Tulisan Gadis Arivia berjudul Memahami Aborsi sebagai Isu Sosial (Kompas 29 September 2009) sebagai tanggapan terhadap ulasan Benny Phang mengenai legalisasi aborsi dalam pasal 84-85 UU Kesehatan RI tidak membuat masalah aborsi menjadi lebih jelas. Kedua tulisan itu jelas berangkat dari pendekatan etika yang berbeda.
Pertama, Benny Phang berpihak pada etika deontologis yang menentang tindakan aborsi karena alasan apapun. Dalam tradisi pemikiran deontologis, sebuah tindakan disebut bermoral jika dilakukan demi sebuah kewajiban. Bahwa sebuah tindakan akan menjadi kewajiban yang bersifat imparsial jika prinsip yang menjadi dasar tindakan dapat berlaku universal. Dan bahwa manusia tidak diperlakukan hanya sebagai alat atau sarana, tetapi sebagai tujuan pada dirinya sendiri. Di sini menggugurkan kandungan tidak dibenarkan secara moral karena justifikasi tindakan tersebut tidak pernah bisa diberlakukan secara universal.
Kedua, bertumpu pada pendekatan etika teleologis, Gadis Arivia berargumentasi bahwa menolak aborsi seharusnya bukan demi hak hidup janin, tetapi demi alasan-alasan sosial seperti tingginya angka kematian ibu, buruknya kesehatan ibu dan anak, atau rendahnya kualitas hidup karena kemiskinan. Belum lagi masalah kehamilan yang tidak diinginkan perempuan, misalnya karena diperkosa, dipaksa suami, inses, dan sebagainya. Bagaimana perdebatan ini bisa dipahami secara proporsional?
Tidak Sekadar Beda Pendekatan
Meskipun keduanya menolak legalisasi aborsi, pemikiran Gadis Arivia yang menolak mengatributkan individu sebagai janin justru menimbulkan masalah etis yang serius. Kritik Gadis Arivia terhadap Benny Phang seharusnya tidak terjadi jika dia membaca pemikiran anggota Centro Internazionale San Alberto, Roma ini dari perspektif etika deontologis, atau mungkin tepatnya pandangan moral Gereja Katolik mengenai aborsi. Dalam tradisi moral yang dianut Benny, janin adalah invidu, karena itu menggugurkan janin sama dengan membunuh individu. Begitu pula penggunaan alat kontrasepsi atau tindakan-tindakan medis lain yang menghalangi atau mencegah terjadinya pembuahan.
Justru pandangan moral yang dianut Gadis Arivia mengandung dua kelemahan serius. Pertama, menolak aborsi karena alasan-alasan sosial seperti tingginya angka kematian ibu atau buruknya keadaan ekonomi secara tidak langsung melegalisasi aborsi itu sendiri. Cara berpikir ini mengandung pengertian bahwa aborsi boleh dilakukan jika kondisi sosial telah mendukung, misalnya telah adanya perbaikan kesehatan ibu, membaiknya keadaan ekonomi, atau ketika teknologi kesehatan mengalami kemajuan sebegitu rupa sehingga aborsi tidak lagi membahayakan kesehatan ibu. Menolak aborsi karena alasan semacam ini justru merendahkan martabat perempuan itu sendiri.
Kedua, bagi Gadis Arivia, janin bukanlah individu. Lagi-lagi ini dilakukan demi membela hak para ibu, bahwa para ibu memiliki hak untuk menentukan, termasuk memutuskan untuk menggugurkan kandungannya. Pendekatan ini memang khas milik kaum utilitarian yang melegalisasi tindakan tertentu jika tindakan tersebut mendatangkan keuntungan lebih banyak orang (greatest good for greatest number). Karena janin bukanlah individu, maka menggugurkannya tidak akan memiliki dampak yang besar bagi komunitas jika dibandingkan dengan kebahagiaan dan keselamatan seorang ibu yang jelas-jelas mempengaruhi anak-anaknya yang lain, suaminya, keluarga besarnya, atau bahkan masyarakat di sekitarnya.
Pertanyaannya, apakah hak hidup janin tidak perlu dipertimbangkan hanya karena janin bukan individu? Etikawan utilitaris seperti Peter Singer, misalnya, berpendapat bahwa janin bukanlah individu karena tidak memiliki “self-awareness, self-control, a sense of future, a sense of past, the capacity to relate to others, concern for others, communication, and curiosity” (Peter Singer, Practical Ethics, 1979: 75). Cara berpikir seperti ini membolehkan pembunuhan terhadap janin—bahkan orang cacat—karena mereka bukanlah individu.
Kaum utilitaris biasanya tidak konsisten dengan pandangan etika mereka. Selain individu, mereka juga berpendapat bahwa makhluk-berperasaan (sentient being) harus menjadi moral consent (pihak yang kepentingan-kepentingannya ikut dipertimbangkan dalam setiap tindakan moral). Demikianlah, kaum utilitaris membela hak-hak hidup binatang atau tumbuh-tumbuhan, karena status mereka sebagai sentient being. Bagi kaum utilitaris, hak dan kepentingan makhluk-berperasaan harus dibela, diperjuangkan, dan ditegakkan—bahkan melalui perjuangan legislasi—persis karena makhluk-berperasaan (sentient-being) memiliki kemampuan merasa sakit dan berpotensi mengalami kebahagiaan di masa depan (entitled to happiness).
Seharusnya paradigma pemikiran seperti ini dioperasikan juga dalam memahami masalah aborsi. Etikawan deontologis memiliki pandangan yang jelas dan tak tergantikan, bahwa janin—apapun kondisinya—tidak boleh dibunuh karena mereka adalah manusia. Kaum utilitaris seharusnya juga menolak aborsi, paling kurang jika mereka memahami janin sebagai makhluk-berperasaan. Lain soal jika bagi mereka janin adalah bukan makhluk-berperasaan (non-sentient-being).
Jika Gadis Arivia menolak janin sebagai individu, apakah dia juga menolak janin sebagai makluk-berperasaan (sentient-being)?
Sumber: http://jeremiasjena.wordpress.com/
No comments:
Post a Comment