Saturday, October 31, 2009

Lupa Topi Bundar

Sabtu pagi anak-anak kecil berkumpul di rumah kosku. Ada Tasya, ada Runay, dan ada Susi. Mereka bernyanyi-nyanyi rame-rame. Misalnya yang dinyanyikan lagu berjudul Bintang Kecil, dan Topi Bundar.

Si Susi : "Topi saya bundar. Bundar topi saya. Kalo saya besar..."

Si Tasya: "Salah itu Sus"

Si Susi langsung diam dan melihat Tasya. Mungkin dia merasa salah karena meski sudah berusaha keras menghafal lagu itu, tetap saja tidak pas. Lalu si Tasya yang anaknya lebih percaya diri mulai tampil menyanyi.

"Topi saya bundar, bundar topi saya. Topi saya bundar, bundar topi saya, topi saya bundar, bundar topi saya, saya topi bundar..."

Maksudnya Tasya semula mungkin ingin menunjukkan kalau dia lebih jago dan hafal. Tapi entah kenapa dia tidak mampu menyelesaikan lagu secara baik.

Setelah itu gantian Susi yang langsung menyanyi.

"Topi saya bundar. Bundar topi saya. Kalo saya besar... kalo saya besar... kalo saya besar"

Begitulah cerita anak-anak manis di kosku. Aku tidak tahu apa sebabnya secara pasti, cuma terakhir-terakhir si Susi dan si Tasya menangis. Eh si Runay yang pendiam juga nangis.

Dari perkataan ibunya yang kudengar dari kamarku, rupanya kedua anak baik itu sudah putus asa karena tidak berhasil menghafal lagu Topi Bundar.

Kucing dan Si Boim Berbagi Tempat

Setiap malam, setiap pulang dari redaksi, anak kucing berbulu hitam di kos selalu menyambut kedatanganku. "Miauww.. miauwww." Mungkin dia bilang, selamat datang kembali. Sepertinya dia senang betul melihatku.

Malam itu, setelah melompat dari pojokan teras rumah, dia mendekatiku. Lalu menggelendot ke kakiku. Aku sampai tak enak harus menjauhkan badannya dari kakiku supaya aku bisa jalan masuk rumah.

Mungkin dia ingin mengobrol denganku. Cerita-cerita melalui bahasa belaian. Dan dia menjawab dengan. miauwww.. Menyenangkan memang punya teman seperti ini. Setia kawan.

Karena agak ngantuk, aku tidak bisa membelai kepala kucing hitam dan berbulu putih di dada itu. Aku masuk dan menutup pintu rumah. Tumben saja, kucing ini tidak ikut masuk. Dia rupanya ingin tidur di luar atau di kain teras.

Oh, rupanya di teras tetanggaku ada si Boim. Dia ini pria kurang waras yang tinggal di lingkungan sekitar rumah kosku. Boim yang gemar tertawa terbahak-bahak itu sedang tidur-tiduran. Kucingku tadi berjalan mendekati Boim.

Begitu sampai di dekat tempat tiduran Boim, si Boim tersenyum pada kucing. Kurasa kedua makluk tuhan ini ada kontak komunikasi. Tiba-tiba Boim tertawa lebar. Dan kucingku mengeong.

Aku memperhatikan mereka dari jendela. Wow.. si Boim memberi tempat kepada kucingku. Dia menggeser badan lalu kucingku langsung menempati ruang kosong di dekat si gila itu.

Setelah itu, Boim mulai fokus pada dunianya sendiri. Ngawang-awang entah apa yang dikhayalkan. Sementara kucingku langsung melingkar malas sambil menggerakkan ekornya. Bahagianya mereka. Begitu bebasnya jiwa mereka menjadi makluk hidup sehingga tidak ada lagi saling curiga.

Misuh-misuh

Ini masih kisah Bahrul, temanku yang lagi kuliah S2 jurusan Ekonomi di UGM, Menteng. Acara ngumpul-ngumpul usai kuliah sering mereka lakukan. Biasanya tempatnya di kafe. Hari itu, teman-teman Bahrul memutuskan ngerumpi ekonomi di Tebet.

Masing-masing mahasiswa bawa mobil sendiri-sendiri. Kecuali Bahrul. Mungkin sekalian mereka akan pulang setelah selesai acara di Tebet. .

Bahrul: "Din, ayo Kita bareng saja. Daripada kamu capek bawa mobil sendiri. Macet pula."

Dina: "Mmmm. Boleh juga sih. Nanti kamu antarin Din ke kampus lagi yah."

Bahrul: "Okay hun, apa sih yang enggak buat kamu."

Bahrul temanku ini masih jomblo. Dia tidak pernah tinggal diam kalau melihat perempuan yang menurut perspektifnya layak dikejar. Diam-diam sejak lama dia ingin menembak Dina.

Sampai di pelataran parkir, Bahrul buru-buru menghidupkan sepeda motornya. Setelah bayar parkir, dia membawa motor ke depan lobi kampus tempat si Dina menunggu.

Bahrul: "Hai hun, marilah."
Dina agak kaget. Dan menjawab, "Aduh, mamaku marah kalau aku naik motor. Kulitku sama rambutku bisa kotor."

Semula Bahrul pikir Dina bercanda saja. Tapi ternyata serius. Dina menolak Bahrul dan motornya. Setelah minta maaf, Dina membawa mobilnya sendiri.

"Monyet-monyet," kata Bahrul dalam hati. "Asu."

Gagal ke Perpustakaan

Siang itu, Bahrul, temanku baru selesai mengikuti kuliah di jurusan Magister Manajemen UGM, Menteng. Dia tidak langsung pulang ke kosan di Kali Pasir yang tak jauh dari kampus S2 UGM itu. Melainkan ngobrol dengan Putri.

Mereka ngobrol seputar rencana tesis. Maklum semester depan sudah masuk masa tesis. Bahrul yang dasarnya jago pidato itu memberitahu kalau bahan-bahan tesis mudah dicari di perpustakaan UI. Lengkap.

Dibalik itu, dalam dasar hati si Bahrul sebenarnya juga menyimpan cinta untuk Putri. Makanya, begitu semangat si Bahrul menawarkan diri menemani pujaan hati ke perpustakaan UI.

"Oke, ayo kita ke sana Rul," kata Putri.
Bahrul sangat senang. Inilah kesempatan mendekati Putri, pikir Bahrul. Girang bukan main hatinya. Ibarat mendapat kiriman uang dari orang tua di saat dompet benar-benar kosong.

Bahrul pamitan dulu kepada Putri untuk pergi ke belakang sebentar. Maksud hati melihat sepeda motor apakah bensinnya masih ada atau tidak. Lega hatinya, tangki penuh. Lancar.

Dia menemui Putri lagi di ruang lobi kampus. Putri tetap berdiri di sana sejak Bahrul pergi. "Rul, kamu yang nyetir mobilku ya," kata Putri.

Bahrul agak kaget. "Aku tidak bisa bawa mobil, Put."

Gara-gara itu, rencana ke perpustakaan dibatalkan Putri. Sebenarnya Bahrul agak kecewa juga. Dan setelah itu, Putri agak menjauhi Bahrul.

Dalam hati Bahrul bilang, "Nanti kalau aku sudah selesai tesis dan punya pekerjaan baik, lihat saja, mobilku banyak." "Kok ada manusia seperti ini. Menjauhiku hanya karena tidak bisa nyopir."


Friday, October 30, 2009

Tertawa

Tertawa. Ini jenis kegiatan manusia yang menjelaskan suasana hati. Suasana bahagia dari dasar hati atau bahagia dengan berpura-pura.

Bahagia. Kalau yang bahagia betulan itu berarti jiwanya sedang bebas. Karena pada waktu mereka bekerja untuk tertawa, muntahlah semua kesusahan yang ditanggungnya.

Makanya, banyak manusia yang mengakui kalau tertawa itu obat yang manjur serta mujarab, obat terbaik awet muda, atau meditasi yang hebat. Sebab, tertawa jadi alat memulihkan jiwa-jiwa yang sedang sakit.

Karena itu tadi, sampah-sampah yang menyesaki hati beterbangan bersama energi yang keluar bersama ekspresi tertawa.

Tertawa, tertawa dan tertawa. Saking dahsyatnya pengaruh tertawa, ada juga manusia yang menggunakannya untuk kegiatan politik. Mulai dari politik tingkat kecil-kecilan sampai tingkat tinggi.

Kenapa tertawa bisa jadi alat politik, karena efek tertawa ini mereka harapkan dapat memaksa orang lain mengikuti atau mempercayai kehendak lainnya.

Kalau yang terakhir itu tergolong tertawa yang berpura-pura. Bolehlah dikatakan tertawa jenis itu adalah tertawa yang menabrak sejatinya fungsi tertawa.

Baiklah, tulisan ini bukan untuk memperdebatkan hakikat tertawa. Takutnya nanti justru mengecilkan makna tertawa. Maksud hati hanya untuk mengatakan bahwa tertawa itu penting untuk kehidupan. Tertawa sehat seperti lari pagi.

Film Korea Dipikir Film Jepang

Aku senang karena dapat kiriman film tentang cerita perjuangan anak sekolah. Temanku yang mengirim film itu bilang ini tontonan bermutu sekaligus untuk memudahkan belajar nihongo, bahasa Jepang. Kata dia, dialog-dialog dalam film ini berlangsung sederhana dan pendek-pendek. Jadi mudah mengingat dan memahaminya.

Lalu, kusimpan baik-baik di laptopku itu film. Walaupun senang punya koleksi film baru, aku tidak langsung menontonnya. Kupikir, nanti saja setelah libur kerja, baru kutonton film Jepang special ini sampai selesai.

Singkat cerita pada suatu hari aku pamer kepada temanku kalau punya film Jepang asli dan bagus. Kuceritakan apapun yang pernah diceritakan temanku yang memberikan film itu kepada teman yang akan kuberi rekaman film itu. Soalnya, aku tahu dia sangat suka nonton film-film Jepang. Dia sedang cari beasiswa ke Jepang.

Ternyata dia suka. Kubilang ada lima belas potongan film. Jadi, untuk memindahkan dari laptopku ke laptopnya harus pakai fleshdisk. Transfer film berlangsung ribet. Maklum, memori flesdisiknya terlampau kecil sehingga harus berulang-ulang memindahnya.

Tapi tidak mengapa, kata temanku. Karena dia sangat senang dapat film baru. Semuanya kami lakukan dengan senyum. Berkeringat juga karena tempat kerjanya agak jauh dari meja kerjaku.

Selesalah sudah proses pemindahan. Aku bahagia karena merasa menjadi bagian dari kebahagiaannya. Aku kembali duduk dan menulis di meja redaksi.

Tidak lama setelah itu, tiba-tiba temanku mengirim pesan lewat YM sambil berteriak. “Bro, ini sih bukan film Jepang, ini film Korea.”

Mahasiswa Filsafat Main Catur

Dua orang mahasiswa filsafat ingin main catur ketika tiba waktunya istirahat kuliah. Sebab, perpustakaan kebetulan sangat penuh pengunjung hari itu. Tapi masalahnya, catur satu-satunya yang ada di unit kemahasiswaan sedang dipakai mahasiswa lainnya.

Mahasiswa : "Bagaimana caranya ini supaya kita bisa bahagia dengan catur"

Mahasiswi: "Hmmm, aku juga sedang berpikir keras"

Mahasiswa: "Aku punya ide cemerlang"

Mahasiswi: "Oh ya, semenarik apakah idemu"

Mahasiswa: "Kita tidak memerlukan bidak beneran dalam arti fisik. Kita main catur pakai imajinasi saja"

Mahasiswi: "Wow"

Mahasiswa: "Yeah... ini nyata"

Mahasiswi: "Mmm. oke, kupikir sangat menarik itu. Kalau begitu, marilah kita mulai main catur dengan sudut pandang filsafat."

Jadilah mahasiswa dan mahasiswi itu bermain catur siang itu. Seru sekali karena diselingi juga dengan perdebatan. Misalnya mengapa kuda harus selalu jalan membentuk huruf L. Mengapa raja justru hanya boleh berjalan satu langkah saja.

Lama-lama permainan mereka jadi perhatian mahasiswa-mahasiswa lainnya. Jadilah permainan catur dengan sudut pandang filsafat itu tontonan yang ramai. Masing-masing orang kemudian ikut berdebat. Gilakah atau menggilakah kedua mahasiswa ini, kata para mahasiswa yang mengerubungi pemain catur filsafat.


Thursday, October 29, 2009

Kisah Cicak Melawan Buaya

Tiba-tiba terjadi ketegangan antara cicak dan buaya. Ini terjadi ketika cicak menemukan ketidakadilan yang melibatkan buaya. Ceritanya, kata cicak ini hanya untuk menjelaskan posisi yang lemah (KPK). Sedangkan buaya untuk menggambarkan posisi yang lebih garang (polisi).

Cicak: “Aku ingin memeriksamu”

Buaya: “Cicak kok memeriksa buaya, mana bisa”

Cicak: “Kamu mau mendukung tegakkan hukum di negeri ini tidak?”

Buaya: "Bagaimana ceritanya. Tidak mau, karena kamu mau memenjarakanku”

Cicak tidak hilang akal. Dia memancing buaya dengan kata-kata agak pedas. Tujuannya agar Buaya sadar. “Masyarakat juga tahu kok kalau kamu ini buaya”

Buaya: “Emang. Kan bukan rahasia umum.”

Cicak: “Misalnya buaya darat.”

Buaya: “Buktinya apa”

Cicak tidak menjawab karena berpikir panjang. Sebab, tiba-tiba kepalanya ditodong pakai tombak yang sangat tajam.

Buaya: “Jadi, kesimpulannya apa. Jawab! Kamu ngerecokin saja. Buaya kok dicicakin”

Cicak: “Benar-benar kriminalisasi”

Maka di negeri tempat para hewan ini hidup sepanjang tahun selalu terjadi pelanggaran hukum.


Kera Menolak Kembali Ke Hutan

Seekor kera di Jawa menolak dikembalikan pengelola perhewanan pemerintah ke habitatnya di hutan. Tiap kali diangkut dan ditinggal di hutan, keesokan harinya kera besar itu selalu kembali ke kandang.

Rupa-rupa cara digunakan manusia agar kera itu tidak kembali. Misalnya hewan ini ditinggalkan di tengah hutan belantara dengan harapan dia tidak tahu cara kembali ke kandang milik pemerintah. Tapi kenyataannya masih saja kera ini bisa kembali.

Akhirnya pengelola perhewanan putus asa. Petugas yang mampu memahami prilaku kera pun didatangkan ke pusat perhewanan itu untuk mengetahui apa yang terjadi.

Kemudian, terjadilah dialog antara petugas khusus dan kera. Hanya mereka berdua yang paham komunikasi itu. Setelah selesai, petugas khusus prilaku kera ini bercerita.

“Alasan kera ini tidak mau kembali ke hutan karena merasa percuma saja,” katanya.

Kepala bidang perhewanan yang penasaran bertanya kepada petugas itu. “Kenapa percuma, bukankah ini langkah yang baik.”

Petugas khusus prilaku kera menjawab. “Menurut kera, soalnya tidak lama lagi hutan ini toh dibabat juga oleh manusia, dan kera-kera ditangkapi lagi. Jadi lebih baik tetap tinggal di kandang.”


Wartawan dan Amplop Kosong

Ceritanya begini. Berlangsunglah konferensi pers di kantor polisi soal hasil penggerebekan VCD porno dan miras. Banyak sekali wartawan yang hadir di acara itu.

Setelah konferensi selesai, seperti biasanya polisi membagi-bagikan amplop kepada wartawan. Cara membaginya ialah dengan menunjuk salah satu wartawan untuk menjadi koordinator pembagian jatah.

Di kalangan wartawan kriminal sudah jadi rahasia umum kalau mereka yang berasal dari media besar jatahnya ya lebih besar dibandingkan wartawan dari media lokal.

Pokoknya selama pembagian itu semuanya berjalan lancar dan semuanya bahagia sampai bubar.

Tiba-tiba ada wartawan dari media besar yang panik, kecewa, dan tentunya marah hingga mukanya memerah. Usut punya usut, dia salah mengambil amplop yang ternyata tidak ada isi uangnya.

Lalu, dia mencari-cari koordinator wartawan untuk protes atas kesialannya. Setelah ketemu, ternyata si koordinator tidak tahu menahu soal itu.

Maka diantarlah wartawan media besar itu menemui kepala polisi. Mereka mengadu karena merasa tertipu. Pak kepala polisi ternyata juga tidak tahu menahu soal itu.

Tapi wartawan terus mendesak. Mungkin daripada ribut, pimpinan polisi itu memanggil ajudan untuk konfirmasi masalah amplop kosong. Pengusutan singkat dilakukan dan hasilnya tidak ada yang mau mengaku.

Mungkin karena tidak enak dengan para wartawan dan tidak ingin persoalan ini jadi bahan gunjingan di luar kantor polisi, maka kepala polisi mengalah dan terpaksa harus merogoh kantong lagi.

Kisah Tiga Wartawan Amplop

Serombongan wartawan mingguan senyum-senyum setelah selesai wawancara kepala dinas. Naik motor dengan wajah sumringah. Sepanjang jalan bersiul-siul. Selidik punya selidik, ternyata mereka baru saja diberi amplop oleh pak kepala dinas.

Sebelum pembagian ‘jale,’ uang sogokan untuk wartawan, wartawan yang tadi diserahi amplop oleh kepala dinas pergi ke tukang tambal ban. Sedangkan yang lainnya menunggu di masjid.

Wartawan B: “Waduh, senangnya hari ini.”

Wartawan C: “Mudah-mudahan isi amplopnya banyak. Kira-kira berapa liter (jumlah) ya”

Wartawan B: “Aku mau beli telepon genggam baru sama mau dugem nanti malam.”

Wartawan C: “Aku mau bayar kos sama buat bayar utang.”

Tidak lama kemudian datanglah wartawan A yang membawa amplop. Mereka semua girang bukan main. Ketawa-ketiwi dan saling sindir-sindiran. Mereka yakin isinya memuaskan seperti hari-hari biasanya.

Wartawan B dan C: “Ayolah buka, coy.”

Wartawan A: “Siap komandan.”

Setelah dibuka, amplop itu isinya recehan Rp 5.000 tiga lembar, jauh dari harapan para wartawan yang suka menerima sogokan itu. “Asu,” kata mereka.

Minta Wawancara Pakai Bahasa Jawa

Ini cerita pas penerimaan wartawan di redaksi salah satu media online. Setelah seleksi, seleksi, seleksi. Dan macam-macam seleksi akhirnya memasuki tahap akhir, tibalah tahapan interview para kandidat dalam bahasa Inggris.

Hari itu pewawancara dan kandidat sudah berada di salah satu ruangan. Mulailah pewawancara pidato yang intinya meminta calon nanti menjawabnyaan dengan tenang dan berbahasa Inggris yang kinclong. Soalnya, tahapan ini yang bakal menentukan lolos dan tidak lolosnya calon wartawan.

Satu dua pertanyaan dijawab dengan singkat singkat. Dengan penuh wibawa pewawancara menunjukkan kefasihannya terus bertanya dalam bahasa londo. Suasananya serius cenderung menegangkan. Pewawancawa ingin menunjukan image
perusahaan.

Mungkin saking tersiksanya kebebasan si calon, lalu dia bilang kepada pewawancara, "Wislah.. ngomong boso jowo wae (sudahlah bicara dengan Bahasa Jawa saja."

Tiba-tiba pecahlah tawa si pewawancara yang tadinya begitu serius. "Walah, sampeyan bisa bahasa Jawa juga, mas," katanya.

Singkat cerita, diterimalah calon pegawai itu menjadi karyawan di redaksi itu. Ternyata dia diterima karena kelucuan itu.

Wednesday, October 28, 2009

Buku Novel dan Sulap

Aku agak kagum dengan perempuan ini. Itu dulu. Soalnya Mempesona dari beberapa sisi. Dari bincang-bincang singkat kami, aku tahu dia suka membaca novel atau karya-karya fiksi lainnya.

Timbullah niatku untuk mendukungnya. Aku ingin meminjami buku novel kesukaanku. Perfume. Kisah yang memikat tentang pembunuhan dan kegeniusan yang menyimpang. Kuharap dia suka. Agar surprise, akan kuserahkan buku itu secara khusus.

Semalaman aku mencari cara tentang bagaimana meminjami buku sekaligus menghibur. Aku sampai tidak bisa tidur memikirkannya. Menjelang fajar, barulah kutemukan. Pasti dia mau menerima dan senang.

Singkat cerita, esok harinya, kutaruh buku itu di laci meja kerjanya. Akhirnya orang yang kutunggu-tunggu itu datang. Kubukalah YM-ku. Ku katakan kepadanya. “Sulap, magic. Lihatlah sesuatu di lacimu.”

“Oke,” kata dia. Tidak lama kemudian dia menulis di YM kepadaku. “Terima kasih. Tapi aku sudah pernah membaca buku ini.”

Hmmm… Aku garuk-garuk kepala. Gagal sudah.



Shalat Menghadap ke Timur

Anwar nama temanku. Lengkapnya Anwar Khumaini. Dia wartawan Detik. Semasa kecil dia adalah anak pesantren. Walau setelah dewasa dia tidak nyantri banget, dia tetap shalat lima waktu walau kadang bolong juga.

Kami lelah sekali setelah nonton beberapa film kontemporer dan ngobrol rupa-rupa pengalaman di TIM. Maka, malam menginaplah dia di kamar kosku Kemayoran, Jakarta Pusat.

Sebelum tidur, Anwar shalat dulu. Rupanya, dia belum shalat Isya. Lalu, kutunjukkan tempat mengambil air wudlu. Kupinjami sajadahku yang belum pernah sekalipun kupakai untuk shalat.

Setelah itu Anwar bertanya kepadaku, “Di mana arah barat (kiblat).” Aku bingung. Aku tidak pernah salat dan aku juga bingung soal arah di Ibukota Jakarta ini. Kutunjuk arah, walau aku sebenarnya tidak yakin.

“Niat sajalah War. Pasti Tuhan memaklumi hambanya yang bingung seperti kita. Mungkin lebih tepatnya posisi kita ini musafir,” kataku. Lalu Anwar mengikuti saranku.

Keesokan harinya, kutanya arah kiblat kepada ibu kos. Dia menunjukan kepadaku. Ya ampun, ternyata si Anwar semalam sembahyang menghadap ke arah timur. Maafkan aku ya War.


Bingung Menerima Roti Atau Tidak

Aku dibesarkan di keluarga muslim, kejawen, kristen, dan katolik. Dan aku tidak pernah serius mempelajari salah satu agama-agama itu. Tapi karena waktu kecil aku tinggal sama nenekku yang agak Islam, maka aku juga agak tahu tentang agama ini dibandingkan yang lainnya. Maka orang menganggapku muslim.

Pada suatu hari aku diundang frater Yan ke Jogja. Dia akan ditahbiskan jadi imam katholik atau pastur. Tapi sebelum ke acara itu, aku ikut teman-temanku yang semuanya katholik ke gereja untuk ibadah Minggu pagi.

Karena mereka mengajakku yang seorang agak kemuslim-musliman ke gereja, maka kami duduknya berderet di kursi bagian belakang. Semua proses ibadah selesai. Setelah pastur selesai khotbah, tiba saatnya berkomuni. Aku tidak terlalu paham komuni.

Yang jelas pada waktu itu semua jamaah maju berderet untuk menerima roti dan pemberkatan pastur yang berdiri di depan. Aku ikut maju. Aku bingung sekali karena ini untuk pertama kalinya aku masuk gereja dan mengikuti proses semacam ini.

Semua orang di depanku selesai mengambil roti dan diberkati. Lalu tiba giliranku. Wadoh. Aku bingung karena tidak tahu apa yang harus kulakukan. Tapi rasanya tidak mungkin aku mundur dan pergi di saat seperti itu.

Di hadapan pastur, beliau pasti menyangka aku akan menerima roti itu. Dia memberikan roti dan matanya melihatku dengan sangat teduh dan damai. “Maaf romo, terima kasih,” kataku sambil langsung berjalan mengikuti jemaah di depanku. Aku tidak bahagia betul karena malu.

Romo itu nampaknya agak bingung melihatku. Karena tadinya, aku hampir menerima roti itu, tapi tiba-tiba membatalkannya. Lalu aku kembali ke tempat duduk di belakang dan menceritakan pengalamanku kepada teman-temanku. Teman-teman menertawakanku dengan terpingkal-pingkal. "Tidak ikut komunipun, tidak apa-apa," kata temanku.

Thursday, October 15, 2009

Cara Berbeda Memahami Aborsi

Tulisan Gadis Arivia berjudul Memahami Aborsi sebagai Isu Sosial (Kompas 29 September 2009) sebagai tanggapan terhadap ulasan Benny Phang mengenai legalisasi aborsi dalam pasal 84-85 UU Kesehatan RI tidak membuat masalah aborsi menjadi lebih jelas. Kedua tulisan itu jelas berangkat dari pendekatan etika yang berbeda.

Pertama, Benny Phang berpihak pada etika deontologis yang menentang tindakan aborsi karena alasan apapun. Dalam tradisi pemikiran deontologis, sebuah tindakan disebut bermoral jika dilakukan demi sebuah kewajiban. Bahwa sebuah tindakan akan menjadi kewajiban yang bersifat imparsial jika prinsip yang menjadi dasar tindakan dapat berlaku universal. Dan bahwa manusia tidak diperlakukan hanya sebagai alat atau sarana, tetapi sebagai tujuan pada dirinya sendiri. Di sini menggugurkan kandungan tidak dibenarkan secara moral karena justifikasi tindakan tersebut tidak pernah bisa diberlakukan secara universal.

Kedua, bertumpu pada pendekatan etika teleologis, Gadis Arivia berargumentasi bahwa menolak aborsi seharusnya bukan demi hak hidup janin, tetapi demi alasan-alasan sosial seperti tingginya angka kematian ibu, buruknya kesehatan ibu dan anak, atau rendahnya kualitas hidup karena kemiskinan. Belum lagi masalah kehamilan yang tidak diinginkan perempuan, misalnya karena diperkosa, dipaksa suami, inses, dan sebagainya. Bagaimana perdebatan ini bisa dipahami secara proporsional?

Tidak Sekadar Beda Pendekatan

Meskipun keduanya menolak legalisasi aborsi, pemikiran Gadis Arivia yang menolak mengatributkan individu sebagai janin justru menimbulkan masalah etis yang serius. Kritik Gadis Arivia terhadap Benny Phang seharusnya tidak terjadi jika dia membaca pemikiran anggota Centro Internazionale San Alberto, Roma ini dari perspektif etika deontologis, atau mungkin tepatnya pandangan moral Gereja Katolik mengenai aborsi. Dalam tradisi moral yang dianut Benny, janin adalah invidu, karena itu menggugurkan janin sama dengan membunuh individu. Begitu pula penggunaan alat kontrasepsi atau tindakan-tindakan medis lain yang menghalangi atau mencegah terjadinya pembuahan.

Justru pandangan moral yang dianut Gadis Arivia mengandung dua kelemahan serius. Pertama, menolak aborsi karena alasan-alasan sosial seperti tingginya angka kematian ibu atau buruknya keadaan ekonomi secara tidak langsung melegalisasi aborsi itu sendiri. Cara berpikir ini mengandung pengertian bahwa aborsi boleh dilakukan jika kondisi sosial telah mendukung, misalnya telah adanya perbaikan kesehatan ibu, membaiknya keadaan ekonomi, atau ketika teknologi kesehatan mengalami kemajuan sebegitu rupa sehingga aborsi tidak lagi membahayakan kesehatan ibu. Menolak aborsi karena alasan semacam ini justru merendahkan martabat perempuan itu sendiri.

Kedua, bagi Gadis Arivia, janin bukanlah individu. Lagi-lagi ini dilakukan demi membela hak para ibu, bahwa para ibu memiliki hak untuk menentukan, termasuk memutuskan untuk menggugurkan kandungannya. Pendekatan ini memang khas milik kaum utilitarian yang melegalisasi tindakan tertentu jika tindakan tersebut mendatangkan keuntungan lebih banyak orang (greatest good for greatest number). Karena janin bukanlah individu, maka menggugurkannya tidak akan memiliki dampak yang besar bagi komunitas jika dibandingkan dengan kebahagiaan dan keselamatan seorang ibu yang jelas-jelas mempengaruhi anak-anaknya yang lain, suaminya, keluarga besarnya, atau bahkan masyarakat di sekitarnya.

Pertanyaannya, apakah hak hidup janin tidak perlu dipertimbangkan hanya karena janin bukan individu? Etikawan utilitaris seperti Peter Singer, misalnya, berpendapat bahwa janin bukanlah individu karena tidak memiliki “self-awareness, self-control, a sense of future, a sense of past, the capacity to relate to others, concern for others, communication, and curiosity” (Peter Singer, Practical Ethics, 1979: 75). Cara berpikir seperti ini membolehkan pembunuhan terhadap janin—bahkan orang cacat—karena mereka bukanlah individu.

Kaum utilitaris biasanya tidak konsisten dengan pandangan etika mereka. Selain individu, mereka juga berpendapat bahwa makhluk-berperasaan (sentient being) harus menjadi moral consent (pihak yang kepentingan-kepentingannya ikut dipertimbangkan dalam setiap tindakan moral). Demikianlah, kaum utilitaris membela hak-hak hidup binatang atau tumbuh-tumbuhan, karena status mereka sebagai sentient being. Bagi kaum utilitaris, hak dan kepentingan makhluk-berperasaan harus dibela, diperjuangkan, dan ditegakkan—bahkan melalui perjuangan legislasi—persis karena makhluk-berperasaan (sentient-being) memiliki kemampuan merasa sakit dan berpotensi mengalami kebahagiaan di masa depan (entitled to happiness).

Seharusnya paradigma pemikiran seperti ini dioperasikan juga dalam memahami masalah aborsi. Etikawan deontologis memiliki pandangan yang jelas dan tak tergantikan, bahwa janin—apapun kondisinya—tidak boleh dibunuh karena mereka adalah manusia. Kaum utilitaris seharusnya juga menolak aborsi, paling kurang jika mereka memahami janin sebagai makhluk-berperasaan. Lain soal jika bagi mereka janin adalah bukan makhluk-berperasaan (non-sentient-being).

Jika Gadis Arivia menolak janin sebagai individu, apakah dia juga menolak janin sebagai makluk-berperasaan (sentient-being)?

Sumber: http://jeremiasjena.wordpress.com/

Wednesday, October 14, 2009

Kotoran Gorila Selamatkan Bumi

Tahi Gorilla bisa jadi ialah jalan keluar bagi planet ini. Pakar lingkungan dan alam liar terkemuka di Inggris, Rabu (14/10) mengatakan, melindungi primata besar tersebut dapat memberi cara mudah perbaikan pemanasan global, yang dikampanyekan program internasional yakni penghijauan kembali hutan

Amerika dan negara industri lain tengah mencari program penghijauan hutan di Afrika, Asia Tenggara dan Amerika Selatan demi menghadang efek perubahan iklim. Namun Ian Redmond, duta besar PBB untuk gorila, mengatakan, negara industri akan membuat kesalahan jika tak berkomitmen pada pelindungan gorila, sebagai bagian diskusi upaya penghijauan kembali hutan pada negosiasi perubahan iklim di Kopenhagen, Desember nanti.

"Jika kita menyelamatkan pohon namun hewan tidak, maka kita akan menyaksikan kematian lambat hutan-hutan tersebut," ujar Ian seperti yang dilansir Guardian. "Yang saya desakkan kepada pengambil keputusan di Kopenhagen, ialah mempertimbangkan gorila bukanlah barang mewah. Jika ingin kesehatan jangka panjang hutan terpelihara, anda harus melindungi mereka pula,".

Gorila, atau yang Ian sebut "tukang kebun milik hutan," adalah penting untuk melawan perubahan iklim. Hewan herbivora itu menyantap buah dan tumbuhan sebagai makanan utama. Hasil buangan pencernaan, ketika melewati sistem tubuh mereka, membantu bibit atau tumbuhan muda untuk tumbuh.

Peran besar nyata para gorila memang tak cukup jelas. Namun Ian meyakinkan, sejumlah besar spesies tumbuhan tidak dapat hidup dan berkembang tanpa hewan tersebut, atau gajah liar dan mamalia besar lain yang penting dalam pertumbuhan tanaman.

Gorila--yang terbunuh di area konflik perang sipil, menjadi korban pemburu ilegal dan tersingkir dari habitat gara-gara rumah mereka dijadikan tambang dan industri kayu--mulai terancam punah di penjuru Afrika. Bisa jadi, argumen Ian Redmond dapat membantu hewan tersebut dengan bentuk perlindungan beru.

Hutan-hutan dunia memang terbukt beraksi sebagai perangkap emisi karbon, menyedot sekitar 4,8 milyar ton karbon per tahun. Dalam perjalanan menuju pertemuan perubahan iklim di Kopenhagen, berkembang fokus terhadap program penghijauan kembali hutan di Afrika, Asia Tenggara dan Amerika Selatan.

Hanya, selama ini tidak ada perhatian langsung terhadap peran hewan mamalia besar--seperti gorila--dalam proses alami pertumbuhan tanaman atau lantai hutan.

Ian mengatakan, gorila sangat penting dalam pemeliharaan siklus hidup hutan tropis di kawasan bejana Kongo. Hutan di kawasan itu telah menyedot 1 milyar ton karbon setiap tahun. "Inilah manfaat sepesies tersebut. Mereka bukan ornamen. Mereka bukan sekedar hal menarik untuk dikaji, melainkan bagian dari ekosistem besar," tegas dia.

Semua spesies kera besar dianggap terancam punah. Dalam perang sipil selama hampir 20 tahun di wilayah Great Lakes, Afrika menjadi saksi perusakan lingkungan. Peledakkan tambang dan penebangan kayu ilegal dilakukan para militan demi mendapat uang untuk senjata.

Dua gorila dibunuh di Republik Demokrasi Kongo saban pekan dan tubuh mereka dijual sebagai daging ilegal. Fakta itu terungkap dari temuan investigasi oleh Spesies Terancam Punah Internasional.

Masih banyak gorila tinggal di luar dengan perlindungan relatif kecil dari taman nasional. Makhluk tersebut kehilangan habitat asli mereka karena urbanisasi yang kian cepat. Penduduk desa menjelajah semakin dalam ke hutan, menebang pohon untuk memproduksi arang.

By Republika Newsroom
Rabu, 14 Oktober 2009 pukul 16:33:00
Penerjemah: itz

Tuesday, October 13, 2009

Memahami Aborsi sebagai Isu Sosial

Kelompok perempuan yang bergiat di bidang kesehatan perempuan dan Benny Phang sama-sama sedang jengkel dengan Undang- Undang Kesehatan yang memuat pasal aborsi.

Kejengkelan mereka diungkap di media. Kejengkelan kelompok perempuan terletak pada aturan aborsi yang belum melihat persoalan kesehatan reproduksi secara menyeluruh, yakni penekanan pada keamanan aborsi diabaikan. Mereka berargumen, pengecualian aborsi yang tertuang pada pasal 84-85 tidak cukup. Aborsi harus dibolehkan secara aman sebab kasus-kasus yang ditemukan bukan hanya kasus pemerkosaan dan kondisi darurat medis, tetapi ada kasus-kasus nyata lain seperti inses, remaja hamil di luar nikah, dan aneka tekanan ekonomi yang membuat seorang perempuan dengan berat hati memutuskan untuk aborsi. Kelompok perempuan bertumpu pada argumentasi sosial, mengemukakan fakta-fakta sosial.

Janin, seorang individu?

Berbeda dari pandangan kelompok perempuan, Benny Phang menekankan argumentasi moral dan menolak aborsi. Ia berpendapat, eksistensi manusia dimulai dari tahap embrionik, tak jelas apakah embrio yang dibekukan untuk kepentingan penelitian dan medis juga masuk dalam pengertian ”manusia”. Ia pun tak sependapat dengan opini medis yang menyatakan aborsi dapat dilakukan dengan aman di bawah 16 minggu. Dari argumen moral itu Benny meloncat ke argumen Deklarasi HAM yang bersifat sosial, soal hak atas hidup. Ada kejanggalan atas pola pikir Benny.

Bagi saya, Benny Phang ingin menyamakan konsep ”janin” dengan konsep ”individu”. Pertanyaannya, ”apakah janin seorang individu?” Bila janin adalah seorang individu, lalu apakah ia berwarga negara? Bila ia seorang warga negara, apakah ia disebut di dalam Konstitusi? Di dalam Konstitusi disebutkan ”setiap orang” atau ”setiap warga negara” berhak atas hak-haknya, apakah maksud Konstitusi juga termasuk janin? Lalu, bagaimana dengan hak-hak seorang ibu yang jelas-jelas sudah berwujud manusia dan seorang warga negara? Tidakkah seorang ibu memiliki hak untuk memilih?

Konsekuensi dari pemikiran bahwa janin sebagai seorang individu mengarah pada argumentasi lain bahwa melakukan intervensi untuk pembuahan merupakan tindakan menghentikan proses kehidupan. Jadi, menurut alur pemikiran ini, penggunaan alat kontrasepsi pun dapat dipermasalahkan.

Jelas, argumentasi konservatif seperti ini sama sekali tidak menghargai hak-hak reproduksi perempuan dan tidak membantu kesehatan perempuan. Bagaimanapun perempuan yang dipaksa memiliki anak banyak bukan saja membahayakan kesehatan ibu, tetapi memberatkan ekonomi dan menghambat kesejahteraan keluarga serta pencapaian kualitas hidup yang optimal.

Jaminan hak

Aborsi bukan sebuah hobi. Pengalaman perempuan menunjukkan, pilihan perempuan untuk melakukan aborsi merupakan pilihan berat dan bersifat amat pribadi. Tidak ada perempuan yang bergembira ria melakukan aborsi, justru sering mempertaruhkan nyawa.

Penelitian menunjukkan aborsi tidak aman merupakan salah satu penyebab kematian ibu dan negara-negara yang menyediakan akses aborsi aman justru bisa menekan angka kematian ibu.

Kita tahu, Indonesia masih menghadapi angka kematian ibu yang tinggi. Begitu banyak perempuan Indonesia miskin terpaksa pergi ke dukun atau orang-orang yang tidak memiliki keahlian medis, melakukannya di gang-gang sempit, di ruang-ruang gelap tanpa jaminan kebersihan, atau ke dokter-dokter tak bertanggung jawab yang menguras uang mereka.

Berbagai penelitian juga menunjukkan, keputusan melakukan aborsi sering karena desakan kekasih, suami tidak sanggup membiayai, atau suami kawin lagi. Ironisnya, di dalam Undang-Undang Kesehatan justru yang dikenai hukuman adalah pelaku aborsi. Mereka terjerat hukuman berat dan denda hingga miliaran rupiah. Perempuan lagi-lagi menjadi korban. Di manakah tanggung jawab laki-laki? Para dokter dan hakim? Bukankah negara seharusnya menyediakan akses pelayanan kesehatan perempuan yang memadai? Termasuk hak perempuan untuk melakukan aborsi dengan aman.

Oleh: Gadis Arivia
Pendiri Jurnal Perempuan dan Pengajar Tetap di Departemen Filsafat, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia
Selasa, 29 September 2009

Masalah Aborsi pada UU Kesehatan

Meski tidak dengan suara bulat, Undang-Undang Kesehatan disetujui DPR 14 September lalu. Persoalan muncul pada klausul aborsi. Pasal 84-85 berlogika, pada prinsipnya aborsi dilarang, tetapi ada perkecualian.

Ihwal perkecualian ini juga perlu dikritisi lagi, terutama Pasal 85 tentang sahnya aborsi sebelum kehamilan berusia enam minggu, dihitung dari hari pertama setelah menstruasi terakhir. Awal hidup manusia Pertanyaannya, apakah sebelum enam minggu pertama janin (embrio) itu bukan manusia? Apakah dia memiliki martabat seperti kita manusia, dan mempunyai hak asasi paling dasar, yaitu hak untuk hidup? Mengacu embriologi, hidup manusia dimulai sejak pembuahan, sejak sperma dan ovum bertemu. ”Sejak pembuahan, kehidupan manusia baru sudah dimulai. Inilah awal hidup setiap kita sebagai pribadi unik” (Moore and Persaud, The Developing Human: Clinically Oriented Embryology, 2007).

Biologi juga menjelaskan, manusia berkembang dari tahap embrionik hingga saat kematian alamiahnya (bandingkan N Austriaco, On Static Eggs and Dynamic Embryos: A Systems Perspective, NCBQ 2002). Jadi, dari sudut ilmiah, janin tidak perlu menanti berminggu-minggu untuk ”menjadi manusia”. Ia adalah manusia sejak pembuahan. Janin pun sudah merupakan manusia dalam proses bertumbuh kembang. Memang saat melihat penampilan janin muda, kita akan terkejut karena yang tampak ”hanya” seperti sel, tidak serupa dengan kita sehingga dengan ”aman” kita melegitimasi aborsi selagi janin masih muda.

Inilah sebenarnya pola pikir di balik klausul UU Kesehatan 2009 yang berargumen bahwa sah melakukan aborsi. Perumusan klausul ini diakibatkan ketidakkritisan terhadap perkembangan teknologi, terutama terkait reproduksi manusia. Klausul ini mengandung pemikiran yang amat materialistis terhadap hakikat manusia. Janin dianggap sebagai sekumpulan molekul tak bermartabat.

Dengan demikian, apakah kita sedang mendefinisi ulang eksistensi kita sebagai manusia? Like begets like, prinsip ini yang akan selalu valid. Spesies yang satu tidak mungkin menurunkan spesies lain. Apa yang bukan manusia tidak bisa menjadi manusia dalam perkembangannya. Manusia menurunkan manusia. Awalnya, kita semua berupa sama seperti janin. Jadi, meski berbeda rupa, janin adalah manusia, sesama kita.

Hak untuk hidup

Dalam Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia (PBB) disebutkan, ”Martabat yang tertera dalam pribadi manusia dan hak-hak yang sama dan mutlak dari semua anggota keluarga manusia menjadi dasar kemerdekaan, keadilan, dan perdamaian di dunia.” Kita juga tegas mengakui martabat dan hak asasi manusia ini. Mengingat janin adalah manusia, maka ia memiliki martabat dan mengemban hak-hak asasi yang sama dengan kita, terutama hak untuk hidup.

Menyerang janin dengan aborsi berarti menyerang martabat yang melekat pada kemanusiaan sesama. Kita tidak bisa tinggal diam saat martabat sesama dirampas orang lain. Kita harus menjadi suara bagi janin yang belum dapat bersuara. Dilaporkan, terjadi 30 juta-50 juta praktik aborsi per tahun di 56 negara yang melegalisasi hal itu. Ini merupakan serangan kemanusiaan karena manusia membunuh sesamanya yang lemah. Jika kita melegitimasi serangan ini, tidak ada alasan lagi bagi kita untuk menolak perang, pembunuhan, perbudakan, penindasan, dan masalah etika sosial lainnya.

Karena itu, kehidupan manusia baru dalam rupa janin dalam rahim ibu patut disambut dengan hormat. Jika gagal menghormati martabat manusia dalam rupa janin, kita juga pasti akan gagal menghormati martabat orang lain. Semoga tidak.

Benny Phang Dosen Etika; Anggota Centro Internazionale San Alberto, Roma
Kompas.com, Sabtu, 26 September 2009