AKU makin banyak tahu sisi-sisi buruk para wartawan. Ternyata Pak Koting di perkuliahan benar. Perilaku mbodrek alias ngamplop sudah bukan jadi rahasia umum lagi di lapangan. Kantor redaksi boleh kampanye antiamplop, tapi kenyataannya, amplop telah jadi mata pencaharian.
“Yah Cing, kalau mengandalkan gaji kantor yang tidak naik-naik, mana bisa hidup kita,” kata Bonarman suatu pagi ketika para wartawan kumpul di kafe. “Lagipula bos-bos kita juga pada main sendiri. Sekarang sih, prinsipku, tidak memeras sajalah.”
“Beda bang, kalau di tempat kerjaku, bisa dipecat kalau ketahuan terima amplop. Kalaupun tidak bisa menolak, uang itu harus diserahkan ke kantor,” kataku.
Pernyataanku malah jadi bahan tertawa teman-teman. Tudji bertanya balik padaku. “Kau tidak tahu yang sebenarnya terjadi, bos-bos kita itu, mainnya lebih canggih, Cing. Main proyek.”
“Realistis ajalah. Kalau dikasih uang terima saja, yang penting tidak minta paksa,” tambah Bonarman yang diiyakan teman-teman lainnya.
Lama-lama aku jadi seperti mahasiswa yang didoktrin. Dengar pernyataan –pernyataan teman tadi, aku jadi merenung. Mungkin informasi mereka benar, bos-bos di redaksi media di Jakarta, pasti ada yang nakal juga. Tapi levelnya lebih tinggi daripada wartawan di lapangan.
“Tidak bang, aku tetap begini saja. Aku tidak akan merusuhi kalian kalau terima amplop. Tapi, aku tidak. Aku nanti malah malu,” kataku.
Setelah semua pesanan kami datang, kami makan ramai-ramai. Namanya juga baru liputan jauh, jadi kami makan seperti orang belum makan selama seminggu. Aku sudah benar-benar dekat dengan kelompok Bonarman.
Di lain hari, wartawan yang ngumpul di balai wartawan ini jumlahnya banyak sekali. Banyak yang belum kukenal. Ternyata banyak sekali wartawan di Gunung Jaya. Mungkin karena sikap dan wajahku ndeso sekali, para wartawan yang baru datang itu kasihan sehingga mengakrabiku.
Kami semua jadi teman. Waktu itu malam setelah makan ramai-ramai di kafe. Kepala polisi datang ke balai wartawan. Kulihat dia panggil Bonarman. Sebelum polisi pergi lagi, dia menyerahkan beberapa lembar uang Rp 100.000 kepada Bonarman.
Setelah Bonarman kembali masuk, dia mengajak beberapa orang diskusi. Kira-kira intinya uang itu akan dibelanjakan atau dibagi-bagi. Ada yang minta dibagi saja. Tapi, sebagian besar minta dibelanjakan saja.
“Beli anggur saja, bang,” kata Tudji. Teman-teman yang lainnya kemudian setuju usul Tudji.
Jadilah kemudian, Tudji dan dua orang wartawan pergi keluar untuk beli anggur. Tapi, sebelum mereka pergi, Tudji menyarankan agar minumnya tidak di balai wartawan.
Dalam hati, mengerikan juga ini teman-temanku. Aku tidak menunggu Tudji pulang dari beli anggur. Aku pulang karena hari sudah larut malam. Soalnya, besok harus bangun pagi-pagi untuk wawancara walikota Gunung Jaya tentang rencana pembangunan waduk.
Awalnya, Bonarman mencegah aku pulang duluan karena acaranya belum selesai. Dia bilang, sekali-sekali aku mesti ikut pesta persahabatan.
Sepanjang pulang, aku tertawa sekaligus kasihan juga sama teman-teman. Mereka diberi uang sama kepala polisi, aku yakin, pemberian uang tadi tidak bebas nilai. Pasti ada sesuatu yang diinginkan dari polisi itu, misalnya lain kali kalau ada kasus yang menyudutkan korps polisi, wartawan jangan terlalu galak dalam menulis berita.
Tapi, teman-temanku sepertinya senang-senang saja menerimanya. Bahkan menanggapi itu rejeki nomplok yang harus benar-benar disyukuri. Aku jadi ingat kata Bonarman tadi, toh, ada bos media suka pesta macam itu. Tapi, levelnya lebih canggih dan orang yang membiayai juga lebih berpengaruh.
Sampai di kos, aku mencatat pengalamanku barusan. Nanti, pengalaman ini juga akan kuceritakan kepada nenekku di kampung. Belakangan adik dan ibuku juga tertarik untuk mengetahui soal pekerjaanku sebagai wartawan.
Tentu saja, si Peci, Mangun, Cepuk, dan Gendut, tidak akan pernah melewatkan cerita-ceritaku. Mereka ini orang-orang sederhana yang selalu membuatku semangat dan kuat.
No comments:
Post a Comment