Thursday, July 30, 2009

Pesona Jalan Miss Curcol

“Jadi aku seperti mbah-mbah, ya,” kata Miss Curcol. “Ya enggak dong,” kataku untuk tujuan melepaskan kesimpulan-kesimpulan dalam pikirannya.

Seandainya aku tidak bilang begitu, bisa saja dia akan tersinggung karena aku telah secara sepihak menilainya. Apalagi menyamakan gadis yang selalu tampil trendy itu dengan mbah-mbah di kampungku yang berpenampilan sebagai orang kampung.

Pembicaraan kami melalui yahoo messanger, siang itu, hanya singkat itu tadi. Aku malu untuk inisiatif bincang-bincang lebih jauh soal isi cerita di blogku. Apalagi isinya hanya kerangka karangan yang mungkin tak terlalu berarti buat kepentingan hidup Miss Curcol.

Padahal sebenarnya aku berharap-harap Miss Curcol yang memulai menanggapi cerita di blogku. Soalnya dengan begitu, aku punya bahan baru lagi untuk cerita selanjutnya. Rencana cerita tentang tingkah laku Miss Curcol di kantorku, tentu akan mengalir sehingga lebih basah.

Kutunggu-tunggu sampai agak lama di komputerku, tidak ada tanda-tanda dia akan memulai diskusi. Satu jam pun lewat. Dua jam pun lewat. Aku merasa bersalah.

“Jangan-jangan dia tidak suka kuceritakan di blogku, ya ampun, dia makin tidak menyukaiku,” kataku.

Tapi, tidak apa-apa. Pastinya semua rasa tak enak yang kupikirkan ini hanya bersumber dari harapan yang tidak terkabulkan. Harapan agar Miss Curcol mau chatting denganku tidak terwujud.

Rasa putus asa yang melanda hatiku itu membuatku tidak berdaya sehingga perasaan tidak enak muncul silih berganti.

Tapi, aku berusaha menyadari apa saja yang kukatakan pada diriku. Dan aku berusaha kritis dengan semua itu.

“Pastilah, dia sibuk. Sibuk menyusun laporan perusahaan atau sibuk menghitung angka-angka.” Setelah mengatakan ini, aku menjadi tenang.

Mengapa aku jadi kepikiran seperti itu, karena aku jadi ingat nasihat yang pernah kuterima bahwa manusia pada dasarnya tidak menyukai bila dirinya disama-samakan dengan orang lain. Apalagi dengan orang yang tidak disukainya. Maka, makin tidak berkenanlah dia.

Sebaliknya, manusia itu dasarnya lebih suka disanjung. Apalagi menyanjung dengan dasar kejujuran dan rasional.

Miss Curcol ini telah kuceritakan ada kemiripan dengan tren mbah-mbahku di kampung. Soalnya, Miss Curcol kalau lagi pakai sandal jepit dan jalan di ruangan kantor, pastilah akan mengeluarkan bunyi sandal beradu tumit. Ceplek… ceplek… ceplek….

Nah, itu sama persis dengan mbah-mbahku di kampung Wonogiri sana. Kalau beliah-beliau lagi jalan di depan rumahku, aku sering mendengar suara ceplek…ceplek…

“Tapi begini Miss Curcol perlu tahu, suara itu tidak identik dengan ndeso. Sebab, bagiku, itulah keanggunan mbah-mbah kami di desa kalau lagi jalan,” kataku dalam hati.

Bunyi sandal itu mengeluarkan pesona. Di Ibukota Jakarta ini, itu suara yang langka. Suaranya khas. Irama yang hanya muncul dari sandal jepit. Dan mungkin hanya mbah-mbah di kampung yang menciptakannya. Mendengarnya saja seperti bernostalgia.

Dan aku melihatmu menggantikan keanggunan mbah-mbah di kampungku itu. Makanya, aku cerita di blog.

Miss Curcol seperti mendengarkan argumentasiku. Sore itu, seperti biasanya, dia mondar-mandir di ruangan kantor. Dari meja kerjanya ke meja fotokopi. Mengolah angka di komputer lalu isinya dicetak di mesin foto kopi.

Ceplek…ceplek… ceplek… masih bersuara sandalnya. Dia tidak tersinggung karena ceritaku soal Miss Ceplek. Jalannya tidak berubah. Dia masih jalan dengan iringan suara sendal seperti biasanya.

“Alhamdulillah, dia tetap menjadi dirinya. Tidak terpengaruh dengan tulisanku,” kataku dalam hati.

Miss Curcol. Apakah kamu menyadari bahwa suara itu sama sekali tidak mengurangi kesahajaanmu. Sebaliknya menambah keanggunanmu. Terus pertahankan dan tetaplah menjadi dirimu.

Sore hari itu kubilang agak menegangkan karena pikiranku diselimuti macam-macam tebakan tentang sikap Miss Curcol.

Malam mulai tiba. Biasanya aku menyadari datangnya gelap dengan melihat satu persatu pegawai-pegawai di bagian pembukuan, keuangan, dan sekretariat redaksi, pulang.

Miss Curcol juga pulang. Tidak lama kemudian, aku juga menyusul pulang membawa komputer gendong. Bagi para perantau, pulang itu tanda kesejahteraan. Maksudku, berarti dia punya tempat tinggal.

Kalau dalam hidupnya tidak punya perbendarahaan kata pulang, berarti dia belum sejahtera. Bagaimana ukuran dia telah sejahtera, kalau uangnya saja tidak cukup buat beli tempat tinggal atau menyewa tempat tidur sendiri.

Malam hari itu sebelum tidur, aku ingat dia dan mengirim pesan singkat untuk sekali lagi memastikan keadaan. “Miss Curcol, aku tadi deg-degan. Jangan tersinggung dengan blogku ya.”

Tidak lama kemudian Miss Curcol yang baik hati itu menjawab. “Ha..ha.. ha. Tidak apa-apa. Santai saja.”

Aku akan menutup hidung seandainya dia tertawa seperti itu di depan mukaku. Takut kalau-kalau bau dan airnya menyembur ke luar.

“Apa kamu sudah sampai rumah,” aku SMS lagi. Dan dia jawab. “Sudah.”

“Baiklah, selamat istirahat dan sampai jumpa lagi besok,” kataku sebelum berangkat ke alam di luar kesadaran manusia. Tidur.

******

“Miss Curcol, apakah sekarang sudah sampai di rumah,” kataku malam-malam berikutnya lewat SMS.

Untuk mengirim SMS seperti itu, biasanya aku harus berusaha berpikir rasional. Apakah aku akan mengganggunya. Apakah tepat kulakukan pada jam-jam segini. Kalau sudah yakin aman, barulah kukirimkan pesan ke nomor telepon genggam miliknya.

Aku tahu mengirimkan SMS pasti mengganggu orang. Dia harus membuka SMS, membaca. Iya kalau dia lagi santai, bagaimana seandainya kalau dia lagi di atas kereta, atau membonceng sepeda motor. Pasti membutuhkan konsentrasi sendiri untuk menerima SMS.

Dikirimi SMS berarti juga dia merasa berkewajiban untuk membalas. Berarti dia mesti keluar pulsa dan lain sebagainya. Intinya dia pasti terusik dengan semua itu.

“Belum. Masih di jalan. Tadi ketemu sama teman,” jawabnya.

“O yo wes, hati hati di jalan ya. Jangan bunyikan sandalmu di jalan, bisa-bisa tren sandal suaranya ditiru orang. Sampai ketemu besok,” kataku.

“Ha.. ha.. ha. Aku pakai sepatu, kali…Pakai sandal jepit kalau di kantor doank. Ok. Thank you,” jawabnya.

1 comment:

Anonymous said...

mo dikomenin opo to mas?? haha..