Meski tidak dengan suara bulat, Undang-Undang Kesehatan disetujui DPR 14 September lalu. Persoalan muncul pada klausul aborsi. Pasal 84-85 berlogika, pada prinsipnya aborsi dilarang, tetapi ada perkecualian.
Ihwal perkecualian ini juga perlu dikritisi lagi, terutama Pasal 85 tentang sahnya aborsi sebelum kehamilan berusia enam minggu, dihitung dari hari pertama setelah menstruasi terakhir. Awal hidup manusia Pertanyaannya, apakah sebelum enam minggu pertama janin (embrio) itu bukan manusia? Apakah dia memiliki martabat seperti kita manusia, dan mempunyai hak asasi paling dasar, yaitu hak untuk hidup? Mengacu embriologi, hidup manusia dimulai sejak pembuahan, sejak sperma dan ovum bertemu. ”Sejak pembuahan, kehidupan manusia baru sudah dimulai. Inilah awal hidup setiap kita sebagai pribadi unik” (Moore and Persaud, The Developing Human: Clinically Oriented Embryology, 2007).
Biologi juga menjelaskan, manusia berkembang dari tahap embrionik hingga saat kematian alamiahnya (bandingkan N Austriaco, On Static Eggs and Dynamic Embryos: A Systems Perspective, NCBQ 2002). Jadi, dari sudut ilmiah, janin tidak perlu menanti berminggu-minggu untuk ”menjadi manusia”. Ia adalah manusia sejak pembuahan. Janin pun sudah merupakan manusia dalam proses bertumbuh kembang. Memang saat melihat penampilan janin muda, kita akan terkejut karena yang tampak ”hanya” seperti sel, tidak serupa dengan kita sehingga dengan ”aman” kita melegitimasi aborsi selagi janin masih muda.
Inilah sebenarnya pola pikir di balik klausul UU Kesehatan 2009 yang berargumen bahwa sah melakukan aborsi. Perumusan klausul ini diakibatkan ketidakkritisan terhadap perkembangan teknologi, terutama terkait reproduksi manusia. Klausul ini mengandung pemikiran yang amat materialistis terhadap hakikat manusia. Janin dianggap sebagai sekumpulan molekul tak bermartabat.
Dengan demikian, apakah kita sedang mendefinisi ulang eksistensi kita sebagai manusia? Like begets like, prinsip ini yang akan selalu valid. Spesies yang satu tidak mungkin menurunkan spesies lain. Apa yang bukan manusia tidak bisa menjadi manusia dalam perkembangannya. Manusia menurunkan manusia. Awalnya, kita semua berupa sama seperti janin. Jadi, meski berbeda rupa, janin adalah manusia, sesama kita.
Hak untuk hidup
Dalam Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia (PBB) disebutkan, ”Martabat yang tertera dalam pribadi manusia dan hak-hak yang sama dan mutlak dari semua anggota keluarga manusia menjadi dasar kemerdekaan, keadilan, dan perdamaian di dunia.” Kita juga tegas mengakui martabat dan hak asasi manusia ini. Mengingat janin adalah manusia, maka ia memiliki martabat dan mengemban hak-hak asasi yang sama dengan kita, terutama hak untuk hidup.
Menyerang janin dengan aborsi berarti menyerang martabat yang melekat pada kemanusiaan sesama. Kita tidak bisa tinggal diam saat martabat sesama dirampas orang lain. Kita harus menjadi suara bagi janin yang belum dapat bersuara. Dilaporkan, terjadi 30 juta-50 juta praktik aborsi per tahun di 56 negara yang melegalisasi hal itu. Ini merupakan serangan kemanusiaan karena manusia membunuh sesamanya yang lemah. Jika kita melegitimasi serangan ini, tidak ada alasan lagi bagi kita untuk menolak perang, pembunuhan, perbudakan, penindasan, dan masalah etika sosial lainnya.
Karena itu, kehidupan manusia baru dalam rupa janin dalam rahim ibu patut disambut dengan hormat. Jika gagal menghormati martabat manusia dalam rupa janin, kita juga pasti akan gagal menghormati martabat orang lain. Semoga tidak.
Benny Phang Dosen Etika; Anggota Centro Internazionale San Alberto, Roma
Kompas.com, Sabtu, 26 September 2009
No comments:
Post a Comment