Tuesday, October 13, 2009

Memahami Aborsi sebagai Isu Sosial

Kelompok perempuan yang bergiat di bidang kesehatan perempuan dan Benny Phang sama-sama sedang jengkel dengan Undang- Undang Kesehatan yang memuat pasal aborsi.

Kejengkelan mereka diungkap di media. Kejengkelan kelompok perempuan terletak pada aturan aborsi yang belum melihat persoalan kesehatan reproduksi secara menyeluruh, yakni penekanan pada keamanan aborsi diabaikan. Mereka berargumen, pengecualian aborsi yang tertuang pada pasal 84-85 tidak cukup. Aborsi harus dibolehkan secara aman sebab kasus-kasus yang ditemukan bukan hanya kasus pemerkosaan dan kondisi darurat medis, tetapi ada kasus-kasus nyata lain seperti inses, remaja hamil di luar nikah, dan aneka tekanan ekonomi yang membuat seorang perempuan dengan berat hati memutuskan untuk aborsi. Kelompok perempuan bertumpu pada argumentasi sosial, mengemukakan fakta-fakta sosial.

Janin, seorang individu?

Berbeda dari pandangan kelompok perempuan, Benny Phang menekankan argumentasi moral dan menolak aborsi. Ia berpendapat, eksistensi manusia dimulai dari tahap embrionik, tak jelas apakah embrio yang dibekukan untuk kepentingan penelitian dan medis juga masuk dalam pengertian ”manusia”. Ia pun tak sependapat dengan opini medis yang menyatakan aborsi dapat dilakukan dengan aman di bawah 16 minggu. Dari argumen moral itu Benny meloncat ke argumen Deklarasi HAM yang bersifat sosial, soal hak atas hidup. Ada kejanggalan atas pola pikir Benny.

Bagi saya, Benny Phang ingin menyamakan konsep ”janin” dengan konsep ”individu”. Pertanyaannya, ”apakah janin seorang individu?” Bila janin adalah seorang individu, lalu apakah ia berwarga negara? Bila ia seorang warga negara, apakah ia disebut di dalam Konstitusi? Di dalam Konstitusi disebutkan ”setiap orang” atau ”setiap warga negara” berhak atas hak-haknya, apakah maksud Konstitusi juga termasuk janin? Lalu, bagaimana dengan hak-hak seorang ibu yang jelas-jelas sudah berwujud manusia dan seorang warga negara? Tidakkah seorang ibu memiliki hak untuk memilih?

Konsekuensi dari pemikiran bahwa janin sebagai seorang individu mengarah pada argumentasi lain bahwa melakukan intervensi untuk pembuahan merupakan tindakan menghentikan proses kehidupan. Jadi, menurut alur pemikiran ini, penggunaan alat kontrasepsi pun dapat dipermasalahkan.

Jelas, argumentasi konservatif seperti ini sama sekali tidak menghargai hak-hak reproduksi perempuan dan tidak membantu kesehatan perempuan. Bagaimanapun perempuan yang dipaksa memiliki anak banyak bukan saja membahayakan kesehatan ibu, tetapi memberatkan ekonomi dan menghambat kesejahteraan keluarga serta pencapaian kualitas hidup yang optimal.

Jaminan hak

Aborsi bukan sebuah hobi. Pengalaman perempuan menunjukkan, pilihan perempuan untuk melakukan aborsi merupakan pilihan berat dan bersifat amat pribadi. Tidak ada perempuan yang bergembira ria melakukan aborsi, justru sering mempertaruhkan nyawa.

Penelitian menunjukkan aborsi tidak aman merupakan salah satu penyebab kematian ibu dan negara-negara yang menyediakan akses aborsi aman justru bisa menekan angka kematian ibu.

Kita tahu, Indonesia masih menghadapi angka kematian ibu yang tinggi. Begitu banyak perempuan Indonesia miskin terpaksa pergi ke dukun atau orang-orang yang tidak memiliki keahlian medis, melakukannya di gang-gang sempit, di ruang-ruang gelap tanpa jaminan kebersihan, atau ke dokter-dokter tak bertanggung jawab yang menguras uang mereka.

Berbagai penelitian juga menunjukkan, keputusan melakukan aborsi sering karena desakan kekasih, suami tidak sanggup membiayai, atau suami kawin lagi. Ironisnya, di dalam Undang-Undang Kesehatan justru yang dikenai hukuman adalah pelaku aborsi. Mereka terjerat hukuman berat dan denda hingga miliaran rupiah. Perempuan lagi-lagi menjadi korban. Di manakah tanggung jawab laki-laki? Para dokter dan hakim? Bukankah negara seharusnya menyediakan akses pelayanan kesehatan perempuan yang memadai? Termasuk hak perempuan untuk melakukan aborsi dengan aman.

Oleh: Gadis Arivia
Pendiri Jurnal Perempuan dan Pengajar Tetap di Departemen Filsafat, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia
Selasa, 29 September 2009

No comments: