Sunday, May 13, 2007

obrolan komunitas pangkalan bambu

Tema obrolan Komunitas Pangkalan Bambu pada Sabtu, 12 Mei 2007 adalah bagaimana masyarakat Bekasi mendefenisikan diri secara budaya. Pertemuan ini untuk kedua kalinya, setelah Sabtu, 5 Mei lalu.

Peserta yang hadir di saung One Center Alumni SMA Negeri 1 Kota Bekasi:

Ali Anwar, Tulus Wijanarko dan Siswanto (dari Komunitas), Khoir dan Ubay (dari BKMB), Agus Wahid (penulis), Ridwan dan Ikhwal (Dewan Kesenian Bekasi), Akhmad Saichu (Wakil Ketua DPRD Kota Bekasi dari PKS), Pak Engkus, Zaenal Arifin (wartawan Indo Pos).

1. Tulus Wijanarko:

Berangkat dari kenyataan bahwa ada dua budaya dominan yang berkembang di wilayah Bekasi ini, yakni Betawi dan Sunda.

2. Khoir

Menjelaskan pemetaan budaya dan geografis bagian manakah yang terpengaruh budaya Betawi dan kawasan mana yang berakar budaya Sunda. Juga diceritakan adanya kesulitan merumuskan dialek Bekasi. Ketika disusun buku dialek Bekasi yang dominan pengaruh Betawinya, muncul reaksi kurang setuju dari anggota masyarakat berbasis Sunda.

Menggugah kalangan konstituen untuk bagaimana merumuskan permasalahan cagar budaya Bekasi yang “hilang” karena diklaim oleh daerah lain, seperti DKI Jakarta mengklaim tari Topeng Bekasi menjadi Tari Topeng Betawi. Konstituen diharapkan memikirkan masalah ini secara serius sehingga dikemudian hari tidak terjadi terjadi lagi. Misalnya, apakah bisa menerbitkan peraturan daerah tentang perlindungan kebudayaan Bekasi sehingga tidak diklaim oleh daerah lain.

Kalau memungkinkan, apakah bisa dibuat hak paten. Mematenkan budaya Bekasi.

4. Agus Wahid

Mengajukan gagasan perlunya suatu saat diadakan forum “Dialog Budaya Bekasi” yang melibatkan berbagai unsur dan elemen masyarakat. Dia juga berpendapat kesenian-kesenian tradisi Bekasi perlu dipasarkan dengan strategi pemasaran yang tepat, demi menjaga kelangsungan eksistensinya.

Budaya Bekasi diibaratkan hidup segan mati tak mau. Yang harus dilakukan saat ini adalah menumbuhkan keyakinan untuk mampu bangkit. Harus punya keberanian. Dengan kata lain, tantangannya adalah harus memulai membangun jaringan komunikasi, baik dengan industri dan masyarakat. Komunitas ini ditantang untuk berjuang. Karena bagaimanapun juga, harus melangkah.

Untuk menjaga keutuhan budaya Bekasi, jika menggunakan melalui hak paten, dirasakan biayanya terlalu tinggi. Kalau bisa dengan peraturan daerah saja sudah cukup kuat untuk melindungi. Karena pemerintah daerah lain tidak bisa mengklaim lagi.

5. Ridwan

Menguraikan bahwa kebudayaan Bekasi berkembang berdasar sikap masyakatnya yang terbuka, sehinga banyak pengaruh daerah lain masuk. Namun menurut dia pengaruh Cirebonan cukup dominan. Persolaan lain yang perlu diantisipasi adalah adanya “ancaman” daerah lain ( Jakarta ) yang boleh jadi akan megklaim beberapa kesenian tradisi Bekasi sebagai bagian dari tradisinya.

Ini sudah terjadi pada kesenian Topeng yang aslinya dari Tambun, tapi kini orang mengenalnya sebagaiTopeng Betawi. Dia menyebut ada jenis empat tradisi yang mesti segera “dilindungi” agar tak direbut. Antara lain Wayang klitik, Wayang udung.

Langkah awal yang harus dilakukan adalah melakukan pementasan kesenian, antara lain Ujungan. Ini untuk melibatkan para pelaku kesenian itu sendiri. Dan tahun depan, Dewan Kesenian akan mengadakan seminar dan even-even lainnya yang diharapkan mendapat dukungan dari pemerintah daerah.

Langkah selanjutnya, bisa lebih dipertajam. Misalnya menggunakan hak paten untuk melindungi cagar budaya Bekasi.

Langkah ini diharapkan dapat mengikis kata-kata kuota dari Provinsi Jawa Barat bahwa Kota dan Kabupaten Bekasi hanya mendapat satu kuota cagar budaya. Pemberian kuota ini sangat mengecewakan karena, membuka pintu bagi daerah lain, seperti DKI Jakarta untuk mengklaim cagar budaya Bekasi.

Dewan Kesenian bercita-cita abhwa kebudayaan harus menjadi oasenya, bukan jadi obyeknya.

6. Engkus Prihatin

Memandang dari kaca mata pengusaha, mengusulkan agar keempat jenis tradisi itu segera dipatenkan, yaitu melalui peraturan daerah.

8. Akhmad Saichu

Budaya Bekasi akan punah kalau tidak dijaga. Minimal dengan mempublikasikannya dengan tulisan. Dia mencontohkan, pemerintah daerah Solo dan Banjarmasin sudah melakukannya. Tetapi, dia belum menemukan sebuah buku di Bekasi yang menggarap profil kebudayaan secara utuh.

Mengharapkan ada penulis yang serius menggarap profil kebudayaan Bekasi. Nanti kemungkinan bisa dicetak oleh pemerintah daerah dan dapat dibagikan ke masyarakat secara gratis.

DPRD respek dengan permasalahan kebudayaan Bekasi. Meminta dari pertemuan-pertemuan Komunitas Pangkalan Bambu, dibuatkan notulensi sehingga ada jejaknya. Selama ada keseriusan, ada pengkajian, Saichu akan mengajak anggota DPRD lainnya untuk juga membicarakan masalah kebudayaan Bekasi yang terancam punah.

Saichu juga menyatakan diri akan membantu komputer laptop untuk operasional. Minimal kegunaanya untuk membuat notulensi tiap kali ada pertemuan Komunitas Pangkalan Bambu.

9. Ali Anwar

Memandang, selama ini ada satu kelemahan dari masyarakat, pemerintah dan DPRD Kota Bekasi untuk melakukan lobi. Pemerintah daerah selama ini lebih senang melihat produk yang dihasilkan, ketimbang melihat prosesnya. Cenderung menjadikan prose situ sebagai proyek saja.

Untuk sebuah proses pemetaan kebudayaan yang melelahkan, pemerintah daerah hanya menghargai dengan rendah. Diharapkan, jika ingin serius melestarikan tradisi, maka harus bersama-sama merumuskan berbagai permasalahan dan tantangannya.

Penutup

Diskusi Komunitas Pangkalan Bambu selesai tengah hari. Ada pandangan baru yang nampak dari para penggiat kebudayaan yang datang. Menurut Tulus, untuk selanjutnya yang mesti dilakukan adalah membuat solid lebih dulu komunitas. Setelah itu menyusun program-program komunitas yang lebih mantab dan pasti.

Untuk memulai kebiasaan baru untuk pertemuan-pertemuan selanjutnya, acara diakhiri dengan pembacaan puisi oleh Tulus mengenang gempa Yogyakarta setahun lalu.

Rekomendasi (yang bisa dilanjutkan—tanpa constrain waktu):

1. Tema ini masih bisa dipertajam dalam obrolan-obrolan berikutnya (bisa kapan saja)

2. Membuat buku sekitar “Pemetaan Budaya Bekasi” (perlu pembahasan lebih jauh)

3. Membuat acara dengan format besar “Dialog Budaya Bekasi”(agenda jangka panjang—atau menengah?). Mungkin bekerja sama dengan pihak lain, misalnya Dewan Kesenian, dan lain-lain.

Mendukung Dewan Kesenian Bekasi jika hendak melakukan hearing dengan DPRD guna mendesakan perlunya perhatian pada kesenian tradisi

No comments: