KALAU sudah menikmati pekerjaan, rasanya waktu berjalan lebih cepat, walau sebenarnya waktu tidak cepat dan tidak juga lambat. Bulan itu menjadi pekan pertama bagiku berlebaran di Gunung Jaya. Sepekan menjelang lebaran, teman-teman wartawan yang biasa meliput di kantor polisi ribut sekali.
Terutama Bonarman yang menjadi semacam ketua geng wartawan kriminal Gunung Jaya. Dia sibuk mendata nama-nama wartawan. Aku tidak tahu data itu mau diapakan, aku Cuma menduga mungkin untuk pembuatan kartu pers liputan kantor polisi.
Aku tidak mau terlibat dalam proses pendataan untuk kepentingan macam itu. Soalnya, redakturku di Jakarta mewanti-wanti agar aku tidak usah jadi anggota kelompok wartawan di daerah. Bisa-bisa nama media disalahgunakan oleh kelompok-kelompok pers.
Dua hari sebelum hari H lebaran, aku datang ke ruang kepala polisi. Waktu itu dapat penugasan dari kantor untuk minta data evaluasi kasus kriminal menjelang libur lebaran di Gunung Jaya.
Wajahku sudah familiar di lingkungan kantor polisi ini. Jadi, dengan mudah aku diterima kepala polisi. Dia memberikan semua data yang kuperlukan. Iseng-iseng kuperhatikan kertas karton seukuran post card di atas meja kepala polisi. Kebetulan posisinya, di dekatku.
Ternyata, post card kuning itu berisi nama-nama wartawan yang selama ini sudah kukenal. Nama-nama teman Bonarman ada di urutan paling atas. Kemudian di bagian bawah, ada namaku, Pak Rosyid, Damin, dan Prilia. Kemudian di sisi atas kartu, tertulis ucapan selamat hari raya kepada kepala polisi.
Melihatku tertarik pada kartu itu, pak polisi yang suka bicara blak-blakan ini, bilang kartu ini diberikan tiga hari lalu oleh Bonarman. “Bonarman itu kadang-kadang menyebalkan juga. Waktu menyerahkan kartu ini, dia juga minta uang hari raya juga,” kata dia.
Sambil menyodorkan kartu itu padaku, dia bilang, “Bonarman minta semua wartawan harus dikasih jatah THR.”
“Terus bapak berikan uang kepada Bonarman,” kataku untuk menyelidiki.
“Iya, masing-masing wartawan aku beri Rp 100 ribu. Memangnya kamu belum kebagian. Uangnya dibawa Bonarman sama Tudji kemarin,” ujar kepala polisi seraya memperhatikan kartu ucapan yang kupegang.
Tiba-tiba aku geregetan juga mengetahui kenyataan ini. Aku sudah mengingatkan Bonarman agar namaku jangan sekali-kali masuk ke pendataan yang dilakukannya pekan lalu. Dia mengiyakan. Tapi ternyata dia tetap mendataku. Bahkan kemudian datanya dipakai untuk minta uang ke kepala polisi.
“Pak, si Bonarman itu tidak beres. Saya tidak pernah minta dia memasukan nama ke kartu ini. Nama saya dicatut di sini. Kartu ini sih modus bodrek aja pak,” kataku kepada kepala polisi.
Aku ceritakan juga, Bonarman juga telah mencatut nama-nama temanku lainnya. Tapi rasanya percuma juga bicara panjang lebar dengan kepala polisi itu. Dia tidak respon.
Mungkin kepala polisi merasa tidak rugi juga memberi uang kepada wartawan. Soalnya, dengan memberi uang kepada wartawan, maka wartawan itu bisa melempem.
Tetapi paling tidak, kepala polisi ini tahu pendirianku dan teman-teman seperti Pak Rosyid, Damin, dan Prilia. Maksudku, lain kali kalau si Bonarman minta uang lagi dengan memasukkan namaku dan teman-temanku itu jangan sampai dipenuhi.
Pak polisi cuma senyum-senyum saja melihat aku menceritakan sikap soal amplop. Mudah-mudahan dia paham maksudku. Aku pamit kepadanya.
“Namamu Gocing, kan ya. Cing, ini ada bingkisan lebaran. Ambil saja tidak apa-apa. Kemarin Bonarman juga mengambil ini,” katanya. Aku tertawa sama kepala polisi dan dia tertawa juga. Aku tidak mengambilnya dan langsung pergi keluar ruangan.
Rupanya, Bonarman dan teman-temannya tahu aku baru ketemu kepala polisi. Aku langsung bilang ke Bonarman. “Bang, tolong kembalikan uang yang diberikan kepala polisi ke abang.”
Merah wajah dia. Tudji dan teman-teman di ruangan itu sepertinya juga kaget. Orang tua itu clingak-clingkuk. Lalu dia mengajakku keluar ruangan. Tapi, aku tidak mau. Aku minta dia mengembalikan uang waktu itu juga.
Tudji diam saja di sudut ruangan. Soalnya, dia sudah dapat bagian uang dari kepala polisi. Sementara, teman-teman wartawan lain berdiri dan menagih uang hadiah lebaran ke Bonarman yang masih clingak-clinguk.
“Semua nama teman-teman di sini diberi uang lebaran sama kepala polisi, aku dengar sendiri tadi soal itu,” kataku. Sengaja kusampaikan itu supaya Bonarman makin clingak-clinguk.
“Iya, nanti aku buka uangnya. Belum aku buka nih amplopnya,” kata Bonarman.
“Bang, aku minta uangku dan uang Pak Rosyid, Damin, dan Prilia dikembalikan sekarang juga,” kataku lagi.
Dalam keadaan seperti itu, Bonarman seperti orang yang sedang tersiksa bathinnya. Akhirnya dia bilang, “Ya sudah, aku kembalikan sekarang.”
Setelah uang jatah untuk teman-temannya Bonarman dibagi-bagi, Bonarman pergi ke ruang kantor kepala polisi. Tentu saja aku menemaninya. Kalau tidak kutemani, bisa jadi dia bohong.
Kepala polisi hanya tertawa melihat kami datang untuk mengembalikan uang.
“Lain kali aku bisa marah kalau abang sampai pakai namaku lagi,” kataku setelah keluar dari ruang kepala polisi.
No comments:
Post a Comment