Thursday, June 3, 2010

Gocing (14)

KASUS pencatutan nama oleh Bonarman kuceritakan kepada teman-teman baikku. “Aku curiga, jangan-jangan dia tidak hanya minta uang lebaran pada kepala polisi, bisa jadi walikota dan humas pemerintah juga ditipu pakai nama kita.”

Damin yang sejak dulu geram terhadap Bonarman, langsung setuju usulanku untuk menyelidiki perilaku Bonarman. “Kita harus ketemu walikota,” kataku. Pak Rosyid dan Prilia sepakat.

Lalu, aku menelepon walikota untuk minta waktu ketemu. Pada waktu ditanya ajudan untuk keperluan apa kami menemui walikota, aku bilang ingin wawancara terkait dengan lebaran. Dengan begitu, bisa lebih gampang menemuinya.

Hari yang ditentukan tiba. Kamu datang ke balaikota. Kebetulan pada waktu kami tiba di ruang walikota, dia sedang bersantai. Mungkin karena suasana lebaran. Jadi, tidak banyak pekerjaan.

Setelah ngobrol sana-sini, barulah masuk ke tujuan utama kami. Pertama-tama, aku tanya kepada walikota mengenai perilaku para wartawan di saat lebaran tiba. Walikota yang suka blak-blakan ini langsung tertarik untuk menanggapi.

“Di meja itu banyak banget permohonan permohonan sumbangan tunjangan hari raya dari LSM. Dari teman-teman kalian juga banyak,” katanya.

“Siapa di antara teman-teman kami yang minta uang lebaran, pak,” kataku. Kemudian, walikota menyebutkan sekitar lima nama kelompok wartawan, di antaranya grup pers yang dibentuk Bonarman.

Karena kedatangan kami ke kantor walikota sebenarnya untuk memeriksa perilaku Bonarman, kami langsung minta walikota menunjukkan surat yang mengatasnamakan kelompok wartawan yang diberikan si Bonarman alias si Gigi itu.

“Ternyata benar, nama kita dicatut dia,” bisikku kepada Prilia yang duduk di sampingku. Lalu, Prilia panggil Pak Rosyid dan Damin agar mendekat. Kami semua saling pandang.

“Tiga hari lalu, Bonarman datang sama dua temannya. Sebenarnya wartawan itu agamanya apa sih. Tiap ada hari raya, minta uang THR terus. Dia minta supaya semua nama yang ditulis di suratnya itu dikasih jatah merata,” kata walikota.

Rupanya walikota tidak paham dengan penjelasanku pada waktu aku bertemu dia bulan lalu atau ketika si Gigi datang bersama fotografer untuk menjual foto. Waktu itu, aku minta walikota jangan pernah memberi uang pada jurnalis. Dalam hati, aku mengumpat walikota, kenapa dia mesti takut kepada wartawan. Jangan-jangan walikota ini memang punya kasus besar yang mengancam jabatannya.

Aku gondok juga. Kalau begini caranya, aku harus menjelaskan lagi kepada dia. Bahwa, aku dan teman-temanku ini bukan wartawan seperti Bonarman yang tidak punya malu untuk minta uang kepada narasumber. Kami wartawan yang masih memegang kode etik jurnalistik.

“Pak walikota, tolong lain kali kalau ada wartawan bawa-bawa nama kami untuk minta uang, jangan dituruti,” kataku. “Ini masa lebaran, pastinya banyak kelompok wartawan minta jatah.”

Pada saat itu, timbul niatku untuk mengerjai si Bonarman Gigi dan kawan-kawannya. Aku berpikir keras bagaimana caranya. Aku dapat ide. Karena aku dan walikota sudah kenal baik, aku berani minta tolong agar diatur waktu untuk pertemuan dengan para wartawan Gunung Jaya.

Awalnya, walikota keberatan. Karena kalau tidak ada kepentingan buat pemerintah, buat apa ketemu wartawan. Tapi setelah aku jelaskan ini untuk kepentingan bersama. Tujuannya supaya tidak ada pejabat yang diperas dan tidak ada wartawan yang dicatut namanya oleh kelompok pers.

Tapi akhirnya walikota setuju. Dia minta rincian rencana pertemuan. Kusarankan kepada dia bahwa acaranya nanti harus bertema seputar lebaran, misalnya halal bihalal. Aku yakin semua wartawan akan dengan senang hati datang.

Walikota menganggul-angguk tandak paham maksudku. Dia minta aku, Pak Rosyid, dan Prilia yang jadi semacam koordinator untuk mengumpulkan wartawan. Kami siap. Setelah walikota sepakat semuanya, kami pergi dari kantornya.

Tidak terlalu sulit mengundang wartawan di Gunung Jaya. Undangan tidak perlu formal. Cukup dilontarkan dari mulut ke mulut atau lewat pesan singkat. Tidak butuh waktu lama, rencana acara halal bihalal yang bertempat di kantor walikota sudah sampai ke semua telinga wartawan.

Sepekan setelah lebaran, acara silaturahmi antara walikota dan pers dilaksanakan. Seperti dugaanku, acara ini dihadiri oleh banyak wartawan. Bahkan, aku kaget, jumlah orang yang datang melebihi jumlah media yang selama ini kuketahui.Ternyata, banyak sekali nama media yang masih asing di telinga yang tercatat di buku pendataan yang dipegang humas pemerintah.

“Busyet, kang. Banyak sekali media di Gunung Jaya ini ternyata ya,” kataku kepada pegawai humas yang bawa buku data tamu wartawan.

“Iya, aku juga tidak tahu, media ini terbit di mana, sepertinya tidak pernah ada di ruang humas,” kata staf humas yang sudah lama akrab denganku itu. “Kebanyakan media mingguan. Coba lihat, ini ada juga nama media yang mirip dengan mediamu, Cing.”

Aku geli juga. Aku bisa menebak. Ini pasti kebanyakan wartawan jadi-jadian. Wartawan bodrek. Asal sebut nama media. Kalau ada acara seperti ini, kata staf humas temanku, humas pemerintah kota selalu pusing. Soalnya, tiap selesai acara, wartawan memburu pegawai humas untuk minta uang transportasi.

“Pernah aku hampir dipukuli, Cing. Gara-gara tidak memberi uang,” katanya sambil menunjuk ke beberapa orang yang duduk di barisan kursi paling belakang di ruangan pertemuan. Orang-orang itulah yang akan memukuli temanku ini.

Di bagian depan kursi yang diperuntukkan bagi wartawan, kulihat si Gigi, Tudji, dan si fotografer yang pernah menjual foto walikota. Mereka selalu bergerombol. Benar-benar teman sejati.

Begitu mengetahui posisiku dekat dengan staf humas, Bonarman dan Tudji melambai-lambaikan tangan untuk menyapa.

Tidak butuh waktu lama, ruangan aula balaikota berubah berkabut. Asap rokok mengepul. Aku ingat suasana seperti ini juga terjadi kalau di salah satu rumah di kampungku ada kondangan. Semua orang merokok. Pakaian jadi bau tengik.

Di depan sana, walikota didampingi sekretaris daerah yang dari tadi duduk di kursi menghadap ke tempat duduk wartawan mulai berdehem. Itu pertanda dia segera membuka acara. Dia bicara seperti sedang meresmikan jembatan baru. Formal sekali. Tetapi, intinya, dia ingin mengantarkan acara ini ke inti yang sebenarnya.

Yaitu, untuk acara bebas berpendapat bagi wartawan Gunung Jaya. Boleh mengritik pemerintah, boleh juga menyanjung pemerintah.

Tiba waktunya untuk tanya jawab antara wartawan dan walikota. Tudji berdiri. Dia seperti mewakili teman-temannya. Dia menyanjung-nyanjung pencapaian pembangunan pemerintah. Dia juga minta agar walikota dan humas lebih memperhatikan wartawan Gunung Jaya yang setiap hari meliput acara-acara pejabat.

Geli juga mendengar Tudji bicara seperti itu. Tapi, itulah dia. Si Tudji, wartawan kaki tangan si Gigi. Usai Tudji bicara, kelompok wartawan lainnya secara bergilir juga angkat suara. Apa yang mereka sampaikan tidak jauh-jauh dari yang disampaikan Tudji.

Menanggapi hal itu, walikota tertawa senang. Dia menyampaikan banyak terima kasih kepada pers yang selama ini jadi mitra pemerintah. Tapi, dia juga minta pers juga harus bisa berperan sebagai pihak yang kritis. Sebab, kalau pers tidak kritis, tidak banyak kelalaian pejabat di lapangan yang terungkap.

Walikota memuji tulisanku soal pembangunan waduk. Dia bilang, itu contoh tulisan bagus. Menjelaskan secara gamblang proyek pembangunan. Tapi juga sekaligus mengkritisi. Sehingga pemerintah bisa berbenah agar pembangunan tidak terlalu merugikan masyarakat.

Setelah walikota selesai bicara, tiba giliranku untuk menyampaikan uneg-uneg. Aku bicara keras. Aku membalikkan kata-kata walikota tadi. Dia minta wartawan kritis, tapi di satu sisi dia senang memberi uang pada pers. Berarti itu sama artinya menjebak wartawan untuk melempem.

Di sisi lain, kataku, wartawan juga yang nakal dan suka memanfaatkan kekuasaannya. Kusebut nama Bonarman. Dia suka minta uang ke pejabat. Kusebut juga dia suka mencatut nama wartawan untuk minta uang.

Perilaku macam ini, kataku, sangat memalukan dan merugikan. Memalukan nama wartawan yang dicatut dan memalukan pers. Aku sudah bertekad untuk membikin Bonarman malu setengah mati. Sehingga aku tidak perlu tedeng aling-aling lagi.

Lalu, kusebut namaku serta media tempatku bekerja. Kalau lain kali ada wartawan yang berani-berani mencatutku lagi, wartawan yang bersangkutan akan kulaporkan ke polisi.

Aku juga menyinggung kebiasaan wartawan di Gunung Jaya yang minta jatah tiap hari Jumat ke humas. Mereka datang ke humas dengan membawa klipingan berita tentang pembangunan pemerintah. klipingan berita itu jadi semacam tanda bukti untuk dan ditukar dengan uang.

Bahkan di Gunung Jaya ini juga kerap kali terjadi kasus pemerasan. Misalnya setelah wartawan ramai-ramai memberitakan suatu kasus, kemudian mereka mendatangi pihak yang diserang untuk minta uang. Ada istilah untuk menggertak pejabat atau pengusaha di Gunung Jaya, “mau panjang atau mau pendek.”

Masih di depan alat pengeras suara, aku bilang humas juga ikut terlibat dalam memberi peluang terjadinya kebobrokan sebagian besar wartawan di Gunung Jaya. Karena ada anggaran yang disediakan pemerintah kepada pers. Maka, sebagian wartawan mengejarnya. Mereka merasa berhak mengambil uang. Sebab, kalau tidak diambil, nanti uangnya bisa dikorupsi staf humas.

Kudengar, hanya Pak Rosyid, Damin, Prilia, pegawai humas dan walikota yang tepuk tangan begitu aku selesai bicara. Wartawan lain diam saja. Aku tidak tahu, apakah para wartawan itu marah padaku atau malu. Kulirik Bonarman. Dia cuma celingak-celinguk.

No comments: