlah letak asyiknya menonton film. Bayangkan, kalau semuanya sudah terjawab sebelum di bioskop, tentunya tidak lagi asyik menonton film, kecuali yang betul-betul maniak film.
Malam hari itu, Miss Curcol pulang cepat. Biasanya dia pulang antara pukul 20.00-21.00. Tapi hari itu, dia pulang jam 18.30, setelah acara makan-makan syukuran di kantor redaksiku. Dia berangkat untuk ke gedung film sama teman sekerjanya.
Silahkan menonton Miss Curcol. Kuharap kamu bisa mendapat pencerahan dari dongeng itu. Semangat semasa kamu masih anak-kanak terangkat kembali. Pencerahan dan kemunculan semangat itu sangat penting. Itulah yang jadi alasanku selama ini menyukai acara nonton film.
Tapi kurasa soal ini tidak banyak orang yang peduli. Umumnya, teman-temanku lainnya yang juga suka datang ke bioskop, kalau menonton film hanya memperhatikan sisi hiburannya saja, tetapi tidak berusaha mencari apa makna dibalik pengangkatan ide cerita itu.
Tapi tidak apa-apa, masing-masing manusia punya keinginan sendiri sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Toh, tidak akan dihukum kalau menonton film dengan filosofi hanya untuk mencari hiburan di luar jam kerja.
Beberapa jam setelah Miss Curcol keluar dari redaksi, aku juga pulang ke kos di Kemayoran. Malam ini rasanya capek betul. Seharian kerja keras. Soalnya, salah satu temanku di desk politik lagi lagi cuti untuk menikah di kampung halamannya, Padang, Sumatera Barat.
Setelah makan malam di rumah makan langgananku, sekitar pukul 21.30, aku mengirim pesan singkat kepada Miss Curcol yang aslinya orang Solo, tetapi menetap di Depok. “Hey, Menarikkan filmnya. Si Russell pinter to,” kataku. Russell itu anak kecil gendut yang ikut main di UP.
Tidak lama kemudian Miss Curcol membalas pesanku. “Mm, pinter-pinter bodoh sih. Tapi bagus banget filmnya.”
“Mengharukan sekaligus mencerahkan pikiran. Apa kamu nangis pada waktu menonton?” tanyaku kemudian.
“Tidak sampai menangis sih. Tetapi aku sempet sedih juga,” jawab Miss Curcol. Seperti perkiraanku, dia pasti terlarut dengan dongeng itu.
Waktu kami berbalas pesan lewat telepon genggam, Miss Curcol sedang dalam perjalanan pulang. Aku sendiri sedang menunggu diurut sama Pak Mukti. Tukang urut orang Betawi yang tinggal di satu blok dari kosanku Jalan Angkasa.
Ringkasan film berjudul UP yang ditonton Miss Curcol itu begini. Dimulai dari deskripsi tentang dua orang anak yang sama-sama sangat mengagumi figur petualang sohor pada jamannya, Charlez Muntz. Laki laki ini adalah petualang yang berhasil menemukan tempat yang selama ini sangat asing bagi manusia.
Tempat itu diberi nama Air Terjun Surga, sebuah negeri yang hilang, terletak di Amerika Selatan. Orang Amerika pada waktu itu seperti memitoskan tempat itu. Kupikir, orang Barat ternyata tidak rasional juga, katanya selama ini selalu mengagung-agungkan rasionalitas.
Anak yang lelaki bernama Carl Fredericksen, dan anak perempuan itu bernama Ellie. Imajinasi anak-anak ini untuk menjadi Charlez sangat kuat. Untuk mendekati kenyataan, mereka mengenakan berbagai atribut yang dikenakan Charlez, seperti kacamata pilot, dan helm. Kemudian mereka berlaku seakan-akan telah menjadi Charlez.
Ini ciri khas pola pendidikan anak-anak Barat. Mereka mempelajari figurnya dengan berusaha menciptakan suasana, sikap seolah-solah telah menjadi orang yang dikaguminya. Aku adalah Charlez Muntz, aku bisa melakukan apa yang dialakukan, kira-kira begitu.
Ellie anak perempuan yang energik bergigi ompong. Dia selalu mengenakan medali kebanggaan yang sebenarnya bekas tutup botol bertuliskan Grape Soda di dadanya. Ellie kecil bilang kepada Carl bahwa dia ingin sekali memindahkan rumah klub bermainnya suatu hari nanti ke puncak tebing di dekat celah Air Terjun Surga.
Sementara Carl adalah anak yang pendiam, tetapi punya kesetiakawanan dan semangat hidup yang sangat tinggi. Dia setuju untuk suatu hari nanti membantu teman perempuan kecilnya itu memindahkan rumah klub bermain ke atas Air Terjun Surga.
Mimpi yang sama kemudian menyatukan mereka dalam hidup perkawinan. Mereka hidup bahagia sampai tua, meski tidak dikaruniai anak yang sangat diidam-idamkan dalam keluarga kecil pengagum petualang sohor itu. Usia tua kemudian merenggut nyawa Ellie yang sangat dicintai Carl.
Sepeninggal Ellie, Carl hidup sangat kesepian. Teman hidupnya kini hanyalah foto kenangan Ellie dan berbagai benda-benda kesayangan semasa Ellie masih hidup. Ada satu benda yang tak ternilai harganya milik Ellie. Yaitu buku harian, “My Book Adventure.”
Buku ini sudah ditunjukkan Ellie kepada Carl sewaktu keduanya masih kanak-kanak. Buku inilah yang selalu selalu menjaga semangat Ellie untuk mengejar cita-cita berpetualang. Dan diary itulah awal mula petualangan mengejar Air Terjun Surga dimulai.
Setelah kalah dalam adu tahan dengan pengembangan perumahan tempat kelahiran Carl, petualangan sesungguhnya Carl yang disulut buku diari Ellie itu pun dimulai. Rumah club yang dulu ditinggali Elli dapat diterbangkan Carl dengan jutaan balon karbit.
Russell, anak keluarga kaya yang kemudian mencari eksistensi diri dengan selalu menyebut dirinya sebagai petualang hutan, ternyata ikut bersama Carl. Russell ini sangat keras kepala demi melengkapi medali sebagai petualang yunior.
Satu medali terakhir agar dia bisa disebut sebagai senior hanya dapat diperoleh jika membuktikan diri telah berbakti kepada orang tua. Cerita Russel ini dipenuhi kelucuan, sekaligus untuk menegaskan bahwa anak-anak punya sudut pandang sendiri untuk mewujudkan impiannya.
Dan biasanya, impian anak-anak jarang dipahami oleh orang tua. Para orang dewasa umumnya menerjemahan cita-cita anaknya sebagai kenakalan dan harus dihentikan. Padahal, harusnya semua itu ditangkap sebagai proses untuk menjadi manusia.
Petualangan selanjutya ialah ketika rumah Carl mendarat di sebuah tempat yang teryata sudah berada sangat dekat dengan Air Terjun Surga yang dikejar itu. Di bagian cerita inilah, emosi manusia mulai diaduk-aduk.
Betapa manusia harus menyayangi binatang. Karena hewan yang sesungguhnya juga manusia dalam wujud beda itu juga ingin hidup dengan kebebasan di alamnya. Seperti kebebasan yang diidam-idamkan manusia itu sendiri.
Betapa manusia ini juga harus menyintai tumbuhan, sungai dan udara. Semua itu terjelaskan di bagian cerita ketika rumah Carl mendarat di sana. Ada burung langka yang diburu Charlez Muntz demi memulihkan reputasinya sebagai petualang karena telah melakukan penipuan besar.
Burung raksasa yang kemudian sangat akrab dengan Russel yang juga menyintai binatang itu dinamai Russell, Kevin. Ada Hug, nama salah satu anjing yang sudah tidak punya kebebasan lagi karena hak keanjingannya diambil oleh Charlez.
Rasa kesedihan, kepahlawanan, ketamakan, kesetiakawanan, diaduk-aduk pada bagian ketika Carl dan Russell dibantu Kevin dan Hug berjalan kaki di hutan dan tebing menuju puncak Air Terjun Surga, sebuah negeri yang hilang itu.
Suatu ketika Carl dihadapkan pada satu pilihan sulit ketika diserang Charlez yang sangat menginginkan Kevin. Carl diuji untuk membuat keputusan, apakah menyelamatkan Kevin yang berhasil dijerat anjing-anjing piaraan Charlez atau memadamkan rumah peninggalan Ellie yang dibakar Charlez.
Akhirnya Carl memutuskan memadamkan api yang berarti melepaskan Kevin ditangkap Charlez. Kasus ini kemudian meretakkan hubungan antara Russell yang sangat menyayangi Kevin dengan Carl. Bagaimana tidak, dia lebih memilih rumah daripada burung raksasa itu. Tetapi sebenarnya memang itu sangat sulit bagi Carl.
Carl berhasil mencapai titik Air Terjun Surga seperti yang dicita-citakan mendiang istri tercintanya sewaktu masih kanak-kanak. Tetapi Russell sangat marah. Sampai kemudian dia pergi sendiri bagai pahlawan demi mengejar Kevin yang telah ditawan kawanan anjing anak buah Charlez.
Sementara Carl yang sedang dimabuk bahagia karena kesuksesannya itu duduk di kursi empuk berdampingan dengan kursi kosong yang dulunya adalah kursi istri tercintanya. Dibukanyalah “My Book Adventure.” Dia bernostalgia. Imajinasi dari buku inilah yang memulai. Semangat pemilik buku ini, Ellie, lah yang memicu semua ini.
Tetapi Carl kaget. Dipikirnya selama ini Ellie benar-benar berhenti berpetualang hanya karena tidak bisa betul-betul memindahkan rumah klubnya ke atas Air Terjun Surga. Dan selama itu, pikir, Carl, Ellie hidup susah karena cita-cita kecilnya kandas.
Tetapi sesungguhnnya tidak begitu. Ellie telah melakukan petualangan sejati dengan memutuskan menikah dengan Carl. Petualangan ketika masa bahagia, putus asa ketika dinyatakan dokter tidak akan bisa memiliki anak yang sangat dinantikan, menjalani masa-masa tua seumur hidup di rumah klub.
Itu disadari Carl setelah melihat diary milik Ellie itu ternyata telah penuh dengan personifikasi semangat Ellie selama hidupnya. Carl menyadari betul bahwa dia tidak menyadari semua itu. Lalu semua nostalgia bersama Ellie menyeretnya pada sebuah kesadaran bahda dia egois membiarkan Kevin ditangkap Charlez.
Disadarinya setelah itu, Russell terbang menggunakan balon-balon mengejar pesawat milik Charlez. Carl panik. Dan dia memutuskan untuk mengikuti Russell menyelamatkan Kevin, tapi persoalannya, balon-balonnya telah banyak berkurang sehingga tak mampu lagi mengangkat rumahnya.
Pada cerita inilah muncul penjelasan tentang bagaimana manusia yang sangat menyayangi masa lalunya, sangat menjaga masa lalunya, nostalgianya bersama istri, dan semua itu harus dilepaskan ketika menyadari bahwa ada hal rasional yang harus didahulukan.
Carl membuang semua perabot, semua benda-benda kenang-kenangan bersama Ellie agar rumahnya bisa terbang lagi. Dan berhasil. Dia berhasil mencapai pesawat terbang milik Charlez yang telah menawan si burung cantik, Kevin.
Singkat cerita, Carl, Russell, dibantu Hug, sukses dalam misi penyelamatan Kevin. Charlez yang selama ini sangat tamak karena demi reputasinya, dia mengorbankan banyak pihak, pada akhirnya kalah. Yang jahat kalah.
Di akhir cerita, Kevin berhasil pulang menemui bayi-bayinya, Hug mendapatkan tuan baru, Russell mendapatkan medali karena telah mampu membuktikan berguna bagi orang tua, dan Carl berhasil mewujudkan cita-citanya menemukan dunia yang hilang.
Carl menemukan pengalaman-pengalaman baru, pengolahan emosi, menemukan dunia pikiran baru, sudut pandang baru, sehingga dia memahami betul posisinya sebagai orang tua, sebagai manusia, sebagai petualang.
Itulah cerita singkat tentang film yang ditonton Miss Curcol malam itu. Film petualangan yang menjelaskan tentang dunia anak sampai orang dewasa. Yang pada intinya menerangkan bahwa manusia itu tidak ada alasan untuk tidak semangat menghadapi hidup, betapapun sulit dan rumitnya. Yang rasional pastilah tercapai. Tetap semua itu bakal tercapai jika kita mau bergerak. “Petualangan itu ada di luar sana.”
No comments:
Post a Comment