SEMINGGU setelah aku mengirim surat kepada keluarga dan teman-teman di kampung, aku dapat kiriman balasan. Tiga hari sebelum aku terima surat, Peci menikah dengan tetangga. Tulisan suratnya jauh lebih rapi dari surat-surat sebelumnya. Pasti sobatku itu lagi mencapai puncak-puncak kebahagiaan.
Dia bercerita, nenekkulah orang yang paling berperan menyukseskan pesta perkawinan yang diadakan secara kecil-kecilan. Seekor sapi jantan peliharaan nenek disembelih. Nenek menjual hewan piaraan itu dengan harga sangat murah kepada keluarga si Peci.
Masih dalam surat Peci, kalau saja nenekku tidak menjual harga hewan piaraan itu dengan harga murah, mustahil pesta perkawinan Peci bisa dilaksanakan. Karena awalnya, mereka tidak ingin mengadakan pesta.
Pikirku, Peci memang patut mendapatkan itu karena dia orang yang sangat baik dengan keluargaku. Selama ini selalu membantu kami. Terutama ketika aku berangkat sekolah ke kota Wonogiri. Dengan setia dia mencarikanku asrama, kemudian dia selalu membawa titipan lauk pauk dari nenek untukku.
Peci juga bercerita bagaimana dia melamar calon istrinya. Katanya, mula-mula dia tidak yakin akan diterima orang tua si perempuan. Karena, pada waktu itu, sebenarnya calon istri Peci masih ingin sekolah. Tapi karena Peci orangnya santun dan taat mengaji, akhirnya lamaran diterima.
Cerita di malam pertama yang membuatku tertawa. Waktu itu, istri Peci, sangat takut. Dan Peci sendiri malu untuk tidur satu ranjang. Akhirnya, Peci memilih tidur di bawah. Situasi seperti itu berlangsung sampai tiga hari. Begitu masuk malam ke empat, kata Peci, dia sudah tidak malu-malu lagi. Begitu juga dengan istrinya.
Aku senang kehidupan Peci setahap demi setahap berkembang. Surat dari Mangun dan Cepuk datangnya juga hampir bersamaan tidak lama setelah suratnya si Peci kuterima. Kehidupan mereka juga membaik.
Mereka juga sudah menetapkan hari pernikahan. Berarti tidak lama lagi, Mangun dan Cepuk akan berumah tangga. Itu artinya, cita-cita mereka jadi mantri sudah tercapai.
Jalan hidup teman-temanku memang sederhana. Sekolah tidak perlu tinggi-tinggi, yang penting bisa bekerja dan tetap melayani sesama di kampung. Setelah itu berkeluarga dan merencanakan punya anak.
Aku pun juga ingin merasakan kebahagiaan seperti yang ditempuh teman-temanku. Hanya saja, aku mengambil jalan berbeda, pergi merantau ke ibukota, mengenyam pendidikan lebih tinggi di universitas, dan mengadu nasib.
Aku bersyukur akhirnya bisa menyelesaikan pendidikan universitas dengan hasil yang baik. Aku tidak menganggur lama-lama karena segera mendapat pekerjaan di kantor media massa yang bagus.
Setelah merapikan kamar kos, aku pamit kepada ibu kos, untuk berangkat kerja. Hari itu, aku akan wawancara walikota Gunung Jaya seperti rencana semula.
Sebelum berangkat, aku memberitahu tempat liputanku ke Pak Rosyid, Damin, dan Prilia. Para wartawan memang punya kebiasaan seperti itu. Tujuannya untuk koordinasi.
Sampai di komplek kantor walikota, aku ketemu Bonarman. Dia bersama temannya yang kuketahui sebagai fotografer yang tempo hari ketemu di kantor polisi. Tapi, tidak kulihat Tudji di sana.
Mereka bawa-bawa foto walikota. Foto itu sudah dimasukkan ke frame yang memiliki ukuran besar. Aku tanya ke Bonarman, foto kepala daerah Gunung Jaya ini mau dikirim kemana.
“Biasa Cing, ini mau diberikan kepada yang berhak,” kata Bonarman. Aku jadi penasaran. Dalam pikiranku muncul tebakan-tebakan kecil, mungkin foto ini mau diserahkan kepada walikota.
Setelah itu, aku naik ke lantai dua kantor walikota. Sementara, Bonarman dan fotografer koran tadi duduk di ruang humas pemerintah. Lewat bantuan ajudan yang sebelumnya sudah kukenal, aku dapat dengan mudah ketemu walikota di kantornya.
Aku tidak menyia-nyiakan waktu. Aku langsung wawancara dia. Sekitar dua puluh menit kemudian, ajudan menyelewa waktu wawancara untuk memberitahu tamu kepada walikota. Tamunya wartawan. Karena wartawan, walikota mengizinkan masuk.
“Selamat pagi bapakku. Semoga sehat selalu hari ini,” kata Bonarman. Senyum Bonarman tidak putus-putus. Dia mencium tangan walikota dua kali. Fotografer tadi juga mengikuti Bonarman.
Kalau Bonarman ada, suasana sudah pasti menjadi lebih meriah. Karena dia sepertinya sangat senang mengobrol dan sangat senang pidato. Kadang-kadang berusaha melucu, padahal tidak lucu. Gara-gara si Bonarman ini, terpaksa wawancaraku berhenti, karena walikota rupanya lebih tertarik dengan aksinya.
“Maaf bapakku, menyela wawancara dengan Gocing sebentar saja,” kata Bonarman.
Aku betul-betul merasa terganggu. Kecewa. Tapi ya, tidak bisaberbuat-apa-apa. Jadi, akhirnya hanya bisa memperhatikan Bonarman mengobrol dengan walikota di ruangan yang sama. Sambil melihat ke Bonarman, aku berpikir-pikir, julukan apa yang tepat buat dia. Gigi. Ya, Gigi saja. Karena struktur gigi Bonarman ini tidak teratur dan bagian depan maju semua.
Ajudan walikota rupanya juga menunggu di dalam ruangan. Mungkin dia takut atasannya dikerjai oleh Bonarman.
Dugaanku semula ternyata terbukti. Bonarman dan si fotografer botak itu sedang menawarkan foto walikota dengan pakaian dinas. Mereka merayu walikota supaya mau membayar foto. Bonarman sampai memajang foto raksasa tadi di atas kursi sambil mengelus-elus kacanya di bagian kaki gambar walikota.
Walikota yang tadinya tidak tertarik pada foto yang menggambarkan wajah angker itu akhirnya menyerah oleh kelihaian pemasaran Bonarman. Lantas, walikota memanggil ajudan. Setelah dibisiki, ajudan pergi. Dua menit kemudian datang lagi sambil membawa dua amplop coklat.
“Makasih banyak bapakku. Mohon diri. Maaf mengganggu,” kata Bonarman diikuti si fotografer.
Iseng-iseng aku tanya kepada walikota. Berapa yang yang dikeluarkan untuk membeli foto karya fotografer teman Bonarman tadi. “Tidak banyaklah, kasihan sampai merayu-merayu begitu. Kenapa temanmu si Bonarman itu selalu minta uang,” kata walikota. “Suka maksa kalau minta, seperti yang kamu lihat tadi.”
Aku menjawab. “Lain kali bapak tidak usah memberi uang ke wartawan. Menurut saya itu jadi kebiasaan.”
“Mana bisa tidak dikasih, kamu lihat sendiri tadi. Dia bawa barang ini, lalu dibuat alasan untuk minta,” kata walikota.
Aku ingat kata-kata Pak Koting. Lalu kuceritakan pada walikota. Menghadapi wartawan sebenarnya tidak perlu takut. Biasanya mereka bilang akan memberitakan kebijakan pemerintah yang jelek-jelek.
“Kalau bapak merasa kebijakan-kebijakan pemerintah sudah benar, ya tidak usah takut. Paling mereka cuma menggertak saja,” kataku.
Sebenarnya aku tidak mau panjang-panjang mengobrol soal perilaku wartawan model Bonarman. Tapi, karena walikota sepertinya orang baik dan jujur, aku pun menanggapinya. Tentu saja kompensasinya, dia harus memberiku data-data penting untuk bahan berita.
Selesai wawancara aku segera pamitan untuk meninggalkan ruangan walikota. Tapi, sebelum itu, walikota merogoh kantongnya. Dia mengeluarkan beberapa lembar uang Rp 100 ribu. Diserahkannya uang itu padaku.
“Pak walikota tidak perlu memberiku uang. Terus terang saja ya pak, kadang-kadang yang menjerumuskan wartawan untuk menyukai amplop itu narasumber juga.”
Walikota sepertinya tidak enak hati karena uang yang diulurkannya kutolak. Lalu dia memasukkan uang itu lagi ke kantong celana. Mungkin dia menganggapku orang aneh.
Tugas pertamaku hari itu selesai dengan baik. Data untuk bahan berita lengkap. Aku juga dapat pengalaman baru lagi tentang modus wartawan nakal mencari uang.
No comments:
Post a Comment