KESUKAANKU begadang malam di depan kantor polisi, kegesitanku mengejar mobil polisi yang hendak menuju ke tempat kejadian kriminal. Ketelatenanku wawancara narasumber. Ternyata itu diperhatikan oleh Bonarman dan teman-teman. Lama-lama mereka memperhitungkan keberadaanku di antara mereka.
“Cing, nanti kalau ada mobil TKP keluar, kabari aku ya,” kata Tudji. “Serius Cing, jangan sampai aku ditegur kantor karena kamu membobol berita lagi.”
“Siap, nanti tak kabari. Tapi jangan tidur. Lagi pula, kenapa kamu tidak ikut nongkrong di luar sini denganku,” kataku.
“Anak-anak pada di dalam semua,Cing. Tidak enak aku kalau di sini sendirian,” jawab Tudji. “Kan, ada aku di sini, bro,” kataku. Tidak lama kemudian, Tudji masuk.
Kalau lagi di kantor polisi, wartawan kelompok Bonarman memang selalu berada di ruang pers. Ruang yang dianggap seperti tempat mengerikan bagi kelompok Pak Rosyid. Bagaimana tidak, di sana isinya wartawan yang suka amplop semua. Wartawan yang gatal pantatnya kalau tidak dapat amplop dalam sehari.
Aku sendiri juga baru sekali masuk ke ruangan itu. Sekali-sekalinya masuk ke sana, aku diceramahi Bonarman. Ruangannya pengap dan bau rokok. Semua kain di sana bau rokok. Pada waktu baru keluar dari ruangan itu saja, pakaianku jadi bau rokok. Makanya, aku juga malas ke sana.
Sejam setelah Tudji masuk ke ruang wartawan, ada mobil TKP polisi keluar. Aku buru-buru menelpon Tudji. Tidak lama kemudian, semua meluncur mengejar mobil.
Dari hal-hal semacam itu juga, lama-lama aku jadi akrab dengan teman-teman Bonarman. Setelah tiga bulan di Gunung Jaya, aku sudah bebas masuk ke ruang pers atau menurut Pak Rosyid, ruang peras itu. Walau begitu, aku jarang berlama-lama di sana karena pengap.
Sejak itu, pekerjaanku menjadi lebih ringan. Karena Bonarman, Tudji, dan teman-teman wartawan lain selalu memberiku kabar kalau ada kejadian penting. Sebaliknya juga begitu. Aku pasti mengabarkan semua hal terkait berita kepada mereka.
Dalam situasi aman seperti itu, timbul niatku untuk menyelidiki operasi amplop yang sering dilakukan teman-teman itu. Ternyata, Bonarman sangat dekat dengan kepala polisi. Hampir tiap pagi, dia menunggu kepala polisi datang untuk bersalaman.
Setelah itu, kepala polisi menyelipkan sesuatu ke kantong pakaian Bonarman. Aku bisa tahu sedetail ini karena aku juga ikut Bonarman menunggu kepala polisi beberapa kali.
Terkadang, amplop berisi uang itu, dipakai Bonarman untuk menraktir teman-teman di ruang wartawan. Misalnya, beli kopi, rokok, mie ayam. Kalau perabot ruang wartawan rusak, Bonarman minta uang ke kepala polisi untuk membeli perabot baru.
“Kenapa kamu kalau dikasih amplop tidak mau, kan kita tidak minta, cuma dikasih,” kata Bonarman.
“Bagiku, itu tetap tidak boleh bang. Aku sendiri sedang latihan disiplin untuk tidak menerima hadiah-hadiah, supaya aku netral. Ditambah lagi kantor melarangku dengan keras.”
“Ambillah, tidak apa-apa. Aku tidak akan bilang kantormu,” kata Bonarman lagi. “Sayang ini uang kalau udah dikasih ke kamu, terus tidak diambil.”
“Lebih baik uangnya buat teman-teman sajalah. Aku tidak mau, takut,” kataku minta supaya pembicaraan amplop yang baru saja dikasih oleh kepala polisi dihentikan saja.
Lama kelamaan, teman-temanku di kantor polisi ini memahamiku. Aku ceritakan kedekatanku dengan anak-anak yang biasa nongkrong di kantor polisi dengan teman-temanku yang biasa nongkrong di warnet. Pak Rosyid salut juga denganku bisa masuk ke kelompok Bonarman.
Kedekatanku ini juga sangat menguntungkan dari sisi informasi berita. Bonarman selalu dapat info kejadian dari polisi. Kalau dia dapat info, pasti memberitahu kepadaku. Nah, aku tentu tidak mungkin menyimpan sendiri, semuanya aku sampaikan juga ke teman-temanku seperti Pak Rosyid, Damin, dan Prilia.
No comments:
Post a Comment