Monday, January 23, 2012

Media Massa Membebek?

DI SEMINAR ‘Prospek Kebebasan Pers 2012: Dikepung Jerat Regulasi dan Oligarki Politik Media’ yang diselenggarakan teman-teman Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta baru-baru ini terungkap beberapa kritik menarik yang disampaikan hadirin. Tapi, di samping itu juga dipaparkan tentang pencapaian sekaligus berbagai tindak kekerasan terhadap para jurnalis Indonesia.
(nug.web.id)

Dalam seri tulisan pendek kali ini, saya akan lebih banyak mengangkat sisi kritiknya. Kritik yang mengemuka, antara lain begini. Sampai sekarang, terutama dalam kasus-kasus korupsi, umumnya berita yang dimunculkan media massa barulah sebatas permukaan atau cerita-cerita kronologis. Tidak banyak yang betul-betul melakukan penelusuran secara mendalam untuk mengungkap semua fakta dan data korupsi yang terjadi itu.

Selain itu, kehadiran pers juga dinilai belum benar-benar mampu memotivasi masyarakat, khususnya yang termarjinalkan, untuk berani bersuara terhadap berbagai masalah yang terjadi di sekitarnya, misalnya ketika ada kasus kecurangan atau korupsi di kelurahan dan lain sebagainya.

Kebanyakan media juga dinilai hanya ikut arus. Ikut kemana angin berhembus. Istilah keren yang mengemuka di seminar tempo hari ialah: membebek pada narasumber. Salah satu akibatnya, khalayak dibuat bingung. Bingung mana pahlawannya, mana penjahatnya. Malahan, penjahat bisa muncul bak pahlawannya.

Pembebekan semacam itu kemudian membikin informasi yang muncul, seperti telah disinggung di atas, kabur, tidak jelas, tidak tuntas. Setengah-setangah. Bahkan, salah satu praktisi yang menjadi pembicara di seminar sampai hafal dengan karakter media. Media akan dengan gampangnya lupa  pada satu kasus karena keburu hanyut ke kasus yang baru dan begitu seterusnya.

Memang, media massa mempunyai otoritas, terutama dalam menentukan isu yang hendak diangkat. Menentukan mana yang aktual, mana yang tidak aktual. Kendati demikian, ada baiknya harus tetap peduli dengan tindak lanjut penyelesaian kasus sampai tuntas.

Yang menarik lagi ialah kritik terhadap adanya persaingan antar media. Dimana hal ini juga dinilai merupakan salah satu sebab mengapa sebagian media selalu tidak tuntas dalam mengungkap sebuah kasus. Media berlomba-lomba mengikuti agendanya sendiri-sendiri, tidak saling mendukung, terutama dalam membongkar korupsi.

Mengapa semua itu terjadi? Selain karena persaingan antar media, juga ada beberapa kemungkinan lain. Pertama, redaksi tidak mau membiayai peliputan yang bersifat investigatif.  Kedua, ada konflik-konflik tertentu di internal redaksi, misalnya, kasus itu ada kemungkinan mengarah kepada orang tertentu yang ada kaitannya dengan permodalan redaksi media itu sendiri.  Ketiga, karena media massa belum benar-benar tidak memahami kebutuhan khalayak. Keempat, karena media lebih memikirkan pageviews, oplah, dan rating saja.

Azhar Haris, Koordinator Kontras, yang menjadi salah satu pemateri seminar pun menyampaikan beberapa rekomendasi kepada pers. Di antaranya, pers mesti memanfaatkan ruang jaminan hukum dalam soal keterbukaan informasi, seperti mekanisme UU 14/2008 soal Keterbukaan Informasi Publik. Pers memberikan perhatian khusus terhadap sejumlah isu: korupsi, sengketa lahan, kerentanan/daya hidup ekonomi masyarakat di daerah-daerah, keragaman sosial (isu pluralism), dan kekerasan-kekerasan oleh anggota atau institusi Negara.

Dengan tetap tidak melupakan prestasi yang telah dicapai media massa dan wartawan dalam mendorong isu demokrasi di Tanah Air, semua kritik di atas tentu saja menjadi tantangan bagi teman-teman jurnalis untuk lebih mantab lagi.  Atau mungkin saja ada yang justru memperdebatkan rupa-rupa kritikan tadi. 

Tulisan terkait:
Belajar Jadi Citizen Journalists

2 comments:

septiaji said...

WADUH NAMA ALIANSINYA KOK AJI, KAYAK NAMA GUE JA

(PENGETAHUAN PINTARs IS MY BLOG)

Siswanto said...

wohoohoiya ya. waduuuh, begimana nih