Wednesday, January 11, 2012

Perkosaan Dalam Berita, Pelajaran Bagi Wartawan

TENTU ingatan kita masih lekat dengan perkosaan yang dialami sejumlah penumpang angkutan umum yang baru-baru ini terjadi di sekitar Ibukota Jakarta. Antara lain di angkutan M-26, angkutan M-24,  angkutan D-02, dan angkutan D-04. Belum lagi pelecehan seksual yang terjadi di dalam bus kota yang dikelola Pemerintah Jakarta, TransJakarta. Rentetan peristiwa ini tentunya membikin banyak orang berkata: ini tidak manusiawi!
Ilustrasi (berita8.com)

Ternyata, kejahatan seksual yang mengemuka di media itu barulah sebagian kecil saja. Masih banyak kasus lagi, walau sejak 2004 lalu, pemerintah memberlakukan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT). Bila dihitung-hitung sejak 1998 hingga akhir 2011 jumlahnya mencapai 93.960 kasus. Angka ini, menurut data Komisi Nasional Perempuan, seperempat sendiri dari seluruh kasus kekerasan yang dialami perempuan yang totalnya mencapai 400.939.

Kejahatan seksual –yang berhasil dipantau- itu meliputi lima jenis kasus. Pertama, perkosaan ( (4.845 kasus). Kedua, perdagangan perempuan untuk tujuan seksual (1.359 kasus). Ketiga, pelecehan seksual (1.049 kasus). Keempat, penyiksaan seksual (672 kasus). Dan kelima, eksploitasi seksual (342 kasus).  Dari data ini nampak perkosaan merupakan jumlah yang paling banyak terjadi.

Dalam siaran pers yang diterima singkatcerita.blogspot.com, Rabu, 11 Januari 2012, Koordinator Divisi Perempuan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Rach Alida Bahaweres, menegaskan bahwa kejahatan seksual memberi dampak sangat negatif kepada korban. Konstruksi sosial yang diciptakan membuat mereka merasa tak berharga, lemah, terbuang, murung, mengucilkan diri, merasa takut dan sebagainnya. Dan trauma yang dialami mereka tidak sama antara satu korban dengan korban lainnya.

                 ***
NAH, satu hal ini yang terpenting lagi. Khususnya dalam pemberitaan yang dikemas redaksi media massa terhadap kasus-kasus kekerasan seksual tadi, rupanya menjadi sorotan tajam AJI Indonesia. Ternyata, masih ada saja tulisan berita yang memberitakan berita kejahatan seksual secara cabul. Selain itu juga, masih ada berita yang menyebutkan identitas korban kejahatan seksual.

Padahal, Pasal 5 Kode Etik Jurnalistik menyebutkan ‘Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.’

Dengan menyebutkan identitas korban asusila, kata Alida, maka wartawan secara tidak langsung telah ikut menyebarluaskan informasi yang merusak nama baik korban dan secara tidak langsung telah merusak masa depan korban asusila itu sendiri.

“Jika ada pelanggaran privasi korban kejahatan seksual, maka korban akan menjadi 'korban' kedua akibat pemberitaan yang dilakukan,” kata Alida.

                                                      ***

INI dia. Terkait, pentingnya etika perlindungan terhadap korban kejahatan seksual, Divisi Perempuan AJI Indonesia bekerjasama dengan Komnas Perempuan akan melakukan diskusi bersama para pemerhati masalah itu. Tema acaranya “Etika Perlindungan Privasi dalam Peliputan Kejahatan Seksual.” Dilaksanakan pada hari ini di Kantor Komnas Perempuan  Jalan Latuharhary 4B, Jakarta.

Uni Lubis dari Dewan Pers akan menyajikan materi terkait bagaimana kondisi pemberitaan kejahatan seksual akhir-akhir ini, bagaimana etika yang seharusnya dilakukan media agar menghormati privasi korban kejahatan seksual, apa yang membuat media masiih melanggar kode etik jurnalistik khususnya pemberitaan kejahatan seksual, apa yang dilakukan Dewan Pers dalam menagani pemberitaan kejahatan seksual yang melanggar kode etik dan tidak melindungi privasi korban kejahatan seksual.

Kemudian Masruchah (Wakil Ketua Komnas Perempuan) yang akan menyajikan data kasus kekerasan, apa upaya yang telah dilakukan Komnas Perempuan, apa peran pemerintah dalam menangani kasus kekerasan seksual, apa hambatan yang dialami dalam memerangi kasus kejahatan seksual.

Dan Helga Worotitjan (Lentera Indonesia) yang akan menyajikan materi terkait apa dampak yang diterima korban kejahatan seksual, bagaimana upaya pemulihan korban kejahatan seksual, langkah apa yang sebaiknya diambil dalam melindungi privasi korban kejahatan seksual, dan sebaiknya.

Tertarik dengan diskusinya, teman-teman wartawan dipersilahkan untuk datang jam 09.00 WIB - 12.00 WIB yawww :)

8 comments:

Rick said...

sungguh tragis...ksian korban itu..sdh jth ktimpa tngga pula..
smg ini bisa mnjdi pljrn bg kita smua..:)

nice artikel

Galuh Parantri said...

Wartawan itu dilematis, antara menjunjung kode etik dan ditekan oleh tuntutan atasan dan pemilik modal media . Itulah potret jurnalis Indonesia :)

Join Fan Pages VIVAlog
Best Regards, Gal's

Sigit Irmawan said...

beuhh,,, jadi ngeri baca
topik yang mantabb sob..
kunjungi punya ane juga di
http://sigitirmawan.com/tuntaskan-skripsi-di-2012-my-resolution
tinggalkan komentar yah..
happy blogging.. :)

Siswanto said...

@rick: Moga2 Rick. Aku kok gak bsa komentar di blogmu ya. tentang asisten caktik itu :D

@galuh: itulah kakak. tapi bukan berarti wartawan tidak bisa jadi wartawan

@sigit: mantap git. meluncur

Panduan Membuat Blog said...

boleh juga tapi jangan mengkambing hitamkan berita ya.

Siswanto said...

kambing hitam boso jowene wedus ireng ya :D

AnthoMassardi said...

Sebetulnya, yang dapat melindungi kaum perempuan dari kejahatan seksual adalam para perempuan itu sendiri. Terutama kaum perempuan yang menjadi publik figur atau artis: apakah mereka tahu bahwa pamer tubuh dan kekayaan yang dilakukannya itu (apa pun profesi dan alasannya) menginspirasi masyarakat bawah untuk ikut meniru dan memilikinya,, dengan cara apa saja? Maka, tutuplah aurat yang mengundang nafsu hewaniah itu. Sebab, bukankah para pelaku dan korban perkosaan itu sesungguhnya korban dari gaya hidup hedonis dan liberal yang dipertontonkan kaum perempuan sendiri?

Siswanto said...

Menarik ni pendapat bang antho. mesti dishare ke temen-emen nih, biar ada diskusi ya.... :)