Hari kedua di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Cuacanya cerah sekali. Hari itu memang kami rencanakan untuk pergi ke Pasar Terapung Muara Kuin di atas sungai Barito di muara sungai Kuin, Banjarmasin.
Aku mau mereportase perjalanan ke pasar tradisional yang sohor di Indonesia itu. Temanku, Wisnu, fotografer harian Kompas, juga ingin memotret aktivitas pedagang di sana. Romauli, wartawati Sinar Harapan, juga ingin sekali menulisnya.
Pukul 4.30 WITA atau sekitar pukul 3.30 WIB, kami meninggalkan tempat penginapan di Hotel Batung Batulis di Jalan Ahmad Yani. Kami takut telat sampai di sana.
Kata orang Banjar, pasar itu akan tutup jam 9.00. Pada jam-jam segitu, sudah tidak akan menemui kegiatan pedagang.
Kami jalan kaki ke dermaga kecil. Orang sana menyebut lokasi itu Pelabuhan Provinsi. Letaknya sekitar dua puluh meter dari penginapan. Jadi, kami tinggal jalan kaki ke sana. Sampai di pelabuhan, perahu yang sebelumnya sudah kami sewa sudah siap.
Aku lebih familiar menyebut tumpangan kami itu sebagai perahu. Kalau di Muaragembong, Kabupaten Bekasi, tempat pertama kali aku naik perahu semacam ini, itu dinamai Perahu Kelotok. Perahu yang digerakkan oleh mesin diesel. Berbahan bakar solar.
Perahu yang akan kami tumpangi ini dibuat dengan bahan dasar kayu. Ukuran badannya sekitar 6x2 meter. Bagi orang Banjar, benda ini namanya bukan perahu, melainkan
Taksi Kota.
Aku agak lama bisa menerima penyebutan perahu pelotok menjadi Taksi Kota. Mungkin karena, dalam konsep berpikirku, yang namanya taksi itu ya kendaraan roda empat, ber AC, yang bergerak di jalan raya beraspal.
Aku tidak mau berdebat dengan istilah. Tapi pengalaman ini menegaskan bahwa agar jangan sering-sering menerima konsep-konsep tentang sesuatu pengalaman. Karena akan menjadi susah menerima suatu ketika menemukan perbedaan.
Tapi, yang terpenting terletak pada prinsip kerjanya. Perahu dan taksi prinsip kerjanya sama. Yaitu berfungsi untuk transportasi. Karena di Jakarta kondisi sungainya tidak mendukung, maka masyarakat tidak menggunakan perahu untuk bepergian jauh. Ibukota lebih banyak jalan darat, maka taksinya jalan di darat.
Sedangkan kalau di Banjarmasin, umumnya lalu lintas warga di sana memanfaatkan jasa perahu untuk bepergian. Karena memang di daerah ini sangat banyak daerah aliran sungai yang menghubungkan satu tempat ke tempat lainnya.
Pemilik Taksi Kota sudah siap. Namanya Pak Ismit Inunu. Dia berusia 60 tahun. Pak Ismit berdiri di bibir Taksi Kota. Dia menjaga posisi perahu dengan bangunan dermaga agar ketika kami melangkah ke perahu, perahunya tidak bergerak menjauh. Kami melompat ke atap Taksi Kota sebelum masuk ke dalam perahu.
Lalu, kami harus merunduk sedalam-dalamnya agar bisa masuk Taksi Kota. Kalau tidak begitu, kepala bisa terbentur atap perahu. Di dalam Taksi Kota tidak ada tempat duduk semacam bangku. Melainkan, hanya gelosoran di ruangan kosong yang dihampari karpet.
Kami duduk bersila sambil mencari tempat yang tidak basah karena embun. Aku duduk di dekat Pak Ismit yang mulai mengoperasikan Taksi Kota. Taksi ini suaranya mirip mesin bajaj yang jarang dibawa ke bengkel dibersihkan mesinnya. Berisik bukan main. Beberapa waktu kemudian, taksi ini mulai menembus kegelapan Sungai Martapura.
*********
Aku memandang langit. Sangat cerah. Bulan bersinar penuh. Bintang-bintang sangat terang. Rasi bintang Salib Selatan atau rasi layang-layang (Gubuk Penceng) terlihat sangat jelas. Bintang inilah yang digunakan orang tradisional sebagai penunjuk arah Selatan.
Pemandangan langit seperti yang tentu tidak mungkin dilihat dari Ibukota Jakarta. Kalau di Jakarta, polusi cahaya dan udara telah membatasi mata manusia untuk menyaksikan betapa indahnya luar angkasa.
Kami menyusuri Sungai Martapura. Setelah agak lama berjalan di atas sungai besar itu, Pak Ismit membelokkan perahu. Kami memasuki Sungai Kuin. Sungai ini menghubungkan ke Sungai Barito yang menjadi tujuan kami.
Bangunan-bangunan beton seperti yang kami lewati di sepanjang Sungai Martapura, kini sudah tidak tampak. Sekarang, kami melewati perkampungan tradisional. Aku menyebutnya tradisional karena rumah-rumah penduduk di sini letaknya menjorok ke sungai. Tiang-tiang penyangga rumah tertanam ke dasar sungai.
Sebagian besar rumah menghadap ke sungai. Itulah yang paling kukagumi. Betapa mereka menghargai dan menghormati eksistensi sungai. Seolah-olah sungai sebagai taman rumah. Dan tentu saja, mereka akan menjaga keindahan sungai itu agar elok.
Aku bilang, orang Banjar ini sangat menyintai sungai. Seperti orang kampungku, menyintai sawah. Sebagian penduduk yang tinggal rumah-rumah tepi sungai, pagi itu pada duduk di papan kayu depan rumah. Awalnya, kupikir mereka sedang buang air besar. Tapi ternyata tidak.
Mereka sedang menggosok gigi. Mereka pakai gayung untuk mengambil air kali dan digunakan untuk berkumur-kumur. Ada juga yang cuci muka, ada juga yang mandi. Betapa pemandangan itu sangat indah.
Lalu aku membuat kesimpulan. Sungai di Banjar, sungai yang sangat dihargai manusia yang menetap di sekitarnya. Betapa bahagianya sungai ini. Atau betapa senangnya manusia di sini dilayani semua kebutuhan dasarnya oleh sungai dengan baik seperti itu.
Kata Pak Ismit, orang Banjar memang umumnya menggantungkan hidup kepada sungai. Kepada alam. Itu sebabnya, mereka menganggap sungai sebagai bagian dari keseharian. Dalam pengertian, mereka ikut melestarikan sungai.
Seperti Pak Ismit sendiri. Sungai adalah tempat usaha. Tiga puluh tahun lamanya dia menjadi nahkoda Taksi Kota. Berkeliling Kalimantan. Dia berhasil menghidupi enam orang anaknya. Itu semua karena jasa sungai.
Begitu juga dengan penduduk lainnya, mereka menggunakan sungai untuk tempat berdagang makanan, mencari ikan, dan lain sebagainya. Orang Banjarmasin banyak yang bisa naik haji juga karena jasa sungai.
Maka itu, wajib hukumnya bagi penduduk tradisional ini untuk menjaga sungai sebaik-baiknya.
Di beberapa titik kuperhatikan ada pos keamanan. Kata Pak Ismit, pos itu tempat penjagaan. Namanya LSA, Lalu Lintas Air. Mereka bertugas untuk menjaga keamanan sekaligus kontrol kebersihan sungai. Oh, luar biasa, pikirku. Benar-benar membanggakan.
*****
Pak Ismit selalu menyalakan senter dan menyorotkan cahayanya ke arah depan, tiap Taksi Kelotok yang kami tumpangi hendak berpapasan dengan Taksi Kota lainnya.
Menurutku, sorot senter itu merupakan komunikasi bagi satu nahkoda dengan nakoda lainnya. Sebagai penjelasan bahwa ada perahu di depan dan harap hati-hati. Atau juga bisa dimaknai, sukses buat anda, hati hati di jalan, dan jaga keselamatan penumpang.
Lampu adalah bahasa lain dari klakson. Taksi Jakarta, umumnya menggunakan klakson untuk memberi peringatan, walau memang kadang pakai lampu mobil juga kalau malam.
Perahu-perahu yang berpapasan dengan kami sebagian mengangkut sayur mayur. Mungkin mereka baru saja belanja di pasar apung Barito. Sayur-sayur yang banyak itu tentunya bukan untuk kebutuhan sendiri, melainkan untuk dijual kembali ke kampung-kampung.
Betul juga perkiraanku. Di beberapa lokasi, kuperhatikan ada perahu berjalan pelan di pinggir sungai. Mereka menawarkan sayur, kelapa, dan buah-buahan, kepada penduduk yang tinggal di rumah-rumah panggung. “Sayur, sayur, sayuuur….” katanya.
Mereka jualan menyusuri sungai. Dan akan berhenti di tepat di bawah pintu rumah, jika ada penduduk yang ingin belanja. Transaksi yang sangat mengesankan. Inilah kehidupan di sungai. Sungai telah memberikan banyak manfaat, sungai telah memberikan banyak pelayanan kepada manusia.
****
Ketika gelombang sinar matahari mulai menggantikan terangnya bulan dan bintang, perahu Pak Ismit tiba di Sungai Barito.
Sungai Barito berukuran lebih besar dari Sungai Kuin. Karena sungai ini merupakan muaranya Sungai Kuin. Sungai terkenal ini lebarnya kira-kira setengah kilometer dan kedalamannya kata orang mencapai lebih dari 20 meter.
Aktivitas di sungai ini kelihatan lebih berat. Di ujung sana ada kapal tongkang yang mengangkut batu bara. Tidak jauh dari Taksi Kotaku, sedang terparkir tongkang pengangkut kayu. Di sebelahnya berdiri dengan seramnya, kapal tua pengangkut jeligen-jeligen besar, entah apa isinya.
Sungai ini rupanya punya kewajiban jauh lebih berat. Mereka harus memberikan pelayanan ekstra kepada manusia. Aku berharap kerja keras air sungai di sini juga dihargai. Paling tidak manusia-manusia pengendali kapal-kapal besar itu tidak merusak lingkungan dan membuang limbah asal-asalan. Dengan begitu ekosistem sungai tetap terjaga.
Taksi Kota Pak Ismit berjalan dengan segagah-gagahnya. Makin banyak perahu-perahu pengangkut yang berpapasan dengan kami. Di sebelah kami, ada Taksi Kota lainna yang ngebut dan menyalip Taksi Kotaku. Perahu Kelotok itu rupanya membawa turis. Mungkin mereka ingin ke pasar apung juga.
Di sebelah tengah sungai ada perahu beratap berhenti. Lama-lama diperhatikan, ada sesuatu yang unik terjadi di sana. Oh, rupanya itu rumah makan. Rumah makan terapung. Namanya Warung Tatamba Lapar. Menunya sop, soto Banjar, rawon, gabus, dan lain sebagainya.
Rupanya di dalam perahu itu ada banyak orang sedang makan. Perahunya sebesar Taksi Kota ini. Tapi didesain sebagai rumah makan, ada bangku-bangku pendek sebagai tempat meletakkan mangkok-mangkok wadah makanannya.
Makan soto dan minum teh panas di atas air di tengah Sungai Barito. Mereka bergoyang-goyang ketika ada perahu melintasi air dekat warung makan. Fantastik.
****
“Buah-buah, kelapa, kelapa,” kata salah satu pedagang. Yang di ujung sana juga bilang, “sayur, sayur, sayur.”
Kami sudah sampai di pasar apung Barito. Puluhan perahu kecil berderet di atas sungai dari pinggir sampai tengah sungai. Ibu-ibu dan bapak-bapak mengenakan caping besar.
Mereka duduk di antara sayur-sayuran yang tertata rapi di perahu. Begitu juga dengan dagangan buah-buahan. Semuanya ditata rapi sehingga terlihat cantik di atas sungai. Umumnya yang dijual di sana adalah hasil bumi.
Ibu-ibu menyapa perahu-perahu yang baru datang. Mereka menawarkan dagangannya. Untuk oleh-oleh bagi para pelancong. Atau untuk didagangkan kembali bagi pedagang eceran.
Kami beli jeruk dan sawo. Jeruknya berkulit hijau. Kalau dimakan ada yang kecut, ada juga yangmanis. Tidak mengapa. Bukan rasa yang sedang kami cari, melainkan fantasi ketika sedang bertransaksi di atas sungai yang eksotis ini.
Ada banyak cara ibu dan bapak pedagang itu menjual dagangan. Ada yang hanya berhenti dan menunggu orang mendekati mereka. Ada juga sambil mendayung perahu untuk berkeliling sekitar pasar untuk menjajakan dagangan.
Pak Ismit mesti hati-hati di sini. Karena perahunya bisa secara tidak sengaja disodok perahu pedagang yang keliling itu. Kalau perahu pedagang mau lewat, biasanya mereka berteriak kepada Pak Ismit agar diberikan ruang untuk maju. Pak Ismit dengan sabar menuruti perintah-perintah semacam itu.
Kalau belanja dengan perahu yang keliling itu enak, kami tinggal duduk di perahu dan mereka menyodorkannya ke kami. Tapi kalau yang kita mau membeli sesuatu, sementara perahu kami tidak bisa mendekati perahu pedagang, maka, harus berteriak-teriak.
Biasanya juga, kami harus menggunakan semacam kayu untuk memilih-milih barang karena jaraknya yang agak jauh dengan perahu milik pedagang.
Wisnu, fotografer Kompas, sibuk menemukan sudut pandang untuk memotret. Romauli sibuk membuat pengamatan. Aku sendiri sibuk memperhatikan bule-bule di atas perahu yang sepertinya ramai sekali di tengah-tengah para pedagang.
Bule-bule itu belanja makanan dan memakannya di tempat. Mereka minta tolong sopir Taksi Kotanya untuk memotret diri mereka. Bule ini ingin menjelaskan betapa mereka ingin memeluk dan mencium sepuas-puasnya Pasar Barito ini.
Pak Ismit bilang, pasar ini memang menjadi tujuan wisata. Pasar ini termasuk salah satu pasar tertua di Pulau Kalimantan.(bersambung)
No comments:
Post a Comment