Sunday, July 5, 2009

Sepeda Motorku Negeriku

Aku punya sepeda motor. Bisa dibilang usianya agak tua. Walau begitu, mesin motorku ini tidak pernah ngadat. Itu sebabnya, tidak pernah kuganti. Lancar diajak kemana pun keliling Jakarta. Rileks dan praktis dibandingkan jenis kendaraan lainnya untuk menemani selama di Ibukota.

Tapi, tiap kali teman-teman melihat motorku, pastilah berkomentar. Ada yang bilang kotor. Ada yang bilang geli. Ada yang bilang jorok. Ada yang bilang kasihan. Ada yang tanya, apa motor ini baru jatuh dari got. Sebagian lagi tanya, apa motor ini baru baru diajak balapan di sawah.

Sampai-sampai pak kos dan ibu kosku tiap dua hari sekali mengingatkanku supaya mampir di tukang cuci Golden Truly. Pernah ada juga yang iseng, di knalpot sepeda motorku ditulisi ‘motor jorok, cuci dong.’

Terus, tiap kali aku berhenti di lampu merah di pagi hari, pengendara kendaraan di sekitarku, pasti melihat ke arah motorku. Mungkin mereka berpikir, ini motor betul-betul kacau, sekacau pengendaranya.

Intinya mereka bilang bahwa aku ini pemilik motor yang tidak bertanggung jawab. Hanya memaknai motor sebagai seonggok mesin belaka, tapi tidak mau melihat dari sisi sosial dan loyalitas yang dihasilkan mesin kepada manusia yang telah menciptakannya.

Mereka mengatakan kepadaku bahwa aku hanya memikirkan urusan sendiri, tanpa mempertimbangkan bagaimana kesiapan segala sesuatu yang mendukung proses untuk menyelesaikan urusan-urusan nafkah.

Apapun yang mereka amati atas motorku kemudian digunakan untuk menilaiku, itu masuk akal. Tidak ada argumentasi untuk mementahkan kekotoran tadi.

Sebenarnya memang sudah agak lama teman mesinku yang paling setia ini tidak dicuci. Terakhir kucuci di Kota Bekasi pada akhir 2008.

Ketika kucuci itu, Jakarta masih musim penghujan. Dan sekarang ini rupanya sudah musim kemarau dan sebentar lagi mau musim hujan lagi.

Pelek roda yang dulu mengkilap, sekarang coklat karena tanah. Besi-besi kerangka motor juga berdebu tebal. Body motornya juga coklat. Blok mesin penuh oli. Kaca lampu depan berwarna coklat. Lampu mati, lampu kiri kanan mati.

Pokoknya, kalau melihat motor itu dari sudut pandang manapun, pasti kesimpulannya ialah menyedihkan.

Baiklah. Menyedihkan. Menyusahkan. Jorok. Kacau. Ketidakpedulian dan lain sebagainya. Kuterima dengan kesadaran.

Tapi, sesungguhnya aku punya penjelasan sendiri soal semua itu.

Sengaja aku tidak pernah mencucinya karena ingin melihat seperti apa kalau motor sangat kotor. Apa yang akan terjadi kalau mesin motor kubiarkan tak terurus. Tak pernah kuikuti sistem pemeliharaan mesin sebagaimana diatur oleh perusahaan yang menciptakan motor itu.

Sepeda motor jorok tiap hari lewat jalan utama ibukota, Jalan Sudirman dan Jalan Thamrin. Tiap hari lewat Istana Merdeka. Lewat gedung-gedung pencakar langit yang melambangkan modernitas dan optimisme Jakarta di mata dunia.

Aku juga ingin melihat seperti apa reaksi orang-orang Jakarta ini ketika melihatku dan sepeda motorku. Aku ingin menikmati sebagai orang yang akan dianggap jorok di jalanan. Sejorok polusi udara dan polusi cahaya yang sesungguhnya tiap menit juga dihasilkan oleh penghuni Ibukota.

Aku ingin membayangkan motorku adalah negeriku Indonesia. Dan aku berimajinasi sebagai orang yang sedang memimpin negeri itu. Besi, aluminium, plastik dan karet yang tersusun menjadi sebuah alat berjalan yang disebut sepeda motor yang kupakai itu kugambarkan sebagai masyarakat. Sebagai elemen-elemen yang membentuk sistem pemerintahan.

Semua itu tidak kuurus. Kubiarkan berjalan sendiri-sendiri. Aku sebagai pemimpin, tapi berlaku tidak mau bertanggung jawab atas tanah air udara yang menyediakan penghidupan bagi rakyat yang dipimpin.

Singkat cerita, bayangkan, jika pemimpin negeri ini betul-betul sepertiku. Sengaja tidak berperan sebagai penanggung jawab karena hanya berpikir untuk diri sendiri. Tidak berperan menjadi pemimpin yang semestinya dan menjalankan pemerintahan sekehendak penafsirannya.

Lalu, apa yang kelak terjadi. Ya motorku itu realitasnya. Kondisi di mana hanya kekacau balauan.

Jadi, kuharap, siapapun pemimpin Indonesia yang kelak dihasilkan dalam pemilihan presiden 2009, dapat mengelola negeri tidak seperti menangani sepeda motorku ;-)

1 comment:

Anonymous said...

Defri

hehehehe. tulisan argumentasi khas pemalas. tapi, isi pesannya tetap menarik.