Thursday, June 3, 2010

Gocing (15)

PERNYATAANKU dalam pertemuan di aula balaikota dianggap sikap perang terhadap kebebasan wartawan nakal di Gunung Jaya. Heboh sudah barang tentu terjadi setelah itu. Bonarman membenciku.

Bahkan, dia menghasut teman-temannya untuk ikut-ikutan menjauhiku, Pak Rosyid, dan Prilia. Aku tidak peduli soal itu. Pikirku, tanpa merekapun sebenarnya aku bisa bekerja sendirian.

Aku tahu kelemahan Bonarman. Si Gigi ini wartawan yang sama sekali tidak kreatif, kecuali mengakali narasumber agar mau memberi hadiah.

Pernyataan kerasku di balaikota, mungkin hanya membuatnya jera untuk tidak menjual namaku dan mediaku untuk kepentingan pribadinya. Tapi, aku yakin, dia tetap tidak tahu malu untuk menerima amplop atau meminta uang pada narasumber.

Dan kalau itu yang terjadi, sudah pasti teman-temannya selalu dia jadikan tumbal. Menggunakan nama kelompok, biasanya memang lebih mudah untuk membuat narasumber atau pihak tertentu memberi uang.

Aku ingin mengerjai Bonarman lagi. Wartawan yang suka cari proyek dari dinas –dinas pemerintah ini harus dijauhkan dari teman-teman lainnya. Ingin kupecah belah kelompoknya.

Terpikir untuk melakukan itu karena suatu siang si Suroso bilang kepadaku kalau dia sesungguhnya marah pada Bonarman. Apa yang sampai bikin orang yang selama ini setia pada Bonarman ini? Tiap kali si Gigi memperoleh uang dari narasumber, kata Suroso, lebih sering disimpan sendiri, dari pada dibagi secara adil. Kalaupun dibagi-bagikan, jumlah uangnya pasti sudah dikurangi.

Suroso ini dulu pegawai pabrik di Kabupaten Brajasara. Lewat teman, dia mulai kenal dunia publistik. Karena dia anaknya rajin, tidak lama kemudian, Suroso diangkat jadi wartawan radio. Aku kenal anak yang selalu sisiran dengan membelah tengah rambutnya ini lewat Tudji.

Tak hanya soal jatah yang sering ditilep Bonarman yang membuat Suroso kesal. Sebenarnya Bonarman sudah tidak bekerja di media lagi. Dia dipecat karena berkelahi dengan redaktur kantor pusat. Setelah diselidiki, pangkal masalahnya ialah karena redaktur itu tidak pernah dapat bagian dari uang amplop yang selama ini Bonarman terima dari narasumber. Sehingga redaktur marah.

“Astaga,” kataku.

“Tapi, dia sampai sekarang masih petentang-petenteng dengan kartu pers di kantor walikota dan kantor polisi,” kata Suroso.

Menurut Suroso, Bonarman sangat keterlaluan. Dia masih berani minta uang pejabat dengan selalu membawa nama teman-teman yang biasa bermarkas di kantor polisi, tentu saja termasuk Suroso.

Saking marahnya, Suroso menyebut-nyebut Bonarman sebagai wartawan bodong atau gadungan. “Bloon.”

Aku bilang kepadanya, kenapa masih mau bergabung dengan si Gigi itu. Lalu Suroso jawab karena dia masih butuh Bonarman. Sebab, informasi berita dari kepala polisi selalu lewat si Gigi.

“Cing, jangan bilang ke Bonarman soal yang kukatakan tadi. Sebenarnya aku salut sama kamu. Konsisten.” Aku mengangguk dan menaruh tangan kananku di pundaknya. Lalu kami jalan ke luar dari warung kopi yang terletak di dekat lapangan sepak bola.

Di lain hari, pada waktu ada liputan di salah satu kampung, aku bertemu Tudji. Tidak biasanya si Tudji jadi pendiam seperti itu. Kemana si Bonarman. Kemana pula si fotografer penjual foto walikota itu. Aku jadi curiga.

“Sudah berani liputan sendiri kamu Dji. Katanya takut kalau tidak bareng teman-temanmu.” Tudji tidak jawab.

Setelah kudesak-desak, barulah dia mulai sedikit-sedikit menceritakan permasalahannya. Isi ceritanya kurang lebih sama dengan yang disampaikan Suroso tempo hari.

“Sial betul bang Bonarman, dia suka pakai nama mediaku juga kalau mau ketemu narasumber,” katanya sambil mengumpat.

Aku tertawa terbahak-bahak. “Bukannya itu sudah biasa Dji. Apa kamu tidak kebagian uang dari dia.”

“Masalahnya, dia itu sudah tidak kerja di media. Tapi masih kelayapan cari dana. Kamu tahu sendirilah, Cing.”

Kataku, “tentu saja aku tahu. Makanya aku berani teriak-teriak di balaikota soal bosmu itu.”
Tudji diam saja. Tudji mirip wartawan pemula yang masih culun. “Memangnya enak namamu dijual-jual si Gigi, Dji,” kataku sambil menertawakannya. Akhirnya kami pergi. Dia ke kantor polisi dan aku ke warnet.

Tibalah waktunya rencana memecah belah kelompok Bonarman, pikirku begitu sampai di depan warnet.

Beberapa hari kemudian, aku menemui Suroso dan Tudji agar kalau mengetik berita di warnet tempatku saja. Semula mereka keberatan. Tapi setelah kubilang, teman-temanku semuanya baik dan tidak pelit informasi.

“Aku, Pak Rosyid, dan Prilia juga selalu dapat informasi dari polisi seperti Bonarman itu,” kataku.

Kuceritakan pada mereka bahwa teman-teman di warnet justru lebih jago dan lebih kreatif dalam mengembangkan berita. Tidak melulu berita peristiwa kriminal. Jaringan narasumber anak-anak warnet juga lebih luas, buka cuma di kepolisian, masuk ke semua lini di Gunung Jaya.

Suroso dan Tudji seperti baru dengar pernyataan seperti itu. Kulihat wajah mereka tidak sesuram sebelumnya. Akhirnya kedua teman ini mau kuajak mengetik di warnet.

Sejak itu, mula-mula tiga hari sekali si Suroso dan Tudji mau mengetik di warnet. Lama-lama makin sering. Sampai akhirnya, beberapa teman Bonarman lainnya juga gabung di warnet.

Ternyata, keinginanku ‘mengobrak-abrik’ kelompok Bonarman berjalan mulus. Tidak sampai empat bulan setelah pertemuan besar yang diadakan walikota di balaikota, mereka mencoret nama masing-masing dari grup wartawan polres.

Ada kabar baru lagi setelah wartawan kantor polisi tercerai berai. Aku dapat kabar Bonarman sudah dapat kerjaan baru. Dia kerja di salah satu media bidang ekonomi. Kantor pusatnya di Jakarta. Sebenarnya dia akan dipekerjakan di Jakarta, tetapi entah bagaimana dia beralasan, akhirnya redaksi membiarkan dia bertugas di Gunung Jaya.

Tetapi, kelompoknya sudah tidak eksis lagi. Sebagian besar teman-temannya tidak mau lagi begadang di markasnya. Mereka pindah tempat nongkrong di warnet. Tinggal beberapa wartawan mingguan yang kadang medianya terbit kadang tidak terbit, yang gabung dengan si Gigi.

Keadaan itu betul-betul tidak menguntungkan Bonarman. Dia tidak punya otoritas untuk memaksa teman-temannya kembali ke grup yang pernah dia bangun.

Si Gigi kini bukan lagi wartawan kriminal, melainkan fokus ke ekonomi. Mau tidak mau dia harus belajar lebih banyak tentang permasalahan pembangunan di Gunung Jaya yang merupakan kawasan yang sedang berkembang. Isu soal pembangunan, teman-temankulah yang menguasai.

Sejak dia pindah media, aku berkali-kali menemukannya sedang murung di komplek walikota. Mungkin karena dia sering kebobolan berita penting tentang kebijakan publik. Kalau sudah begitu, pasti dia juga sering dimarahi redaktur.

Dalam keadaan seperti itu, aku yakin dia ingin berteman denganku dan teman-temanku yang biasa liputan tentang permasalahan pembangunan. Tetapi, aku yakin, dia tidak nyaman untuk minta pendapat pada kami. Aku membiarkannya sampai dia yang inisiatif datang bergabung.

Gocing (14)

KASUS pencatutan nama oleh Bonarman kuceritakan kepada teman-teman baikku. “Aku curiga, jangan-jangan dia tidak hanya minta uang lebaran pada kepala polisi, bisa jadi walikota dan humas pemerintah juga ditipu pakai nama kita.”

Damin yang sejak dulu geram terhadap Bonarman, langsung setuju usulanku untuk menyelidiki perilaku Bonarman. “Kita harus ketemu walikota,” kataku. Pak Rosyid dan Prilia sepakat.

Lalu, aku menelepon walikota untuk minta waktu ketemu. Pada waktu ditanya ajudan untuk keperluan apa kami menemui walikota, aku bilang ingin wawancara terkait dengan lebaran. Dengan begitu, bisa lebih gampang menemuinya.

Hari yang ditentukan tiba. Kamu datang ke balaikota. Kebetulan pada waktu kami tiba di ruang walikota, dia sedang bersantai. Mungkin karena suasana lebaran. Jadi, tidak banyak pekerjaan.

Setelah ngobrol sana-sini, barulah masuk ke tujuan utama kami. Pertama-tama, aku tanya kepada walikota mengenai perilaku para wartawan di saat lebaran tiba. Walikota yang suka blak-blakan ini langsung tertarik untuk menanggapi.

“Di meja itu banyak banget permohonan permohonan sumbangan tunjangan hari raya dari LSM. Dari teman-teman kalian juga banyak,” katanya.

“Siapa di antara teman-teman kami yang minta uang lebaran, pak,” kataku. Kemudian, walikota menyebutkan sekitar lima nama kelompok wartawan, di antaranya grup pers yang dibentuk Bonarman.

Karena kedatangan kami ke kantor walikota sebenarnya untuk memeriksa perilaku Bonarman, kami langsung minta walikota menunjukkan surat yang mengatasnamakan kelompok wartawan yang diberikan si Bonarman alias si Gigi itu.

“Ternyata benar, nama kita dicatut dia,” bisikku kepada Prilia yang duduk di sampingku. Lalu, Prilia panggil Pak Rosyid dan Damin agar mendekat. Kami semua saling pandang.

“Tiga hari lalu, Bonarman datang sama dua temannya. Sebenarnya wartawan itu agamanya apa sih. Tiap ada hari raya, minta uang THR terus. Dia minta supaya semua nama yang ditulis di suratnya itu dikasih jatah merata,” kata walikota.

Rupanya walikota tidak paham dengan penjelasanku pada waktu aku bertemu dia bulan lalu atau ketika si Gigi datang bersama fotografer untuk menjual foto. Waktu itu, aku minta walikota jangan pernah memberi uang pada jurnalis. Dalam hati, aku mengumpat walikota, kenapa dia mesti takut kepada wartawan. Jangan-jangan walikota ini memang punya kasus besar yang mengancam jabatannya.

Aku gondok juga. Kalau begini caranya, aku harus menjelaskan lagi kepada dia. Bahwa, aku dan teman-temanku ini bukan wartawan seperti Bonarman yang tidak punya malu untuk minta uang kepada narasumber. Kami wartawan yang masih memegang kode etik jurnalistik.

“Pak walikota, tolong lain kali kalau ada wartawan bawa-bawa nama kami untuk minta uang, jangan dituruti,” kataku. “Ini masa lebaran, pastinya banyak kelompok wartawan minta jatah.”

Pada saat itu, timbul niatku untuk mengerjai si Bonarman Gigi dan kawan-kawannya. Aku berpikir keras bagaimana caranya. Aku dapat ide. Karena aku dan walikota sudah kenal baik, aku berani minta tolong agar diatur waktu untuk pertemuan dengan para wartawan Gunung Jaya.

Awalnya, walikota keberatan. Karena kalau tidak ada kepentingan buat pemerintah, buat apa ketemu wartawan. Tapi setelah aku jelaskan ini untuk kepentingan bersama. Tujuannya supaya tidak ada pejabat yang diperas dan tidak ada wartawan yang dicatut namanya oleh kelompok pers.

Tapi akhirnya walikota setuju. Dia minta rincian rencana pertemuan. Kusarankan kepada dia bahwa acaranya nanti harus bertema seputar lebaran, misalnya halal bihalal. Aku yakin semua wartawan akan dengan senang hati datang.

Walikota menganggul-angguk tandak paham maksudku. Dia minta aku, Pak Rosyid, dan Prilia yang jadi semacam koordinator untuk mengumpulkan wartawan. Kami siap. Setelah walikota sepakat semuanya, kami pergi dari kantornya.

Tidak terlalu sulit mengundang wartawan di Gunung Jaya. Undangan tidak perlu formal. Cukup dilontarkan dari mulut ke mulut atau lewat pesan singkat. Tidak butuh waktu lama, rencana acara halal bihalal yang bertempat di kantor walikota sudah sampai ke semua telinga wartawan.

Sepekan setelah lebaran, acara silaturahmi antara walikota dan pers dilaksanakan. Seperti dugaanku, acara ini dihadiri oleh banyak wartawan. Bahkan, aku kaget, jumlah orang yang datang melebihi jumlah media yang selama ini kuketahui.Ternyata, banyak sekali nama media yang masih asing di telinga yang tercatat di buku pendataan yang dipegang humas pemerintah.

“Busyet, kang. Banyak sekali media di Gunung Jaya ini ternyata ya,” kataku kepada pegawai humas yang bawa buku data tamu wartawan.

“Iya, aku juga tidak tahu, media ini terbit di mana, sepertinya tidak pernah ada di ruang humas,” kata staf humas yang sudah lama akrab denganku itu. “Kebanyakan media mingguan. Coba lihat, ini ada juga nama media yang mirip dengan mediamu, Cing.”

Aku geli juga. Aku bisa menebak. Ini pasti kebanyakan wartawan jadi-jadian. Wartawan bodrek. Asal sebut nama media. Kalau ada acara seperti ini, kata staf humas temanku, humas pemerintah kota selalu pusing. Soalnya, tiap selesai acara, wartawan memburu pegawai humas untuk minta uang transportasi.

“Pernah aku hampir dipukuli, Cing. Gara-gara tidak memberi uang,” katanya sambil menunjuk ke beberapa orang yang duduk di barisan kursi paling belakang di ruangan pertemuan. Orang-orang itulah yang akan memukuli temanku ini.

Di bagian depan kursi yang diperuntukkan bagi wartawan, kulihat si Gigi, Tudji, dan si fotografer yang pernah menjual foto walikota. Mereka selalu bergerombol. Benar-benar teman sejati.

Begitu mengetahui posisiku dekat dengan staf humas, Bonarman dan Tudji melambai-lambaikan tangan untuk menyapa.

Tidak butuh waktu lama, ruangan aula balaikota berubah berkabut. Asap rokok mengepul. Aku ingat suasana seperti ini juga terjadi kalau di salah satu rumah di kampungku ada kondangan. Semua orang merokok. Pakaian jadi bau tengik.

Di depan sana, walikota didampingi sekretaris daerah yang dari tadi duduk di kursi menghadap ke tempat duduk wartawan mulai berdehem. Itu pertanda dia segera membuka acara. Dia bicara seperti sedang meresmikan jembatan baru. Formal sekali. Tetapi, intinya, dia ingin mengantarkan acara ini ke inti yang sebenarnya.

Yaitu, untuk acara bebas berpendapat bagi wartawan Gunung Jaya. Boleh mengritik pemerintah, boleh juga menyanjung pemerintah.

Tiba waktunya untuk tanya jawab antara wartawan dan walikota. Tudji berdiri. Dia seperti mewakili teman-temannya. Dia menyanjung-nyanjung pencapaian pembangunan pemerintah. Dia juga minta agar walikota dan humas lebih memperhatikan wartawan Gunung Jaya yang setiap hari meliput acara-acara pejabat.

Geli juga mendengar Tudji bicara seperti itu. Tapi, itulah dia. Si Tudji, wartawan kaki tangan si Gigi. Usai Tudji bicara, kelompok wartawan lainnya secara bergilir juga angkat suara. Apa yang mereka sampaikan tidak jauh-jauh dari yang disampaikan Tudji.

Menanggapi hal itu, walikota tertawa senang. Dia menyampaikan banyak terima kasih kepada pers yang selama ini jadi mitra pemerintah. Tapi, dia juga minta pers juga harus bisa berperan sebagai pihak yang kritis. Sebab, kalau pers tidak kritis, tidak banyak kelalaian pejabat di lapangan yang terungkap.

Walikota memuji tulisanku soal pembangunan waduk. Dia bilang, itu contoh tulisan bagus. Menjelaskan secara gamblang proyek pembangunan. Tapi juga sekaligus mengkritisi. Sehingga pemerintah bisa berbenah agar pembangunan tidak terlalu merugikan masyarakat.

Setelah walikota selesai bicara, tiba giliranku untuk menyampaikan uneg-uneg. Aku bicara keras. Aku membalikkan kata-kata walikota tadi. Dia minta wartawan kritis, tapi di satu sisi dia senang memberi uang pada pers. Berarti itu sama artinya menjebak wartawan untuk melempem.

Di sisi lain, kataku, wartawan juga yang nakal dan suka memanfaatkan kekuasaannya. Kusebut nama Bonarman. Dia suka minta uang ke pejabat. Kusebut juga dia suka mencatut nama wartawan untuk minta uang.

Perilaku macam ini, kataku, sangat memalukan dan merugikan. Memalukan nama wartawan yang dicatut dan memalukan pers. Aku sudah bertekad untuk membikin Bonarman malu setengah mati. Sehingga aku tidak perlu tedeng aling-aling lagi.

Lalu, kusebut namaku serta media tempatku bekerja. Kalau lain kali ada wartawan yang berani-berani mencatutku lagi, wartawan yang bersangkutan akan kulaporkan ke polisi.

Aku juga menyinggung kebiasaan wartawan di Gunung Jaya yang minta jatah tiap hari Jumat ke humas. Mereka datang ke humas dengan membawa klipingan berita tentang pembangunan pemerintah. klipingan berita itu jadi semacam tanda bukti untuk dan ditukar dengan uang.

Bahkan di Gunung Jaya ini juga kerap kali terjadi kasus pemerasan. Misalnya setelah wartawan ramai-ramai memberitakan suatu kasus, kemudian mereka mendatangi pihak yang diserang untuk minta uang. Ada istilah untuk menggertak pejabat atau pengusaha di Gunung Jaya, “mau panjang atau mau pendek.”

Masih di depan alat pengeras suara, aku bilang humas juga ikut terlibat dalam memberi peluang terjadinya kebobrokan sebagian besar wartawan di Gunung Jaya. Karena ada anggaran yang disediakan pemerintah kepada pers. Maka, sebagian wartawan mengejarnya. Mereka merasa berhak mengambil uang. Sebab, kalau tidak diambil, nanti uangnya bisa dikorupsi staf humas.

Kudengar, hanya Pak Rosyid, Damin, Prilia, pegawai humas dan walikota yang tepuk tangan begitu aku selesai bicara. Wartawan lain diam saja. Aku tidak tahu, apakah para wartawan itu marah padaku atau malu. Kulirik Bonarman. Dia cuma celingak-celinguk.

Gocing (13)

KALAU sudah menikmati pekerjaan, rasanya waktu berjalan lebih cepat, walau sebenarnya waktu tidak cepat dan tidak juga lambat. Bulan itu menjadi pekan pertama bagiku berlebaran di Gunung Jaya. Sepekan menjelang lebaran, teman-teman wartawan yang biasa meliput di kantor polisi ribut sekali.

Terutama Bonarman yang menjadi semacam ketua geng wartawan kriminal Gunung Jaya. Dia sibuk mendata nama-nama wartawan. Aku tidak tahu data itu mau diapakan, aku Cuma menduga mungkin untuk pembuatan kartu pers liputan kantor polisi.

Aku tidak mau terlibat dalam proses pendataan untuk kepentingan macam itu. Soalnya, redakturku di Jakarta mewanti-wanti agar aku tidak usah jadi anggota kelompok wartawan di daerah. Bisa-bisa nama media disalahgunakan oleh kelompok-kelompok pers.

Dua hari sebelum hari H lebaran, aku datang ke ruang kepala polisi. Waktu itu dapat penugasan dari kantor untuk minta data evaluasi kasus kriminal menjelang libur lebaran di Gunung Jaya.

Wajahku sudah familiar di lingkungan kantor polisi ini. Jadi, dengan mudah aku diterima kepala polisi. Dia memberikan semua data yang kuperlukan. Iseng-iseng kuperhatikan kertas karton seukuran post card di atas meja kepala polisi. Kebetulan posisinya, di dekatku.

Ternyata, post card kuning itu berisi nama-nama wartawan yang selama ini sudah kukenal. Nama-nama teman Bonarman ada di urutan paling atas. Kemudian di bagian bawah, ada namaku, Pak Rosyid, Damin, dan Prilia. Kemudian di sisi atas kartu, tertulis ucapan selamat hari raya kepada kepala polisi.

Melihatku tertarik pada kartu itu, pak polisi yang suka bicara blak-blakan ini, bilang kartu ini diberikan tiga hari lalu oleh Bonarman. “Bonarman itu kadang-kadang menyebalkan juga. Waktu menyerahkan kartu ini, dia juga minta uang hari raya juga,” kata dia.

Sambil menyodorkan kartu itu padaku, dia bilang, “Bonarman minta semua wartawan harus dikasih jatah THR.”

“Terus bapak berikan uang kepada Bonarman,” kataku untuk menyelidiki.

“Iya, masing-masing wartawan aku beri Rp 100 ribu. Memangnya kamu belum kebagian. Uangnya dibawa Bonarman sama Tudji kemarin,” ujar kepala polisi seraya memperhatikan kartu ucapan yang kupegang.

Tiba-tiba aku geregetan juga mengetahui kenyataan ini. Aku sudah mengingatkan Bonarman agar namaku jangan sekali-kali masuk ke pendataan yang dilakukannya pekan lalu. Dia mengiyakan. Tapi ternyata dia tetap mendataku. Bahkan kemudian datanya dipakai untuk minta uang ke kepala polisi.

“Pak, si Bonarman itu tidak beres. Saya tidak pernah minta dia memasukan nama ke kartu ini. Nama saya dicatut di sini. Kartu ini sih modus bodrek aja pak,” kataku kepada kepala polisi.

Aku ceritakan juga, Bonarman juga telah mencatut nama-nama temanku lainnya. Tapi rasanya percuma juga bicara panjang lebar dengan kepala polisi itu. Dia tidak respon.

Mungkin kepala polisi merasa tidak rugi juga memberi uang kepada wartawan. Soalnya, dengan memberi uang kepada wartawan, maka wartawan itu bisa melempem.

Tetapi paling tidak, kepala polisi ini tahu pendirianku dan teman-teman seperti Pak Rosyid, Damin, dan Prilia. Maksudku, lain kali kalau si Bonarman minta uang lagi dengan memasukkan namaku dan teman-temanku itu jangan sampai dipenuhi.

Pak polisi cuma senyum-senyum saja melihat aku menceritakan sikap soal amplop. Mudah-mudahan dia paham maksudku. Aku pamit kepadanya.

“Namamu Gocing, kan ya. Cing, ini ada bingkisan lebaran. Ambil saja tidak apa-apa. Kemarin Bonarman juga mengambil ini,” katanya. Aku tertawa sama kepala polisi dan dia tertawa juga. Aku tidak mengambilnya dan langsung pergi keluar ruangan.

Rupanya, Bonarman dan teman-temannya tahu aku baru ketemu kepala polisi. Aku langsung bilang ke Bonarman. “Bang, tolong kembalikan uang yang diberikan kepala polisi ke abang.”

Merah wajah dia. Tudji dan teman-teman di ruangan itu sepertinya juga kaget. Orang tua itu clingak-clingkuk. Lalu dia mengajakku keluar ruangan. Tapi, aku tidak mau. Aku minta dia mengembalikan uang waktu itu juga.

Tudji diam saja di sudut ruangan. Soalnya, dia sudah dapat bagian uang dari kepala polisi. Sementara, teman-teman wartawan lain berdiri dan menagih uang hadiah lebaran ke Bonarman yang masih clingak-clinguk.

“Semua nama teman-teman di sini diberi uang lebaran sama kepala polisi, aku dengar sendiri tadi soal itu,” kataku. Sengaja kusampaikan itu supaya Bonarman makin clingak-clinguk.

“Iya, nanti aku buka uangnya. Belum aku buka nih amplopnya,” kata Bonarman.

“Bang, aku minta uangku dan uang Pak Rosyid, Damin, dan Prilia dikembalikan sekarang juga,” kataku lagi.

Dalam keadaan seperti itu, Bonarman seperti orang yang sedang tersiksa bathinnya. Akhirnya dia bilang, “Ya sudah, aku kembalikan sekarang.”

Setelah uang jatah untuk teman-temannya Bonarman dibagi-bagi, Bonarman pergi ke ruang kantor kepala polisi. Tentu saja aku menemaninya. Kalau tidak kutemani, bisa jadi dia bohong.
Kepala polisi hanya tertawa melihat kami datang untuk mengembalikan uang.

“Lain kali aku bisa marah kalau abang sampai pakai namaku lagi,” kataku setelah keluar dari ruang kepala polisi.

Tuesday, June 1, 2010

Gocing (12)

SEMINGGU setelah aku mengirim surat kepada keluarga dan teman-teman di kampung, aku dapat kiriman balasan. Tiga hari sebelum aku terima surat, Peci menikah dengan tetangga. Tulisan suratnya jauh lebih rapi dari surat-surat sebelumnya. Pasti sobatku itu lagi mencapai puncak-puncak kebahagiaan.

Dia bercerita, nenekkulah orang yang paling berperan menyukseskan pesta perkawinan yang diadakan secara kecil-kecilan. Seekor sapi jantan peliharaan nenek disembelih. Nenek menjual hewan piaraan itu dengan harga sangat murah kepada keluarga si Peci.

Masih dalam surat Peci, kalau saja nenekku tidak menjual harga hewan piaraan itu dengan harga murah, mustahil pesta perkawinan Peci bisa dilaksanakan. Karena awalnya, mereka tidak ingin mengadakan pesta.

Pikirku, Peci memang patut mendapatkan itu karena dia orang yang sangat baik dengan keluargaku. Selama ini selalu membantu kami. Terutama ketika aku berangkat sekolah ke kota Wonogiri. Dengan setia dia mencarikanku asrama, kemudian dia selalu membawa titipan lauk pauk dari nenek untukku.

Peci juga bercerita bagaimana dia melamar calon istrinya. Katanya, mula-mula dia tidak yakin akan diterima orang tua si perempuan. Karena, pada waktu itu, sebenarnya calon istri Peci masih ingin sekolah. Tapi karena Peci orangnya santun dan taat mengaji, akhirnya lamaran diterima.

Cerita di malam pertama yang membuatku tertawa. Waktu itu, istri Peci, sangat takut. Dan Peci sendiri malu untuk tidur satu ranjang. Akhirnya, Peci memilih tidur di bawah. Situasi seperti itu berlangsung sampai tiga hari. Begitu masuk malam ke empat, kata Peci, dia sudah tidak malu-malu lagi. Begitu juga dengan istrinya.

Aku senang kehidupan Peci setahap demi setahap berkembang. Surat dari Mangun dan Cepuk datangnya juga hampir bersamaan tidak lama setelah suratnya si Peci kuterima. Kehidupan mereka juga membaik.

Mereka juga sudah menetapkan hari pernikahan. Berarti tidak lama lagi, Mangun dan Cepuk akan berumah tangga. Itu artinya, cita-cita mereka jadi mantri sudah tercapai.

Jalan hidup teman-temanku memang sederhana. Sekolah tidak perlu tinggi-tinggi, yang penting bisa bekerja dan tetap melayani sesama di kampung. Setelah itu berkeluarga dan merencanakan punya anak.

Aku pun juga ingin merasakan kebahagiaan seperti yang ditempuh teman-temanku. Hanya saja, aku mengambil jalan berbeda, pergi merantau ke ibukota, mengenyam pendidikan lebih tinggi di universitas, dan mengadu nasib.

Aku bersyukur akhirnya bisa menyelesaikan pendidikan universitas dengan hasil yang baik. Aku tidak menganggur lama-lama karena segera mendapat pekerjaan di kantor media massa yang bagus.

Setelah merapikan kamar kos, aku pamit kepada ibu kos, untuk berangkat kerja. Hari itu, aku akan wawancara walikota Gunung Jaya seperti rencana semula.

Sebelum berangkat, aku memberitahu tempat liputanku ke Pak Rosyid, Damin, dan Prilia. Para wartawan memang punya kebiasaan seperti itu. Tujuannya untuk koordinasi.

Sampai di komplek kantor walikota, aku ketemu Bonarman. Dia bersama temannya yang kuketahui sebagai fotografer yang tempo hari ketemu di kantor polisi. Tapi, tidak kulihat Tudji di sana.

Mereka bawa-bawa foto walikota. Foto itu sudah dimasukkan ke frame yang memiliki ukuran besar. Aku tanya ke Bonarman, foto kepala daerah Gunung Jaya ini mau dikirim kemana.

“Biasa Cing, ini mau diberikan kepada yang berhak,” kata Bonarman. Aku jadi penasaran. Dalam pikiranku muncul tebakan-tebakan kecil, mungkin foto ini mau diserahkan kepada walikota.

Setelah itu, aku naik ke lantai dua kantor walikota. Sementara, Bonarman dan fotografer koran tadi duduk di ruang humas pemerintah. Lewat bantuan ajudan yang sebelumnya sudah kukenal, aku dapat dengan mudah ketemu walikota di kantornya.

Aku tidak menyia-nyiakan waktu. Aku langsung wawancara dia. Sekitar dua puluh menit kemudian, ajudan menyelewa waktu wawancara untuk memberitahu tamu kepada walikota. Tamunya wartawan. Karena wartawan, walikota mengizinkan masuk.

“Selamat pagi bapakku. Semoga sehat selalu hari ini,” kata Bonarman. Senyum Bonarman tidak putus-putus. Dia mencium tangan walikota dua kali. Fotografer tadi juga mengikuti Bonarman.

Kalau Bonarman ada, suasana sudah pasti menjadi lebih meriah. Karena dia sepertinya sangat senang mengobrol dan sangat senang pidato. Kadang-kadang berusaha melucu, padahal tidak lucu. Gara-gara si Bonarman ini, terpaksa wawancaraku berhenti, karena walikota rupanya lebih tertarik dengan aksinya.

“Maaf bapakku, menyela wawancara dengan Gocing sebentar saja,” kata Bonarman.

Aku betul-betul merasa terganggu. Kecewa. Tapi ya, tidak bisaberbuat-apa-apa. Jadi, akhirnya hanya bisa memperhatikan Bonarman mengobrol dengan walikota di ruangan yang sama. Sambil melihat ke Bonarman, aku berpikir-pikir, julukan apa yang tepat buat dia. Gigi. Ya, Gigi saja. Karena struktur gigi Bonarman ini tidak teratur dan bagian depan maju semua.

Ajudan walikota rupanya juga menunggu di dalam ruangan. Mungkin dia takut atasannya dikerjai oleh Bonarman.

Dugaanku semula ternyata terbukti. Bonarman dan si fotografer botak itu sedang menawarkan foto walikota dengan pakaian dinas. Mereka merayu walikota supaya mau membayar foto. Bonarman sampai memajang foto raksasa tadi di atas kursi sambil mengelus-elus kacanya di bagian kaki gambar walikota.

Walikota yang tadinya tidak tertarik pada foto yang menggambarkan wajah angker itu akhirnya menyerah oleh kelihaian pemasaran Bonarman. Lantas, walikota memanggil ajudan. Setelah dibisiki, ajudan pergi. Dua menit kemudian datang lagi sambil membawa dua amplop coklat.

“Makasih banyak bapakku. Mohon diri. Maaf mengganggu,” kata Bonarman diikuti si fotografer.

Iseng-iseng aku tanya kepada walikota. Berapa yang yang dikeluarkan untuk membeli foto karya fotografer teman Bonarman tadi. “Tidak banyaklah, kasihan sampai merayu-merayu begitu. Kenapa temanmu si Bonarman itu selalu minta uang,” kata walikota. “Suka maksa kalau minta, seperti yang kamu lihat tadi.”

Aku menjawab. “Lain kali bapak tidak usah memberi uang ke wartawan. Menurut saya itu jadi kebiasaan.”

“Mana bisa tidak dikasih, kamu lihat sendiri tadi. Dia bawa barang ini, lalu dibuat alasan untuk minta,” kata walikota.

Aku ingat kata-kata Pak Koting. Lalu kuceritakan pada walikota. Menghadapi wartawan sebenarnya tidak perlu takut. Biasanya mereka bilang akan memberitakan kebijakan pemerintah yang jelek-jelek.

“Kalau bapak merasa kebijakan-kebijakan pemerintah sudah benar, ya tidak usah takut. Paling mereka cuma menggertak saja,” kataku.

Sebenarnya aku tidak mau panjang-panjang mengobrol soal perilaku wartawan model Bonarman. Tapi, karena walikota sepertinya orang baik dan jujur, aku pun menanggapinya. Tentu saja kompensasinya, dia harus memberiku data-data penting untuk bahan berita.

Selesai wawancara aku segera pamitan untuk meninggalkan ruangan walikota. Tapi, sebelum itu, walikota merogoh kantongnya. Dia mengeluarkan beberapa lembar uang Rp 100 ribu. Diserahkannya uang itu padaku.

“Pak walikota tidak perlu memberiku uang. Terus terang saja ya pak, kadang-kadang yang menjerumuskan wartawan untuk menyukai amplop itu narasumber juga.”

Walikota sepertinya tidak enak hati karena uang yang diulurkannya kutolak. Lalu dia memasukkan uang itu lagi ke kantong celana. Mungkin dia menganggapku orang aneh.

Tugas pertamaku hari itu selesai dengan baik. Data untuk bahan berita lengkap. Aku juga dapat pengalaman baru lagi tentang modus wartawan nakal mencari uang.

Gocing (11)

AKU makin banyak tahu sisi-sisi buruk para wartawan. Ternyata Pak Koting di perkuliahan benar. Perilaku mbodrek alias ngamplop sudah bukan jadi rahasia umum lagi di lapangan. Kantor redaksi boleh kampanye antiamplop, tapi kenyataannya, amplop telah jadi mata pencaharian.

“Yah Cing, kalau mengandalkan gaji kantor yang tidak naik-naik, mana bisa hidup kita,” kata Bonarman suatu pagi ketika para wartawan kumpul di kafe. “Lagipula bos-bos kita juga pada main sendiri. Sekarang sih, prinsipku, tidak memeras sajalah.”

“Beda bang, kalau di tempat kerjaku, bisa dipecat kalau ketahuan terima amplop. Kalaupun tidak bisa menolak, uang itu harus diserahkan ke kantor,” kataku.

Pernyataanku malah jadi bahan tertawa teman-teman. Tudji bertanya balik padaku. “Kau tidak tahu yang sebenarnya terjadi, bos-bos kita itu, mainnya lebih canggih, Cing. Main proyek.”

“Realistis ajalah. Kalau dikasih uang terima saja, yang penting tidak minta paksa,” tambah Bonarman yang diiyakan teman-teman lainnya.

Lama-lama aku jadi seperti mahasiswa yang didoktrin. Dengar pernyataan –pernyataan teman tadi, aku jadi merenung. Mungkin informasi mereka benar, bos-bos di redaksi media di Jakarta, pasti ada yang nakal juga. Tapi levelnya lebih tinggi daripada wartawan di lapangan.

“Tidak bang, aku tetap begini saja. Aku tidak akan merusuhi kalian kalau terima amplop. Tapi, aku tidak. Aku nanti malah malu,” kataku.

Setelah semua pesanan kami datang, kami makan ramai-ramai. Namanya juga baru liputan jauh, jadi kami makan seperti orang belum makan selama seminggu. Aku sudah benar-benar dekat dengan kelompok Bonarman.

Di lain hari, wartawan yang ngumpul di balai wartawan ini jumlahnya banyak sekali. Banyak yang belum kukenal. Ternyata banyak sekali wartawan di Gunung Jaya. Mungkin karena sikap dan wajahku ndeso sekali, para wartawan yang baru datang itu kasihan sehingga mengakrabiku.

Kami semua jadi teman. Waktu itu malam setelah makan ramai-ramai di kafe. Kepala polisi datang ke balai wartawan. Kulihat dia panggil Bonarman. Sebelum polisi pergi lagi, dia menyerahkan beberapa lembar uang Rp 100.000 kepada Bonarman.

Setelah Bonarman kembali masuk, dia mengajak beberapa orang diskusi. Kira-kira intinya uang itu akan dibelanjakan atau dibagi-bagi. Ada yang minta dibagi saja. Tapi, sebagian besar minta dibelanjakan saja.
“Beli anggur saja, bang,” kata Tudji. Teman-teman yang lainnya kemudian setuju usul Tudji.

Jadilah kemudian, Tudji dan dua orang wartawan pergi keluar untuk beli anggur. Tapi, sebelum mereka pergi, Tudji menyarankan agar minumnya tidak di balai wartawan.

Dalam hati, mengerikan juga ini teman-temanku. Aku tidak menunggu Tudji pulang dari beli anggur. Aku pulang karena hari sudah larut malam. Soalnya, besok harus bangun pagi-pagi untuk wawancara walikota Gunung Jaya tentang rencana pembangunan waduk.

Awalnya, Bonarman mencegah aku pulang duluan karena acaranya belum selesai. Dia bilang, sekali-sekali aku mesti ikut pesta persahabatan.

Sepanjang pulang, aku tertawa sekaligus kasihan juga sama teman-teman. Mereka diberi uang sama kepala polisi, aku yakin, pemberian uang tadi tidak bebas nilai. Pasti ada sesuatu yang diinginkan dari polisi itu, misalnya lain kali kalau ada kasus yang menyudutkan korps polisi, wartawan jangan terlalu galak dalam menulis berita.

Tapi, teman-temanku sepertinya senang-senang saja menerimanya. Bahkan menanggapi itu rejeki nomplok yang harus benar-benar disyukuri. Aku jadi ingat kata Bonarman tadi, toh, ada bos media suka pesta macam itu. Tapi, levelnya lebih canggih dan orang yang membiayai juga lebih berpengaruh.

Sampai di kos, aku mencatat pengalamanku barusan. Nanti, pengalaman ini juga akan kuceritakan kepada nenekku di kampung. Belakangan adik dan ibuku juga tertarik untuk mengetahui soal pekerjaanku sebagai wartawan.

Tentu saja, si Peci, Mangun, Cepuk, dan Gendut, tidak akan pernah melewatkan cerita-ceritaku. Mereka ini orang-orang sederhana yang selalu membuatku semangat dan kuat.

Gocing (10)

KESUKAANKU begadang malam di depan kantor polisi, kegesitanku mengejar mobil polisi yang hendak menuju ke tempat kejadian kriminal. Ketelatenanku wawancara narasumber. Ternyata itu diperhatikan oleh Bonarman dan teman-teman. Lama-lama mereka memperhitungkan keberadaanku di antara mereka.

“Cing, nanti kalau ada mobil TKP keluar, kabari aku ya,” kata Tudji. “Serius Cing, jangan sampai aku ditegur kantor karena kamu membobol berita lagi.”

“Siap, nanti tak kabari. Tapi jangan tidur. Lagi pula, kenapa kamu tidak ikut nongkrong di luar sini denganku,” kataku.

“Anak-anak pada di dalam semua,Cing. Tidak enak aku kalau di sini sendirian,” jawab Tudji. “Kan, ada aku di sini, bro,” kataku. Tidak lama kemudian, Tudji masuk.

Kalau lagi di kantor polisi, wartawan kelompok Bonarman memang selalu berada di ruang pers. Ruang yang dianggap seperti tempat mengerikan bagi kelompok Pak Rosyid. Bagaimana tidak, di sana isinya wartawan yang suka amplop semua. Wartawan yang gatal pantatnya kalau tidak dapat amplop dalam sehari.

Aku sendiri juga baru sekali masuk ke ruangan itu. Sekali-sekalinya masuk ke sana, aku diceramahi Bonarman. Ruangannya pengap dan bau rokok. Semua kain di sana bau rokok. Pada waktu baru keluar dari ruangan itu saja, pakaianku jadi bau rokok. Makanya, aku juga malas ke sana.

Sejam setelah Tudji masuk ke ruang wartawan, ada mobil TKP polisi keluar. Aku buru-buru menelpon Tudji. Tidak lama kemudian, semua meluncur mengejar mobil.

Dari hal-hal semacam itu juga, lama-lama aku jadi akrab dengan teman-teman Bonarman. Setelah tiga bulan di Gunung Jaya, aku sudah bebas masuk ke ruang pers atau menurut Pak Rosyid, ruang peras itu. Walau begitu, aku jarang berlama-lama di sana karena pengap.

Sejak itu, pekerjaanku menjadi lebih ringan. Karena Bonarman, Tudji, dan teman-teman wartawan lain selalu memberiku kabar kalau ada kejadian penting. Sebaliknya juga begitu. Aku pasti mengabarkan semua hal terkait berita kepada mereka.

Dalam situasi aman seperti itu, timbul niatku untuk menyelidiki operasi amplop yang sering dilakukan teman-teman itu. Ternyata, Bonarman sangat dekat dengan kepala polisi. Hampir tiap pagi, dia menunggu kepala polisi datang untuk bersalaman.

Setelah itu, kepala polisi menyelipkan sesuatu ke kantong pakaian Bonarman. Aku bisa tahu sedetail ini karena aku juga ikut Bonarman menunggu kepala polisi beberapa kali.

Terkadang, amplop berisi uang itu, dipakai Bonarman untuk menraktir teman-teman di ruang wartawan. Misalnya, beli kopi, rokok, mie ayam. Kalau perabot ruang wartawan rusak, Bonarman minta uang ke kepala polisi untuk membeli perabot baru.

“Kenapa kamu kalau dikasih amplop tidak mau, kan kita tidak minta, cuma dikasih,” kata Bonarman.
“Bagiku, itu tetap tidak boleh bang. Aku sendiri sedang latihan disiplin untuk tidak menerima hadiah-hadiah, supaya aku netral. Ditambah lagi kantor melarangku dengan keras.”

“Ambillah, tidak apa-apa. Aku tidak akan bilang kantormu,” kata Bonarman lagi. “Sayang ini uang kalau udah dikasih ke kamu, terus tidak diambil.”

“Lebih baik uangnya buat teman-teman sajalah. Aku tidak mau, takut,” kataku minta supaya pembicaraan amplop yang baru saja dikasih oleh kepala polisi dihentikan saja.

Lama kelamaan, teman-temanku di kantor polisi ini memahamiku. Aku ceritakan kedekatanku dengan anak-anak yang biasa nongkrong di kantor polisi dengan teman-temanku yang biasa nongkrong di warnet. Pak Rosyid salut juga denganku bisa masuk ke kelompok Bonarman.

Kedekatanku ini juga sangat menguntungkan dari sisi informasi berita. Bonarman selalu dapat info kejadian dari polisi. Kalau dia dapat info, pasti memberitahu kepadaku. Nah, aku tentu tidak mungkin menyimpan sendiri, semuanya aku sampaikan juga ke teman-temanku seperti Pak Rosyid, Damin, dan Prilia.

Gocing (9)

SUATU hari, semua jurnalis berkumpul di kantor polisi. Ada Damin, Pak Rosyid dan Prilia. Semua teman-temannya Bonarman juga kumpul di sana. Kami semua berada di ruang aula menunggu dimulainya acara konferensi pers yang akan diberikan kepala polisi.

Kuperhatikan, teman-teman dekatku sama sekali tidak mau bergabung dengan kelompok Bonarman sejak berada di luar aula. Mereka tidak peduli satu sama lainnya. Kalau aku, posisinya netral. Karena waktu dapat tugas di Gunung Jaya tidak ada perintah untuk ikut konflik.

Aku ngobrol dengan siapa saja, termasuk Bonarman, walau dia agak kikuk. Mungkin karena perilaku ngamplopnya kuketahui pas liputan berita kriminal malam itu. “Pak Bonarman, kasih tahu aku dong kalau ada info-info berita, biar aku tidak kebobolan,” kataku. Bonarman bilang. “Siap.”

Teman-teman wartawan Jakarta yang baru datang ke acara ini, ketika melihat formasi duduk wartawan Gunung Jaya itu, mungkin tidak merasa ada sesuatu yang janggal. Formasi duduknya adalah formasi perang dingin. Dan mereka saling buang muka.

Ketika kepala polisi sudah memulai siaran pers, semua terdiam. Begitu dibuka sesi tanya jawab, sebagian wartawan melontarkan berbagai pertanyaan. Tapi, di antaranya yang bertanya, hanya Prilia dan Pak Rosyid yang kritis. Menusuk ke akar masalah.

Sedangkan beberapa pertanyaan yang dilontarkan Bonarman, terkesan cuma formalitas dan sebenarnya tidak perlu ditanya, aku saja wartawan baru sudah paham. Dari apa yang terjadi dalam siaran pers itu, aku tahu wartawan mana yang berkualitas dan mana yang masih perlu banyak belajar.

Usai siaran pers, seperti biasa, ramai-ramai ke warnet langganan. Tapi sebelum jalan ke tempat parkir kendaraan, salah satu teman Bonarman, Purwoko, datang tergopoh-gopoh. “Ini, ada titipan dari humas,” kata Tudji.

Tudji menyerahkan uang Rp 50-an ribu beberapa lembar ke arah Pak Rosyid. “Bos, kembalikan uang itu ke humas,” kata Pak Rosyid dengan nada agak keras. “Udah dikasih Pak Rosyid, bagaimana ini,” jawab Purwoko. Lalu, Pak Rosyid mengajak kami semua pergi, kecuali Tudji.

Sampai di warnet, Pak Rosyid bilang. “Bodrek banget anak-anak itu. Pantatnya akan panas kalau sehari saja tidak dapat amplop.”

Pada waktu itu, aku cerita pengalamanku waktu liputan kriminal bareng teman-teman Bonarman, termasuk si Tudji tadi. Pola ngamplopnya sama. Setelah pulang, mereka memberi uang.

“Pak Rosyid, mereka tidak tahu malu juga ya, sudah ditulis di media, masih saja kelakuannya seperti itu,” kataku.

Kami ngobrol kelakuan wartawan dan amplop. Memang benar bahwa Bonarman dan teman-teman berasal dari media yang pemilik modalnya pelit sehingga gaji wartawannya kecil. Tapi, apa itu bisa membenarkan wartawan menerima amplop, sedangkan kode etik jurnalistik jelas-jelas melarangnya.

“Bukan cuma karena redaksinya pelit menjamin kesejahteraan pegawainya sehingga di lapangan, mereka cari sampingan seperti amplop, tapi juga kembali ke mental wartawannya,” kata Prilia.

Aku tambah pengetahuan lagi. Pak Koting, dosenku, memang sempat menyinggung soal mental wartawan. Kini, aku benar-benar berada di antara mereka yang punya mental seperti itu.

Satu lagi yang tak habis pikir ialah kenapa Bonarman dan Tudji memberi uang kepada kami. Dan mereka selalu bilang uang titipan. Apa mereka selalu mencatut nama media kami. Terus mereka pura-pura menyerahkannya pada kami, karena mereka tahu, kami akan menolak.

Jadi, itu semacam teknik antisipasi, jika suatu hari nanti humas polisi menelpon kami untuk mengatakan uang amplop sudah dibagi-pagi kepada wartawan lewat perwakilan. Kalau begitu caranya, kotor sekali mereka.

“Itulah kenapa kami dulu sampai menulis kelakuan mereka, mereka juga suka main proyek,” kata Pak Rosyid.

Melalui cerita-cerita teman yang sudah lebih senior jadi wartawan itu, pelan-pelan membangun sikapku sebagai jurnalis muda. Jadi, ada dua golongan wartawan di Gunung Jaya ini, ada yang hobi amplop atau idealis seperti teman-temanku. Nah, tinggal, aku memutuskan memilih jalan yang mana.

Tentu saja aku bangga punya teman-teman wartawan seperti Pak Rosyid, Damin, dan Prilia. Mereka membikinku semangat untuk jadi wartawan yang punya kehormatan. Tidak mau jadi jurnalis yang biasa-biasa saja atau tidak punya prestasi, tapi gemar mengejar amplop.