Awal-awal tahun 2009, aku mulai berkesan pada mbak-mbak itu. Tidak banyak bicara tapi dia banyak bekerja. Itu sebabnya, aku membuat kesimpulan cepat pada waktu itu, mbak-mbak ini orangnya pastilah serius.
Pikirku, cara hidup orang ini pasti menarik. Sebab, beda dengan teman-teman lainnya yang ramai.
Tapi bukan berarti orang ramai, tidak bisa serius. Bisa juga. Tapi, bagiku lebih berkesan pada orang yang tak banyak bicara, tapi pergerakan kerjanya lincah.
Sampai kantor di lantai 31 rutin sekitar jam 9. Duduk, buka komputer, lalu buka kertas kerja. Tidak lama kemudian berdiri menuju meja temannya. Diskusi. Ngitung-ngitung angka. Tidak lama kemudian, balik lagi ke meja komputer. Lalu, menuju mesin foto kopi.
Aku sudah bisa menebak, pastilah dia akan menuju ke mesin fotokopi setelah itu. Rasa-rasanya, teman dekatnya hanya mesin foto kopi. Sepertinya, teman curhatnya hanya mesin pencetak itu. Mengungkapkan pikiran di computer, lalu isinya dicetak di mesin foto kopi.
Aku tidak pernah berani menyapa atau berkenalan. Rasanya malu. Padahal, dalam hati, ini orang menarik. Menarik dari segi kedisiplinan bekerja. Dan pekerjaannya mudah kubaca. Computer, diskusi, mesin foto kopi. Mondar-mandir. Dan di bidang itulah nyawa perusahaan ini berdenyut.
Pada suatu hari, aku berpikir untuk menjuluki orang ini sebagai mesin gosokan pakaian. Soalnya cara kerjanya mirip-mirip. Ke sana kemari. Bolak-balik. Curhat di komputer, lalu isi hati dan pikirannya dikopi di mesin.
Aku belum tahu nama mbak-mbak ini pada waktu itu. Mau tanya langsung ke orangnya, tapi rasanya malu. Dan aku selalu berpikir, jangan pernah memaksa diri kalau masih malu. Tunggu dan pasti akan tahu. Itu kunamai strategi tiarap.
*****
Pegawai-pegawai yang bekerja di redaksiku ini asalnya dari berbagai daerah. Bila orang-orang bicara aku bisa langsung menebak dia berasal dari suku mana. Ada Flores, Batak, Jawa, Minang, China, dan Betawi.
Karena itulah, aku senang bekerja di tempat seperti ini.
Dari perbedaan-perbedaan itu, kelak bisa dibikin. Misalnya kuberi judul kantorku adalah miniatur Indonesia. Atau bisa juga kantorku contoh kerukunan antarbudaya. Atau bisa juga yang lebih serius lagi, misalnya masih ada dunia yang damai yaitu di kantorku. Hehehhe.
Dari rupa-rupa latar belakang tradisi itu, kemudian akuu jadi ingin tahu. Dari mana asal mbak-mbak yang bekerja seperti setrika itu. Aku tidak pernah ngobrol sama dia. Itu sebabnya, aku tidak bisa menebak.
Tetapi, jika kuperhatikan dari struktur wajahnya, sih, aku mengatakan mbak-mbak ini tentunya orang Batak. Struktur wajah yang sangat kuat terhadap kerasnya kehidupan.
Memang, struktur wajah bukanlah pedoman untuk membuat sebuah jawaban yang akurat. Tapi, yang jadi dasar tebakanku itu ialah karena hampir semua temanku asal Batak, mirip-mirip bentuk wajah mbak-mbak berambut sebahu itu.
Lebih-lebih lagi teman kerja yang terdekat mbak-mbak ini pada waktu itu orang Batak. Boling. Pak Boling, namanya. Boling itu kalau tertawa, suaranya keras. Pokoknya tipikal Bataknya, pasti langsung terbaca oleh orang yang baru sekali mengenalnya atau bertemu dengan Boling.
Dan lagi, dia duduknya berdampingan dengan Boling dan akrab sekali. Pastinya dia dua orang ini satu budaya, mungkin satu marga. Itu jadi bahan perdebatan dalam diriku.
Tidak lama kemudian aku tahu dari orang-orang mbak-mbak itu. Namanya Mety Rahmadyanti. Orang kantorku panggil dia Mety. Nama yang menurutku bagus. Tidak ndeso. Hehe.
Setelah membaca nama belakangnya, ini pastilah bukan orang Batak. Tebakanku tadi termentahkan. Tidak mungkin orang batak namanya Rahmadyanti. Kalaupun ada, itu pasti keturunan Jawa. Kalau Mety ini pastinya orang Jawa, sama seperti diriku.
Sudah cukup. Keingintahuanku tentang dia sudah cukup. Dan aku tidak bermaksud memperdebatkan Jawa atau non Jawa. Aku sudah tahu namanya. Dan sudah tahu asalnya Jawa. Aku kembali pada kesukaanku, memperhatikan orang-orang bekerja.
Tapi di antara orang yang bekerja di kantorku, aku cenderung tertarik mengamati cara kerja Mety ini. Cara kerja Miss Strika. Kerjanya seperti gosokan pakaian. Ke sana kemari. Sibuk sekali, tapi dia tidak banyak bicara.
Kupikir, hebat betul. Seharian, sedikit bicara, tapi banyak aktivitasnya. Jangan-jangan cara berkomunikasi orang ini memang dengan bekerja.
Mungkin dia mau menjelaskan bahwa eksistensinya adalah bekerja itu. Dengan bekerja maka dia merasa ada di antara orang-orang lainnya. Dia merasa diakui sebagai manusia ketika sedang bekerja itu. Luar biasa.
Jangan-jangan dia ini juga suka filsafat. Dan dia menamai filsafatnya sebagai filsafat bekerja. Hehehe.
*****
Tahun 2009 adalah tahun politik. Karena di tahun inilah ada pelaksanaan pemilihan presiden. Mereka yang akan maju jadi presiden berkampanye setengah mati agar konstituen dan masyarakat lainnya tertarik memilih mereka.
Mereka kampanye dengan rupa-rupa cara. Menurutku, inti dari semua itu ialah mereka mau memaksa orang untuk mengikuti jalan pikiran yang mereka bawa, seolah-olah hanya rencana mereka, cita-cita mereka, keinginan mereka, adalah kebenaran. Kebenaran yang harus diikuti masyarakat.
Dari tiga pasangan calon presiden, hanya Jusuf Kalla yang kelihatan lucu. Dia pakai motto lebih cepat lebih baik. Polos sekaligus mengritik SBY.
Tulisan ini bukan untuk bicara politik. Deskripsiku yang berbelit-belit soal Pilpres itu sebenarnya hanya mau mengantar pada adanya kemiripan dengan cara kerja mbak-mbak orang Jawa menarik ini.
Dia ini kalau jalan cepat sekali. Hehehe. Cepat seperti bajaj yang baru diservis. Bajaj yang selalu lewat depan kosku. Ngebut dan sepertinya tidak punya rem. Makanya, kubilang, mbak strika pakaian ini lincah sekali.
Mungkin dia ini sebenarnya pengagum Jusuf Kalla. Lebih cepat lebih baik. Sampai-sampai kalau temannya mau panggil dia, selalu telat, karena saking cepatnya bila berjalan.
Iya, kupikir, karena terlalu serius, makanya secepat itu. Yaitu lebih cepat lebih baik. buat apa lambat-lambat, kalau bisa cepat. Karena hasilnya akan lebih baik.
Cepat seperti konsep media online. Hehehe.
Semua itu menimbulkan keasyikan bagi orang yang suka memperhatikan tingkah laku orang lain. Kegemaranku sejak kecil adalah memantau orang bekerja.
Aku paling senang memperhatikan mbok-mbok di kampungku cari rumput. Senang memperhatikan pakde-pakde mencangkul.
Karena dengan begitu, pikirku, aku bisa belajar. Bisa memotivasiku. Pokoknya ada sensasi tertentu yang kudapatkan jika menonton orang yang sedang melakukan suatu pekerjaan. Sensasinya, antara lain timbulnya semangat untuk bisa seperti mereka. Atau melebihi mereka.
Begitu juga dengan memperhatikan si mbak gosokan, tadi. Hehehe.. lebih cepat lebih baik... mbak.
*****
Mety lucu kalau sedang berjalan. Dia paling suka pakai sandal jepit kalau sedang di kantor. Jika sedang berjalan, pasti ada bunyi di sandalnya.
Bunyi yang ditimbulkan dari perjalanan Mety itu Seperti membawa nostalgia. Ketika masih di Wonogiri. Mbah-mbah dan para tetanggaku, kalau lagi jalan di depan rumahku, pasti kedengeran sandalnya. Ceplek… ceplek… ceplekk….. hehheh. Apalagi kalau jalannya malam-malam.
Menurutku, di situlah letak keanggunan mbah-mbahku di kampungku. Sambil menggendong rumput, sandalnya ceplek… ceplekk… ceplek…
Aku sudah lama betul tidak mendengar bunyi semacam itu. Maka dari itu, ketika si Mety lewat, dengan bunyi sandal yang selalu mengiringinya, rasanya teringat mbah-mbah di kampungku itu.
Tradisi asli yang telah lama ditinggalkan. Ketika hadir lagi di Kota Besar, itu menjadi pesona dan keanggunan di Kota Besar. ;-)
Kalau aku lagi serius mengerjakan laporan berita di komputer. Aku tidak perlu menengok ke belakang atau ke samping untuk memastikan siapakah orang yang sedang berjalan di sekitarku. Dari suara ceplek… ceplek… itu, aku bisa menyimpulkan, itulah dia.
Itulah sebabnya, aku mengganti namanya dari Miss Strika menjadi Miss Ceplek. Itu panggilan dalam hatiku kalau mendengar dia lewat.
Miss Ceplek lewat. Harus hati-hati. Takut kalau-kalau nanti nabrak karena ketika berjalan sangat cepat. Kadang-kadang bagaikan orang yang sedang berlari-lari.
******
Belakangan aku tahu. Dia orang Solo. Waaah, tetangga. Hehehe. Kedekatan kebudayaan membuatku merasa nyaman.
Nyaman dalam konteks ini adalah menjelaskan bahwa tradisi kami sama. Orang-orang tuanya pastilah suka nonton wayang, ketoprak, tari. Nonton tivinya tahun 1980an dulu pasti TVRI Yogyakarta.
Orang-orang yang agak mudanya pasti kenal Sheila One 7, misalnya. Kalau maulidan, orang Solo dan orang Wonogiri, pastilah kumpul di Sriwedari atau sekitar Keraton. Kira-kira begitu. Mata air kami juga satu, Bengawan Solo. Pastilah kenal sama Gesang yang bikin lagu Bengawan Solo.
Tapi, yang kuceritakan soal budaya itu, pastinya tidak dialami secara total oleh Mety. Soalnya, kata dia lewat chatting, dari kecil sampai besar hidup di Depok. Hidup dari nol, mengenal hurup, sampai kenal tentang pekerjaan, dilakoni di Depok dan Jakarta.
Tidak apa-apa, paling tidak agak familiar dengan bahasa Jawa. Walau hanya fasih bilang, “Dalem pak. Dalem bu.”
Aku cerita tentang ke Solo-an ini, maksudku ingin juga mengait-ngaitkan dengan bunyi-bunyi sandal Mety tadi. Ibu-ibu di Solo yang banyak kukenal ketika aku masih tinggal di Jalan Slamet Riyadi dulu, kalau jalan juga bunyi seperti itu.
Sama seperti mbah-mbah yang tiap hari lewat di kampungku Wonogiri sana. Inilah yang kumaksud juga ada kesamaan tradisi. Tradisi sandal bunyi.
Oke. Rasanya, mau menjelaskan sandal bunyi saja ceritanya mesti memutar-mutar dulu. Baiklah, soal sandal bunyi kita sudahi dulu.
******
Lama-lama aku mengatakan mbak-mbak itu merupakan anak gaul juga. Gaul. Anak gaul dari sudut pandang ndesoku ialah punya banyak teman, punya semacam komunitas, entah itu komunitas makan bareng, komunitas nonton film, komunitas ngerumpi dan lain-lain.
Aku bisa tahu kegaulan itu dari foto-foto di facebooknya. Facebook, teknologi kecerdasan manusia yang baru kukenal 2009 ini. Juga friendsternya, friendster yang kuketahui setelah browsing di internet.
Soal itu, rasanya bertolak belakang denganku. Aku merasa kuper. Anak kuper dalam pemahamanku ialah hanya memilih fokus bidang tertentu, misalnya sekolah, menulis, membaca dan lainnya. Tapi kemudian, tidak terlalu menganggap penting sosialisasi seperti anak gaul Mety tadi itu. Dunia gaul.
Soal gaul itu, kemudian membawaku pada satu cerita tentang Miss Ceplek ini. waktu itu, malam-malam ketika aku sedang piket. Tengah malam, kulihat YM-nya masih online. Berhari-hari selama aku piket malam, aku selalu menemukannya seperti itu.
Dan dia tidak pernah mau menyapaku, kalau tidak kusapa lebih dulu. Hehehe. Dia bercerita, kalau malam online begitu, biasanya lagi sama komunitasnya. Menggosip, katanya. Lagi, lagi, dan lagi. Selalu ada tema gossip baru yang bisa dibicarakan, makanya bisa sampai tengah malam lewat.
Tapi sebenarnya bukan hanya gosip saja. Dia bilang, seringnya ada temennya yang curcol. Iya, curcol. Kata yang aneh. Ini jenis bahasa yang jarang dipakai di jurnalistik. Maka itu, waktu itu kucari di kamus bahasa indonesiaku, tapi kok tidak ketemu-ketemu.
Besoknya, kami ketemu lagi di YM tengah malam. Kusapa, dia tidak jawab-jawab. Tapi setelah jawab, dia bilang masih curcol. Lalu kutanya. Dan dia jawab, curcol itu ialah curhat colongan. Kalau curhat sih aku sudah familiar. Itu mencurahkan hati. Menceritakan hati, biasanya yang sedih-sedih.
Tapi kalau ditambahi colongan, curhat colongan, ini rasanya aneh. Definisi Mety tentang curcol ialah menceritakan sesuatu masalah secara tiba-tiba dan biasanya dilakukan di saat sedang membahas masalah lain. Edan tenan. Curcol.
Tapi, bagus juga. Aku jadi punya perbendaharaan kata baru. Dan dalam hatiku, kuganti lagi nama orang Jawa yang menetap di Depok ini dari Miss Ceplek menjadi Miss Curcol.
******
Baiklah Miss Curcol. Ceritanya kita sudahi dulu. Cerita ini hanyalah outline, pembangkit imaji, untuk dibikin cerita serius tentang ‘Miss Curcol.’ peace.
No comments:
Post a Comment